Wednesday, August 15, 2007

9 Pertanyaan untuk Gumilar Rusliwa Sumantri:
“UI Harus bisa Berubah Dengan Cepat”


Pertama kali bertemu pada Sabtu pagi, 4 Agustus, saya tak menyangka bahwa di hadapan saya berdiri rektor terpilih UI Gumilar Sumantri. Saya membayangkan seorang dosen yang sudah tua, mungkin dengan rambut ubanan atau kepala yang mulai botak.

Gumilar Rusliwa Sumantri atau yang cukup disapa Gumilar saja masih terlihat sangat muda untuk ukuran rektor universitas nomor satu di negeri ini. Ternyata memang benar, usianya baru 44 tahun.

Saat menerima saya, ia mengenakan kaos putih dan celana pendek. “Tadinya saya mau berolahraga. Tapi ternyata kamu datang lebih dulu,” alasannya.

Hidup sehat juga bagian dari ayah tiga anak ini. Selain rutin olahraga, ia juga gemar makan sayur-sayuran. Ia minum temu lawak sambil mengobrol, menambahkan lalap pada menu sarapannya dan menghabiskan segelas jus nanas setelahnya.

Selain itu, rupanya, Gumilar senang bercanda. Selalu ada pengalaman lugunya yang diselipkan.Kami pun mengobrol panjang lebar tentang gambaran UI ke depan dan prinsip-prinsip hidup lelaki kelahiran Tasikmalaya ini.

Berikut hasil petikan wawancara Jurnal Nasional yang berlangsung di kediaman pribadi Gumilar, Perumahan Pesona Khayangan, Depok:

1. Selamat ya pak atas tugas barunya. Berarti ada satu lagi rektor UI yang bukan dari Fakultas Kedokteran (FK)?

Terima kasih. Sebenarnya dari 13 rektor UI, ada lima yang berasal dari fakultas selain kedokteran. Sebelum UI berstatus BHMN (Badan Hukum Milik Negara), rektor dipilih oleh senat univesitas yang anggotanya adalah para guru besar.

Nah, FK itu kan fakultas tertua, jadi tentu jumlah gurur besarnya lebih banyak. Otomatis suara mereka di senat universitas juga lebih banyak dan bisa unggul dalam pemilihan.

Selain itu, tak tertutup kemungkinanan kalau calonnya juga bagus. Tradisi keilmuan di FK memang bagus dan bisa melahirkan pemimpin handal.

2. Kalau sistem yang sekarang seperti apa?
Sekarang, pemilihan dilakukan oleh senat akademik universitas (SAU). Anggotanya adalah perwakilan fakultas, masing-masing lima orang, Dekan, dua orang wakil guru besar, dua orang wakil dosen, rektor, wakil rektor, dan kepala perpustakaan. Totalnya ada 62 orang dan setiap perwakilan dipilih di fakultas masing-masing.

Pemilihan tahap pertama oleh SAU. Waktu itu, ada 13 orang yang dianggap eligible, kriterianya adalah bergelar doktor. Setalah itu, diseleksi lagi jadi tujuh. Lalu, dokumen setiap kandidat dipelajari, ada presentasi dan tanya jawab.

Kemudian ada pemilihan lagi yang dilakukan oleh majelis wali amanat (MWA). Anggotanya menteri, satu wakil mahasiswa, satu wakil karyawan, 11 perwakilan SAU, dan enam wakil masyarakat, di antaranya Emil Salim, Purnomo Prawiro, Alwi Shihab, Rahmat Gobel, dan Fauzi Bowo.

Dengan struktur baru ini, maka kesempatan terbuka lebih besar untuk dipilih dari berbagai fakultas. Pemilihannya memang sangat panjang karena merupakan gabungan dari ileksi (election) dan seleksi. Tak cukup hanya popular dan acceptable, calon juga harus punya kemampuan.

Tapi, kemampuan itu bukan hanya track record tapi juga harus yang dibutuhkan UI, seperti integritas, entrepreneurship, dan leadership. Ketuju calon itu, dievaluasi selama 13 jam oleh independent assessor. Calon yang ada kemarin itu rata-rata baik, tapi mungkin kalau diurut saya yang paling baik. Hahaha…

Jangan lupa, meski pak Usman (Usman Chatib Warsa) itu berasal dari FK tapi dia adalah rektor BHMN pertama. Dia berhasil terpilih meski komposisi pemilih sudah berubah.


3. Gelar Doktor Anda diambil di Jerman. Bagaimana ceritanya sampai bisa ke sana?


Awal jadi dosen di UI, saya pernah jadi asisten professor dari Yale University. Dia ahli kajian Asia Tenggara yang terkenal dan pendiri departemen sosiologi di National Universitiy of Singapore.

Waktu itu saya dapat beasiswa jadi visiting researcher di Khroningen Universitate Belanda. Dia menyarankan saya masuk ke Yale. Tapi pas jalan-jalan ke Jerman, saya malah tertarik di sana karena lihat perpustakaan mereka lengkap dan memang tradisi kajian Asia Ternggaranya termasuk yang kuat di Eropa.


4. Berarti dulu belum bisa bahasa Jerman?


Iya. Waktu mengajukan beasiswa, mereka Tanya, bagaimana saya mau belajar kalau tak bisa bahasanya.

Saya tanya lagi, anda mau kasih saya beasiswa atau tidak? Saya katakan persoalannya bukan bisa bahasa Jerman atau tidak. Kalau mau, saya akan kuasasi bahasa Jerman itu dengan cepat dan baik. Akhirnya dapat.

Dia bilang saya nekat. Dan memang pada dasarnya orang Jerman itu suka kalau kita outspoken. Selesai kuliah saya baru tahu kalau jabatan dia tinggi sekali. Kalau tahu sejak awal, mungkin saya tidak berani ngomong seperti itu. Hahaha…

7. Kebiasaan Anda belajar seperti apa?
Saya termasuk orang yang berani malu. Kalau orang lain mempersipkan dulu, kalau saya nyebur aja. Seperti orang belajar renang.

Dulu, waktu belajar bahasa di Goethe Institute Jerman, saya aktif di kelompok olahraga dan kelompok peminat politik. Suatu kali, ada diskusi politik dan saya menjelaskan tentang ketimpangan dunia utara dan selatan. Di tengah-tengah, saya lupa satu kata. Lama sekali orang-orang menunggu saya mengucapkan kata itu dan sampai saya keringatan karena malu luar biasa. Setiap kali saya mau pakai bahasa Indonesia, guru saya selalu melarang. Jadilah semua orang menunggu saya. Hahaha..

5. Kalau seandainya tidak jadi dosen, anda akan jadi apa?

Saya itu sejak awal masuk UI memang bercita-cita jadi dosen. Mungkin karena ayah saya guru, jadi tradisi pendidik kuat di keluarga kami. Kakak saya juga ada dua orang yang jadi guru.

Waktu masih kecil sekali saya pernah mau jadi Jenderal karena ayah saya kan veteran perang. Saya juga pernah mau jadi dokter karena di desa saya, Tasikmalaya, banyak orang miskin dan sakit. Saya ingin bisa mengobati mereka.

6. Lalu, kok bisa masuk Sosiologi?


Begini, saya dulu sekolah di SMAN Ciawi dan saya angkatan pertama. Guru kimia saja nggak punya dan harus diajar sama guru biologi. Saya pun akhirnya memotori teman-teman untuk bikin bimbingan belajar seminggu tiga kali. Saya bilang ke mereka kalau kita harus masuk UI, ITB, atau Akabri.

Dan buktinya berhasil. Pada masa itu, meski kami lulusan pertama, tapi jumlah siswa yang lulus ke perguruan tinggi negeri lebih banyak daripada seluruh SMA negeri yang ada di Tasikmalaya dan Ciamis.

Tapi, rupanya persaingan di FK UI sangat hebat. Sebagai anak desa ya sulit. Pilihan kedua saya memang sosiologi. Saya rasa punya bakat di sana. Pada dasarnya saya senang menulis, membaca, dan membahas masalah-masalah sosial.

8. Sebenarnya UI ini mau Anda bawa ke mana?
Pada dasarnya, UI ini kan membawa bendera bangsa. UI harus diubah dengan cepat ke arah yang membuat bangsa kita bangga. UI harus jadi universitas berkelas dunia, jadi trend setter, dan energizer.

Kalau itu terjadi dampaknya akan sangat luar biasa. Rasa percaya diri dan harga diri bangsa akan naik. Kita harus tunjukkan bahwa kita juga hebat. Dan ini butuh kerja keras at least lima tahun ke depan.

Tugas saa sebagai rektor adalah membawa mereka ke arah itu. Semuanya harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, kerja keras, stabil, dan win-win solution. Misalnya saja perubahan SDM. Karyawan UI ada sekitar 1.000 orang, tapi kan tidak semua bagus.
SDM ini harus dipetakan. Yang bagus kita kasih apresiasi, yang belum bagus kita baguskan, yang tidak bagus, kita alihkan untuk bekerja di ventura-ventura UI.
Sehingga mereka happy dan lembaga juga untung karena produktivitas lebih baik.

9.Target lainnya?
Saya mau ada ransparansi, pembangunan SDM, dan menerapkan konsep teaching and research without walls (pengajaran dan penelitian tanpa sekat-sekat). Yang paling penting, saya akan perhatikan kesejahteraan mereka. Bagaiamana mau jadi kelas dunia kalau dosen dan karyawan gajinya tidak kelas dunia juga. Paling tidak realistislah. Semuanya kan untuk membawa UI ke arah yang lebih baik. (ika)

Dimuat di Jurnal Nasional, Selasa, 14 Agustus 2007.
Mengubah Bangsa, Mengubah Gurunya

SEBUAH ruangan dipenuhi para guru dan kepala sekolah. Mereka sedang berdiskusi tentang cara agar guru bisa menumbuhkan dan mengembangkan potensi murid-muridnya.

Dalam diskusi itu muncul pengakuan sangat menarik dari seorang guru. ''Saya sudah jadi guru selama lima tahun dan saya merasa berdosa. Saya adalah seorang guru matematika. Selama ini saya hanya memindahkan catatan saya ke mereka. Padahal, kelas adalah tempat siswa untuk mengembangkan dirinya,'' ujar guru yang enggan disebutkan namanya tersebut.

Yang dikatakan guru itu mungkin juga dilakukan dan dirasakan guru-guru lain yang hanya familiar dengan metode ceramah. Padahal, metode itu hanya cocok untuk anak-anak pintar. Padahal, dari sekitar 40-an siswa di kelas, hanya tiga atau empat yang tergolong pintar.

Diskusi dengan topik ''Building Highly Effective Educators'' tersebut digelar oleh Sampoerna Foundation Teacher Institute (SF-TI) pada Jumat (10/8) lalu. Topik ini diambil karena tiap individu memiliki cetak biru dalam mengarahkan hidupnya. Begitu pula guru. Sebagai pengajar dan pendidik, mereka juga harus paham atas aturan-aturan yang mereka miliki, sehingga perannya bisa lebih efektif.

Awalnya, diskusi dibuka dengan menonton film dokumenter tentang pemenang Nobel Perdamaian 2006 asal Bangladesh, M Yunus. Menurut pemateri Agi Rachmat, melalui film itu diharapkan peserta tahu bahwa setiap orang dapat melakukan perubahan. M Yunus melakukan perubahan dengan memberi kredit pada orang miskin, sehingga jumlah mereka berkurang.

''Apakah menjadi guru adalah pilihan Anda?'' tanya Agi.

''Ya!'' jawab beberapa peserta dengan lantang.

''Anda yakin?''

''Ya!''

''Kalau jadi miliarder, mau nggak?'' tanya Agi, yang juga konsultan pendidikan itu, kembali.

Kali ini Peserta mulai-ragu-ragu menjawabnya. ''Kalau Anda cocok dengan kerja tersebut, Anda tak akan pernah mengeluh,'' kata Agi. ''Begitu juga jadi guru. Kalau suka, Anda harus live with it. Kalau tidak, leave it. Kalau nggak happy, ya jangan jadi guru.''

Menurut Agi, ada tiga hal di dunia ini yang tak pernah berubah. Pertama adalah proses perubahan itu sendiri. Jadi, katanya, perubahan adalah hal yang mutlak.

Kedua adalah prinsip. ''Orang yang malas pasti bodoh. Orang yang rajin dan kerja keras pasti berhasil,'' tutur Agi.

Yang ketiga adalah selalu ada pilihan dalam dua hal tadi.

Saat ini kualitas manusia Indonesia ketinggalan jauh dengan bangsa lain. Dulu, cerita Agi, jika Indonesia dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura, orang selalu menjadikan ukuran negara sebagai alasan. Tapi, sekarang itu tak berlaku lagi. Lihat saja China.

''Jumlah penduduk mereka 10 kali lebih besar, tapi toh bisa teratur dan rapi. Mereka bisa membuat apa pun lebih murah dan ada kualitasnya. Bahkan, nilai ekspor China bisa mencapai US$2,3 miliar,'' kata Agi.

Meski begitu, Indonesia masih bisa unggul lewat industri kreatif. Itu hanya bisa dibangun jika pengetahuan bisa ditingkatkan. Lagi-lagi, semuanya terletak pada peran guru. Agi menyebutkan konsep 3 M milik Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), yakni mulai dari diri sendiri, mulai sekarang, dan mulai dari hal kecil. Namun, Agi mengubah konsep itu menjadi 3 S, yaitu sendiri, sekarang, dan sekecil-kecilnya.

Mengapa begitu? Sebab, demikian Agi, selama ini manusia selalu merasa terkungkung oleh tiga determinisme. Pertama adalah determinisme genetik. ''Karena kita orang Melayu atau karena kita orang Indonesia, maka kita tak bisa lakukan itu. Padahal, kita semua punya modal yang sama, yaitu 23 kromosom.''

Yang kedua adalah determinisme psikologi. Menurut Agi, jangan sampai ada angapan guru tak bia menjadi orang hebat. Toh selama ini sudah ada bukti sebaliknya. Ia kemudian menyebut beberapa nama, seperti Jenderal Sudirman dan Ki Hajar Dewantara.

Ketiga adalah determinisme lingkungan sekitar. Oleh karena itu, Agi menyarankan agar seorang pengajar tidak terpaku pada lingkungannya saja. Seorang guru harus
bisa mencari nilai tambah yang ada dalam dirinya dan menggunakan nilai itu untuk berubah. Seperti M Yunus yang menggunakan nilai itu untuk mengubah kemiskinan di negaranya. Itulah yang harus dicontoh guru.

''Kalau Anda punya satu keinginan untuk mengubah generasi, katakan itu dengan tegas. Ucapan adalah energi, maka harus hati-hati untuk mengucapkannya. Jangan pernah sekalipun berpikir negatif,'' tutur Agi.

Ia menyarankan para guru mencari suara hati mereka terhadap profesi yang sedang mereka jalani. ''Apa benar jadi guru adalah panggilan hati Anda? Kalau ya, maka gunakanlah itu untuk mengubah bangsa ini.'' (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, Senin, 13 Agustus 2007.
Memilih Pintu Masuk Jakarta

Selain memikat, sejak dulu Jakarta menyajikan pelbagai masalah bagi penduduk asli dan pendatang.

BERBAGAI persoalan tentang Jakarta sejatinya sudah ada sejak dulu. Sebutlah jalanan macet, wabah penyakit, tempat tinggal dan lingkungan hidup yang tak teratur, serta banjir. Bedanya, dulu jalanan macet karena andong, tetapi sekarang karena mobil dan motor. Dulu wabah malaria, sekarang ganti demam berdarah.

Berbicara tentang Jakarta memang tidak ada habisnya. Itu pula yang terjadi pada Selasa (14/8) siang lalu di sebuah perpusatakaan. Puluhan orang hadir untuk mendengar dan berbicara tentang Jakarta. Sebagian besar sudah lanjut usia dengan rambut beruban sebagai penanda. Beberapa peserta bahkan mengakui sudah kurang pendengaran, sehingga harus duduk di deretan depan.

Para orang tua itu datang atas undangan si pembuat acara, yaitu Koninklijk Instituut voor Taal-Land- en Volkenkunde (KITLV), lembaga kajian humaniora dan ilmu sosial di Asia Tenggara, Oseania, dan Karibia oleh pemerintah Belanda. Siang itu mereka membahas sebuah buku berjudul Jakarta-Batavia: Sebuah Esai Sosio Kultural. Buku ini berupa kumpulan esai 17 penulis, yang dibuat berdasarkan workshop (pelatihan) tentang Jakarta pada 1995 silam.

Pencetusnya adalah Peter J.M. Nas dari Universitas Leiden, Belanda. Sebenarnya buku itu sudah rampung pada 2000, tapi baru selesai diterjemahkan ke bahasa Indonesia tahun lalu. Adapun pembicara pada diskusi itu adalah J M Nas, sejarawan dan pengamat Betawi J.J. Rizal, serta perwakilan penerbit Banana, Yusi A Pareanom.

Menurut Nas, pada dasarnya ia ingin menyampaikan tentang kelompok etnis yang ada di Jakarta, mulai dari China, Arab, Betawi, dan para pendatang lain. Selama ini orang Betawi selalu dianggap nyaris punah. Padahal, tidak demikian.

Sebenarnya jumlah orang Betawi tumbuh pesat. Hanya, jumlah penduduk lain dan para pendatang tumbuh lebih pesat dari mereka. "Jadi jumlah orang Betawi itu sebenarnya masih banyak," ujar Nas menegaskan.

Ia melihat Jakarta perlu sebuah areal tempat tinggal berdasarkan komunitas etnis yang ada di suatu wilayah. Artinya, tetap mempertahankan etnis asli sembari memberi ruang kepada pendatang. Cara ini dinilai efektif karena tinggal bersama-sama akan memperkuat rasa saling memiliki, sehingga di antara mereka saling membantu.

Sayang pemerintah tak menyadari hal ini, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap lingkungan hidup di Jakarta. "Batavia was a green city (Dulu Batavia adalah kota yang hijau)," tutur Nas.

Waktu dia bertanya ke pemerintah daerah (pemda) Jakarta tentang kebijakan lingkungan mereka, Nas menilai tak ada rencana yang bagus. Padahal, Jakarta butuh pendekatan yang berbeda.

Segregasi dan Kota Konsumsi
Contoh paling mudah adalah melihat perkembangan daerah Kemayoran. Banyak orang Betawi tinggal di daerah itu. Hanya, sebagian besar pembangunan yang dilakukan di sana ternyata lebih banyak menghasilkan apartemen. Sama sekali tidak ada ruang untuk penduduk asli.

Namun, demikian Nas, hal itu sudah menjadi bagian dari rencana Soeharto yang ingin menjadikan Kemayoran sebagai kota terbesar di Asia. "Gubernur yang baru saja terpilih bilang kalau dia mau menempatkan banyak penduduk asli di sana. Tapi, itu sama saja membuat rencana yang sama sekali baru di Kemayoran. Akan butuh banyak uang dan sama sekali tidak mudah," ujarnya.

Seorang peserta diskusi mengatakan, saat Belanda menjajah kota-kota besar, mereka sengaja memisahkan tempat tinggal penduduk. Ruang-ruang permukiman dibagi atas tempat tinggal Belanda, penduduk asli, dan pendatang. Oleh karena itu, pasti terjadi segregasi ruang dan sosial masyarakat.

"Waktu itu, kebijakan pemerintah kolonial memisahkan tempat tinggal adalah untuk menghindari penyakit tropis. Sayangnya, kebijakan memisahkan tempat tinggal masih berlangsung saat ini. Banyak kebijakan segregasi ruang dan masyarakat yang tidak populis. Dulu Batavia adalah kota konsumsi. Sekarang masih seperti itu karena di mana-mana dibangun mal," katanya.

Lantas, seberapa besar sebuah kota dapat berkembang?

Menurut Nas, selalu ada masalah dalam sebuah kota. Meski pemerintah mencari jalan keluar untuk permasalahan lima hingga sepuluh tahun ke depan, tetapi itu tidak akan mencukupi. "Kota selalu berkembang. Begitu juga masalahnya.''

Sedangkan Yusi melihat Jakarta memang selalu memikat para pendatang. Terjadi semacam romantisme tentang Jakarta, entah intuk menarik gadis-gadisnya yang rupawan ataupun mencari uang yang lebih banyak. Tak heran jika para pendatang selalu memaksakan mimpi mereka pada Jakarta.

"Akhirnya semua jadi tak karuan. Rawa diuruk untuk ditinggali dan akhirnya penduduk di sana kena malaria atau, sekarang ini, demam berdarah," kata Yusi.

Perkembangan seperti itu memang tidak bisa dihindari. Tapi, semuanya berpulang pada prinsip dan sikap penduduk asli, serta seberapa besar mereka bisa memengaruhi pendatang agar turut aktif terlibat membangun Jakarta.

Sebab, dalam penilaian J.J. Rizal, para pendatang ini terbagi atas dua tradisi, yaitu trackers dan believers. Para believers percaya bisa andil dalam membangun Jakarta.
Sedangkan para trackers datang untuk cari uang sebanyak-banyaknya. "Kalau sudah kaya, dia akan pulang ke kampung dan membangun kampung asalnya," ucap Rizal.

Buku Jakarta-Batavia ini bisa menjadi pintu masuk menuju banyak ruang di Jakarta. Ini bisa dimaklumi mengingat para penulisnya adalah ahli dari pelbagai latar belakang disiplin ilmu, baik dari dalam maupun luar negeri. Yakni ahli sejarah, sosiologi, antropologi, geografi, linguistik, arsitektur, bahkan sastra. Terserah Anda mau memilih pintu mana untuk masuk ke Jakarta. (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional Kamis, 16 Agustus 2007.



*foto itu diambil waktu pentas teater siluet Juli lalu. Lokasi Gedung Kesenian Jakarta.
Seputar Inferioritas Betawi

ORANG Betawi atau penduduk masih menduduki posisi mayoritas warga Jakarta. Paling tidak itu dibuktikan oleh sensus penduduk sejak 1930 hingga 2000. Hanya saja, Betawi selalu dianggap inferior dengan proporsi elite politiknya yang selalu kecil dibanding porsinya dalam masyarakat.

Pada 1967, Lance Castles menulis esai ''Ethnic Profile Jakarta'' yang menyebutkan, orang Betawi merupakan keturunan budak. "Orang Betawi pun melaknat artikel tersebut dan menjadi persoalan besar bagi mereka," ujar sejarawan dan pemerhati Betawi, J.J. Rizal.

Namun, Remco Raben dalam buku Jakarta-Batavia: Esai Sosio Kultural memberi pandangan baru tentang hal ini. Esai ''Seputar Batavia''-nya mengatakan, asal-usul Betawi harus dilihat dari proses mencairnya identitas etnis penduduk Batavia. Pada abad ke-17, jumlah budak tidak pernah melampaui 30 persen dari total penduduk. "Jadi budak bukanlah unsur utama pembentuk etnis ini," kata Rizal.

Meski demikian, menurut Rizal, ada juga pendapat Castles yang bisa diandalkan. Jika ingin dianggap eksis, maka Betawi perlu memperbesar porsi elite politik mereka. Karena hanya orang yang punya kuasa dan kekuatanlah yang dapat mengubah keadaan.

Rizal, yang juga aktif menerbitkan buku-buku tentang Betawi ini, kemudian mengutip tulisan Mona Lohanda berjudul Jabatan Inlandsche Komandan di Batavia. Dalam tulisan tersebut disebutkan bahwa ketiadaan elite modern Betawi karena kurangnya pendidikan dan keinginan pemerintah kolonial.

Awalnya, jabatan Inlandsche Komandante adalah wakil elite lokal di birokrasi kolonial. Namun, pada 1908 jabatan tersebut dihapus. Setelah itu, jabatan elite lokal hanya sampai tingakt wedana. "Sampai puluhan tahun setelahnya tak ada lagi orang Betawi yang menjadi orang berpangkat di tanahnya sendiri."

Hal serupa terjadi pada era pascakemerdekaan. Sekitar 1960-an orang Betawi cenderung menyembunyikan kebetawiannya. Karena mereka malu disebut Betawi, maka penduduk asli Jakarta ini lebih senang disebut sebagai "Anak Jakarta". Rasa inferior itu makin besar karena hampir tak ada elite yang turut dalam peristiwa besar.

Baru pada 1970-an, Gubernur Ali Sadikin paham bahwa penduduk asli ini butuh identitas diri. Ia pun menjadikan budaya Betawi sebagai identitas budaya Jakarta. "Di situlah baru kepercayaan diri mereka meningkat lagi," ujar Rizal menegaskan.

Dalam kemunculan itu, menurut Rizal, orang Betawi mulai menyingkirkan anggapan buruk yang berkaitan dengan asal-usul mereka. Bahkan, katanya, sempat ada cerita tentang bangsawan Betawi. Mereka mengaku keturunan Pangeran Jayakarta yang dikuburkan di Jatinegara Kaum. Padahal, penelitian menunjukkan tak ada hal semacam itu.

"Cerita itu hanya isapan jempol. Itu adalah bentuk perlawanan budaya orang Betawi terhadap rasa inferior yang selama ini ada di antara mereka," ucap Rizal.

Pada era itu pula mulai terbentuk elite Betawi. Organisasi Betawi juga mulai berdiri seperti LKB (Lembaga Kebudayaan Betawi), KMB (Keluarga Mahasiswa Betawi), dan PWB (Persatuan Wanita Betawi).

Selain itu, orang Betawi pun mulai mengajukan calon mereka menjadi Gubernur DKI Jakarta. Sayang, sistem pemerintahan Orde Baru (Orba) tidak mendukung. Pasalnya, gubernur di zaman Orba ditunjuk langsung oleh pemerintah. "Paling banter, anak Betawi jadi wakil gubernur.''

Setelah Orba runtuh, sejak itulah mereka mendukung habis-habisan calon yang "putra Betawi asli". Terkait pemilihan Gubernur baru-baru ini, ujar Rizal, adalah mimpi historis orang Betawi untuk menjadi tuan di rumah sendiri.

"Meski Foke (Fauzi Bowo) menang, tapi banyak orang Betawi yang memilih tidak rasional. Mereka sangat ingin menang. Semodern apa pun pilkada itu, tetap disikapi secara tradisional," tuturnya.

Tuesday, August 07, 2007



Mengkaji Akar Hubungan Sains dan Sastra


Bahasa sastra dan bahasa matematika sama-sama bermuatan ambiguitas.

SELAMA ini khasanah sastra Indonesia belum ada yang menggunakan kerangka scientific (sistematis), baik dari metode atau istilah. Padahal di negara-negara lain, fiksi sains (science fiction) sudah lazim diterima dan diminati banyak orang.

Apakah kemampuan manusia untuk menyentuhnya belum mencukupi? Apakah fenomena tersebut juga menunjukkan masyarakat kita sebenarnya rasional, tapi pada praktisnya masih imajinatif?

"Dalam mengambil kebijakan ekonomi ataupun pemilihan presiden juga belum tentu dengan cara-cara yang rasional," tutur sastrawan Radhar Panca Dahana.

Meski bukan barang baru, kaitan antara sains dan sastra tetap saja menarik untuk dibicarakan. Bertempat di Bentara Budaya, Jumat (3/8), Bale Sastra Kecapi menghadirkan ahli filsafat Karlina Supelli, budayawan dan pengamat ilmu Yasraf Amir Piliang, serta sastrawan Nirwan Ahmad Arsuka untuk membicarakannya.

Menurut Nirwan, pada dasarnya sains dan sastra berasal dari satuan yang sama, yaitu ilmu (logos). Keduanya juga beririsan pada dua ranah, yaitu metafisis dan formal.

"Keduanya berupaya mengajukan model-model tentang kenyataan dan bermain dengan manipulasi simbolik," ujar Nirwan saat memaparkan makalah Model Kenyataan: Keajaiban Nalar dan Keistimewaan Imajinasi.

Model-model kenyataan, katanya, selalu mencoba dengan segala cara untuk menempatkan manusia dalam ruang dan waktu. Pada sains, model kenyataan itu tampak jelas pada kosmologi, mekanika kuantum, dan biologi-evolusioner. Manipulasi simbolik dilakukan sastra melalui bunyi atau aksara yang membentuk dan menunjuk sebuah kata. Sedangkan pada sains, manipulasi ini terlihat jelas pada matematika murni.

"Karena matematika murni membangun bahasa dasarnya dari bilangan dan operasi matematika," katanya.

Tentu saja kedua bahasa punya perbedaan. Hubungan antara tanda dan makna dalam sastra tidak konsisten. Sebagai contoh, kalimat yang sama jika diucapkan berbeda akan menghasilkan makna berbeda pula. Namun, dalam matematika, makna selalu tetap.

"Yang membuat matematika berkembang pesat adalah hubungannya yang kukuh dan bersifat universal, sehingga bisa disebarluaskan tanpa terjadi perubahan makna."

Dualisme
Oleh karena itu, konsistensi matematika lah yang selalu digunakan dalam menguji alam semesta. Hanya, perkembangan sains juga membawa efek besar lainnya, yakni berubahnya ''dualisme gelap-terang.'' Padahal pandangan itu diwariskan lewat sastra.

Pada dasarnya, dualisme muncul pada seluruh agama monoteisme, budaya lokal, dan pengalama-pengalaman manusia. Selalu ada baik-buruk, menang-kalah, tinggi-rendah, besar-kecil.

"Masalahnya, dualisme tak hanya memberi gambaran palsu, tapi juga kedudukan palsu. Misalnya saja, setiap agama percaya kedudukannya paling tinggi dan agama lain adalah 'sang lain'. Padahal sains menganggap asal manusia sama. Mereka yang beragama cenderung menolak sains karena kedudukan mereka yang istimewa dihancurkan oleh sains," ucap Nirwan.

Selama ini semua cerita besar bisa bertahan karena berhasil melayani kebutuhan manusia akan dualisme. Jika ada fiksi ilmiah yang bagus, demikian Nirwan, ia tak akan dibaca dan disebaraluaskan. Manusia, katanya, menyukai hal-hal yang bisa disederhanakan dan tak betah dengan kejelasan yang ditunda atau wilayah abu-abu."Dan pengarang bisa masuk ke daerah itu," ujarnya menegaskan.

Akan tetapi, menurut Karlina, sains dan sastra tak saling bertegangan. Keduanya adalah cara manusia menghidupi pengalamannya di dunia. Keduanya adalah kaki kanan dan kiri, serta tak bisa dipilih karena hanya dengan dua kakilah manusia bia melangkah.

Mengapa demikian?

Dalam ilmu kosmologi, 96 persen alam semesta adalah materi gelap atau tak dapat diamati. Sisanya, 4 persen, adalah bintang, planet, galaksi, meteorit, dan sebagainya. "Dan sains berdiri di atas yang empat persen ini," ujar Karlina, yang juga mendalami ilmu astronomi tersebut.

Oleh karena itu, demikian Karlina, ilmuwan sejati paham benar bahwa realitas sesungguhnya jauh lebih rumit dari teori-teori yang ada. "Ada banyak detail yang tertinggal. Pada dasarnya teori adalah konstruksi imajiner untuk diuji secara empiris."

Bahkan, persamaan paling indah pun, yakni E=MC2, adalah hasil konstruksi imajiner di atas kertas. Dan ternyata persamaan itu bisa menerangkan gravitasi. Menurut Karlina, selama ini orang Indonesia terlalu memuja sains dan teknologi, tapi mengerti hanya sepotong-sepotong. Kalaupun ada kritik tentang sains, biasanya tak ada pemahaman utuh yang sesungguhnya tentang sains itu.

"Kebanyakan filsafat ilmu yang diajarkan di perguruan tinggi adalah filsafat science fiction para pengajar filsafat. Bukannya filsafat sains-nya para ilmuwan," tutur Karlina menguraikan.

Di sisi lain, sastra dikenalkan dengan cara-cara yang amat membosankan. Selama ini sastra dianggap sebagai bagian dari pelajaran bahasa. Padahal, sastra adalah tempat di mana manusia dapat mengkristalkan pengalamannya akan realitas yang terus berubah.
Jika manusia tak menggunakan sains dan sastra secara bersamaan, maka ia tak akan menemukan bilik di antara keduanya.

"Padahal, di dalam bilik itulah menyalir bunyi yang punya lekuk, yakni fisika gelombang, dan kata yang punya sosok seperti dalam pusi," ucap Karlina. (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, RAbu, 8 Agustus 2007.
Terperangkap Dua Bingkai Budaya


MESKI penulisannya sama, tapi sastra bisa ditafsirkan berbeda-beda. Sebaliknya, dalam sains selalu bermakna sama karena ditampilkan secara sistematis. Mungkinkah sastra disajikan dengan metode sains? Atau bisakah sains dalam buku pelajaran disampaikan dengan pemaparan yang lebih indah seperti sastra?

Menurut pengamat ilmu dan budayawan Yasraf Amir Piliang, cara kerja sastra dan sains saling memengaruhi. "Dalam membuat sains fiksi, misalnya, ada penelitian dan eksperimen yang harus dilakukan. Lihatlah bagaimana karya Dan Brown yang penuh dengan hasil riset itu,'' ujar Yasraf.

Sebaliknya, banyak karya sains fiksi merupakan cetak biru pengembangan sains pada masa mendatang. Salah satu contohnya adalah novel William Gibson yang ditulis sekitar 1960-an berjudul Neuromancer. Novel itu melukiskan sebuah "tanah impian baru" berupa rekaan dunia maya yang dibentuk oleh jaringan komputer yang terkoneksi secara global, yang disebutnya matrix.

"Fiksi ilmiah ini menjadi realitas keseharian abad informasi yang kita kenal sebagai internet atau realitas virtual," ujar Yasraf.

Sayang, perkembangan sains dan teknologi serta sastra di Indonesia masih terperangkap dalam dua bingkai budaya, yaitu utopia dan distopia. Utopia merayakan sains dan teknologi dalam ekspresi dan narasinya. Sedang sastra distopia melukiskan masa depan yang kelam dan suram karena perkembangan sains dan teknologi yang tak bisa dikendalikan.

"Kecenderungan umum dalam sastra Indonesia adalah spirit distopia," kata Yasraf.

Sejauh ini, di Indonesia, sains dan sastra dipisahkan tembok besar. Orang sains tidak tahu sastra dan sebaliknya. Namun, sudah mulai muncul pemikiran baru bahwa keduanya bisa saling berkomunikasi. "Dan ini terlihat dalam ilmiah populer," katanya.

Perkembangan mutakhir teknologi informasi membuat sastra elektronik (electronic literature) berkembang. Lihatlah pada situs, blog, atau mailing list sastra. Sastra pun berkembang menjadi semacam sastra jaringan (net-literature) dimana komunitas-komunitas sastra berinterkasi dan berkolaborasi secara virtual.

"Tapi perkembangan ini hanya peralihan medium semata-dari teks ke arah hiper-teks, dari kertas ke realitas virtual. Belum ada perubahan substansi dan isi karya sastra itu sendiri. Prinsip-prinsip sains dan teknologi, pada kenyataannya, belum banyak memberi 'roh' pada ekspresi karya sastra," ucap Yasraf.

Hal senada dikatakan sastrawan Nirwan Ahmad Arsuka. Bahkan Nirwan melihat perlunya sebuah pendidikan bagi publik (public education) agar memahami khasanah sains dan sastra. Jika cara kerja sains dimanfaatkan untuk menghasilkan karya sastra, sejauh ini masih terbatas pada model penulisan. "Belum pada isi tulisan," ucap Nirwan.

Sedangkan ahli filsafat, Karlina Supelli, melihat intuisi yang digunakan dalam menulis sastra bukanlah wangsit atau wahyu. "Intusisi ini perlu dilatih. Nalar ilmiah perlu dilengkapi juga dengan kandungan berpikir ilmiah." (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, Rabu, 8 Agustus 2007.
Mengurai Benang Kusut dalam Kelas


Guru paham bahwa mereka tak boleh otoriter, tapi susah sekali mempraktikkannya.

Pada sebuah sore, puluhan guru berkumpul di Teacher Institute, Sampoerna Foundation, Sudirman, Jakarta Pusat. Mereka datang dari berbagai tingkat sekolah, dari Taman Kanak-kanak hingga Sekolah Menengah Atas.

Mereka datang untuk berbagi satu hal, kiat menciptakan suasana kelas yang nyaman agar siswa betah belajar. Mereka datang dari berbagai wilayah, ada yang dari Jakarta, Depok, Tangerang, Lampung, hingga Bandung.

Mereka, sekitar 70 tumplek bleg, baik dari sekolah negeri maupun sekolah swasta isu-isu seputar manajemen sebuah kelas. Titik, salah seorang peserta, mengatakan untuk menegakkan disiplin, guru harus fokus pada murid "si trouble maker" (pembuat onar).

"Kalau perlu, si trouble maker ini yang kita jadikan ketua kelas. Kalau guru memberinya tanggung jawab, otomatis dia akan mengatur dirinya sendiri dan juga mengatur kelas. Kalau dia sudah disiplin, maka yang lain akan mengikuti," kata Titik.

Sedang menurut Willy, peserta yang lainnya, guru harus menyosialisasikan disiplin ke murid. Kalau perlu, tambahnya, kalimat dalam tata tertib diubah. Sebagai contoh, daripada menulis "Dilarang Merokok" lebih baik menulis "Terima Kasih untuk tidak merokok'.

Fasilitator forum, Jalu Noor Cahyanto sejalan dengan Willy. Menurutnya, sosialisasi aturan di kelas mutlak diperlukan. "Dari awal diumumkan agar guru dapat bersikap tegas," ujar Jalu.

Ada juga trik-trik melumpuhkan kebiasaan nyontek. Di antaranya membalik meja agar siswa tak bisa menggunakan kolongnya, membuat soal dalam bentuk esai, atau membuat variasi soal.

Yang tak kalah pentingnya adalah guru mengawasi dari bangku paling belakang. Jalu bilang, cara ini efektif membuat siswa merasa diawasi. Jadi, mereka akan selalu memperhitungkan setiap gerak yang mereka buat.

Tapi, bagi siswa yang jelas-jelas menyontek, tentu saja tak ada toleransi. Diskusi ini sebagai pengantar untuk mengetahui kecenderungan guru dalam mengajar. Mereka membahas pula profil manajemen kelas yang terbagi empat tipe.

Yakni menejemen kelas, yaitu authoritarian (otoriter), authoritative (delegatif/efektif), laissez-faire (permisif), dan indifferent (tak acuh). Guru dengan tipe otoriter biasanya memiliki kontrol dan batasan yang ketat terhadap siswa, tak pernah mengubah posisi duduk siswa, tak menerima masukan dari siswa, kelas cenderung sunyi karena siswa tak boleh menginterupsi, dan tak ada variasi dalam mengajar.

Sedang guru tipe delegatif, biasanya terbuka terhadap kritik, memotivasi siswa, tegas namun ramah, selalu memberi alasan terhadap keputusannya, mengubah-ubah letak duduk siswa, dan membebaskan siswa berkomunikasi sepanjang relevan dengan pengajaran.

Pada tipe ketiga atau permisif, guru cenderung tidak tegas dalam menjalankan peraturan kelas, terlalu memerhatikan emosi siswa daripada kesuksesan mengatur kelas, cenderung menjadi teman bagi siswa, permisif, dan semuanya terserah pada siswa.

Pada tipe acuh tak acuh, guru sama sekali tak ada minat dan perhatian pada siswa, tak mau terlibat dengan siswa, tidak kreatif sehingga menggunakan materi yang sama tiap tahun, dan tak pernah memotivasi siswa.

Beberapa bulan lalu, Teacher Institute pernah mengadakan survei profil manajemen kelas guru SD dan SMP di DKI Jakarta. Namun, terbatas pada peserta yang mengikuti kegiatan mereka saat itu.

Ternyata, tipe yang paling banyak adalah delegatif, lalu permisif, diikuti oleh otoriter dan tak acuh. "Kebanyakan mereka sudah paham secara konsep. Tapi, waktu kita follow up praktik mengajar mereka di sekolah, ternyata cenderung otoriter," kata Jalu yang juga praktisi pendidikan di Teacher Institute.

Meski paham bahwa tata letak kelas harus diubah agar siswa tak bosan, namun sedikit sekali yang melakukannya. "Siswa lebih cenderung bermain sendiri dan tak ada peraturan yang dibuat," terang Jalu.

Padahal, katanya, guru mutlak menciptakan suasana yang kondusif untuk pelajaran. Jika manajemen kelas baik, maka otomatis siwa akan menganggap kelas sebagai milik mereka.
Siswa belajar bukan karena guru otoriter tapi karena mereka merasa menjadi bagian dalam proses itu.

"Otomatis pembelajaran pun akan lebih optimal. Siswa sadar bahwa jika dia berbuat sesuatu yang tidak baik, otomatis semua kegiatan belajar akan terganggu."

Selain itu, peraturan kelas harus dibuat bersama. Dengan demikian, siswa akan merasa bertanggung jawab untuk mewujudkannya. Guru juga harus kreatif. Seorang guru harus tahu bagaimana membuat perubahan yang dapat memotivasi siswa untuk belajar.
(Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, Senin, 30 Juli 2007.


Taman Menuju Kelas Dunia


Science Park UI bakal dijadikan sebagai inkubator ilmu dan bisnis.

BERPREDIKAT sebagai perguruan tinggi nomor satu di Tanah Air, Universitas Indonesia (UI) dituntut terus mengembangkan diri demi peningkatan kualitas. Salah satu upaya mencapai tujuan tersebut, UI pun kini serius menyiapkan pembangunan Science Park (Taman Ilmu) yang bakal dijadikan sebagai inkubator ilmu dan bisnis.

Taman itu akan dibangun di atas lahan seluas 107.189 m2 dengan tiga blok bangunan terpadu untuk pengembangan disiplin ilmu yang berbeda. Laboratorium di Blok I akan mengakomodasi penelitian berbasasi biomedik dan bioteknologi, Blok II untuk penelitian berbasis teknik dan fisika, dan Blok III untuk penelitian yang berkaitan dengan kepentingan surveillance, teknologi informasi, dan humaniora.

Selain itu, Science Park UI juga dilengkapi beberapa fasilitas, seperti selasar dan plaza untuk pedagang, sports club, dan hotel bintang lima dengan 396 kamar. Taman tersebut juga dilengkapi perpustakaan maya dengan 2.000 komputer (internet e-library), serta menyediakan koleksi buku dalam tiga bahasa: Indonesia, Inggris, dan Mandarin.

Menilik fasilitas-fasilitas tersebut, jelas pembangunan Science Park UI membutuhkan dana besar. Diperkirakan proyek tersebut akan menelan biaya sekitar Rp526 miliar (rinciannya lihat data).

Ditemui di kediamannya, Sabtu (4/7), Rektor UI Gumilar Rusliwa Sumantri mengatakan, sumber pendanaan proyek tersebut harus sah dan bisa dipertanggungjawabkan. Menurut dia, ada beberapa mekanisme pendanaan yang bisa ditempuh, yaitu kerja sama dengan program corporate social responsibility (CSR) perusahaan, clean development mechanism (CDM), hibah, dan investasi.

Gumilar mengatakan, sejauh ini sudah ada beberapa perusahaan yang menyambut positif tawaran kerja sama pembangunan taman tersebut. Dia belum bersedia menyebutkan nama-nama perusahaan dimaksud. Dia hanya mau memberi tahu bahwa beberapa perusahaan itu bergerak di bidang elektronik dan farmasi.

''Tentu saja ada rambu-rambu dalam kerja sama itu. Semuanya harus jelas secara hukum tentang apa dan bagaimana pelaksanaannya. Harus win-win cooperation bagi UI, perusahaan tersebut, dan bagi bangsa,'' ujar Gumilar.

Sebenarnya tujuan utama UI membangun taman ilmu itu adalah untuk mengintegrasikan semua fakultas menjadi sebuah universitas yang padu, pendidikan berbasis riset, dan mewujudkan enterprising university (universitas berbasis bisnis).

UI pun siap mengarahkan sumber dayanya untuk riset, sehingga bisa tercipta sinergi antarilmu. Dengan taman tersebut, diharapkan riset di UI lebih produktif serta siap untuk dikomersialkan atau dimanfaatkan langsung oleh masyarakat.

''Di sana juga akan ada bengkel UKM (usaha kecil dan menengah) untuk memberdayakan UKM,'' kata rektor yang sosiolog itu.

UI, demikian Gumilar, telah memiliki modal kuat membangun taman tersebut berupa citra institusi, kekayaan intelektual, dan pelbagai fasilitas seperti perpusataan dengan koleksi hingga 470 ribu buku, 200 laboratorium, serta 94 pusat riset dan kajian.

Oleh karena itu, taman ilmu benar-benar diharapkan mampu memadukan riset multidisiplin UI dalam wadah inkubator ilmu dan bisnis. ''Diharapkan kurang dari lima tahun kuantitas dan kualitas HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual) UI akan berlipat ganda. Selama ini memang belum berkembang pesat,'' tutur Gumilar.

Selain itu, pembangunan dan pengembangan taman ilmu diharapkan bisa membawa UI masuk jajaran lima besar universitas di Asia Tenggara (ASEAN), 10 terbaik di Asia, dan 100 universitas terbaik di dunia. Untuk mencapai target-target tersebut, UI juga akan memperkuat tata kelolanya, transparansi sektor keuangan, serta memperbaiki sumber daya manusia (SDM).

Untuk faktor terakhir itu, Gumilar berencana melakukan evaluasi SDM. Termasuk dalam kebijakan ini adalah merekrut tenaga baru yang berkualitas dan meningkatkan tenaga yang sudah ada. Peningkatan kesejahteraan staf pengajar dan karyawan jelas juga menjadi prioritas mengingat hal itu berkaitan erat dengan profesionalisme mereka.

''Yang paling penting, taman ilmu ini bisa mengimplementasikan research and teaching without walls (penelitian dan pengajaran tanpa sekat-sekat),” ucapnya.



Belajar Tanpa Sekat dan Sukses Revolusi Ponsel


DALAM sejarahnya,Universitas Indonesia (UI) merupakan penyatuan dari beberapa sekolah yang didirikan pada masa penjajahan Belanda. Dalam perkembangannya, beberapa sekolah akhirnya berdiri sendiri. Sebagai contoh, Institut Pertanian Bogor (IPB) yang tadinya adalah Fakultas Pertanian UI dan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang sebelumnya Fakultas Teknik UI.

Menurut Rektor UI Gumilar Rusliwa Sumantri, tradisi fakultas-fakultas di UI begitu kuat mengingat pada awalnya mereka adalah sekolah-sekolah yang berdiri sendiri. Padahal, sebuah universitas harus padu agar bisa tercipta pembelajaran dan penelitian tanpa pelbagai sekat.

''Jadi betul-betul bisa terbangun komunitas UI yang di dalamnya terjadi sharing, baik itu SDM, fasilitas, administrasi keuangan, serta riset dan pengembangan,'' ujar Gumilar kepada Jurnal Nasional.

Sejauh ini yang terjadi adalah belum terintegrasinya antarkurikulum di fakultas-fakultas itu. Gumilar mencontohkan, seorang mahasiswa ilmu komputer tidak bisa mengambil mata kuliah yang ada di fakultas hukum.

''Nantinya akan kita arahkan kurikulum itu mayor dan minor. Seorang mahasiswa bisa mengambil ilmu komputer sebagai mayor dan minornya bisa ambil hukum atau apa saja sesuai minat,'' katanya menjelaskan.

Gumilar berharap UI pada masa mendatang bisa mengeluarkan ijazah bagi ilmu yang sedang berkembang, meski tak ada dalam program atau fakultasnya. Misalnya, ada mahasiswa yang mau belajar bioinformatik yang merupakan perpaduan antara berbagai disiplin ilmu, seperti biologi, hukum, matematika, engineering, dan kedokteran.

''Faktanya, bidang itu berkembang di mana-mana dan penting untuk menopang peradaban. Jadi, kenapa tidak? Mahasiswa bisa mengambil mata kuliah lintas fakultas selama kreditnya cukup dan ada dosen yang bisa membimbing untuk kemampuan di bidang tersebut,'' ujar Gumilar.

Interdisiplin itu juga dapat mendukung taman ilmu yang akan dibangun UI mengingat perkembangan teknologi tak bisa didukung dari hanya satu ilmu. Gumilar mencontohkan perkembangan telepon seluler (ponsel). Sebuah ponsel, katanya, merupakan hasil riset dari beragam bidang ilmu.

''Coba bayangkan ada berapa disiplin yang terlibat dalam pembuatan ponsel itu, mulai dari seni, kimia, fisika, matematika, informatika, pemasaran, dan komunikasi. Jadi research akan hasilkan sesuatu yang dahsyat dan berguna bagi peradaban,'' tuturnya. (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, Senin, 6 Agustus 2007
Mengoptimalkan Fungsi Komunitas Sekolah


HAMPIR tak ada cara yang sama dan seragam dalam mengelola sekolah. Setiap manajemen sekolah, yayasan, administrasi, ataupun guru, punya cara tersendiri dalam menjalankan fungsinya.

Cara yang diterapkan sebuah sekolah yang terbilang sukses, belum tentu berhasil jika diterapkan di sekolah lain. Lantas, bagaimana caranya mengoptimalkan pengelolaan sekolah, yang jelas bermatra peningkatan kualitas siswa dan juga daya saing sekolah?

Aulia Prima Kurniawan, konsultan manajemen, mengatakan, sekolah bisa mengadopsi knowledge management (manajemen berbasis pengetahuan) yang biasa diterapkan di organisasi bisnis. Dengan kata lain, sekolah harus menetapkan visi, misi, strategi, cetak biru, alur kerja, dan kolaborasi. Pemegang kebijakan sekolah harus menciptakan budaya yang mendukung hal tersebut.

"Sekolah harus membudidayakan pengetahuan untuk menggiring organisasi menuju daya saing yang lebih baik. Memang akhirnya harus ada intervensi teknologi karena, bagaimanapun, sistem ini harus berjalan sendiri dalam komunitas yang ada di sekolah," ujar Aulia dalam seminar ''Knowledge Management untuk Sekolah'' di gedung Sampoerna Foundation Teacher Institute (SF-TI), Jakarta, Selasa (31/7).

Sementara itu, Tatang Suratno dari SF-TI menilai, setiap organisasi terdiri dari individu dengan pengalaman beragam. Pada era ini, pengetahuan telah menjadi nilai ekonomi tersendiri dan merupakan aset yang paling berharga.

Jika suatu organisasi bisa menggali pengetahuan yang mereka miliki dan membaginya, sebuah inovasi akan dihasilkan. Contoh sederhanya, guru dapat saling berbagi cara mengajar yang efektif, sehingga kualitas pengajaran pun meningkat.

Tatang mencontohkan SMAN 9 Bandung dan SMAN 1 Lembang, Jawa Barat, yang kini sedang membentuk sebuah lesson study (pembelajaran mata pelajaran). Di bawah bimbingan Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FPMIPA) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), guru-guru MIPA di kedua sekolah tersebut membentuk kelompok diskusi.

Di kelompok diskusi itulah mereka berbagi cara mengajar yang efektif dan menyenangkan. Setelah itu, hasilnya dirumuskan, dipraktikkan, dan dievaluasi. Jika ada yang kurang, maka rencana yang telah mereka susun harus direvisi, kemudian direncanakan pembelajaran selanjutnya. Dalam lingkup yang lebih kecil, sebenarnya mereka telah melakukan knowledge management.

Dari hasil kelompok tersebut, maka saat ini di Sumedang, Jawa Barat, sedang dirancang pembentukan komunitas yang sama. Kelompok ini nanti juga akan dibagi dalam kelompok-kelompok kecil per guru mata pelajaran.

Masih Forum Kumpul-kumpul
Mariti dari Dinas Pendidikan Dasar Provinsi DKI Jakarta menuturkan, komunitas sekolah sebenarnya sudah terbentuk, baik itu musyawarah guru mata pelajaran (MGMP), musyawarah kepala sekolah, pengawas, ataupun kepala seksi (Kasi) tingkat Kecamatan.

Hanya, komunitas itu masih sebatas kumpul-kumpul, belum menghasilkan terobosan ataupun berbagi pengetahuan.

Menurut Aulia, komunikasi yang terjalin seharusnya lebih intens untuk menentukan pengetahuan yang paling selaras dengan perkembangan zaman. Dalam komunitas ini pula tacit knowledge harus digali. Sebab, dari seluruh pengetahuan manusia, 80 persen adalah tacit knowledge, yang melingkupi latar belakang pendidikan, pengalaman profesional, dan pengalaman hidup.

"Karena ada di alam pikiran pengetahuan ini susah ditransfer, tapi juga susah dicuri orang. Ini juga yang bisa meningkatkan daya saing sekolah," ujarnya.
Yang terpenting, setelah digali, pengetahuan tersebut harus didokumentasikan, disimpan, ditata dan diatur, sehingga bisa diakses kapan saja. (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, Rabu, 1 Agustus 2007.
Memaknai Lagi Peran Guru BK


Guru Bimbingan dan Konseling (BK) masih kerap difungsikan tidak sebagaimana mestinya.

PEMBICARAAN tentang peran guru Bimbingan dan Konseling (BK) sangat ramai dalam sebuah blog (www.bimbingankonseling.wordpress.com). Sebuah diary maya itu memang dimaksudkan sebagai forum komunikasi guru BK, baik di dalam negeri maupun negara tetangga.

Pelbagai kesan, saran, dan penilaian terhadap guru BK pun tertuang di sana.
Naniek K, guru BK SMAN 6 Jakarta, menilai, guru BK di desa-desa sejauh ini masih belum berfungsi sebagaimana mestinya.

"Hanya disuruh kepala sekolahnya untuk pukul lonceng atau tukang pencet bel. Kasihan kan? Kalau kepala sekolah yang mau maju, pasti BK ditempatkan yang layak," tulis Nanik di blog tersebut.

Komentar menarik juga datang dari Wannef Jambak, guru BK SMP Negeri 2 Sirandorung, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Menurut dia, dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), guru BK tak digolongkan sebagai kegiatan pengembangan diri, melainkan aktivitas tambahan yang sejajar dengan Unit Kesehatan Sekolah (UKS), Pramuka, atau kegiatan seni. "Menyedihkan sekali," tulisnya.

Wannef tak habis pikir dari mana datangnya pemikiran seperti itu. Di negara-negara Barat, semisal Amerika Serikat, Inggris, atau Prancis, mereka sangat menghargai peran guidance and counseling (bimbingan dan konseling). "Tapi di negeri kita yang corak dan latar belakang budayanya berebeda-beda, malah BK dianaktirikan.''

Memang, tidak semua guru BK ditempatkan tidak semestinya. Hanya, profesi ini lazim dilekatkan dan diidentikkan dengan anak-anak bermasalah, mulai dari yang bernilai jelek, sering telat masuk kelas atau yang sering melanggar aturan sekolah.

Sejatinya ada tiga fungsi yang harus dijalankan seorang guru BK. Pertama adalah remedial. Yakni, membuat siswa berfungsi pada tingkat normal menurut budaya. Dengan kata lain, setidaknya guru BK mampu berperan membantu menghilangkan hal-hal negatif dari seorang siswa.

Kedua, guru BK harus mengembangkan siswa agar mencapai kemampuan psikologi semaksimal mungkin sesuai tahap perkembangannya. Ketiga, fungsi pereventif agar siswa bisa mengembangkan potensi individu, menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan mampu memecahkan sendiri masalahnya.

Ch Wahyudi dari SMP Frater Xaverius 1, Palembang, mengutarakan, banyak suka duka dia jalani selama tujuh tahun sebagai guru BK. Dia bergembira ketika anak-anak mau menumpahkan isi hati mereka. "Menarik napas panjang sebagai tanda sebuah kelegaan bahwa ia telah menemukan sebuah solusi atas kesulitan hidupnya," tulis Wahyudi di blog tersebut.

Selain itu, bergaul dengan anak-anak juga memberinya kesenangan tersendiri. Melihat canda dan air mata mereka, melihat kenakalan mereka, melihat kebengalan mereka, dan melihat segala kepolosan. Dukanya? "Petunjuk dari pemerintah kurang pada tataran operasional. Guru harus merancang sendiri, tidak seperti guru-guru bidang studi," tulis Wahyudi.

Tak bisa dipungkiri bahwa peran guru BK sangat penting untuk menggali dan mengoptimalkan potensi siswa. Selain itu, mereka juga seharusnya berfungsi mengarahkan siswa dalam mengambil pilihan, semisal jurusan atau memilih universitas.

Menurut Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Departemen Pendidikan Nasional, Fasli Jalal, guru BK dituntut memiliki multiple intelligences (kecerdasan jamak). Ini penting untuk mendukung perannya dalam menggali potensi siswa.

Multiple intelligences dikembangkan Howard Gardner, psikolog dan profesor dari Harvard University. Dalam teorinya, Gardner mengemukakan, terdapat tujuh jenis kecerdasan, yakni linguistik, bermusik, logika matematika, spasial, kinestetik, interpersonal, dan intrapersonal.

Dari jabaran teori itu, demikian Fasli, bila seorang siswa menolak mata pelajaran yang tidak diminatinya, itu bukan lantaran dia tidak suka. Bisa jadi siswa berperilaku seperti itu karena merasa diperlakukan tidak adil atau tak diberi kesempatan dan penghargaan di bidang yang sebenarnya dia kuasai.

"Dengan kata lain, siswa dipaksa berpacu dengan orang lain di bidang yang memang bukan multiple intelligence siswa tersebut," katanya.

Untuk memahami seorang siswa, mereka yang berada di sekeliling siswa harus memahami teori itu. Tak hanya guru, tapi juga manajemen sekolah dan orang tua. Dengan demikian, diharapkan mereka dapat membimbing siswa belajar dalam berbagai macam cara dan membantu mengarahkan siswa belajar secara mandiri.

Pelaksanaan BK di sekolah, antara lain, bertujuan agar siswa dapat memahami dan menerima diri sendiri serta merencanakan masa depan atas kekuatannya sendiri. "Mereka dapat membantu siswa memahami dan mengetahui kekuatan dan kelebihan mereka. Diharapkan siswa nantinya mampu mengidentifikasi aktivitas dalam dunia nyata sebagai rangsangan pembelajaran," jelas Fasli.

Kegiatan BK dinilai berhasil bila menekankan pada empat aspek pokok, yakni bertujuan dan makna penuh di mana siswa sebagai subyek pada makna itu. Lalu, menempatkan kegiatan BK sebagai usaha mencari dan menemukan diri sendiri. Hasil proses BK dapat berupa pemahaman, pengertian, kejelasan, kesadaran, perubahan perilaku/kebiasaan, dan perkembangan. Terakhir, hasilnya harus dapat dimanfaatkan siswa untuk menghadapi tantangan hidupnya.

Dengan demikian, praktik-praktik pendidikan harus sejalan dengan psikologi anak. Oleh karena itu, peranan besar guru BK sangat diperlukan. "Guru BK harus lebih profesional dari (guru) yang lain, karena kekuatannya bukan pada portofolio, tetapi kemampuan memengaruhi orang lain. Hal itulah yang paling berat," ujar Fasli.

Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional, Rabu, 1 Agustus 2007



Tradisi Unjuk Rasa di SMAN 70


Unjuk rasa siswa bisa jadi karena mereka tak ingin budaya senioritas itu dihapus.

Sepanjang jalan Bulungan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan ditutup Kamis pagi, 26 Juli lalu. Pasalnya, ratusan siswa SMA Negeri 70 sedang mendemo guru mereka.

Beberapa siswa membawa spanduk atau kertas karton bertuliskan tuntutan mereka. "Jangan hambat kreativitas kami. Kami butuh guru, bukan polisi", "Turunkan Afrizal!", atau "Jangan bekukan ekstrakurikuler".

Aldi, perwakilan Komite Sekolah, menenangkan mereka dan berjanji semua tuntutan siswa akan diselesaikan paling lambat pekan ini. Sekitar pukul 15.00, demo bubar dengan sendirinya dan guru yang dimaksud tak juga menunjukkan batang hidungnya. "Mau bimbingan belajar," kata beberapa siswa yang beranjak pergi.

Demonstrasi atau unjuk rasa sebenarnya bukan hal baru di SMAN 70. Sepertinya, hampir setiap tahun terjadi. Namun, dalam 10 tahun terakhir, baru kali ini aksi mereka dilakukan di jalanan. Isu yang mereka angkat pun beragam, mulai dari teman yang dikeluarkan, pihak sekolah akan membangun kelas di atas lapangan bola, atau karena pelarangan jaket angkatan.

Lalu, apa alasan siswa kali ini mendemo guru mereka, Afirizal? Menurut pengakuan beberapa orang guru, Afrizal memang terkenal disiplin. "Maklumlah, dia baru tiga tahun mengajar di sini. Masih fresh, semangatnya masih ada untuk menghapus senioritas," kata Unro, guru PPKn di SMA 70.

Senioritas memang sudah mendarah daging di sekolah unggulan itu. Mungkin karena sejarah terbentuknya yang unik. SMA ini terbentuk setelah menyatukan SMA 9 dan SMA 11 yang muridnya sering berkelahi.

Untuk membedakan setiap angkatan, SMA 70 mengenal nama angkatan dan warna yang menandainya. Sebagai contoh, lulusan tahun 2001 bernama Trabalista dengan warna abu-abu, tahun 2000 bernama Somoza dengan warna marun, dan 1999 bernama Zapatista dengan warna coklat muda.

Uniknya, di SMA 70 ada pembagian wilayah sekolah, seperti kantin dan tangga. Setiap tahun, dengan berbagai cara, pihak sekolah berusaha menghapus budaya itu. Mulai dari pelarangan jaket hingga membatasi waktu pulang sekolah. Beberapa siswa mengatakan, Afrizal selalu menyuruh pulang murid yang ada di sekolah melewati pukul 3 sore.

"Padahal kita kan ada latihan ekskul," kata siswi kelas tiga IPA yang senang menjelajah alam.

Beberapa siswa yang lain juga mengatakan bahwa sekolah melarang siswa kelas satu mengikuti ekstra kulikuler selama tiga bulan pertama. Padahal, di waktu-waktu itulah biasanya pengurus ekstrakurikuler merekrut anggota baru.

Segala tuntutan siswa dibantah pihak sekolah. Menurut Wakil Kepala Sekolah Bidang Humas, Tati Hariati, siswa yang tak naik kelas pun bukan karena Afrizal. "Di rapor ada nilai kognitif, afektif, dan psikomotorik. Karena dia suka tawuran, maka nilai yang tiga itu kurang, jadi tak naik kelas."

Tentang pembekuan ekstra kulikuler juga dia bantah. "Terhitung minggu depan, siswa kelas satu sudah bisa aktif di ekskul," ujar Tati.

Menurut Guru Bimbingan Penyuluhan, Ahmad Yani, unjuk rasa siswa bisa jadi karena mereka tak ingin budaya senioritas itu dihapus. Bagaimanapun, peluang intimidasi lebih besar di luar jam pelajaran, semisal pada kegiatan ekstra kulikuler.

Namun, kata Yani, upaya menghapus senioritas masih sulit dan tak bisa lepas dari sejarah SMA 70, yaitu penggabungan dua sekolah agar akur. "Saya anggap SMA 70 ini adalah kereta yang belum pas berjalan di relnya. Setiap ada kebijakan untuk menghapus budaya ini, setiap itulah bisa terjadi kayak gini (unjuk rasa). Gesekan pasti terjadi, tapi lama-lama kan bisa pas juga."

Hal serupa dikatakan Kosep, guru sosiologi. Menurutnya, karakter siswa SMA 70 sangat unik. "Mereka anak-anak cerdas dengan tingkat ekonomi menengah ke atas."

Secara umum, siswa SMA 70 sudah komplit. "Yang kurang hanyalah eksistensi diri dan inilah yang mereka cari di sekolah," ujar Yani. (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, Kamis, 26 Juli 2007.
9 Pertanyaan untuk Koh Young-Hun:
Masyarakat Korea Semakin Berminat pada Indonesia



NAMA Prof Koh Young-Hun mungkin masih asing di telinga kita. Maklum saja, ia pakar Bahasa Indonesia dari Korea. Sedangkan Bahasa Korea hingga saat ini belum popular di Indonesia. Kunjungannya di Indonesia kali ini dalam rangka Seminar Internasional Sutardji Calzoum Bachri.

Dia menunjukkan, meski berbeda, namun ada kesamaan antara sastra Indonesia dengan Korea. Bahkan, ia pernah memberi tahu mahasiswanya bahwa orang-orang pintar berusia sampai 27 tahun saja. Kenapa? Karena Chairil Anwar dan Lee Sang meninggal pada usia itu. Keduanya adalah penyair handal di negerinya masing-masing pada masanya. Mereka tumbuh di lingkungan yang sama dan bergaul dengan semua lapisan masyarakat.

"Saya ini sudah 50 tahun. Jadi saya tak bisa lagi sepintar mereka," ujarnya berkelakar.

Apa yang dilakukan Koh saat ini untuk mengenalkan sastra Korea di Indonesia? Berikut petikan wawancara Jurnal Nasional dengannya, Kamis pekan lalu, seusai seminar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

1. Mengapa tertarik belajar Bahasa Indonesia?
Saya masuk universitas tahun 1977. berarti sudah 30 tahun mempelajari sastra Indonesia. Awalnya saya tertarik karena saya anggap Indonesia itu penuh harapan. Saya kira masa depannya akan terang. Dengan begitu, tentunya Korea akan menjalin kerja sama dan pasti saya akan punya peranan di sana.

2. Sejak kapan Bahasa Indonesia dipelajari di universitas Korea?

Di Universitas Hankuk kajian Indonesia sudah ada sejak 1964. Tahun berikutnya, berganti menjadi Jurusan Kajian Melayu- Indonesia (Department of Malay-Indonesian Studies) Hankuk University of Foreign Studies (HUFS). Ini karena bahasa Melayu dan Indonesia hampir sama.

Sudah ada 2.000 lulusan kami dan ada 80 dosen yang mengajar. Bidangnya macam-macam, mulai dari linguistik, sastra, sampai politik. Tahun ini, pihak kami mengundang dua orang dosen tamu dari kedua kajian, salah satunya adalah Tomi Kristomi dari Universitas Indonesia (UI).

Pada tingkat S1, mahasiswa mempelajari sejarah kesusastraan, sastra, masyarakat Melayu dan sebagainya. Di tingkat S2, mahasiwa mengkaji sastra Indonesia lisan dan modern, penulis yang berpengaruh di Indonesia, dan penulis karya Melayu lisan. Sudah banyak lho orang Korea yang mendapat gelar S2 dan S3.

3. Sebaliknya, Bahasa Korea di Indonesia bagaimana?
Kajian Bahasa Korea baru ada tahun lalu di Fakultas Ilmu Budaya UI. Ada sekitar 45 orang yang diterima, setengah dari mereka menerima beasiswa dari perusahaan Korea yang ada di sini.

Lama beasiswanya bermacam-macam, mulai dari setahun sampai empat tahun. Saya pribadi kasih beasiwa ke satu orang, lamanya empat tahun. Minat belajar memang sudah ada. Hanya saja, staf pengajarnya belum cukup. Saat ini ada beberapa yang belajar di Korea, mungkin 3-4 tahun lagi baru jurusan ini bisa mandiri.

3. Berarti Indonesia tak punya ahli Bahasa Korea?

Bisa dibilang begitu. Padahal, merekalah yang dapat membantu kalau kedua negara mau memperluas kerja sama. SBY kan berkunjung ke Korea tanggal 24 Juli ini. Beberapa waktu lalu, ada telepon masuk ke saya bertanya tentang penerjemah.

Kalau ada presiden ketemu presiden, harus ada dua interpreter. Dari Korea ada banyak, tapi orang Indonesia yang interpretasi untuk presiden tampaknya tak ada. Lulusan UI saja belum ada. Jadi, mungkin harus gunakan Bahasa Inggris.

Jadi, pada dasarnya harus ada dua interpreter, dari Indonesia dan Korea. Coba pikirkan kalau hanya orang Korea saja yang menerjemahkan? Bisa-bisa memiringkan makna atau jadi tidak seimbang. Kalau ada makna yang dibelokkan bisa bahaya karena akan memengaruhi kebijakan masing-masing negara.

4. Selain sastra, apa ada persamaan lain antara Korea dan Indonesia?
Menarik sekali membicarakan ini. Tentu saja ada saya kira. Pram (Pramoedya Ananta Toer) pernah menggunakan istilah Koreanisasi pada sebuah makalahnya yang berjudul Indonesia. Pada tahun 1945, saat Jepang menduduki Indonesia, sebenarnya mereka sudah menjajah Korea lebih dulu. Karena itu Pram menganggap pihak Jepang membawa cara menjajahnya ke Indonesia.

Jadi cara efektif untuk menjajah Indonesia itu sudah ada, misalnya saja kerja paksa. Latar belakang budaya kita banyak persamaannya. Di Indonesia ada budaya priyayi, di Korea juga ada. Nilai-nilai dan latar belakang budaya tidak begitu berbeda.

5. Anda mengutip Pramoedya, suka tulisannya?
Ya. Bisa dibilang dia penulis kesukaan saya. Sampai-sampai S3 saya mengambil kajian tentang karya Pram.

Sebenarnya waktu itu saya mau ambil kuliah di Indonesia. Tapi, waktu itu tak ada dosen UI yang mau jadi pembimbing saya. Buku Pram kan dilarang beredar semasa Orde Baru, jadi dosen takut ditangkap. Akhirnya saya ambil gelar doktor di Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Selesai tahun 1993. Disertasi saya tersebut dibukukan dengan judul Pemikiran Pramoedya Ananta Toer dalam Novel-novel Mutakhirnya (1996).

6. Apakah saat ini ada proyek di Indonesia?
Bersama dengan Korea Translation Institute, kami ditugaskan Pemerintah untuk menerjemahkan 12 cerpen Korea ke lima bahasa asing, yaitu Thailand, China, Inggris, Vietnam, dan Indonesia. Cerpen ini mewakili setiap zaman, dari tahun 1950-an sampai 1990-an. Sastra itu kan mencerminkan kondisi masyarakat. Kalau sudah baca 12 cerpen itu, kemungkinanan kita sudah bisa kenal masyarakat Korea pada setiap zaman.

7. Seperti apa bentuk kerja sama antara kedua negara?
Pemerintah kita sudah beberapa kali saling mengunjungi untuk mempererat hubungan. Belakangan, jumlah perdagangan antara kedua Negara mencapai sekitar U$15 miliar, dan penanaman modal Korea di Indonesia sampai sekarang berjumlah U$11 miliar dalam 1.000 proyek.

Kenyataan ini bisa dimaknai bahwa Indonesia adalah negara ke-3 terbesar dalam jumlah penanaman modal Korea di luar negeri. Segala perkembangan kerja-sama dan gejala-gejala di Korea saat ini memperlihatkan bahwa rakyat kami semakin berminat pada Indonesia dalam berbagai bidang.

8. Mereka tertarik juga belajar Bahasa Indonesia?

Tantu saja. Lulusan kami yang 2.000 orang itu selama ini berperan penting. Merekalah yang menjadi peredam masalah yang timbul antara karyawan Korea dengan karyawan Indonesia di tempat kerja. Masalah itu bisa karena beda latar belakang sosial-budaya, nilai filsafat kehidupan dan etos kerja.

Mereka yang pernah belajar Bahasa Indonesia di kampus, tentu lebih kenal Indonesia daripada mereka yang tidak. Mereka berusaha mempunyai pandangan yang berpegang teguh pada nilai-nilai yang dihargai Indonesia melalui pendidikan.

9. Seberapa penting sebenarnya belajar sastra dan budaya kedua negara ini?
Penting sekali. Kalau orang Korea mau kerja sama dengan Indonesia, hanya bawa modal dan teknologi saja tak cukup. Mereka akan gagal karena tak tahu budaya dan latar belakang Indonesia. Saya yakin budaya menopang bidang-bidang yang lain. Kalau tahu budaya, kita tahu juga yang lain.
**
Ika Karlina Idris



Biodata
Nama: Prof Koh Young-Hun
Tempat/Tanggal Lahir: 27 September 1958
Anak:
Koh Byoung-seo
Koh Soo-min
Pendidikan
- Sarjana Jurusan Kajian Melayu-Indonesia HUFS (1981)
- Magister Kesusastraan HUFS (1983), mengkaji novel Perburuan karangan Pramoedya
- S2 di Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia (1986)
- Doktor di Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia (1993)
Pekerjaan
- Ketua Jurusan Kajian Melayu- Indonesia (Department of Malay-Indonesian Studies) Hankuk University of Foreign Studies (HUFS)
- Pusat Kebudayaan Indonesia
- Wakil Ketua Korea Association of Malay and Indonesia Studies
- Wakil Ketua Global Association of Indology and Asia Studies

Dimuat di Jurnal Nasional, Rabu, 25 Juli 2007.
Karya Tardji di Ruang Kelas


Mengajarkan karya-karya Sutardji Calzoum Bachri di ruang kelas butuh kejelian dan kejernihan.

DALAM pengajaran sastra, baik di sekolah maupun perguruan tinggi, terdapat sejumlah fenomena klasik yang selalu muncul terkait karya Sutardji Calzoum Bachri (SCB). Seandainya SCB disejajarkan dengan Chairil Anwar, mau tak mau karyanya harus masuk kurikulum sekolah.

Padahal, menurut Dekan Fakultas Sastra Universitas Nasional Yogyakarta, Suminto A Sayuti, kurikulumnya masih jadi masalah. ‘’Pendidikan sastra berbasis kurikulum memang menyedihkan,’’ ujarnya dalam Seminar Internasional Pekan Sutardji Calzoum Bachri di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Kamis (19/7).

Hanya, itu dapat disiasati sejak adanya ‘’KTSP’’. Pendekatan apa lagi ini? ‘’Maknailah sebagai Kurikulum Terserah Sekolah Panjenengan (Kurikulum Terserah Sekolah Anda). KTSP dapat memberi otonomi pada sekolah. Kalau dikaitkan dengan sastra, maka yang pertama kali diajarkan adalah sastra di daerah. Walaupun belum masuk ke sastra nasional, yang penting dekatkan anak didik ke lingkungan,’’ kata Suminto.

Seperti KTSP itulah yang telah ditempuh Arfani, Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Tambelan, Bintan, Kepulauan Riau. Puisi-puisi SCB yang sarat mantra itu sangat dekat dengan lingkungan tinggalnya. Bisa dimafhumi mengingat sang Presiden Penyair itu memang berasal dari Tanjung Pinang, Riau.

Cara mengajarkannya juga cukup mudah. Arfani, yang juga guru bahasa Indonesia ini, meminta siswanya membuat mantra atau sumpah serapah. Setelah itu, ia pun mengenalkan karya SCB. ‘’Puisinya sarat muatan lokal. Kalau diajarkan ke anak-anak cukup mantap,’’ ujar lelaki yang juga tercatat sebagai Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Bintan itu.

Dalam seminar internasional di TIM ini, beberapa peserta, baik guru maupun penulis turut membincangkan pengajaran karya SCB di sekolah. Karena banyak juga peserta dari luar negeri, semisal Malaysia, Singapura, Portugal, dan Australia, diskusi pun tidak terbatas pada ruang kelas di Indonesia.
Lebih Selektif
Salah satu penyaji materi, Asmiaty Amat dari Pusat Penalaran Ilmu dan Bahasa Universiti Malaya, Sabah, Malaysia, mengkritisi karya-karya SCB untuk dibawa ke ruang kelas. Mungkinkah cerpen SCB yang berjudul Tahi dibacakan di depan kelas? Cerpen itu mengisahkan seseorang yang ingin buang hajat dan membuangnya dalam rantang bekas. Lantas, ada temannya yang sangat lapar memakan tahi tersebut.

‘’Tentu saja, rasanya tak bisa di sekolah. Kalaupun mau membacakan karya Sutardji, harus dipilih sesuai tingkat pendidikannya,’’ ujar Asmiaty.

Selain kurikulum, guru juga selalu terpaku pada puisi-puisi SCB yang terbilang susah. Mereka ingin tahu bagaimana caranya membaca puisi berjudul Kalian yang hanya berisi satu morfem yaitu ‘’Pun’’. Mungkin pula puisi berjudul Luka yang terdiri dari hanya dua morfem, ‘’Ha ha’’.

Arfani memilih tidak mengajarkan puisi tipografi SCB atau puisi lainnya yang rumit dan susah dimaknai. Sebagai contoh, puisi yang biasa ia ajarkan adalah Ah atau Walau. ‘’Kami bantu memparafrasakan puisi berkali-kali. Setelah itu, teorinya kami baca berulang-ulang,” katanya.

Sedangkan Suratman Markasan dari Asas ’50 Singapura mengatakan, harus ada penjeleasan dalam mengajarkan karya SCB. Kalau tidak, makna yang ada di dalamnya tidak akan sampai. Lantas, memberi penjelasan itu menjadi tugas siapa?

‘’Bisa dari kritikus atau dosen. Jika ada penjelasan, maka pengajaran sastra akan terbuka dan berkembang. Tak hanya tertutup dengan pendapat satu atau dua orang saja. Meski maknanya sulit dicari, tetap harus dijawab. Agar sampai maksud penulis kepada khalayak,” tuturnya.

Bersepakat dengan Asmiaty, Suminto setuju harus ada kriteria yang selektif dalam mengajarkan karya SCB. Apa yang cocok dicerna mahasiswa, belum tentu cocok bagi anak SMP atau SMA. Guru harus memperhitungkannya berdasarkan criteria pedagogik, psikologi, ataupun estetika.

Yang jelas, katanya, pengajaran sastra yang baik harus meninggalkan cara meaning getting (pengamitan makna). Selama ini, tema selalu menjadi raja kecil dalam pembelajaran sastra. Tema adalah pertanyaan pertama guru yang diajukan guru saat memberi teks kreatif kepada murid.

‘’Padahal guru sendiri belum tentu bisa merumuskan temanya. Jadi, pengajaran harus bergeser dari pengamitan makna ke pembentukan makna atau meaning making,’’ kata Suminto, yang juga aktif menulis puisi itu.

Proses ini hanya bisa berjalan jika murid dan guru melakukannya bersama-sama. Selain itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan guru atau dosen dalam mengajarkan sastra, utamanya karya SCB.

Pertama, untuk tujuan belajar, guru dan siswa harus mengedepankan sifat kolaboratif. Kedua, untuk peranan, guru harus memberi kesempatan pada siswa untuk bernegosiasi tentang makna. Ketiga, dalam kaitannya dengan metode, guru harus memberi peluang seluas-luasnya kepada siswa untuk mengonstruksi makna puisi yang dihadapinya.

Keempat, dalam kaitannya dengan prosedur pemfungsian kelas, guru harus membiarkan siswa mengonstruksi pemaknaannya masing-masing. Kelima, guru dan siswa harus bernegosiasi tentang isi.

Pengajaran sastra seperti itu, katanya, memang menyaratkan ketersediaan buku dan waktu yang cukup untuk melakukan dialog. Proses reproduksi makna memang dibolehkan asal kreatif. ‘’Jangan sampai makna ditetapkan sekali dan berlaku seterusnya,’’ ucap Suminto. (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, Senin, 23 Juli 2007.
Mengubah Kecenderungan Lama


FENOMENA Sutardji Calzoum Bachri (SCB) dan puisi-puisinya membuat pengajaran sastra di sekolah harus menyesuaikan diri. Tanpa itu, hampir dipastikan pengajaran sastra akan gagal memenuhi fungsi edukatif dan kulturalnya.

Selama ini, tujuan pengajaran sastra mencakup dua hal, yakni agar siswa memperoleh literary experience (pengalaman) dan literary knowledge (pengetahuan). Pengalaman diperoleh melalui kegiatan berapresiasi dan berekspresi sastra. Sedangkan pengetahuan, baik teoritis maupun historis, diberikan untuk bekal memperoleh pengalaman.

Menurut Dekan Fakultas Sastra Universitas Nasional Yogyakarta, Suminto A Sayuti, saat ini terdapat tiga kecenderungan dalam pengajaran sastra. Pertama, jika berkenaan dengan makna teks, guru sering mengistimewakan intensi pengarang secara berlebihan. “Mereka melihatnya sebagai yang terbaik,” kata Suminto.

Kedua, guru cenderung menyarankan bahwa sejumlah interpretasi terhadap teks tak bisa dilakukan dengan sederhana. Bahkan, teks sering dianggap dunia yang tertutup bagi siswa. Ketiga, guru sering mendevaluasi latar belakang dan pengalaman siswa dalam membaca teks.

Semua itu terjadi karena sastra selama ini dianggap sebagai teks yang ditulis oleh individu yang sangat berbakat. Seolah individu itu mendapat
dorongan ilahiah yang secara langsung mengomunikasikan kondisi-kondisi manusia. ‘’Anggapan itu sangat kuat dan mengakar,’’ ujar Suminto.

Sementara pembaca dianggap sebagai individu bebas, ahistoris, bercita rasa baik, dan dapat mengakui adanya satu kebenaran abadi. Hasilnya, pandangan ini membuat siswa percaya bahwa hanya ada satu interpretasi terhadap teks yang benar secara obyektif, sehingga siswa beranggapan bahwa selalu ada hubungan langsung antara bahasa dan realitas.

Padahal, siswa tak mungkin menangkap makna puisi-puisi SCB dengan cara seperti itu. Karya SCB selama ini selalu menolak kata sebagai sarana mengantarkan pengertian. SCB beranggapan bahwa kata adalah pengertian itu sendiri. Kata harus bebas dari penjajahan pengertian dan dari beban ide.

‘’Menulis puisi bagi SCB adalah membebaskan kata-kata dan mengembalikannya pada mantra, sebagai kata pertama,” ucap Suminto.

Jadi, selama pengajaran sastra masih menggunakan cara-cara lama, selama itulah puisi SCB tak bisa dimaknai. (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, Senin, 23 Juli 2007.
Ilmu Mengkritisi Pembangunan


Di Universitas Paramadina, dua kubu ilmu berdebat tentang format pembangunan bagi Indonesia.

BAGAIMANAKAH seharusnya pembangunan bagi Indonesia? Untuk menjawabnya, perdebatan antara dua kubu ilmu pun terjadi di Universitas Paramadina, Jakarta, Kamis (19/7) malam.

Adrinof A Chaniago beridiri di mimbar membaca penelitiannya. Sehari-hari dia adalah pengajar Ekonomi Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Pada acara lecturer series di Universitas Paramadina, Adrinof mengangkat tema ''10 Tahun Guncangan Besar Krisis Ekonomi, Akankah Terulang Lagi?"

Saat membaca, sesekali Adrinof menyindir ''lawan ideologinya'', yakni Rizal Mallarangeng. Rizal memang hadir di acara ini. Selain itu, terdapat pula Francisia Seda, Bambang Sulistomo, Ulil Abshar Abdalla, Halida Hatta, dan Bambang Sujatmiko. Semuanya menyampaikan pemikiran mereka.

Dalam esainya, menurut Adrinof, adalah kesalahan bila visi pembangunan semata-mata mengedepankan ekonomi. Mewakili ilmu sosial dan ekonomi, dia mengklaim bahwa orientasi pembangunan saat ini adalah ekonomi jangka pendek. Pembangunan diarahkan untuk mengejar investasi atau pengumpulan pajak.

Di sisi lain, ekonom maupun ahli ekonomi politik mengabaikan kondisi sosial ekonomi sebagai salah satu varibel penting penyebab krisis. Pembangunan sosial berjalan dalam bentuk bantuan langsung tunai (amal) dan hampir tak ada agenda jelas dalam pembangunan demokrasi.

''Krisis Indonesia tak hanya berawal dari krisis ekonomi atau krisis moneter, tapi karena potensi ketegangan sosial ekonomi dan ketegangan politik yang tumbuh perlahan-lahan," katanya.

Jika kondisi ini terus berlangsung dan jika Indonesia hanya menerima bulat-bulat nasihat ekonom liberal, artinya sama saja menawarkan lokomotif maut. Lokomotif itu akan mengantarkan Indonesia kembali ke jurang krisis.

Seusai Adrinof memaparkan pemikirannya, Rizal menuju mimbar. Tentu, dia dengan pemikiran berbeda di kepala. Menurut Rizal, berbicara visi pembangunan sebagai visi sosial, pada dasarnya adalah nilai kerakyatan. Namun, ilmu politik dan human science, pada tataran konkret, bukan untuk ilmu pembangunan.

Menurut dia, ilmu tersebut sangat sulit mampu memberi sumbangan fundamental bagi pembangunan. "Jika pertanyaannya akankah terulang lagi guncangan besar? Kalau saya pukul rata, guncangan besar pasti tidak akan terulang. Situasi sosial, politik, dan ekonomi, sekarang berbeda. Krisis ekonomi 1997 unik, karena bertemu dengan krisis politik," ujar Rizal menjelaskan.

Dia pun melengkapi paparannya melalui perbedaan saat ini dengan masa Orde Baru, semisal proses perizinan usaha yang lebih mudah ataupun aksi unjuk rasa yang mungkin terjadi di jalan-jalan.


Ilmu dan Pembangunan

Nah, seperti apa sebenarnya peran ilmu-ilmu itu dalam pembangunan? Menurut Sosiolog UI Francisia Seda, pemaparan Adrinof adalah teriakan orang-orang tak berdaya. Kaum yang dimaksudnya adalah ilmuan sosial yang datang dari antropologi, kesejahteraan sosial, atau budaya.

"Ini adalah teriakan orang-orang terpinggirkan," ujar Francisia, yang akrab disapa Eri tersebut.

Selama ini, katanya, ilmuan dari disiplin ekonomi menganggap ilmuwan nonekonomi belum berhasil memberi alternatif strategi pembangunan yang tepat. "Ekonom ini tidak sabar untuk mendengar orang-orang sosial berdiskusi."

Kelemahannya, ilmu sosial kurang bisa menjelaskan fenomena yang ada secara eksak. Sebagai contoh, jika ingin menjelaskan ketimpangan sosial, apa yang akan menjadi parameter? Apakah jumlah warteg (warung tegal), penggusuran tanah, atau lemahnya usaha kecil dan menengah (UKM)? Bagaimana seharusnya mendefinisikan pembangunan?

Jelas semua itu harus memperhitungkan faktor sosial, politik, dan ekonomi. Tapi, ilmuwan sosial biasanya tak tahu bagaimana mengoperasionalkan konsep tersebut. Maka, saat melihat esai Adrinof dengan hitung-hitungan, statisik, model, dan grafis, Eri pun sempat bertanya-tanya, "Kenapa harus pakai ini?"

Namun, Adrinof tak kalah lihai menjawab, ''Kalau tidak ngomong pakai bahasa mereka, kita tidak akan didengarkan."

Padahal, demikian Eri, jika menggunakan statistik, maka ilmuwan sosial akan terjebak, sehingga berpikir seperti ekonom liberal ataupun neoliberal. Adrinof menilai visi ekonomi liberal atau neoliberal itu lemah, tapi Eri berpendapat sebaliknya.

"Justru ekonomi liberal atau neoliberal punya visi kuat, sehingga bisa menjelaskan sesuatu dengan perhitungan eksak, meski krisis moneter memang tidak bisa dijelaskan dengan buku ekonomi mana pun. Sama juga dengan mengatakan bahwa persoalan demokrasi Indonesia tak bisa dijelaksan dengan buku teks politik mana pun. Sekolah di mana pun, tetap saja bingung,'' tutur Eri.

Dia menilai pemaparan Adrinof harus didukung dengan indikator-indikator. Jika itu tidak dipenuhi, maka diskusi hanya sebatas pembicaraan ideologis. Di kalangan akademis, itu bukanlah sanjungan. ''Orang akan menganggapnya tidak ilmiah dan tak ada yang mau mendengarkan.''

Berbicara tentang ilmu sosial, sebenarnya ia juga tak bisa bebas dari ideologi, apalagi bicara tentang pembangunan. Semuanya tergantung dari sisi mana masalah itu dilihat. Para ahli ekonomi dan politik, mulai dari Hal Hill, Ross Garnaut, Ross McLeod, ataupun Andrew McIntyre, semuanya sudah memiliki paradigma tertentu dalam memandang Indonesia.

"Isu boleh berganti-ganti. Tapi pandangan paradigma yang mereka pakai dalam menganalisis biasanya sudah mapan. Maka itu, kita juga harus cermat membaca analisa-analisa para ahli,'' ujar Eri. (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, Selasa, 24 Juli 2007.
Mengoptimalkan Situs Sekolah


Situs sekolah seharusnya interaktif, tidak sekadar menjalankan fungsi kehumasan.

PEMANDANGAN aneh muncul saat Jurnal Nasional awal pekan ini membuka menu "Forum Diskusi" pada situs resmi sebuah sekolah elite di Labschool Cinere. Halaman tersebut menawarkan tiga jenis forum diskusi: diskusi sekolah, konsultasi karier, dan konsultasi sosial politik.

Nah, dalam topik terakhir itu, setelah diklik, ternyata yang muncul adalah menu gambar-gambar pornografi. Klik lagi, ternyata memang benar terhubung ke situs pornografi, mulai dari yang menawarkan sex toys untuk orang dewasa, foto telanjang bintang film luar negeri dan kisah-kisah seks berlatar sekolah.

Hampir setahun muatan ''tak diundang'' itu menghiasi website Labschool Cinere. Jelas bukan orang dalam yang memasangnya, melainkan ulah hacker. Mengapa bisa terjadi?
Ternyata lebih karena tidak ada yang merawatnya. Karyawan atau staf yang biasanya mengurusi situs tersebut sudah pindah kerja ke tempat lain. "Sekarang sudah tak di sini, makanya tak ada yang mengurus lagi," ujar Kepala Bagian Akademik Labschool Cinere, Prawidi Wisnu.

Pada Rabu (18/7) siang lalu, ''muatan kotor'' di situs Labscholl Cinere (www.labschoolcinere.net) itu dipulihkan. Pihak sekolah sudah memasang firewall untuk mencegah terulangnya kejadian itu. "Kami memang sudah lama berencana pasang filter.
Tadi orang yang bisa sudah ke sini dan mengajari kami cara mencegahnya. Nantinya situs ini juga akan kami cek setiap hari," ujar Prawidi.

Selain itu, katanya, Labschool Cinere juga sedang mengurus perpindahan domain. Situs yang sudah ada sejak dua tahun lalu itu akan diubah dengan menggunakan domain sch.id. "Kami akan mengikuti yang ditetapkan pemerintah.''

Pembuatan situs sekolah di Indonesia mulai marak sejak awal tahun 2000. Tapi, hingga kini masih banyak sekolah yang membuatnya dengan prinsip asal jadi. Yang penting ada, tapi belum muncul perhatian serius terhadap muatan informasinya. Tak jarang informasi begitu lama tidak diperbarui (update). Prinsip yang lazim muncul, situs tidak ubahnya company profile booklet. Yang penting ada informasi tentang profil sekolah bersangkutan.

Perhatian juga jarang diberikan pada faktor kemudahan untuk mengaksesnya. Bahkan, dalam pengelolaannya, tak jarang dilakukan sendiri oleh pihak sekolah tanpa didampingi atau dibimbing profesional yang memahami teknologinya.

Informatif dan Interaktif
Di antara sekolah yang cukup memberi perhatian serius terhadap situsnya adalah SMAN 78 Jakarta Barat (www.sman78.com) dan Jubilee School Jakarta (www.jubilee-jkt.sch.id). Meski tujuan awal pembuatan situs untuk menjalankan fungsi kehumasan, tapi informasinya cukup lengkap. Selain itu ada juga layanan interaktif berupa pengiriman SMS dan MMS.

Joko, Deputi Kurikulum SMAN 78, mengatakan, pihaknya membentuk tim khusus untuk pengembangan situs sekolah tersebut. Mereka berencana melengkapi informasi yang ada, misalnya tentang pengumuman nilai atau pendaftaran sekolah, pada tahun depan.

''Semuanya tergantung pembiayaan. Untuk tahap awal, anggarannya kami rencanakan hingga 2010," kata Joko, yang enggan menyebutkan biaya yang dibutuhkan.

Sementara itu, Jubilee School memiliki enam staf khusus untuk menangani Teknologi Informasi-nya. Menurut Ketua Proyek pengembangan situs, Ike Suhartina, sejak dua bulan lalu dia dan timnya menggodok konsep manajemen sistem informasi tersebut.
Nanti semua divisi sekolah (misalnya administrasi, litbang, maupun media centre) bisa memasukkan langsung informasi ke situs mereka.

Pada dasarnya, konsep baru nanti adalah integrasi dari pencitraan sekolah, wadah kreativitas siswa, dan penghubung ke situs lain yang menyediakan informasi seputar pembelajaran.

Tak cukup di situ, para wali murid juga akan diberi identitas (ID) khusus dan sandi (password) untuk bisa masuk mengakses layanan informasi seputar perkembangan belajar dan aspek lainnya pada anak mereka. "Kami ingin situs ini interaktif. Kalau mereka punya ID kan bisa melihat nilai atau rapor bulanan misalnya," ujar Ike.

Jubilee juga menginginkan komunikasi tak hanya lewat situs, namun juga bisa melalui SMS. "Kami berencana pindah ke provider (penyedia layanan internet) lokal agar informasi lebih cepat sampai," tutur Ike.

Lomba Nasional
Pekan lalu, Departemen Pendidikan Nasional mengumumkan pemenang lomba website sekolah tingkat nasional. Tiga pemenangnya adalah SMK 2 Yogyakarta (www.smk2-yk.sch.id), SMA Plus Bina Bangsa Sejahtera Bogor (www.smabbs-bogor.net), dan SMK 41 Jakarta Selatan (www.smkn41jkt.or.id).

Kriteria lomba adalah desain (tata letak dan tipografi warna), struktur dan navigation interface, data dan informasi sekolah, materi pembelajaran, kelengkapan data, penggunaan bahasa, fungsionalitas, dan interaktivitas.

Menurut Siskandar, panitia lomba, situs sekolah adalah media komunikasi antara guru, siswa, dan orang tua. Oleh karena itu, ketiga pihak harus mampu bertinteraksi, misalnya, dengan forum diskusi, chatting, atau link ke media pembelajaran lain.
"Interaktivitas peserta sangat bervariatif. Ada yang sudah bagus, tetapi ternyata pada faktor navigasi maupun penyediaan data lemah," ujar Siskandar kepada Jurnal Nasional. (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, Kamis, 19 Juli 2007



Alam dan Mainan Anak-anak


Meski ketersediaannya cenderung menurun, alam masih menyediakan bahan untuk mainan anak-anak.

SANGAT jarang, bahkan mungkin nyaris tak ada lagi, anak-anak di kota besar bermain ketapel. Mereka kini lebih banyak mengenal bentuk ketapel dari sinetron di televisi atau film. Padahal mainan tersebut cukup gampang dibuat karena hanya mebutuhkan ranting kayu, karet, dan biji-bijian sebagai pelurunya.

Dalam banyak contoh, mainan anak-anak di berbagai suku bangsa, sebagian besar memang dibuat dari bahan yang disediakan oleh alam. Bahan itu bisa berupa daun, bunga, buah, kayu, bambu, maupun tempurung kelapa. Masalahnya, apakah lingkungan di sekitar anak-anak itu masih menyediakan bahan-bahan untuk membuat mainan?

Dulu anak-anak perempuan di daerah Surakarta, Jawa Tengah, mengenal sebuah permainan bernama sumbar suru. Hanya, menurut arkeolog Edi Sedyawati, saat ini permainan sumbar suru tak lagi dikenal. "Berapa orang di antara Anda yang pernah mendengar nama permaianan ini?" katanya pada seminar "Produk Budaya Permainan Tradisional", Kamis (12/7) lalu, di Jakarta Convention Center.

Dari sekitar 150 peserta, ternyata hanya tiga orang yang pernah mengenalnya. Meski demikian, dari tiga peserta yang mengaku pernah mendengar itu, tak ada satu pun yang tahu pasti bagaimana memainkannya. Menurut Edi, permainan sumbar suru membutuhkan biji dari buah sawo kecik. Namun, sawo kecik pun kini jarang dijumpai di pasar-pasar.

Selain lingkungan, mainan tradisional anak juga terbentur pada masalah ekonomi. Ada beberapa bahan dari alam yang sebenarnya memiliki nilai ekonomis lebih tinggi jika dijual sebagai komoditas ketimbang dijadikan bahan mainan. Misalnya, mainan yang terbuat dari batok kelapa, biji-bijian, atau dari mangga muda.

"Kalau mangga muda dibiarkan matang, batok kelapa dipakai untuk arang atau bahan asesoris, tentu akan lebih mahal. Sehingga, penggunaan bahan ini untuk mainan dapat dilihat sebagai ‘saingan' bagi pemanfaatan ekonominya," ujar Edi, Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia.

Untung saat ini beberapa mainan sudah dibuat dari bahan-bahan sintesis. Hanya saja, hal itu seolah-olah menjauhkan anak dari peluang untuk bereksplorasi dan berkreasi di dalam lingkungan huniannya.

Perlu Ruang
Hal senada dikatakan Mohamad Zaini Alif dari Pusat Kajian Mainan Rakyat Sunda, Hong. Saat ini, ujarnya, terjadi pergeseran fungsi dalam bermain atau permainan itu sendiri. Dulu fungsi bermain merupakan bentuk peniruan kegiatan orang dewasa dan menjadi bekal pengetahuan ketika anak sudah dewasa. Sekarang, bermain lebih pada meningkatkan kemampuan motorik dan kreativitas anak. Sementara mainan sendiri banyak yang hanya jadi pajangan rumah.

Sebenarnya, proses bermain di masyarakat bermula sejak pembuatan mainan sampai dimainkan. "Sebenarnya mainan itu lebih mementingkan proses. Sekarang malah mainan diberikan pada anak, lalu anak itu bermain. Mainan harusnya jangan jadi cindera mata belaka," ujar Zaini, pengajar di Institut Teknik Nasional, Bandung.

Menurut dia, mainan tradisional sangat berhubungan dengan alam dan lingkungan, baik dari media, alat, dan aturan. Dengan mainan tradisional, kepekaan seorang anak terhadap alam dengan sendirinya akan dilatih. Zaini, yang pernah melakukan penelitian terhadap mainan anak di seluruh daerah selatan Jawa Barat, menilai anak-anak yang tumbuh di desa lebih mengenal bahan-bahan alam untuk dijadikan mainan. "Mereka juga lebih peka," ujarnya.

Contoh sederhananya, jika ingin mengambil bambu untuk angklung, mereka akan mengambilnya saat terjadi hujan silantang. Hujan ini terjadi lima tahun sekali saat musim kemarau. Menurut Zaini, sebenarnya tak ada hujan, namun terdengar gemuruh yang sangat besar.

"Itulah saatnya mengambil bambu karena kadar air pada bambu sangat kecil. Bambu yang diambil saat itu dapat menghasilkan suara bagus dan tahan lama," tuturnya.

Untuk menghidupkan permainan tradisional, hal pertama yang harus dilakukan adalah menyediakan ruang, baik di desa maupun di kota. Ruang itu adalah "lapangan" untuk melaksanan permaian tersebut. Selain itu, perlu pula diciptakan "lapangan usaha'' untuk memproduksi mainan maupun alat-alat permainan yang sumbernya dari tradisi suku bangsa itu sendiri. Penyebaran mainan itu pun seharusnya dilakukan lintas budaya.

Oleh karena itu, kata Edi, besarnya peran dunia industri dan media massa akan memengaruhi hal tersebut. Transfer budaya dalah hal permainan tak dapat terjadi dengan sendirinya, harus ada penciptaan kesadaran budaya. "Namun tak boleh juga lupa untuk menyisakan peluang kreatif bagi si anak atau remaja untuk merancang dan membuat sendiri alat-alat bermainnya. Bagaimanapun, dunia bermaian adalah dunia yang tak ada titik hentinya," ucap Edi.

Dimuat di Jurnal Nasional, Kamis, 12 Juli 2007.
Perlukah Mendata Mainan Tradisional?


PERLUKAH mematenkan mainan dan permainan tradisional Indonesia? Jika ya, lantas mungkinkah aturan-aturan permainan tersebut distandardisasi?

Dipatenkannya alat musik angklung oleh Malaysia membuat geram bangsa Indonesia. Beberapa peserta seminar "Produk Budaya Permainan Tradisional" pun angkat bicara. Di forum itu pula tercetus ide-ide melestarikan mainan tradisional Indonesia.

Hensah dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan DKI Jakarta berpendapat, mainan tradisional adalah hak budaya Indonesia. Olah karena itu, ia melihat perlunya mainan ini dipatenkan agar tak diambil negara lain.

Sedangkan Tantoro Subagyo dari Masyarakat Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) Indonesia menilai perlunya sebuah riset dan pengembangan yang baik terhadap mainan tradisional. "Di China, setiap sore banyak orang berlatih Tai Chi di taman. Kenapa kita tidak bermaian gobak sodor saja?" ujarnya.

Sri Monarjo dari Dirjen Perfilman Departemen Budaya dan Pariwisata menilai perlunya sebuah sistem informasi kebudayaan. Segala hal yang berhubungan dengan kebudayaan Indonesia harus didata dan dapat diakses oleh masyarakat.

Menurut arkeolog Edi Sedyawati, pencatatan tentang mainan dan permainan memang perlu. Paling tidak, sudah ada data bahwa Indonesia juga memiliki mainan atau permainan tersebut. Hanya, itu tidak mudah dilakukan mengingat sejak dulu selalu ada pengaruh antara budaya yang ada di Indonesia dan budaya dari luar. Pengaruh itu bisa karena penjajahan atau migrasi orang Indonesia ke luar negeri.

"Akibatnya, kita bisa punya warisan budaya yang sama. Sederhananya bisa kita lihat dari jenis mainan atau permainan yang sama di beberapa daerah, walaupun namanya berbeda," terang Edi.

Sebagai contoh adalah permainan congklak atau juga dikenal dengan nama dakon atau macala. Permainan ini terasa sangat Indonesia sekali, padahal hampir di seluruh negara Asia ada mainan serupa ini.

Selain itu, jika ingin membuat sistem penyimpanan data, diperlukan suatu riset besar-besaran. Segala macam dokumen masa lalu harus dibongkar dan dipelajari, sehingga paling tidak khasanah budaya atau asal muasal suatu mainan dan permainan dapat diketahui.

Ika Karlina Idris

Dimuat Jurnal Nasional, Kamis, 12 Juli 2007




Belajar Itu (Seharusnya) Menyenangkan


TAWA anak-anak memenuhi ruangan tempat mereka berkumpul. Rupanya, sedang ada teman mereka yang dihukum berjoget. Anak-anak itu membentuk lingkaran besar dan harus berhitung.

Setiap anak yang masuk dalam hitungan ketujuh, kelipatan tujuh, atau terdapat angka tujuh, harus mengganti bilangannya dengan menyebutkan keras-keras, ''Boom". "Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, boom. Delapan, sembilan, sepuluh, sebelas. dua belas, tiga belas, empat belas...."

Tiba-tiba meledaklah kembali tawa mereka. Rupanya, ada yang lupa menyebutkan bahwa empat belas seharusnya diganti dengan "boom".

Meski terlihat sederhana, namun permainan tersebut bisa melatih konsentrasi anak lewat kemampuan berhitung mereka. Belajar pun menjadi menyenangkan.

Sesi itu adalah salah satu rangakaian acara dalam Forum Anak Nasional (FAN) yang diadakan Organisasi Kemanusiaan Kristen Internasional World Vision dan Wahana Visi Indonesia. FAN yang bertema "Pendidikan yang Memberdayakan" itu digelar sejak 8-14 Juli di Wisma Makara, Depok.

Pada Senin sore (9/7), perserta diberi bimbingan tentang belajar yang menyenangkan oleh Frieda Mangunsong. Pasalnya, karena dalam proses belajar-mengajar yang terjadi, kegiatan di sekolah itu sering dianggap menakutkan, serius, dan dinilai sebagai sesuatu yang amat sulit.

"Padahal, itu bisa jadi hal yang menyenangkan. Tadi kita mulai dengan tertawa-tawa. Menggunakan permaian dalam belajar bukanlah hal yang buruk," kata Frieda, yang juga pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Sebenarnya, apa yang membuat anak-anak enggan datang ke sekolah?

Fani, peserta dari Rote, Nusa Tenggara Timur, mengatakan enggan ke sekolah jika dimarahi guru. Sedangkan Yuliana dari Bovendigoel, Papua, mengatakan pelajaran lah yang biasanya membuat teman sekolahnya malas ke sekolah. "Kalau ada pelajaran matematika, biasanya banyak anak yang tidak masuk."

Lalu, apa yang mebuat mereka senang ke sekolah? Tentunya karena dapat bertemu teman sebaya dan bermain. Paling tidak, itulah yang dikatakan Yuliana, Angga dari Surabaya, Wiwik dari Singkawang, Kalimantan Barat, dan Eliana dari Poso, Sulawesi Tengah.

Pada dasarnya, kata Frieda, cara belajar yang aktif melibatkan banyak hal, mulai dari fisik, akal, dan emosi. Sering kali siswa hanya dicekoki pelajaran, sehingga hilang kekritisannya. Oleh karena itu, harus ada metode belajar yang memberikan kesempatan pada anak untuk mempelajari sesuatu yang konkret.

"Dengan begitu akan memperbesar penyerapan mereka terhadap materi yang diajarkan," katanya.

Sebagai contoh, dalam mengajar soal pengembangbiakan tumbuhan, perlihatkan bunganya dan beri penjelasan yang berkaitan. Jika belajar hanya dari membaca tanpa dialami, maka pelajaran tersebut tak akan menempel.

Penelitian Vernon Magnesson membuktikan, individu belajar sebesar 10 persen dari membaca, 20 persen dari mendengar, 30 persen dari melihat, 50 persen dari melihat dan mendengar, 70 persen dari mengatakan, dan 90 persen dari mendengar dan melakukan.

Lagi pula, sekolah bukan satu-satunya tempat belajar. Sebagian pembelajaran terpenting didapat pada masa kanak-kanak. Sebagian besar di antaranya dengan cara bermain. "Karena itu, minat mereka perlu diciptakan sejak kecil agar anak cinta belajar," ucap Frieda. (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, Selasa, 10 Juli 2007.