Tuesday, August 07, 2007

Karya Tardji di Ruang Kelas


Mengajarkan karya-karya Sutardji Calzoum Bachri di ruang kelas butuh kejelian dan kejernihan.

DALAM pengajaran sastra, baik di sekolah maupun perguruan tinggi, terdapat sejumlah fenomena klasik yang selalu muncul terkait karya Sutardji Calzoum Bachri (SCB). Seandainya SCB disejajarkan dengan Chairil Anwar, mau tak mau karyanya harus masuk kurikulum sekolah.

Padahal, menurut Dekan Fakultas Sastra Universitas Nasional Yogyakarta, Suminto A Sayuti, kurikulumnya masih jadi masalah. ‘’Pendidikan sastra berbasis kurikulum memang menyedihkan,’’ ujarnya dalam Seminar Internasional Pekan Sutardji Calzoum Bachri di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Kamis (19/7).

Hanya, itu dapat disiasati sejak adanya ‘’KTSP’’. Pendekatan apa lagi ini? ‘’Maknailah sebagai Kurikulum Terserah Sekolah Panjenengan (Kurikulum Terserah Sekolah Anda). KTSP dapat memberi otonomi pada sekolah. Kalau dikaitkan dengan sastra, maka yang pertama kali diajarkan adalah sastra di daerah. Walaupun belum masuk ke sastra nasional, yang penting dekatkan anak didik ke lingkungan,’’ kata Suminto.

Seperti KTSP itulah yang telah ditempuh Arfani, Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Tambelan, Bintan, Kepulauan Riau. Puisi-puisi SCB yang sarat mantra itu sangat dekat dengan lingkungan tinggalnya. Bisa dimafhumi mengingat sang Presiden Penyair itu memang berasal dari Tanjung Pinang, Riau.

Cara mengajarkannya juga cukup mudah. Arfani, yang juga guru bahasa Indonesia ini, meminta siswanya membuat mantra atau sumpah serapah. Setelah itu, ia pun mengenalkan karya SCB. ‘’Puisinya sarat muatan lokal. Kalau diajarkan ke anak-anak cukup mantap,’’ ujar lelaki yang juga tercatat sebagai Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Bintan itu.

Dalam seminar internasional di TIM ini, beberapa peserta, baik guru maupun penulis turut membincangkan pengajaran karya SCB di sekolah. Karena banyak juga peserta dari luar negeri, semisal Malaysia, Singapura, Portugal, dan Australia, diskusi pun tidak terbatas pada ruang kelas di Indonesia.
Lebih Selektif
Salah satu penyaji materi, Asmiaty Amat dari Pusat Penalaran Ilmu dan Bahasa Universiti Malaya, Sabah, Malaysia, mengkritisi karya-karya SCB untuk dibawa ke ruang kelas. Mungkinkah cerpen SCB yang berjudul Tahi dibacakan di depan kelas? Cerpen itu mengisahkan seseorang yang ingin buang hajat dan membuangnya dalam rantang bekas. Lantas, ada temannya yang sangat lapar memakan tahi tersebut.

‘’Tentu saja, rasanya tak bisa di sekolah. Kalaupun mau membacakan karya Sutardji, harus dipilih sesuai tingkat pendidikannya,’’ ujar Asmiaty.

Selain kurikulum, guru juga selalu terpaku pada puisi-puisi SCB yang terbilang susah. Mereka ingin tahu bagaimana caranya membaca puisi berjudul Kalian yang hanya berisi satu morfem yaitu ‘’Pun’’. Mungkin pula puisi berjudul Luka yang terdiri dari hanya dua morfem, ‘’Ha ha’’.

Arfani memilih tidak mengajarkan puisi tipografi SCB atau puisi lainnya yang rumit dan susah dimaknai. Sebagai contoh, puisi yang biasa ia ajarkan adalah Ah atau Walau. ‘’Kami bantu memparafrasakan puisi berkali-kali. Setelah itu, teorinya kami baca berulang-ulang,” katanya.

Sedangkan Suratman Markasan dari Asas ’50 Singapura mengatakan, harus ada penjeleasan dalam mengajarkan karya SCB. Kalau tidak, makna yang ada di dalamnya tidak akan sampai. Lantas, memberi penjelasan itu menjadi tugas siapa?

‘’Bisa dari kritikus atau dosen. Jika ada penjelasan, maka pengajaran sastra akan terbuka dan berkembang. Tak hanya tertutup dengan pendapat satu atau dua orang saja. Meski maknanya sulit dicari, tetap harus dijawab. Agar sampai maksud penulis kepada khalayak,” tuturnya.

Bersepakat dengan Asmiaty, Suminto setuju harus ada kriteria yang selektif dalam mengajarkan karya SCB. Apa yang cocok dicerna mahasiswa, belum tentu cocok bagi anak SMP atau SMA. Guru harus memperhitungkannya berdasarkan criteria pedagogik, psikologi, ataupun estetika.

Yang jelas, katanya, pengajaran sastra yang baik harus meninggalkan cara meaning getting (pengamitan makna). Selama ini, tema selalu menjadi raja kecil dalam pembelajaran sastra. Tema adalah pertanyaan pertama guru yang diajukan guru saat memberi teks kreatif kepada murid.

‘’Padahal guru sendiri belum tentu bisa merumuskan temanya. Jadi, pengajaran harus bergeser dari pengamitan makna ke pembentukan makna atau meaning making,’’ kata Suminto, yang juga aktif menulis puisi itu.

Proses ini hanya bisa berjalan jika murid dan guru melakukannya bersama-sama. Selain itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan guru atau dosen dalam mengajarkan sastra, utamanya karya SCB.

Pertama, untuk tujuan belajar, guru dan siswa harus mengedepankan sifat kolaboratif. Kedua, untuk peranan, guru harus memberi kesempatan pada siswa untuk bernegosiasi tentang makna. Ketiga, dalam kaitannya dengan metode, guru harus memberi peluang seluas-luasnya kepada siswa untuk mengonstruksi makna puisi yang dihadapinya.

Keempat, dalam kaitannya dengan prosedur pemfungsian kelas, guru harus membiarkan siswa mengonstruksi pemaknaannya masing-masing. Kelima, guru dan siswa harus bernegosiasi tentang isi.

Pengajaran sastra seperti itu, katanya, memang menyaratkan ketersediaan buku dan waktu yang cukup untuk melakukan dialog. Proses reproduksi makna memang dibolehkan asal kreatif. ‘’Jangan sampai makna ditetapkan sekali dan berlaku seterusnya,’’ ucap Suminto. (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, Senin, 23 Juli 2007.

No comments: