Tuesday, August 07, 2007



Mengkaji Akar Hubungan Sains dan Sastra


Bahasa sastra dan bahasa matematika sama-sama bermuatan ambiguitas.

SELAMA ini khasanah sastra Indonesia belum ada yang menggunakan kerangka scientific (sistematis), baik dari metode atau istilah. Padahal di negara-negara lain, fiksi sains (science fiction) sudah lazim diterima dan diminati banyak orang.

Apakah kemampuan manusia untuk menyentuhnya belum mencukupi? Apakah fenomena tersebut juga menunjukkan masyarakat kita sebenarnya rasional, tapi pada praktisnya masih imajinatif?

"Dalam mengambil kebijakan ekonomi ataupun pemilihan presiden juga belum tentu dengan cara-cara yang rasional," tutur sastrawan Radhar Panca Dahana.

Meski bukan barang baru, kaitan antara sains dan sastra tetap saja menarik untuk dibicarakan. Bertempat di Bentara Budaya, Jumat (3/8), Bale Sastra Kecapi menghadirkan ahli filsafat Karlina Supelli, budayawan dan pengamat ilmu Yasraf Amir Piliang, serta sastrawan Nirwan Ahmad Arsuka untuk membicarakannya.

Menurut Nirwan, pada dasarnya sains dan sastra berasal dari satuan yang sama, yaitu ilmu (logos). Keduanya juga beririsan pada dua ranah, yaitu metafisis dan formal.

"Keduanya berupaya mengajukan model-model tentang kenyataan dan bermain dengan manipulasi simbolik," ujar Nirwan saat memaparkan makalah Model Kenyataan: Keajaiban Nalar dan Keistimewaan Imajinasi.

Model-model kenyataan, katanya, selalu mencoba dengan segala cara untuk menempatkan manusia dalam ruang dan waktu. Pada sains, model kenyataan itu tampak jelas pada kosmologi, mekanika kuantum, dan biologi-evolusioner. Manipulasi simbolik dilakukan sastra melalui bunyi atau aksara yang membentuk dan menunjuk sebuah kata. Sedangkan pada sains, manipulasi ini terlihat jelas pada matematika murni.

"Karena matematika murni membangun bahasa dasarnya dari bilangan dan operasi matematika," katanya.

Tentu saja kedua bahasa punya perbedaan. Hubungan antara tanda dan makna dalam sastra tidak konsisten. Sebagai contoh, kalimat yang sama jika diucapkan berbeda akan menghasilkan makna berbeda pula. Namun, dalam matematika, makna selalu tetap.

"Yang membuat matematika berkembang pesat adalah hubungannya yang kukuh dan bersifat universal, sehingga bisa disebarluaskan tanpa terjadi perubahan makna."

Dualisme
Oleh karena itu, konsistensi matematika lah yang selalu digunakan dalam menguji alam semesta. Hanya, perkembangan sains juga membawa efek besar lainnya, yakni berubahnya ''dualisme gelap-terang.'' Padahal pandangan itu diwariskan lewat sastra.

Pada dasarnya, dualisme muncul pada seluruh agama monoteisme, budaya lokal, dan pengalama-pengalaman manusia. Selalu ada baik-buruk, menang-kalah, tinggi-rendah, besar-kecil.

"Masalahnya, dualisme tak hanya memberi gambaran palsu, tapi juga kedudukan palsu. Misalnya saja, setiap agama percaya kedudukannya paling tinggi dan agama lain adalah 'sang lain'. Padahal sains menganggap asal manusia sama. Mereka yang beragama cenderung menolak sains karena kedudukan mereka yang istimewa dihancurkan oleh sains," ucap Nirwan.

Selama ini semua cerita besar bisa bertahan karena berhasil melayani kebutuhan manusia akan dualisme. Jika ada fiksi ilmiah yang bagus, demikian Nirwan, ia tak akan dibaca dan disebaraluaskan. Manusia, katanya, menyukai hal-hal yang bisa disederhanakan dan tak betah dengan kejelasan yang ditunda atau wilayah abu-abu."Dan pengarang bisa masuk ke daerah itu," ujarnya menegaskan.

Akan tetapi, menurut Karlina, sains dan sastra tak saling bertegangan. Keduanya adalah cara manusia menghidupi pengalamannya di dunia. Keduanya adalah kaki kanan dan kiri, serta tak bisa dipilih karena hanya dengan dua kakilah manusia bia melangkah.

Mengapa demikian?

Dalam ilmu kosmologi, 96 persen alam semesta adalah materi gelap atau tak dapat diamati. Sisanya, 4 persen, adalah bintang, planet, galaksi, meteorit, dan sebagainya. "Dan sains berdiri di atas yang empat persen ini," ujar Karlina, yang juga mendalami ilmu astronomi tersebut.

Oleh karena itu, demikian Karlina, ilmuwan sejati paham benar bahwa realitas sesungguhnya jauh lebih rumit dari teori-teori yang ada. "Ada banyak detail yang tertinggal. Pada dasarnya teori adalah konstruksi imajiner untuk diuji secara empiris."

Bahkan, persamaan paling indah pun, yakni E=MC2, adalah hasil konstruksi imajiner di atas kertas. Dan ternyata persamaan itu bisa menerangkan gravitasi. Menurut Karlina, selama ini orang Indonesia terlalu memuja sains dan teknologi, tapi mengerti hanya sepotong-sepotong. Kalaupun ada kritik tentang sains, biasanya tak ada pemahaman utuh yang sesungguhnya tentang sains itu.

"Kebanyakan filsafat ilmu yang diajarkan di perguruan tinggi adalah filsafat science fiction para pengajar filsafat. Bukannya filsafat sains-nya para ilmuwan," tutur Karlina menguraikan.

Di sisi lain, sastra dikenalkan dengan cara-cara yang amat membosankan. Selama ini sastra dianggap sebagai bagian dari pelajaran bahasa. Padahal, sastra adalah tempat di mana manusia dapat mengkristalkan pengalamannya akan realitas yang terus berubah.
Jika manusia tak menggunakan sains dan sastra secara bersamaan, maka ia tak akan menemukan bilik di antara keduanya.

"Padahal, di dalam bilik itulah menyalir bunyi yang punya lekuk, yakni fisika gelombang, dan kata yang punya sosok seperti dalam pusi," ucap Karlina. (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, RAbu, 8 Agustus 2007.

1 comment:

Anonymous said...

laporan yang bagus. (mau dong makalahnya nirwan or karlina)