Wednesday, August 15, 2007

Seputar Inferioritas Betawi

ORANG Betawi atau penduduk masih menduduki posisi mayoritas warga Jakarta. Paling tidak itu dibuktikan oleh sensus penduduk sejak 1930 hingga 2000. Hanya saja, Betawi selalu dianggap inferior dengan proporsi elite politiknya yang selalu kecil dibanding porsinya dalam masyarakat.

Pada 1967, Lance Castles menulis esai ''Ethnic Profile Jakarta'' yang menyebutkan, orang Betawi merupakan keturunan budak. "Orang Betawi pun melaknat artikel tersebut dan menjadi persoalan besar bagi mereka," ujar sejarawan dan pemerhati Betawi, J.J. Rizal.

Namun, Remco Raben dalam buku Jakarta-Batavia: Esai Sosio Kultural memberi pandangan baru tentang hal ini. Esai ''Seputar Batavia''-nya mengatakan, asal-usul Betawi harus dilihat dari proses mencairnya identitas etnis penduduk Batavia. Pada abad ke-17, jumlah budak tidak pernah melampaui 30 persen dari total penduduk. "Jadi budak bukanlah unsur utama pembentuk etnis ini," kata Rizal.

Meski demikian, menurut Rizal, ada juga pendapat Castles yang bisa diandalkan. Jika ingin dianggap eksis, maka Betawi perlu memperbesar porsi elite politik mereka. Karena hanya orang yang punya kuasa dan kekuatanlah yang dapat mengubah keadaan.

Rizal, yang juga aktif menerbitkan buku-buku tentang Betawi ini, kemudian mengutip tulisan Mona Lohanda berjudul Jabatan Inlandsche Komandan di Batavia. Dalam tulisan tersebut disebutkan bahwa ketiadaan elite modern Betawi karena kurangnya pendidikan dan keinginan pemerintah kolonial.

Awalnya, jabatan Inlandsche Komandante adalah wakil elite lokal di birokrasi kolonial. Namun, pada 1908 jabatan tersebut dihapus. Setelah itu, jabatan elite lokal hanya sampai tingakt wedana. "Sampai puluhan tahun setelahnya tak ada lagi orang Betawi yang menjadi orang berpangkat di tanahnya sendiri."

Hal serupa terjadi pada era pascakemerdekaan. Sekitar 1960-an orang Betawi cenderung menyembunyikan kebetawiannya. Karena mereka malu disebut Betawi, maka penduduk asli Jakarta ini lebih senang disebut sebagai "Anak Jakarta". Rasa inferior itu makin besar karena hampir tak ada elite yang turut dalam peristiwa besar.

Baru pada 1970-an, Gubernur Ali Sadikin paham bahwa penduduk asli ini butuh identitas diri. Ia pun menjadikan budaya Betawi sebagai identitas budaya Jakarta. "Di situlah baru kepercayaan diri mereka meningkat lagi," ujar Rizal menegaskan.

Dalam kemunculan itu, menurut Rizal, orang Betawi mulai menyingkirkan anggapan buruk yang berkaitan dengan asal-usul mereka. Bahkan, katanya, sempat ada cerita tentang bangsawan Betawi. Mereka mengaku keturunan Pangeran Jayakarta yang dikuburkan di Jatinegara Kaum. Padahal, penelitian menunjukkan tak ada hal semacam itu.

"Cerita itu hanya isapan jempol. Itu adalah bentuk perlawanan budaya orang Betawi terhadap rasa inferior yang selama ini ada di antara mereka," ucap Rizal.

Pada era itu pula mulai terbentuk elite Betawi. Organisasi Betawi juga mulai berdiri seperti LKB (Lembaga Kebudayaan Betawi), KMB (Keluarga Mahasiswa Betawi), dan PWB (Persatuan Wanita Betawi).

Selain itu, orang Betawi pun mulai mengajukan calon mereka menjadi Gubernur DKI Jakarta. Sayang, sistem pemerintahan Orde Baru (Orba) tidak mendukung. Pasalnya, gubernur di zaman Orba ditunjuk langsung oleh pemerintah. "Paling banter, anak Betawi jadi wakil gubernur.''

Setelah Orba runtuh, sejak itulah mereka mendukung habis-habisan calon yang "putra Betawi asli". Terkait pemilihan Gubernur baru-baru ini, ujar Rizal, adalah mimpi historis orang Betawi untuk menjadi tuan di rumah sendiri.

"Meski Foke (Fauzi Bowo) menang, tapi banyak orang Betawi yang memilih tidak rasional. Mereka sangat ingin menang. Semodern apa pun pilkada itu, tetap disikapi secara tradisional," tuturnya.

No comments: