Tuesday, August 07, 2007





Belajar Itu (Seharusnya) Menyenangkan


TAWA anak-anak memenuhi ruangan tempat mereka berkumpul. Rupanya, sedang ada teman mereka yang dihukum berjoget. Anak-anak itu membentuk lingkaran besar dan harus berhitung.

Setiap anak yang masuk dalam hitungan ketujuh, kelipatan tujuh, atau terdapat angka tujuh, harus mengganti bilangannya dengan menyebutkan keras-keras, ''Boom". "Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, boom. Delapan, sembilan, sepuluh, sebelas. dua belas, tiga belas, empat belas...."

Tiba-tiba meledaklah kembali tawa mereka. Rupanya, ada yang lupa menyebutkan bahwa empat belas seharusnya diganti dengan "boom".

Meski terlihat sederhana, namun permainan tersebut bisa melatih konsentrasi anak lewat kemampuan berhitung mereka. Belajar pun menjadi menyenangkan.

Sesi itu adalah salah satu rangakaian acara dalam Forum Anak Nasional (FAN) yang diadakan Organisasi Kemanusiaan Kristen Internasional World Vision dan Wahana Visi Indonesia. FAN yang bertema "Pendidikan yang Memberdayakan" itu digelar sejak 8-14 Juli di Wisma Makara, Depok.

Pada Senin sore (9/7), perserta diberi bimbingan tentang belajar yang menyenangkan oleh Frieda Mangunsong. Pasalnya, karena dalam proses belajar-mengajar yang terjadi, kegiatan di sekolah itu sering dianggap menakutkan, serius, dan dinilai sebagai sesuatu yang amat sulit.

"Padahal, itu bisa jadi hal yang menyenangkan. Tadi kita mulai dengan tertawa-tawa. Menggunakan permaian dalam belajar bukanlah hal yang buruk," kata Frieda, yang juga pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Sebenarnya, apa yang membuat anak-anak enggan datang ke sekolah?

Fani, peserta dari Rote, Nusa Tenggara Timur, mengatakan enggan ke sekolah jika dimarahi guru. Sedangkan Yuliana dari Bovendigoel, Papua, mengatakan pelajaran lah yang biasanya membuat teman sekolahnya malas ke sekolah. "Kalau ada pelajaran matematika, biasanya banyak anak yang tidak masuk."

Lalu, apa yang mebuat mereka senang ke sekolah? Tentunya karena dapat bertemu teman sebaya dan bermain. Paling tidak, itulah yang dikatakan Yuliana, Angga dari Surabaya, Wiwik dari Singkawang, Kalimantan Barat, dan Eliana dari Poso, Sulawesi Tengah.

Pada dasarnya, kata Frieda, cara belajar yang aktif melibatkan banyak hal, mulai dari fisik, akal, dan emosi. Sering kali siswa hanya dicekoki pelajaran, sehingga hilang kekritisannya. Oleh karena itu, harus ada metode belajar yang memberikan kesempatan pada anak untuk mempelajari sesuatu yang konkret.

"Dengan begitu akan memperbesar penyerapan mereka terhadap materi yang diajarkan," katanya.

Sebagai contoh, dalam mengajar soal pengembangbiakan tumbuhan, perlihatkan bunganya dan beri penjelasan yang berkaitan. Jika belajar hanya dari membaca tanpa dialami, maka pelajaran tersebut tak akan menempel.

Penelitian Vernon Magnesson membuktikan, individu belajar sebesar 10 persen dari membaca, 20 persen dari mendengar, 30 persen dari melihat, 50 persen dari melihat dan mendengar, 70 persen dari mengatakan, dan 90 persen dari mendengar dan melakukan.

Lagi pula, sekolah bukan satu-satunya tempat belajar. Sebagian pembelajaran terpenting didapat pada masa kanak-kanak. Sebagian besar di antaranya dengan cara bermain. "Karena itu, minat mereka perlu diciptakan sejak kecil agar anak cinta belajar," ucap Frieda. (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, Selasa, 10 Juli 2007.

No comments: