Wednesday, August 15, 2007

9 Pertanyaan untuk Gumilar Rusliwa Sumantri:
“UI Harus bisa Berubah Dengan Cepat”


Pertama kali bertemu pada Sabtu pagi, 4 Agustus, saya tak menyangka bahwa di hadapan saya berdiri rektor terpilih UI Gumilar Sumantri. Saya membayangkan seorang dosen yang sudah tua, mungkin dengan rambut ubanan atau kepala yang mulai botak.

Gumilar Rusliwa Sumantri atau yang cukup disapa Gumilar saja masih terlihat sangat muda untuk ukuran rektor universitas nomor satu di negeri ini. Ternyata memang benar, usianya baru 44 tahun.

Saat menerima saya, ia mengenakan kaos putih dan celana pendek. “Tadinya saya mau berolahraga. Tapi ternyata kamu datang lebih dulu,” alasannya.

Hidup sehat juga bagian dari ayah tiga anak ini. Selain rutin olahraga, ia juga gemar makan sayur-sayuran. Ia minum temu lawak sambil mengobrol, menambahkan lalap pada menu sarapannya dan menghabiskan segelas jus nanas setelahnya.

Selain itu, rupanya, Gumilar senang bercanda. Selalu ada pengalaman lugunya yang diselipkan.Kami pun mengobrol panjang lebar tentang gambaran UI ke depan dan prinsip-prinsip hidup lelaki kelahiran Tasikmalaya ini.

Berikut hasil petikan wawancara Jurnal Nasional yang berlangsung di kediaman pribadi Gumilar, Perumahan Pesona Khayangan, Depok:

1. Selamat ya pak atas tugas barunya. Berarti ada satu lagi rektor UI yang bukan dari Fakultas Kedokteran (FK)?

Terima kasih. Sebenarnya dari 13 rektor UI, ada lima yang berasal dari fakultas selain kedokteran. Sebelum UI berstatus BHMN (Badan Hukum Milik Negara), rektor dipilih oleh senat univesitas yang anggotanya adalah para guru besar.

Nah, FK itu kan fakultas tertua, jadi tentu jumlah gurur besarnya lebih banyak. Otomatis suara mereka di senat universitas juga lebih banyak dan bisa unggul dalam pemilihan.

Selain itu, tak tertutup kemungkinanan kalau calonnya juga bagus. Tradisi keilmuan di FK memang bagus dan bisa melahirkan pemimpin handal.

2. Kalau sistem yang sekarang seperti apa?
Sekarang, pemilihan dilakukan oleh senat akademik universitas (SAU). Anggotanya adalah perwakilan fakultas, masing-masing lima orang, Dekan, dua orang wakil guru besar, dua orang wakil dosen, rektor, wakil rektor, dan kepala perpustakaan. Totalnya ada 62 orang dan setiap perwakilan dipilih di fakultas masing-masing.

Pemilihan tahap pertama oleh SAU. Waktu itu, ada 13 orang yang dianggap eligible, kriterianya adalah bergelar doktor. Setalah itu, diseleksi lagi jadi tujuh. Lalu, dokumen setiap kandidat dipelajari, ada presentasi dan tanya jawab.

Kemudian ada pemilihan lagi yang dilakukan oleh majelis wali amanat (MWA). Anggotanya menteri, satu wakil mahasiswa, satu wakil karyawan, 11 perwakilan SAU, dan enam wakil masyarakat, di antaranya Emil Salim, Purnomo Prawiro, Alwi Shihab, Rahmat Gobel, dan Fauzi Bowo.

Dengan struktur baru ini, maka kesempatan terbuka lebih besar untuk dipilih dari berbagai fakultas. Pemilihannya memang sangat panjang karena merupakan gabungan dari ileksi (election) dan seleksi. Tak cukup hanya popular dan acceptable, calon juga harus punya kemampuan.

Tapi, kemampuan itu bukan hanya track record tapi juga harus yang dibutuhkan UI, seperti integritas, entrepreneurship, dan leadership. Ketuju calon itu, dievaluasi selama 13 jam oleh independent assessor. Calon yang ada kemarin itu rata-rata baik, tapi mungkin kalau diurut saya yang paling baik. Hahaha…

Jangan lupa, meski pak Usman (Usman Chatib Warsa) itu berasal dari FK tapi dia adalah rektor BHMN pertama. Dia berhasil terpilih meski komposisi pemilih sudah berubah.


3. Gelar Doktor Anda diambil di Jerman. Bagaimana ceritanya sampai bisa ke sana?


Awal jadi dosen di UI, saya pernah jadi asisten professor dari Yale University. Dia ahli kajian Asia Tenggara yang terkenal dan pendiri departemen sosiologi di National Universitiy of Singapore.

Waktu itu saya dapat beasiswa jadi visiting researcher di Khroningen Universitate Belanda. Dia menyarankan saya masuk ke Yale. Tapi pas jalan-jalan ke Jerman, saya malah tertarik di sana karena lihat perpustakaan mereka lengkap dan memang tradisi kajian Asia Ternggaranya termasuk yang kuat di Eropa.


4. Berarti dulu belum bisa bahasa Jerman?


Iya. Waktu mengajukan beasiswa, mereka Tanya, bagaimana saya mau belajar kalau tak bisa bahasanya.

Saya tanya lagi, anda mau kasih saya beasiswa atau tidak? Saya katakan persoalannya bukan bisa bahasa Jerman atau tidak. Kalau mau, saya akan kuasasi bahasa Jerman itu dengan cepat dan baik. Akhirnya dapat.

Dia bilang saya nekat. Dan memang pada dasarnya orang Jerman itu suka kalau kita outspoken. Selesai kuliah saya baru tahu kalau jabatan dia tinggi sekali. Kalau tahu sejak awal, mungkin saya tidak berani ngomong seperti itu. Hahaha…

7. Kebiasaan Anda belajar seperti apa?
Saya termasuk orang yang berani malu. Kalau orang lain mempersipkan dulu, kalau saya nyebur aja. Seperti orang belajar renang.

Dulu, waktu belajar bahasa di Goethe Institute Jerman, saya aktif di kelompok olahraga dan kelompok peminat politik. Suatu kali, ada diskusi politik dan saya menjelaskan tentang ketimpangan dunia utara dan selatan. Di tengah-tengah, saya lupa satu kata. Lama sekali orang-orang menunggu saya mengucapkan kata itu dan sampai saya keringatan karena malu luar biasa. Setiap kali saya mau pakai bahasa Indonesia, guru saya selalu melarang. Jadilah semua orang menunggu saya. Hahaha..

5. Kalau seandainya tidak jadi dosen, anda akan jadi apa?

Saya itu sejak awal masuk UI memang bercita-cita jadi dosen. Mungkin karena ayah saya guru, jadi tradisi pendidik kuat di keluarga kami. Kakak saya juga ada dua orang yang jadi guru.

Waktu masih kecil sekali saya pernah mau jadi Jenderal karena ayah saya kan veteran perang. Saya juga pernah mau jadi dokter karena di desa saya, Tasikmalaya, banyak orang miskin dan sakit. Saya ingin bisa mengobati mereka.

6. Lalu, kok bisa masuk Sosiologi?


Begini, saya dulu sekolah di SMAN Ciawi dan saya angkatan pertama. Guru kimia saja nggak punya dan harus diajar sama guru biologi. Saya pun akhirnya memotori teman-teman untuk bikin bimbingan belajar seminggu tiga kali. Saya bilang ke mereka kalau kita harus masuk UI, ITB, atau Akabri.

Dan buktinya berhasil. Pada masa itu, meski kami lulusan pertama, tapi jumlah siswa yang lulus ke perguruan tinggi negeri lebih banyak daripada seluruh SMA negeri yang ada di Tasikmalaya dan Ciamis.

Tapi, rupanya persaingan di FK UI sangat hebat. Sebagai anak desa ya sulit. Pilihan kedua saya memang sosiologi. Saya rasa punya bakat di sana. Pada dasarnya saya senang menulis, membaca, dan membahas masalah-masalah sosial.

8. Sebenarnya UI ini mau Anda bawa ke mana?
Pada dasarnya, UI ini kan membawa bendera bangsa. UI harus diubah dengan cepat ke arah yang membuat bangsa kita bangga. UI harus jadi universitas berkelas dunia, jadi trend setter, dan energizer.

Kalau itu terjadi dampaknya akan sangat luar biasa. Rasa percaya diri dan harga diri bangsa akan naik. Kita harus tunjukkan bahwa kita juga hebat. Dan ini butuh kerja keras at least lima tahun ke depan.

Tugas saa sebagai rektor adalah membawa mereka ke arah itu. Semuanya harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, kerja keras, stabil, dan win-win solution. Misalnya saja perubahan SDM. Karyawan UI ada sekitar 1.000 orang, tapi kan tidak semua bagus.
SDM ini harus dipetakan. Yang bagus kita kasih apresiasi, yang belum bagus kita baguskan, yang tidak bagus, kita alihkan untuk bekerja di ventura-ventura UI.
Sehingga mereka happy dan lembaga juga untung karena produktivitas lebih baik.

9.Target lainnya?
Saya mau ada ransparansi, pembangunan SDM, dan menerapkan konsep teaching and research without walls (pengajaran dan penelitian tanpa sekat-sekat). Yang paling penting, saya akan perhatikan kesejahteraan mereka. Bagaiamana mau jadi kelas dunia kalau dosen dan karyawan gajinya tidak kelas dunia juga. Paling tidak realistislah. Semuanya kan untuk membawa UI ke arah yang lebih baik. (ika)

Dimuat di Jurnal Nasional, Selasa, 14 Agustus 2007.

No comments: