Tuesday, August 07, 2007

Ilmu Mengkritisi Pembangunan


Di Universitas Paramadina, dua kubu ilmu berdebat tentang format pembangunan bagi Indonesia.

BAGAIMANAKAH seharusnya pembangunan bagi Indonesia? Untuk menjawabnya, perdebatan antara dua kubu ilmu pun terjadi di Universitas Paramadina, Jakarta, Kamis (19/7) malam.

Adrinof A Chaniago beridiri di mimbar membaca penelitiannya. Sehari-hari dia adalah pengajar Ekonomi Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Pada acara lecturer series di Universitas Paramadina, Adrinof mengangkat tema ''10 Tahun Guncangan Besar Krisis Ekonomi, Akankah Terulang Lagi?"

Saat membaca, sesekali Adrinof menyindir ''lawan ideologinya'', yakni Rizal Mallarangeng. Rizal memang hadir di acara ini. Selain itu, terdapat pula Francisia Seda, Bambang Sulistomo, Ulil Abshar Abdalla, Halida Hatta, dan Bambang Sujatmiko. Semuanya menyampaikan pemikiran mereka.

Dalam esainya, menurut Adrinof, adalah kesalahan bila visi pembangunan semata-mata mengedepankan ekonomi. Mewakili ilmu sosial dan ekonomi, dia mengklaim bahwa orientasi pembangunan saat ini adalah ekonomi jangka pendek. Pembangunan diarahkan untuk mengejar investasi atau pengumpulan pajak.

Di sisi lain, ekonom maupun ahli ekonomi politik mengabaikan kondisi sosial ekonomi sebagai salah satu varibel penting penyebab krisis. Pembangunan sosial berjalan dalam bentuk bantuan langsung tunai (amal) dan hampir tak ada agenda jelas dalam pembangunan demokrasi.

''Krisis Indonesia tak hanya berawal dari krisis ekonomi atau krisis moneter, tapi karena potensi ketegangan sosial ekonomi dan ketegangan politik yang tumbuh perlahan-lahan," katanya.

Jika kondisi ini terus berlangsung dan jika Indonesia hanya menerima bulat-bulat nasihat ekonom liberal, artinya sama saja menawarkan lokomotif maut. Lokomotif itu akan mengantarkan Indonesia kembali ke jurang krisis.

Seusai Adrinof memaparkan pemikirannya, Rizal menuju mimbar. Tentu, dia dengan pemikiran berbeda di kepala. Menurut Rizal, berbicara visi pembangunan sebagai visi sosial, pada dasarnya adalah nilai kerakyatan. Namun, ilmu politik dan human science, pada tataran konkret, bukan untuk ilmu pembangunan.

Menurut dia, ilmu tersebut sangat sulit mampu memberi sumbangan fundamental bagi pembangunan. "Jika pertanyaannya akankah terulang lagi guncangan besar? Kalau saya pukul rata, guncangan besar pasti tidak akan terulang. Situasi sosial, politik, dan ekonomi, sekarang berbeda. Krisis ekonomi 1997 unik, karena bertemu dengan krisis politik," ujar Rizal menjelaskan.

Dia pun melengkapi paparannya melalui perbedaan saat ini dengan masa Orde Baru, semisal proses perizinan usaha yang lebih mudah ataupun aksi unjuk rasa yang mungkin terjadi di jalan-jalan.


Ilmu dan Pembangunan

Nah, seperti apa sebenarnya peran ilmu-ilmu itu dalam pembangunan? Menurut Sosiolog UI Francisia Seda, pemaparan Adrinof adalah teriakan orang-orang tak berdaya. Kaum yang dimaksudnya adalah ilmuan sosial yang datang dari antropologi, kesejahteraan sosial, atau budaya.

"Ini adalah teriakan orang-orang terpinggirkan," ujar Francisia, yang akrab disapa Eri tersebut.

Selama ini, katanya, ilmuan dari disiplin ekonomi menganggap ilmuwan nonekonomi belum berhasil memberi alternatif strategi pembangunan yang tepat. "Ekonom ini tidak sabar untuk mendengar orang-orang sosial berdiskusi."

Kelemahannya, ilmu sosial kurang bisa menjelaskan fenomena yang ada secara eksak. Sebagai contoh, jika ingin menjelaskan ketimpangan sosial, apa yang akan menjadi parameter? Apakah jumlah warteg (warung tegal), penggusuran tanah, atau lemahnya usaha kecil dan menengah (UKM)? Bagaimana seharusnya mendefinisikan pembangunan?

Jelas semua itu harus memperhitungkan faktor sosial, politik, dan ekonomi. Tapi, ilmuwan sosial biasanya tak tahu bagaimana mengoperasionalkan konsep tersebut. Maka, saat melihat esai Adrinof dengan hitung-hitungan, statisik, model, dan grafis, Eri pun sempat bertanya-tanya, "Kenapa harus pakai ini?"

Namun, Adrinof tak kalah lihai menjawab, ''Kalau tidak ngomong pakai bahasa mereka, kita tidak akan didengarkan."

Padahal, demikian Eri, jika menggunakan statistik, maka ilmuwan sosial akan terjebak, sehingga berpikir seperti ekonom liberal ataupun neoliberal. Adrinof menilai visi ekonomi liberal atau neoliberal itu lemah, tapi Eri berpendapat sebaliknya.

"Justru ekonomi liberal atau neoliberal punya visi kuat, sehingga bisa menjelaskan sesuatu dengan perhitungan eksak, meski krisis moneter memang tidak bisa dijelaskan dengan buku ekonomi mana pun. Sama juga dengan mengatakan bahwa persoalan demokrasi Indonesia tak bisa dijelaksan dengan buku teks politik mana pun. Sekolah di mana pun, tetap saja bingung,'' tutur Eri.

Dia menilai pemaparan Adrinof harus didukung dengan indikator-indikator. Jika itu tidak dipenuhi, maka diskusi hanya sebatas pembicaraan ideologis. Di kalangan akademis, itu bukanlah sanjungan. ''Orang akan menganggapnya tidak ilmiah dan tak ada yang mau mendengarkan.''

Berbicara tentang ilmu sosial, sebenarnya ia juga tak bisa bebas dari ideologi, apalagi bicara tentang pembangunan. Semuanya tergantung dari sisi mana masalah itu dilihat. Para ahli ekonomi dan politik, mulai dari Hal Hill, Ross Garnaut, Ross McLeod, ataupun Andrew McIntyre, semuanya sudah memiliki paradigma tertentu dalam memandang Indonesia.

"Isu boleh berganti-ganti. Tapi pandangan paradigma yang mereka pakai dalam menganalisis biasanya sudah mapan. Maka itu, kita juga harus cermat membaca analisa-analisa para ahli,'' ujar Eri. (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, Selasa, 24 Juli 2007.

1 comment:

Anonymous said...

setuju dengan pendapat bu erin dari UI, bahwa diperlukan indikator-indikator untuk menjelaskan fenomena tertentu, mungkin akan berguna untuk menyimak kembali indikator yang diusulkan oleh peter.l.berger mengenai biaya-biaya manusiawi baik dalam hal fisik maupun makna.