Tuesday, December 26, 2006

Ada lima tulisan dengan tema Lost Generation. Dimuat di Jurnal Nasional edisi 4 Desember 2006. seluruhnya ada 15 tulisan, sisanya ditulis oleh partner saya, Christine dan Dian Suci.

Intinya, kami ingin memberi tahu kondisi pembangunan di Indonesia, baik itu pembangunan pendidikan, infrastuktur, ekonomi, dan kesehatan. Dan apakah kondisi pembangunan saat ini berpotensi ke arah Lost Generation? atau malah tidak? silahkan interpretasikan sendiri.

Sekilas tentang Pembangunan Manusia
Jakarta-Jurnal Nasional

Konsep tentang pembangunan manusia dicetuskan oleh Mahbub ul Haq, seorang ekonom asal Pakistan di tahun 1990. Awalnya, konsep ini ditujukan untuk menyaingi World Development Reports (Laporan-laporan Pembangunan Dunia) yang dikelurkan oleh Bank Dunia.

Menurut Mahbub, laporan tersebut lebih fokus ke segi fisik pembangunan.
Padahal, pembangunan seperti itu telah membawa dunia ke dalam tiga krisis mendasar, yaitu kemiskinan, kerusakan lingkungan hidup, dan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian konflik.

Konsep pembangunan ini juga didukung oleh pemenang nobel ekonomi Amartya Sen. Di dalam Freedom as Development (1999), ia menyebutkan bahwa inti pembangunan adalah kebebasan.

Sedang yang menjadi sumber ketidakbebasan adalah kemiskinan dan tirani, rendahnya peluang ekonomi dan pemiskinan sosial sistematis, pengabaian fasilitas publik, dan tekanan dari negara.

Menurut Sosiolog Paulus Wirutomo, inti dari pembangunan manusia adalah pambangunan dari, untuk, dan dengan partisipasi manusia. “Pembangunan manusia dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Kalau kualitas manusia malah merosot, berarti bukan pembangunan.”

Adapun pembangunan manusia diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia. Di antaranya dilihat dari pemenuhan atas pangan, pendidikan, kesehatan, dan rasa aman. Pembangunan ini tidak hanya mengukur dari pendapatan per kapita yang seringkali menyembunyikan ketimpangan.

Semuanya ukuran tersebut disajikan dalam Human Development Report (HDR). Setiap anggota PBB mengirmkan HDR-nya masing-masing.

“Hal ini berguna untuk mengetahui apakah suatu negara menjalankan atau malah mengabaikan pembangunan manusianya,” papar Paulus.

Hingga kini, HDR menjadi instrumen penting bagi United Nations Development Program (UNDP) untuk mencapai tujuannya, yaitu pemberantasan kemiskinan. Meski demikian, setiap tahun topik yang diusung selalu berbeda, hal ini untuk memberi masukan tentang mekanisme penanganan setiap masalah. (Ika Karlina Idris)
Pembangunan Infrastruktur untuk Manusia

Jakarta-Jurnal Nasional

Nurhikmah, 25 tahun, adalah contoh penglaju. Ia tinggal di Bekasi dan bekerja di Muara Angke, Jakarta Utara. Sehari-hari, ia pergi ke kantor menggunakan kereta api ekonomi. Di awal bulan, sesekali perempuan yang bekerja di Bank swasta ini menggunakan kereta ekspress.

“Kadang-kadang juga saya naik bus. Tapi ribet. Harus ke terminal Pulo Gadung dulu, turun di Grogol, dan menyambung dengan angkot,” ceritanya suatu malam saat sedang menunggu kereta di stasiun Kota, Jakarta Pusat.

Berapa waktu yang dihabiskan Nurhikmah di jalan? Cukup 5 jam saja, pergi pulang. Jika ada lima hari kerja dalam satu minggu, berarti perempuan dengan perawakan kecil dan berkulit putih ini menghabiskan 25 jam dalam satu minggu. Hanya untuk berada di jalan!

Tentu saja waktu itu bisa bertambah di musim penghujan. Jalanan yang banjir membuat macet di mana-mana.

“Padahal waktu yang terbuang bisa kita gunakan untuk menghasilkan sesuatu,” ujar Sosiolog Paulus Wirutomo dalam suatu sesi perkuliahan tentang Pembangunan Manusia beberapa waktu lalu.

Tentu saja Nurhikmah tidak sendiri. Ada ribuan orang yang menjadi tidak produktif karena waktu mereka dihabiskan di jalan. Semuanya gara-gara menggunakan angkutan umum. Sedang yang menggunakan angkutan pribadi, bisa dibilang setali tiga uang.

“Infrastruktur kita memang masih kurang. Selain itu, tidak sesuai dengan fungsinya,” urai Paulus.

Sosiolog dari Universitas Indonesia ini menegaskan bahwa jalan haruslah diutamakan untuk kendaraan publik dari pada kendaraan pribadi. Tapi sayang, hal yang sebaliknya terjadi di Jakarta.

“Saat ini, tidak hanya mobil yang ‘menyerang’ Jakarta. ‘Orang bawah’ pun ‘menyerang’ dengan motor-motor mereka. Lagi-lagi karena kurangnya angkutan umum.”

Meski terlambat, diakuinya, pemerintah sudah berbenah dengan adanya busway dan konsep angkutan umum lain. Akan tetapi, masih banyak ketidaknyamanan, baik dari segi kuantitas ataupun kualitas.

“Mau tidak mau, orang-orang masih lebih memilih naik motor. Apalagi kita semua tahu bagaimana ugal-ugalannya perilaku pengendara motor di Jakarta. Pembangunan Infrastruktur tidak hanya menyangkut fisiknya saja, tapi juga membentuk budaya pengguna jalan sopan dan disiplin lalu lintas . Kalau melihat perilaku pengendara motor kita, rasanya pembangunan ke arah sana masih panjang, ” urainya.

Hal yang sama berlaku untuk pembangunan infrastruktur yang lain, misalnya pendidikan. Yang penting adalah “software”, bukan “hardware”. Maksudnya, jangan hanya membangun gedung sekolah, tapi matangkan juga kurikulumnya.

Sekolah, menurut Paulus Wirutomo, haruslah bisa menghasilkan manusia yang mandiri. Semakin tinggi tingkat sekolah seseorang, semakin ia butuh lapangan pekerjaan. Harusnya, ia bisa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.

Ia menjelaskan,”Setelah lulus kuliah, banyak orang kita melanjutkan sekolahnya karena mereka tidak siap bekerja. Sekolah kita cenderung menghasilkan orang-orang yang tidak mampu berpikir kreatif karena yang dijarkan hanya hafalan saja. Harusnya, anak-anak juga dinilai dari kreatifitas dan kemandirian mereka.”

Selain sistem pendidikan, sistem keuangan juga harus mendukung kemandirian seseorang. Kemandirian tidak hanya ditentukan oleh individu, tapi juga ada fasilitas permodalan yang membuat mereka mampu untuk itu. (Ika Karlina Idris)
Pemenuhan Kebutuhan dengan Swadaya Masyarakat
Jakarta-Jurnal Nasional


Kemiskinan adalah pergulatan yang panjang dan terus-menerus. Kemiskinan seperti ini mengarah ke lost generation.

Pasangan suami istri Budi dan Wati terlahir dalam keluarga miskin. Mereka tak mampu mencukupi kebutuhan mereka yang paling mendasar, yaitu 2400 kalori atau setara dengan satu kali makan nasi lengkap dengan lauk-pauknya. Padahal, itulah jumlah kalori minimal untuk berkegiatan sehari-hari.

Setelah memiliki anak, hal yang sama kembali berulang. Jangankan untuk menyekolahkan anak, memberi gizi yang cukup pun tak mampu dilakukan Budi dan Wati.

“Mereka bertambah miskin. Mereka inilah yang berpotensi menjadi the lost generation (generasi yang hilang). Dan jumlahnya ada 18 persen di seluruh Indonesia atau sekitar 39,5 juta jiwa,” kata ekonom dari Institut Pertanian Bogor, Iman Sugema.

Sedang menurut Sosiolog Paulus Wirutomo, hal itulah yang dinamakan kemiskinan struktural. Orang-orang sepert Budi dan Wati tetap miskin karena struktur atau sistem yang ada telah menghambat mereka untuk keluar dari kemiskinan.

“Sebenarnya mereka telah berusaha untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Tapi, mereka rentan untuk kembali miskin. Bagi mereka, kemiskinan adalah pergulatan yang panjang dan terus-menerus,” kata Paulus dalam suatu sesi perkuliahan mengenai Pembangunan Manusia beberapa waktu lalu.

Keduanya pun sepakat perlunya ada pemberdayaan masyarakat. Bukan dengan jalan pintas seperti pemberian Bantuan Langsung Tunai karena setelah uang yang diberikan habis, maka mereka akan kembali miskin.

Pemberdayaan masyarakat, menurut Iman, sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Sayangnya, beberapa program sudah tak jalan lagi saat ini. Salah satu program yang dapat menyejahterakan masyaraakat, menurutnya, adalah Keluarga Berencana (KB). Dengan pembatasan jumlah anak, maka beban gizi dan beban pendidikan yang ditanggung semakin berkurang.

“Meningkatkan kesejahteraan juga dapat dilakukan dengan swadaya rumah tangga. Misalnya saja apotek dan dapur hidup,” kata Iman yang juga Direktur Indef.

Orang miskin tentu tak mampu membeli daging atau sumber protein lainnya. Dengan adaya dapur hidup, mereka dapat menanam tomat, kentang, atau sayur-sayuran. Pemenuhan gizi dapat mereka lakukan sendiri.

Begitu juga dengan pemenuhan obat-obatan. Adanya apotek hidup paling tidak menjadi salah satu alternatif memenuhi obat-obatan herbal.

“Sekarang malah dibuatkan asuransi kesehatan bagi penduduk miskin. Padahal, untuk pergi ke Puskesmas saja mereka tidak mampu. Selain jauh, kan butuh ongkos transportasi,” tegas Iman.

Selain itu, pemerintah juga perlu memberdayakan kembali kelompok-kelompok yang ada di masyarakat, seperti kelompok tani atau kelompok ternak. Hal ini tidak hanya memudahkan pembinaan tapi juga memperbesar skala usaha mereka.

Dengan adanya kelompok, maka kegiatan di dalamnya akan lebih efisien bagi petani atau peternak skala kecil. Mereka tak harus membeli pupuk sendiri-sendiri, tapi bisa secara kolektif. Bahkan pengerjaannya pun dilakukan bersama. Tentu menjadi lebih cepat.

Peminjaman modal pun lebih gampang karena ditanggung bersama. “Gotong-royong dalam produktifitas seolah-olah dilupakan pemerintah kita. Kalau ingin membangun sektor ekonomi, mulailah dengan perubahan nyata yang menyentuh sektor ekonomi mikro.”

Pemberdayaan pun punya banyak rumus. Iman yang juga Direktur Inter CAFE IPB (International Centre for Applied Finance & Economics) berkata,”Banyak macam rumus untuk pemberdayaan orang miskin, tergantung keterampilan dan situasi di lingkungannya.”

Setelah pemberdayaan, barulah pendanaan. Seperti kita ketahui, anggaran pemerintah habis untuk bayar utang, APBD, belanja rutin, dan belanja modal. Untuk yang terakhir, menurut Iman sangat kurang.

“Tidak mungkin mengorbankan APBD dan belanja rutin. Harusnya, kita melakukan negosiasi pembayaran utang. Bisa diperlambat atau dikurangi jumlahnya. Sisa dari situ, kita gunakan untuk belanja modal. Tapi, saya ragu pemerintah kita berani melakukan hal ini,” tegasnya. (Ika Karlina Idris)
Membangun Manusia Indonesia Seutuhnya

Jakarta-Jurnal Nasional

Manusia Indonesia seutuhnya mampu mengembangkan dan memaksimalkan potensi yang ada di dalam dirinya.

Manusia seperti ini sangat fleksibel. Mereka mampu mencari banyak alternatif jawaban dari satu masalah, sehingga bisa memecahkannya. Sayangnya, kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah masih diabakan di sistem pendidikan Indonesia. Banyaknya, murid-murid hanya diajarkan untuk mengfahal pelajaran.

“Bahkan dari soal 2X2=4 bisa kita manipulasikan utnuk mendapat opsi lain. Seorang guru dapat bertanya alternatif soal yang juga menghasilkan 4. Kan bisa 4=1+3 atau 4=6-2,” kata pakar pendidikan Conny Semiawan.

Untuk mengukur apakah pembangunan pendidikan sudah tercapai, menurutnya, dapat dilihat dari kebebasan berpendapat dalam proses belajar. Jawaban yang ada tidak terpaku hanya satu hal. Bahkan, jawaban yang tercantum di buku pun boleh didiskusikan, dikaji, dipertanyatakan, dan diperdebatakan.

Dalam mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan pula evaluasi sistem pendidikan di setiap daerah. Pada dasarnya, dari Sabang sampai Marauke, profil pendidikan di Indonesia memperlihatkan adanya perbedaan. Karena itu, standar pendidikan di setiap daerah pasti berbeda.

“Kita harus menyadarai bahwa nilai 8 untuk pelajaran mate-matika di daerah Kalimantan bisa jadi sama dengan nilai 6 untuk daerah Jakarta. Jangan pakai standar nasional,” urai Conny yang aktif mengajar di Universitas Negeri Jakarta dan Universitas Indonesia.

Sekolah-sekolah yang ada di luar pulau Jawa tentu tidak semapan dengan sekolah yang ada di Jakarta, misalnya. Jika profil pendidikan sudah lebih homogen, barulah ditentukan adanya standar nasional. Sementara itu, tetapkan saja standar lokal.

Setelah itu, setiap daerah harus tahu kekurangannya masing-masing. Lalu diperbaiki dan sediakan juga dana yang mereka butuhkan.

“Yang tidak kalah penting adalah komitmen dalam menggunakan dana tersebut. Ini yang paling susah,” imbuhnya.

Mengenai pembangunan manusia, perempuan yang aktif menulis buku ini juga menekankan adanya prinsip equity dan equality. Equity terkait dengan rasa keadilan. Sedang equality terkait dengan persamaan hak dalam mengenyam pendidikan.

Dengan tegas Conny berkata bawha hal inilah yang tidak disadari oleh pemerintah kita. “Harus ada keadilan dalam memberikan kesempatan pendidikan yang sama bagi setiap anak didik. Tak perduli dia cacat atau dia warga keturunan sekalipun.”

Ia menyontohkan adanya sekolah nasional plus dan sekolah internasional yang hanya menerima “kaum elit”. Sekolah dengan biaya yang sangat tinggi seperti ini, menurutnya, telah mengabaikan equity dan equality.

“Saya tidak melarang jika saja mereka menerima anak-anak tukang sapu, misalnya. Selama mereka mampu mengikuti pelajaran, harusnya sekolah tetap membuka kesempatan mereka untuk bersekolah di sana. Caranya, bisa dengan subsidi silang. ” paparnya.
(Ika Karlina Idris)
Pembangunan Otak Kanan

Jakarta-Jurnal Nasional

Angkasa hanya terang sebagian. Bintang-bintang yang ada ternyata hanya bersinar redup-redup. Bintang-bintang itu ada tapi tak bercahaya. Mereka belum mati, hanya tertidur.

Lalu, apa artinya bintang tanpa cahayanya yang berkilauan?

Hal yang sama terjadi dengan sel-sel otak manusia Indonesia. Selain tak bercahaya, mereka juga hanya terang di sebagian tempat, di bagian kiri. Sedang di bagian kanan, sel-sel otak tertidur.

Saat seseorang di lahirkan, ia memiliki sekitar 100 miliar sel otak aktif dan 900 miliar sel otak pendukung. Menurut pakar pendidikan Conny R Semiawan, hanya sekitar 5% yang berfungsi dengan baik.

“Padahal, sel-sel otak yang sedemikian banyaknya itu siap untuk memeroses triliunan informasi. Sayangnya, kurang dimanfaatkan oleh sistem pendidikan di sekolah kita. Bahkan, para para penentu kebijakan dan guru pun masih banyak yang tidak tahu hal ini.,” tegas Conny yang pernah menjabat Rektor Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta-sebelum berubah menjadi Universitas Negeri Jakarta.

Sebagai contoh, guru seringkali hanya menerima satu jawaban untuk satu pertanyaan.
“Jika bapak pergi ke kantor, makanya jawabannya pastilah ibu memasak di rumah. Karena jawaban itulah yang ada di buku panduan mereka. Padahal saat ini ibu-ibu banyak yang bekerja dan kegiatan memasak biasanya di lakukan pembantu,” katanya.

Hal-hal seperti inilah yang membuat sel-sel otak kanan “tertidur”. Fungsi otak untuk berpikir kreatif, imajinatif, dan holistik dianggurkan.Sementara fungsi otak kiri, yaitu berpikir logis, struktur, linier, dan berurutan, banyak dimanfaatkan.

“Itupun hanya untuk mengahafal. Padahal, fungsi ini adalah fungsi terendah dari otak kiri. Masih ada fungsi sintesa, analisa, evaluasi dan aplikasi.”

Seharusnya, pembangunan pendidikan di Indonesia memerhatikan hal ini. Jika fungsi otak kanan dimaksimalkan, maka akan tercipta manusia Indonesia yang dapat berpikir kreatif. Manusia yang fleksibel, mampu mencari banyak pilihan jawaban untuk satu masalah.

Conny adalah perempuan pertama yang menerima penghargaan Hamengku Buwono (HB) IX Award dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia dinilai memberikan pengabdian yang besar pada pengembangan pendidikan di negeri ini.

Conny menegaskan bahwa tujuan pembangunan pendidikan Indonesia adalah membangun manusia seutuhnya. Hal ini berarti semua aspek manusia harus dibimbing agar teraktualisasi dengan maksimal.

Pembangunan pendidikan, menurutnya, sangat terkait dengan kompetensi guru. Ada empat kompetensi. Pertama, kompetensi pedagogik dimana guru membiasakan diri untuk mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran. Kedua, adalah kompetensi secara personal. Sisanya, adalah kompetensi professional dan sosial.

Jika keempat hal tersebut dapat dijalankan, maka pembangunan pendidikan di Indonesia, dapat berlangsung sebagaimana mestinya.

Menurutnya, manusia dilahirkan dengan potensi dan bakat yang lebih dari satu. Potensi tersebut harus diubah untuk mencapai kemampuan yang nyata. Seoptimal mungkin sehingga menjadi manusia yang unggul.

“Tapi Indonesia masih jauh ke arah sana. Katakanlah kita masih ada di titik awal untuk menempuh cita-cita itu.” (Ika Karlina Idris)

Thursday, December 21, 2006

Alkisah, ada seorang perempuan yang mengajak pacar barunya datang ke rumah. Di rumah sang pacar, si lelaki melihat ada foto keluarga. Ada foto Ayah, Ibu, sang pacar, dan kakak lelaki sang pacar.

Lalu bertanyalah si lelaki, "Neng, itu kakakmu?"
"Iya," jawab si perempuan.
"Sekarang ada di mana?" tanya si lelaki lagi.
"Meninggal, kegencet orang waktu nonton konser Ungu," jawab si perempuan dengan sedih.
"Ooooh....," komentar si lelaki.

Dalam hati si lelaki berkata,"Ya ampun, cupu banget sih kakaknya cewek gue. masa meninggal karena nonton konser, Ungu lagi!"

Setelah itu, mereka berangkat untuk menghabiskan malam, menonton Radja di Alun-alun kota.

Ditulis untuk mereka yang meregang nyawa untuk "sekelompok anak muda yang pandai bermain alat musik"

Wednesday, December 06, 2006

Let's play hide and seek
Count to ten..

...
Eight..
Nine..
Ten..

And then try to find me!

Wednesday, November 29, 2006

Tema Jurnal Perspektif edisi Senin, 27 November 2006 tentang kemungkinan penerapan Balanced Scorecard di lembaga pemerintah. Seluruhnya ada 14 tulisan, tapi yang saya posting hanya 5. Tanpa bermaksud merendahkan intelektulitas kamu, tulisan yang lain terlalu teoritis. Jadi tidak saya posting.

Balanced scorecard adalah alat ukur yang digunakan untuk menilai kinerja suatu perusahaan. Ada empat aspek yang diukur, yaitu pertumbuhan dan pengembangan, proses bisnis, kepuasan kostumer, dan keuangan.

Sayangnya, di lembaga pemerintah kita ukuran ini belum jelas. Lalu bagaimana kalau digunakan di sana? Silahkan baca saja tulisan-tulisan saya yang membosankan ini..



Nilai untuk Naik Kelas

Jakarta-Jurnal Nasional

Dalam sebuah kelas, terlihat murid-murid tak sabar untuk menerima buku rapor mereka. Yang paling penting, mereka tak sabar ingin tahu apakah mereka naik kelas atau tidak.

“Badu, maju ke sini,” ujar Pak guru.

Badu si bintang kelas pun maju dan menerima buku rapor miliknya. Dibukanya dan dilihatnya setiap angka yang tertulis.

Naik ke kelas 6, begitu tertulis di sana. Badu juga melihat bahwa ia mendapat nilai 9 untuk pelajaran matematika, 8 untuk bahasa Indonesia, dan Badu tak memperhatikan selebihnya. Sederetan huruf C di kolom bawah membuatnya heran.

Nilai C untuk kelakuan, C untuk kebersihan, dan C untuk kerapihan.

Untuk Badu si Bintang Kelas, nilai C tak ada dalam kamusnya.

Ia pun kembali ke pak guru dan bertanya, “Pak, kenapa bapak beri nilai C untuk kebersihan saya?”

Tanpa menoleh, pak guru menjawab,”Karena kamu sering membuang sampah di kolong meja.”

“Lalu, kenapa C untuk kerapihan saya?” tanya Badu lagi.

Kali ini pak Guru mengangkat wajahnya dari tumpukan buku rapor dan berkata,”Karena kamu jarang memakai dasi.”

Dengan suara meledak-ledak, ia berkata,”Pak, apa bapak menghitung seberapa sering saya membuang sampah ke kolong meja dan seberapa jarang saya memakai dasi? Lalu, apa bapak juga menghitung hal yang sama untuk murid-murid lainnya? Jadi, kalau nilai saya C, berapa kali dalam setahun ini saya membuang sampah ke kolong meja pak?”

Pak guru pun bingung harus menjawab apa. Menurutnya, kelakuan, kebersihan, dan kerapihan cukup dilihat dan diamati saja. Memangnya perlu mengukur hal-hal tersebut dengan angka?

Pengukuran yang tidak jelas terjadi pula di lembaga-lembaga pemerintahan kita. Menurut Yono Reksoprodjo, konsultan strategi perusahaan, dalam laporan tahunan pimpinan puncak dalam suatu organisasi cukup mengatakan bahwa programnya berhasil. Tapi, tak jelas apa ukuran keberhasilan tersebut.

Atau mungkin, ada pejabat negara yang berkata di media massa bahwa ia sukses dalam memimpin jajarannya. Lagi-lagi tak ada ukuran untuk kesuksesan yang ia katakan.

Pentingnya alat ukur bagi kinerja pemerintah juga mendapat tanggapan dari Syarief Hasan, anggota Komisi XI DPR RI. Menurutnya, alat ukur yang jelas harus digunakan untuk mengukur kinerja departemen.

“Kalau presiden sudah punya alat ukurnya, semisal balanced scorecard, tentunya gampang kalau mau mengawasi menteri-menterinya. Adapun indikator keberhasilan harus ditetapkan bersama agar mereka komit dengan hal tersebut,” urai Syarief.

Menilai performa suatu lembaga negara memang tak semudah menilai hasil ujian Badu. Yang jelas, ukuran-ukurannya sudah ada. Dalam balanced scorecard, misalnya, terdapat empat prinsip dasar dalam mengukur kinerja, yaitu pertumbuhan dan pengembangan, proses bisnis, kepuasan kostumer, dan keuangan. Hanya butuh kebijakan dan pengawasan yang tegas.

Lantas, apakah ukuran ini akan digunakan? Agar jika ada yang bertanya tentang penilaian tersebut, Presiden tidak akan kebingungan. Seperti Pak guru yang bingung menjawab pertanyaan Badu. (Ika Karlina Idris)
Balanced Scorecard Mencegah Korupsi

Jakarta-Jurnal Nasional

Dalam sebuah proposal kegiatan, selain rencana pemasukan dan pengeluaran dana, selalu tercantum sasaran dan tujuan kegiatan. Anehnya, sebagian besar laporan kegiatan hanya menyantumkan laporan keuangan.

Lantas, apakah sasaran dan tujuannya tercapai? Jawaban paling mudah adalah,”Lihat saja saat acara berlangsung.”

Masalah yang paling banyak ditemui dalam laporan pertanggung jawaban adalah patokan kesuksesan atau keberhasilan yang tidak jelas.

Menurut Ronald A. Annas, penilai dari Deputi Akuntabilitas, Kementerian PAN, “Harusnya kita bisa menjadikan ukuran yang tadinya kualitatif menjadi kuantitatif. Harus bisa diukur.”

Sejak awal tahun 1990, perusahaan di Amerika menggunakan ukuran dengan konsep balanced scorecard. Konsep ini diperkenalkan oleh David P Norton dan Robert Kaplan. Buku-buku mereka pun menjadi bacaan wajib bagi setiap mahasiswa manjemen ataupun akuntansi.

Istilah balanced scorecard terdiri dari dua kata, yaitu balanced (berimbang) dan scorecard (kartu skor). Berimbang maksudnya mengukur kinerja perusahaan tidak hanya dari keuangannya tapi juga non-keuangan. Sedang kartu skor digunakan untuk menyatat skor hasil kinerja.

Menurut Yono Reksoprodjo, seorang konsultan strategi perusahaan, ada empat unsur penting dalam Balanced Scorecard. Yang dimaksudnya adalah Proses pembelajaran dan pertumbuhan, proses bisnis, kostumer, dan keuangan.

“Keempat hal tersebut bisa saja berbeda cara penerapan dan prosesnya, bergantung pada misi setiap perusahaan,” tegas Yono yang pernah menangani strategi perusahaan seperti Bank Mandiri, Merpati dan Telkomsel.

Balanced scorecard sebenarnya bukan hanya alat pengukuran semata, ia juga bagian dari sistem manajerial. Ia digunakan untuk membantu suatu organisasi melakukan klarifikasi terhadap visi dan kiat penterjemahannya menjadi misi.

”Yang pasti, alat ini dapat memetakan aset yang kita miliki. Bahkan, dapat digunakan untuk menyelesaikan suatu masalah. Ada mekanisme plan-do-check-act,” ujarnya.

Jika hal ini diterapkan di lembaga pemerintah, tentunya dapat digunakan sebagai langkah pencegahan korupsi. Apalagi jika diturunkan ke setiap departemen.

Yang harus diperhatikan adalah ukuran yang digunakan. ”Agar tidak kusut, sebaiknya jumlah indikator sekitar 16-20 saja.” Setelah terbiasa, barulah indikator itu ditambah lagi.

Pengukuran kinerja tidak hanya dengan balanced score card. Ada banyak alat ukur lain seperti baldrige scorecard, six sigma, atau ISO. Di Kementerian PAN sendiri ada yang disebut sistem AKIP. Sistem ini terdiri dari input, output, outcome, benefit, dan impact.

“Apapun alat ukur yang digunakan, tidak masalah. Asalkan semua satuan penukuran ditentukan dengan jelas,” kata Ronald. (Ika Karlina Idris)
Penghargaan dan Hukuman


Jakarta-Jurnal Nasional

Saat penerimaan rapor, murid yang menjadi juara kelas biasanya mendapat piagam penghargaan dari sekolah dan hadiah dari orang tuanya. Sementara murid yang tinggal kelas, harus merugi satu tahun dan biasanya dimarahi orang tuanya.

Selalu ada konsep penghargaan dan hukuman dalam mengukur prestasi. Begitu pun dengan kinerja seseorang. Penghargaan dan hukuman diberikan untuk memotivasi seseorang.

Sayangnya, konsep ini tidak diterapkan dengan tegas di lembaga negara kita. Bahkan, dalam pembuatan laporan pertanggung jawaban pun, hukumannya hanya sebatas pengumuman di koran.

Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah atau Akip harus dibuat oleh setiap lembaga negara dan diserahkan ke Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara (PAN). Tenggat waktunya, setiap 31 Maret.

“Kalau mereka tidak membuat laporan Akip, paling-paling hanya kami umumkan di koran saja,” kata Ronald A. Annas, penilai dari Deputi Akuntabilitas, kementerian PAN.

Sedang untuk penghargaan, Kementerian PAN mengeluarkan sertifikat bagi mereka yang menyerahkan Laporan Akip tepat waktu.

“Saya rasa sertifikat ini nilai prestisenya cukup besar, apalagi untuk pemerintah daerah atau provinsi. “Meski saya akui kalau sebagian besar isi laporan Akip hanyalah formalitas saja,” ujar Ronald.

Adanya penghargaan terhadap kinerja karyawan mutlak diperlukan. Jika tidak, nantinya mereka akan terdemotivasi. Demikian menurut Yono Reksoprodjo, konsultan strategi perusahaan.

“Kalau untuk perusahaan swasta penghargaannya bisa berupa bonus. Tapi untuk pegawai negeri bagaimana? Takutnya, mereka sudah bekrja dengan giat, kinerja bagus, tapi penghasilan tetap sama dengan teman yang malas-malasan,” urai Yono yang juga pernah menjadi ketua panitia akreditasi Y2K di Badan Standarisasi Nasional.

Ronald menambahkan adanya contoh niat pemberian penghargaan. Yaitu dengan melihat Pemerintah Provinsi Gorontalo. Mereka memberkan apa yang dinamakan tunjangan kinerja hingga ke tingkat individu. Sayangnya, ukuran yang digunakan juga belum tepat.

Meski demikian, ia melihatnya sebagai pintu masuk untuk penilaian kinerja. “Yang penting terus dilakukan perbaikan. Dipikirkan ukurannya, hingga ketemu yang paling tepat.”
Sedangkan menurut Kepala Bagian Pendidikan dan Pelatihan Departemen Pertahanan Marsekal Muda Koesnadi Kardi, pegawai pemerintah harus diberi motivasi untuk berprestasi secara individual. ”Harus tertanam di hati mereka untuk bekerja keras.”

Sistem award menurutnya tidak baik karena seringkali dimanipulasi. Misalnya dengan membayar sejumlah uang ke panitia. Yang paling tepat menurutnya adalah dengan memberikan kesempatan bersekolah atau promosi jabatan.

Menurut Ronald, yang paling tepat untuk instansi pemerntah adalah diterapkannya performance budgeting. Dengan kata lain, suatu lembaga tak akan memperoleh anggaran di tahun berikutnya kalau mereka tak bisa menunjukkan kinerja mereka di tahun sebelumnya.

”Tapi rasanya kita masih jauh ke arah sana,” keluhnya.

Sedang menurut Yono prinsip dasar kinerja adalah bagaiamana setiap bagian menyadari bahwa mereka sama. Semua kompetisi yang mereka lakukan ujung-ujungnya ke kepuasan pelanggan.

”Untuk lembaga negara, ujung-ujungnya tentu saja demi dan untuk masyarakat,” tegas Yono.


(Ika Karlina Idris)
Laporan-laporan yang "Tidak Penting"

Jakarta-Jurnal Nasional

Buku-buku setebal Kamus Besar Bahasa Indonesia memenuhi lemari penyimpanan di sebuah ruangan di Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara (PAN). Saking banyaknya, lemari penyimpanan tak muat lagi. Buku-buku itu pun tertumpuk di lantai.

Buku-buku setebal kamus tersebut sebenarnya adalah laporan pertanggung jawaban dari lembaga-lebaga negara. Istilahnya, laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah atau disingkat Akip.

“Laporan Akip biasanya nggak hanya satu buku lho. Mereka bikin Akip tebal-tebal. Tapi kalau dilihat, banyak detil nggak penting yang ada di situ,” kata Ronald A. Annas, penilai dari Deputi Akuntabilitas, Kementerian PAN.

Yang ia maksud tidak penting adalah ukuran-ukuran yang digunakan Si pembuat laporan. Seorang pejabat, misalnya, bisa saja bilang bahwa ia ingin menyejahterakan rakyat. Setelah masa kepemimpinannya ia lalu berkata bahwa kesejahteraan meningkat 100%.

Menurut lelaki jebolan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) ini, tidak ada indikator yang jelas untuk prosentase tersebut. “Sayangnya, ini sudah kebiasaan dari jaman dulu.”

Apa yang ditampilkan dalam laporan-laporan setebal kamus itu menurut Ronald belum cukup untuk melihat kinerja suatu lembaga. Sebagai contoh, sebuah lembaga menuliskan pemasukan (input) sebesar Rp.860 juta. Sedang pengeluaran (output) sebesar Rp.820 juta. Dan muncullah angka 95% sebagai ukuran keberhasilan dijalankannya program tersebut.

Selain itu, ia juga mengatakan bahwa selama ini kinerja lembaga negara selalu diukur dari penggunaan anggaran belanja. Habis atau tidak. Padahal, belum tentu belanja tersebut menghasilkan manfaat untuk masyarakat.

Misalnya, ada lembaga yang menganggarkan Rp.10 juta untuk membuat 10 buah buku. Jika anggaran tersebut abis dan 10 buku sudah dibuat, maka dinilai bahwa lembaga tersebut berhasil. Padahal, belum tentu buku tersebut dibutuhkan masyarakat, apalagi untuk memberi nilai tambah.

“Mereka berangkat dari tujuannya, yaitu membuat buku. Harusnya, mereka berangkat dari alasan kenapa buku tersebut harus dibuat. Mereka sudah terbiasa melakukan kerja, bukan kinerja,” kata Ronald yang tahun ini sempat ke Singapura, mengikuti pelatihan tentang Manajemen Performa untuk Sektor Publik.

Yang masih menjadi kendala hingga kini adalah kemampuan pejabat pemerintah untuk menentukan nilai ukur. Bisa jadi karena otak mereka tidak mampu, bisa juga karena karekter setiap instansi dan deerah selalu berbeda.

Adanya laporan Akip sebenarnya untuk mengukur apakah suatu lembaga pemerintah berjalan dengan efektif, efisien, dan responsif. Ukuran yang tadinya kualitatif harus bisa dijadikan kuantitatif.

Adapun ukuran kinerja yang digunakan dalam laporan tersebut adalah pemasukan, pengeluaran, outcome, keuntungandan dampak. Sesuai dengan tujuan Kemneterian PAN, yaitu reformasi birokrasi.

Pembuatan laporan ini berdasarkan Instruksi Presiden No.7 tahun 1999. Sebelumnya, tak ada sama sekali laporan seperti ini. Maklumlah, masih pemerintahan Orde Baru.

Di tahun 2002, hanya 40% lembaga negara yang membuatnya. Saat ini, jumlahnya mencapai sekitar 70-80%. Tapi menurut Ronald, “Sebagian besar membuatnya hanya untuk formalitas.” (Ika Karlina Idris)
Indonesia Krisis Kepemimpinan

Jakarta-Jurnal Nasional

Dengan suara yang tegas dan tatapan yang tajam, lelaki itu berkata,”Negara kita mengalami krisis sistem, lebih-lebih lagi krisis pemimpin.”

Krisis sistem dapat dilihat dengan jelas dalam keseharian kita. Ia mengambil contoh pengerjaan galian jalan. Karena tak ada koordinasi, satu ruas jalan seringkali digali hinga berkali-kali. Suatu waktu penggalian dilakukan untuk memasang kabel listrik. Setelah itu jalan ditutup. Waktu yang lain, digali kembali, kali ini untuk memasang kabel telepon.

”Padahal kan sama-sama saja. Sistem seperti itu cenderung hanya untuk menghabiskan anggaran. Harusnya ada koordinasi di antara para pemimpin lembaga, agar tak terjadi hal ini.” urai lelaki itu

Contoh lainnya, adalah lamanya perizinan untuk membuka usaha di Indonesia. Kalau di Singapura, pembuatan izin usaha hanya tiga minggu. Sedang di negara kita, paling cepat 6 bulan. ”Tidak hanya ribet tapi juga harus melalui banyak meja, mulai dari pengurus RT, RT, kelurahan, Departemen Pariwisata, dan Departemen Lingkungan Hidup.

Karena itulah, masalah kepemimpinan harus dapat perhatian lebih. Kita haruslah melahirkan pemimpin-pemimpin baru, salah satu caranya adalah dengan mengukur kinerja mereka.

Lelaki yang berbicara tentang krisis kepemimpinan tersebut bernama Marsekal Muda Koesnadi Kardi. Saat ini, ia menjabat sebagai Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Pertahanan beberapa kali pula dirinya menghadiri konferensi perencanaan yang diadakan di Hawai, Australia, Filipina, Thailand, dan Singapura.

Untuk mengatasi krisis ini, terlebih lagi agar terwujudnya good government, lembaganya mengadakan kursus kepemimpinan dan menajemen. Ia ingin mengubah anggapan yang ada selama ini bahwa kursus kepemimpinan hanyalah untuk meneruskan kebijakan lama. Makanya kurus tersebut lebih dikenal dengan sebutan ”kursus pengganti”.

Artinya, kursus ini hanya untuk para calon pemimpin yang mempunyai keberanian mengganti kebijakan lama yang sudah tidak relevan lagi ”Hal yang masih diperaktekkan di tempat kita adalah mengartikan loyality sebagai mengikuti keinginan atau selera atasan. Mereka pun tidak berani mengemukakan pendapat yang jujur. Akibatnya, pemikiran-pemikiran yang brilliant sekalipun, asalkan datangnya dari bawah, tidak pernah terakomodasi dengan baik.”

Karenanya, dalam kursus kepemimpinan dan menajemen dimasukkan pula tentang balanced scorecard, yaitu alat untuk mengukur kinerja suatu lembaga.

”Kalau ukurannya kualitatif, ya kita buat kuantitatif. Kalau kinerja bisa diukur, pertanyaan kenapa kantor ini bisa maju dan yang ini tidak, itu bukan dijawab pejabat. Kan tinggal lihat saja ke balanced scorecard.”

Di bagian Diklat Dephan juga dibentuk think tank yang berfungsi mendefinisikan penerapan balanced score card, tentunya yang paling sesuai dengan lembaga tersebut.

Semisal, apakah ukuran keberhasilan bagi seseorang yang dilatihdi Pusat Bahasa Dephan. ”Kita harus tahu dia fasih berbahasa Inggris sejauh apa. Misalnya untuk saat ini, orang tersebut hanya diibaratkan 'hotel bintang tiga' karena bisa bercakap-cakap. Lalu, ukuran 'bintang lima'nya apa? Ya, kalau dia sudah bisa menjadi penerjemah dari orang yang sedang berpidato.”

Sayangnya, belum ada kebijakan lebih lanjut dari Menteri Pertahanan untuk mengaplikasikan alat ukur ini. Malah, menurutnya, harus ada kebijakan dari presiden, agar diterapkan di setiap lembaga negara. (Ika Karlina Idris)

Monday, November 20, 2006

Harga untuk Bush!

Seorang teman saya akan meliput kedatangan presiden AS, George W Bush, ke Indonesia. Dan inilah harga yang harus dia bayar:

1. Kemeja batik lengan pendek (Rp.166.000)
2. Kemeja lengan panjang diskonan (Rp. 107.500)

Kantor teman saya tidak memberi informasi yang cukup untuk wartawannya. Jadi, seperti liputan kepresidenan yang sudah-sudah, wartawan laki-laki biasanya WAJIB memakai kemeja lengan panjang atau batik (lengan pendek atau panjang tidak masalah).

Awalnya saya menyarankan dia beli kemeja lengan panjang saja, tapi dia lebih memilih batik.

Ternyata, setelah bertanya ke wartawan presiden yang ada di kantor saya, untuk meliput Bush, khususnya wartawan yang diperbolehkan masuk ke ring I, harus memakai kemeja atau batik lengan panjang.

[Saya juga tidak tahu berapa jarak yang dimaksud untuk Ring I ini. Pastinya, tidak cukup dekat untuk mengetahui apakah Bush ubanan atau tidak! Haha!]

Jadi, mau tidak mau, teman saya harus membeli lagi kemeja lengan panjang. Total pengeluaran sejauh ini: Rp. 273.500!

Sehabis beli baju, dia juga harus menraktir saya:
1. Mie ayam (Rp.10.500)
2. Aqua botol (Rp.2000)
3. Bayar Parkir (Rp.2000)

Total pengeluaran sejauh ini: Rp. 288.000!

Dia juga masih harus meminjam dasi dan tape recorder. Untuk yang terakhir, sebenarnya dia punya, tapi rusak.

Untuk kedua barang tadi, dia harus membayar:
1. Ongkos bensin dari rumah dia ke rumah saya (Rp.5.000)
2. Traktir saya makan malam (Rp.13.500)
3. Traktir saya Martabak manis (Rp.18.000)

Total pengeluaran sejauh ini: Rp.324.500!

Belum lagi, dia harus bangun pagi-pagi, keliling di sekitar Bandara Halim Perdana Kusuma untuk melaporkan keadaan di sekitar situ.

Saat saya meneleponnya, dia bilang tadi baru saja makan siang di KFC, mungkin sekitar RP.20.000. Total pengeluaran sejauh inu: Rp.344.500!

Dan sampai pukul 13.32 WIB, yang ditunggu-tunggu belum juga nampak! Bahkan bayangan AF-1 juga belum kelihatan.

Bayangkan! Seorang teman saya saja bisa keluar uang RP.344.500 yang juga setara dengan 68 kilo gram cabai merah keriting atau 137 kilo gram bawang merah atau 689 cup air mineral! Atau... 14 kali makan siang di restoran Padang Sederhana!

Ck..ck..ck... kalau seorang wartawan saja bisa menghabiskan uang sebanyak itu untuk Bush, apalagi Pemerintah Daerah Bogor! Apalagi Indonesia!

Selamat datang Mr. Bush! Di Indonesia, Tamu memang Raja! Haha!


Ps: Sayang, kamu ganteng sekali dengan kemeja baru dan dasi marun itu! Fiwiiiiit....fiwiiiiit!

Thursday, November 16, 2006

SALAH SAMBUNG

Kriiiing.... kriiiing....

Penelepon: Halo, selamat sore.

Penerima telepon: Iya, selamat sore. cari siapa?

Penelepon: Apa ini idealisme? halo apa kabar?

Penerima telepon: Bukan. Idealisme sudah pindah rumah. Sudah lama Sekali.

Penelepon: Apa ada nomor atau alamat yang bisa saya hubungi?

Penerima telepon: Tidak. Tidak ada. Tidak ada yang tahu dia pindah ke mana. Mungkin juga sudah mati.

Penelepon: Kasihan sekali. Kenapa Sampai begitu?

Penerima telepon: Tidak tahu. batang hidungnya pun saya tidak tahu. Saya juga baru enam bulan tinggal di sini. Memang sering ada yang menelepon dan mencari idealisme.

Penelepon: Masa sih kamu tidak tahu sama sekali tentang dia?

Penerima telepon: Kan sudah saya bilang kalau saya tidak tahu.

Penelepon: Apa dia tidak pernah datang? Mengecek surat-surat yang dikirim buat dia?

Penerima Telepon: Tidak tahu.

Penelepon: Masa sih kamu tidak tahu?

Penerima Telepon: kan sudah saya bilang tidak tahu!

Tuuut... tuuuuut....

Telepon ditutup. Percakapan selesai. Tapi si penerima telepon yakin besok masih akan ada penelepon salah sambung, yang mencari idealisme.

"Heran! Populer sekali si idealisme itu!," ujar penerima telepon dalam hati.
Saya menulis tentang perubahan tren migrasi orang-orang Minangkabau. ada 9 tulisan sebenarnya, tapi 5 tulisan yang lain adalah tulisan teman saya dan kolaborasi kami berdua. ada 4 tulisan yang saya buat sendiri.

Coba kamu baca dan kamu interpretasikan sendiri. Syukur-syukur kalau ada manfaatnya.

Selamat Membaca!


Minang yang dilumpuhkan

Jakarta-Jurnal Nasional

Pada masa lalu, orang-orang Minangkabau terkenal sebagai tokoh-tokoh pelopor. Sebut saja Bung Hatta, Sutan Sjahrir, M. Yamin, Tan Malaka, Hamka, Marah Rusli, Chairil Anwar, dan Agus Salim. Kini, orang-orang Minangkabau lebih dikenal karena kemampuan dagangnya daripada intelektual yang mereka miliki.

Bahkan, Gus Dur, tokoh Nahdatul Ulama yang berasal dari luar Minangkabau pernah menanyakan hal tersebut.

“Ke manakah perginya para pemikir dan dan ulama yang dulu memperkaya alam pemikiran dan keagamaan bangsa? Ke manakah perginya pemikiran politik dan kebudayaan yang segar dari daerah yang masyarakatnya menganut adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah?”

Titik awal kemandulan intelektual orang-orang Minangkabau dapat ditelusuri sejak gagalnya pergerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang pada 1958. Jakarta pun segera bertindak. Dengan pesawat, mereka menjatuhkan bom di atas Painan, Padang, dan Bukit Tinggi.

Menurut Audrey Kahin, seorang peneliti yang menulis tentang sejarah pemberontakan Sumatera Barat, peristiwa ini meninggalkan bekas yang mendalam.

“Tahun-tahun sesudah penyerahan pemberontak PRRI merupakan titik nadir untuk Sumatera Barat,” tulis Audrey dalam buku Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998.

Saat itu semua tokoh puncak pemberontak, baik militer ataupun sipil, ditahan. Pada akhir tahun 1961, semua warga Minang dipaksa bermigrasi ke Jawa karena malu disebut pemberontak (force urbanism).

Bahkan, saat datang ke Sumatera Barat di tahun itu, sejarawan Taufik Abdullah menggambarkan kondisi dirinya sebagai seorang perantau yang singgah di negeri orang. Ia yang sempat bangga karena menjabat sebagai asisten dosen dan wakil ketua senat mahasiswa tiba-tiba merasa kecut.

“Apakah orang Minang telah kehilangan sesuatu yang yang selalu mereka banggakan—kepercayaan diri yang tinggi—di kampung halaman sendiri?” tanyanya saat itu.

Tahun 1965 Orde Baru berkuasa di Indonesia dan menanamkan akar-akarnya. Menurut Taufik, Minangkabau tidak hanya menjadi pengikut setia Orde baru, tidak hanya perintah pusat tapi juga wacana yang ada di dalamnya.

“Bagaimana saya harus menahan senyum kalau sekali-sekali sempat mendengar pejabat daerah berbicara dengan gaya ke-Jawa-Jawa-an?” katanya.

Saat Harun Zain, Gubernur Sumatera Barat yang pertama, diangkat, pemulihan psikologis akibat PRRI dilakukan. Minang ingin mendapat citra sebagai “anak bapak yang baik”. Karenanya lahirlah suatu standar bagi keberhasilan pejabat daerah.

Mereka yang berhasil adalah mereka yang dapat menafsirkan apa yang diinginkan pemerintah pusat.

Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, selama itu pula terjadi perubahan pada masyarakat Minang. Pada akhirnya melahirkan masyarakat dan budaya yang feodalistik, patuh pada pusat, dan sikap nrimo. Elit-elit Sumbar mulai meninggalkan medan tarung politik, dan memasuki medan pembangunan ekonomi.

“Akhirnya Minang melahirkan kelas elit formal kekuasaan,” tulis Audrey.

Hal tersebut dapat terlihat dari anugerah Adipura yang berhasil diraih sebanyak dua kali. Atas keberhasilan tersebut, para mantan Gubernur Sumbar pun naik kelas menjadi menteri Soeharto.

Sayangnya, apa yang mereka capai di masa Orde Baru harus dibayar mahal. Menurut Audrey, masyarakat politik Minang kehilangan harta yang paling berharga, yaitu sikap kritis mereka. Ika Karlina Idris
Kalau Tidak Galiah, Bukan Minang

Jakarta-Jurnal Nasional

Orang-orang Minangkabau, di manapun mereka berada, terkenal sebagai pedagang ulung. Cobalah mampir ke sebuah pasar tradisional, pasti Anda akan menjumpai pedagang asal Minang di sana.

Kalaupun tidak mendominasi, jumlah mereka biasanya cukup banyak.
Bahkan, ada anekdot dalam masyarakat bahwa di setiap perempatan jalan ada orang Minang.

Maksudnya, hampir di setiap perempatan jalan dapat kita temui pedagang Minang yang berjualan di kaki lima ataupun membuka usaha rumah makan Padang.

Rupanya, ada satu kepribadian khas yang dimiliki suku ini. Dan itu menjadi kunci sukses mereka di perantauan.

Menurut Atropolog dari Universitas Indonesia Amri Marzali, keplibadian itu adalah galiah, yang berarti gelisah. Meski belum dapat dibuktikan secara ilmiah, namun kepribadian galiah berasal dari makanan yang mereka santap.

“Pola makan orang Minang yang gemar makanan pedas dan bersantan telah membentuk tempramen seperti ini,” katanya.

Makanan bersantan yang terlalu banyak dapat membuat perut seseorang mual. Sedang makanan yang pedas dapat membuat perut seseorang “gelisah” karena kepanasan.

“Ilmu kedokteran telah membuktikan bahwa jika seseorang mengonsumsi terlalu banyak suatu zat, maka akan mempengaruhi tempramennya. Pada akhirnya, santan dan cabe akan membentuk mereka menjadi orang-orang yang gelisah dan enerjetik,” ujar Amri.

Namun, tidak hanya faktor makanan yang membentuk sifat tersebut. Hal lain adalah pertentangan yang ada dalam masyarakatnya sebagai akibat dari sistem matrilineal yang mereka anut. Sistem matrilineal adalah cara menarik keturunan melalui garis perempuan.

Di sistem ini, harta dan gelar politik juga diwariskan pada perempuan.
Amri menyebut pertentangan tersebut dengan istilah “kontroversi minang”.

Kontroversi pertama adalah menyelaraskan sistem matrilineal dengan prinsip perkawinan eksogami kelompok atau kawin dengan orang di luar kelompok.

Seorang laki-laki yang sudah menikah bertanggung jawab atas saudara perempuan dan ibunya. Sementara itu, istrinya menjadi tanggung jawab mamak atau laki-laki dari keluarga istri yang dituakan.

“Jadi, pada siang hari ia harus berada di rumah keluarganya, tapi pada malam hari ia harus berkumpul dengan istri dan anak-anaknya,” jelas Amri yang juga putera asli Minangkabau.
Hal tersebut bisa dilakukan jika jarak antar rumah berdekatan. Akan tetapi, prinsip perkawinan dengan orang di luar kelompok menyulitkan hal tersebut. Karena otomatis jarak antar rumah berjauhan sehingga sulit untuk pulang balik.

Kedua, adanya perebutan kesetiaan dan tanggung jawab seorang laki-laki. Haruskah ia bertanggung jawab atas ibu dan saudara perempuannya? Ataukah kepada istri dan anak-anaknya?

Ketiga, setiap anak di Minangkabau punya dua orang ayah, yaitu ayah biologis dan ayah sosial, yaitu mamak.

“Dengan adanya dua orang ayah, betapa gelisahnya jiwa mereka saat dewasa,” tegas Amri.

Semua pertentangan-pertentangan tersebut membuat orang Minang gelisah untuk mencari bentuk-betuk struktur yang stabil. Hanya para perantau yang berpotensi untuk memperolehnya. Sedang mereka yang ada di kampung, tetap hidup dalam kondisi ketidaknyamanan itu.

Cara menemukan struktur yang stabil pun bermacam-macam. Misalnya dengan memperistri perempuan yang bukan Minang, berhasil sebagai pedagang di perantauan, ataupun menjadi profesor di perguruan tinggi.

“Jika dihadapkan pada suatu permasalahan, orang Minang pasti galiah. Mereka pun menjadi cerdik, licik, dan tidak mudah kena tipu orang. Sifat-sifat seperti ini tentu dibutuhkan untuk sukses dalam berdagang,” urainya. Ika Karlina Idris
Misi Perantau: Membangun Alam Minangkabau

Jakarta-Jurnal Nasional

Sebagian besar pendapat mengatakan bahwa penyebab utama orang Minang merantau adalah adanya ketidaknyamanan akibat sistem matilineal. Ketidaknyamanan tersebut karena adanya penarikan garis keturunan dan pewarisan harta yang ditarik dari pihak perempuan.

Usman Pelly, Guru Besar Antropologi di Universitas Negeri Medan membantah pernyataan tersebut. Walau mungkin benar pada sebagian orang, namun pada umumnya tujuan dari migrasi Minangkabau adalah untuk memperkaya dan memperkuat Alam Minangkabau.

Seperti apa perwujudan misi tersebut saat ini? Berikut petikan wawancara Jurnal Nasional dengan lelaki yang mengambil gelar doktornya di University of Illinois, USA.

Dalam buku Anda yang berjudul Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangakabu dan Mandailing, tertulis bahwa Orang Minangkabau punya misi untuk memajukan Alam Minangkabau. Masihkah hal tersebut menjadi tujuan mereka merantau?

Meski sudah ada perubahan-perubahan, tapi misi mereka tetap seperti itu. Dulu, para perantau membangun Minang dengan cara tradisional, maksudnya melakukan pembangunan secara fisik.

Sekarang, para perantau membangun kampung dengan membawa pemikiran baru. Hal ini nantinya membuat mereka lebih dihargai di kampung halaman.

Kalau masih membangun fisik, tentunya butuh modal yang besar. Sebagai contoh, membangun potensi dana maninjau tidak lagi dengan membangun hotel-hotel. Bisa saja dengan memberikan rumah untuk dipinjamkan.

“Rumah yang ditinggal penghuninya merantau, bisa dikelola oleh pengurus nagari untuk dijadikan tempat menginap para turis. Mereka senang karena biayanya murah. Orang kampung juga mendapat penghasilan,” urainya.

Hal tersebut juga membangun kampung, meski tidak secara langsung.
Lainnya, para perantau bisa juga mendirikan Bank Perkreditan Rakyat untuk mengumpulkan keuntungan mereka. Nantinya keuntungan tersebut disalurkan lagi sebagai modal usaha penduduk kampung.

Apakah Gerakan Ekonomi dan Kebudayaan Minang (Gebu Minang) termasuk perwujudan misi tersebut?

Tentu saja. Gerakan ini sebenarnya Gerakan orang rantau dalam membangun kampungnya di Sumatera Barat. Pertama kali, diwujudkan dalam pembentukan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) oleh Gerakan Seribu Minang. Dimana setiap perantau mengumpulkan uang seribu untuk pembangunan kampung.

Kemudian, gerakan ini berganti menjadi gerakan Ekonomi dan Kebudayaan Minang (Gebu Minang). Paguyuban itu diharapkan dapat menjadi wadah bagi para perantau yang telah menimba pengalaman di tempat lain untuk menerapkan di daerah asalnya.

Para perantau diminta ikut merencanakan serta terlibat langsung dalam pembangunan di daerahnya.

Dalam hal budaya, mereka punya kegiatan yang disebit Baliak Basamo (pulang bersama). Biasanya dilakukan bagi mereka yang akan merayakan Idul Fitri di kampung.

”Sebagai contoh, orang rantau asal maninjau yang ada di Medan biasanya terlibat kegiatan ini. Ada sekitar 3-4 bus yang mau pulang ke kampung. Biasanya, kami mampir dulu ke Bukit Tinggi untuk beli semen dan bahan-bahan bangunan.

Barang-barang tersebut nantinya kami gunakan untuk meperbaiki masjid atau madrasah yang rusak,” ujar Usman.

Akibat besarnya jumlah urbanisasi dari Minang, Ada keluhan dari para tokoh masyarakat bahwa mereka kekurangan SDM untuk membangun kampung. Hal tersebut rasanya bertentangan dengan tujuan membangun Alam Minangkabau tadi.

Memang benar ada hal seperti itu. Bahkan, pertumbuhan penduduk di Sumatera Barat itu kan selalu minus setiap tahunnya.

Ini karena orang-orang keluar dari kampung. Sebenarnya, hal ini tidak hanya terjadi di Minang, tapi di seluruh perkampungan yang punya tradisi merantau, misalnya saja Tapanuli.

Sebenarnya, mereka yang merantau diharapkan untuk kembali lagi. Tapi, karena berbagai alasan, mungkin karena sudah nyaman di rantau, mereka tak kembali lagi.

Karena itu, pembangunan yang ada di Sumatera Barat haruslah bisa mencipatakan lapangan kerja. Ini agar orang-orang tak lari mencari kerja ke luar.

Selain itu, harus pula dibangun lembaga pendidikan modern yang bertaraf internasional. Ini untuk pemuda-pemuda Minang, agar mereka tak perlu belajar ke Jawa atau luar negeri.

Terakhir, haruslah ada semacam pelatihan bagi para perantau. Tidak hanya bekal keahlian, tapi juga ditanamkan semangat untuk membangun kampung. Ika Karlina Idris
Pedagang tekstil, Penjahit, dan Pembuat Sepatu

Bandung-Jurnal Nasional

Selain pengusaha rumah makan Padang, pedagang-pedagang Minang biasanya menguasai perdagangan tekstil, menjadi penjahit, ataupun membuat sepatu. Tujuan mereka merantau rupanya dapat menjawab kecenderungan tersebut.

Menurut Antropolog dari Universitas Negeri Medan Usman Pelly, tujuan merantau orang Minang adalah untuk memperkaya dan memperkuat “alam Minangkabau”.

“Harta dan pengetahuan yang didapat dari rantau akan dibawa ke kampung halaman. Hal ini akan sangat dihargai oleh penduduk kampung,” tulis Usman dalam buku Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing.

Namun, tak semua orang yang merantau akan sukses. Itulah mengapa mereka yang memutuskan merantau biasanya adalah orang-orang pilihan. Karena jika tidak sukses, mereka akan malu untuk pulang ke kampung halaman.

“Tak ada muka manis bagi perantau yang gagal. Mereka harus kembali ke daerah rantau dan berusaha lagi. Jika tidak, lebih baik larut di rantau dan tidak usah pulang,” tegas Usman.

Ditambah lagi, orang-orang Minangkabau tidak pernah memberikan modal kepada anak-anak mereka. Sebab, semua harta di kampung adalah milik kerabat matrilineal.

Karena terpacu untuk sukses, orang-orang Minangkabau berkonsentrasi pada pekerjaan yang dapat menghasilkan banyak uang. Makanya, sangat gampang menemukan orang-orang Minang di pusat-pusat perdagangan.

“Ada tiga ciri dari pekerjaan mereka. Pertama, pekerjaan tersebut bersifat mobile. Kedua, tidak memerlukan modal besar. Ketiga, mudah dipindah atau ditutup sementara jika mereka pulang kampung,” ujar Antropolog yang juga aktif menulis buku ini.

Berjualan tekstil adalah salah satu perekonomian pasar dimana tidak ada harga mati, penjual dan pembeli bertransaksi secara langsung, serta merupakan bisnis ada uang ada barang (cash and carry).

Dorongan-dorongan untuk berhasil, dialami juga oleh Madi Tanjung, 24 tahun, pedagang baju bekas di pasar Gede Bage, Bandung.

Sejak usia 15 tahun, lelaki asal nagari Lubuk Kuar, Padang Pariaman, Sumatera Barat, ini sudah merantau ke Bandung. Awalnya karena ia merasa tak sanggup lagi bersekolah. Oleh orang tuanya, Madi disuruh merantau ke Jawa.

“Saya waktu itu datang hanya modal ongkos. Sampai di Bandung, saya ditampung di rumah sesama orang Minang. Saya juga belum kenal dia, hanya tahu saja kalau dia dari kampung yang sama,” ceritanya.

Dua tahun pertama, ia bekerja sebagai “anak magang” di kios baju bekas milik tema rumanya. Setiap hari, ia dibayar Rp.15.000 sebagai ongkos menunggui toko.
“Saya harus menjaga kepercayaan teman saya itu, lalu saya pun diajari tentang bisnis ini,” tuturnya.

Di umurnya yang ke-17, Madi telah mengumpulkan modal sebesar Rp 2 juta dan telah membuka kios miliknya. Saat ini, anak ke sepuluh dari dua belas bersaudara ini telah mempunyai dua kios. Satu kios dijaga sendiri olehnya dan kios lain dijaga oleh “anak-anak magang” yang berjumlah empat orang.

“Sama seperti waktu saya datang ke bandung, saya juga memberi mereka pekerjaan dengan mejaga kios. Saya tak tahu mereka dari nagari mana, yang saya tahu mereka orang Minang, kami harus saling membantu,” kata Madi.

Teman-teman seangakatan Madi yang datang ke Bandung rata-rata sudah sukses. Bahkan sebagain besar membuka kios di pusat perdagangan yang modern, tidak lagi di lapak-lapak atau kios di pasar.

Madi juga mengaku setiap bulannya mengirim separuh dari keuntungan yang diperolehnya ke kampung. Jumlah yang cukup besar, mengingat keuntungan yang ia peroleh bisa mencapai Rp 1,5-2 juta setiap bulannya.

“Sebenarnya anak-anak ibu saya banyak. Tapi saya tetap kirim. Orang tua kan bangga kalau bisa cerita anak-anak mereka sukses di perantauan,” urai Madi. Ika Karlina Idris

Monday, November 06, 2006


Aku berdiri di bawah pohon sehabis hujan

Kutarik dahannya yang menjuntai

Sampai aku kehujanan sendiri

Oleh hujan yang kukarang sendiri...




(saya lupa pernah baca tulisan ini di mana)
Laki-laki yang Bercerita tentang Senja

Selasa, 31 Oktober 2006

Ada yang bilang, hal yang paling menyenangkan terjadi justru saat kamu tak mengharapkannya.
Saya bertemu kamu lagi hari itu. Dengan cepat saya dapat mengenalimu, meski di antara rak-rak buku.

Ngomong-ngomong, sudah berapa lama kita tak bertemu? Satu tahun? Dua?

Pernah saya melihat bayanganmu, tapi kan itu semu! Tetap saja bukan kamu.

Lalu, layaknya orang yang baru berjumpa, kita saling menyapa. Saya tak tanyakan kabarmu. Apalah gunanya? Kamu terlihat sama seperti terakhir kali saya melihatmu. Kamu jingga.

Dan ceritamu pun berlanjut hingga ke gerai donat yang ada di sebelah toko buku. Untung saja malam itu hujan. Jadi saya tak harus buru-buru pergi ke kampus.

Sebenarnya, bisa saja saya bertemu kamu lagi. Tapi, apa bisa rindu ditahan?

Dan di sanalah kita.. Duduk sambil menatap hujan yang jatuh ke jalan. Menatap melalui kaca jendela gerai donat. Kita melihat orang-orang yang berteduh dari hujan.

Saya menyeruput kopi. Masih panas ternyata. Lalu saya gigit donat selai kacang bercampur coklat.

Saat saya makan, kamu pun mulai bercerita. Selalu sama, tentang SENJA!

Kamu bercerita tentang langit berwarna merah, langit yang terbakar, dan tentang sebuah kota yang selalu berpelangi.

Lagi-lagi, kamu menyuguhkan cerita yang selalu saya suka. Tentang ikan paus berwarna merah, tentang kunang-kunang peliharaan sukab, tentang pencuri senja, dan tentang si peselancar agung.

Mendengarnya, saya lalu membayangkan ada di sebuah pantai sambil melihat senja. Melihat matahari yang membakar langit. Saya merasakan hangatnya matahari senja, angin pantai yang asin, dan ombak yang menyentuh kaki-kaki saya.

Ah, kamu selalu membuat saya terbuai dengan indahnya senja. Padahal, di luar sedang turun hujan deras. Hujan yang membuat seorang kekasih basah. Tapi, tak ada hujan yang cukup deras bagi seseorang yang akan menemui kekasihnya bukan?

Cerita mu rasanya seperti meniduri kasur yang baru dijemur. Selalu ada sisa-sia matahari di sana. Dan kasur seperti ini paling enak ditiduri saat sedang hujan. Karena selalu ada sisa-sisa bau matahari, meski udara sedang dingin-dinginnya.

Kriiiiing..kriiiiing.....

Dia: “Halo, kekasih, saya di depan toko buku. Sudah malam, jadi parkiran sudah tutup. Motor saya ada di sebelah tukang bak pao.”

Saya: ”Iya, saya ke sana.”

Sudah dulu ya, kekasih saya datang menjemput. Kami akan menembus hujan yang tinggal rintik-rintik saja. Tapi, saya akan mengingat hangatnya senja yang kau ceritakan. Pastinya, akan saya tularkan juga ke kekasih saya.

PS: Oh iya, saya baru ingat! kita terakhir kali bertemu tanggal 17 mei dua tahun yang lalu, waktu teman saya puti berulang tahun.

Tuesday, October 31, 2006

Upacara Kehidupan

Kau tahu apa itu upacara kehidupan? Segala hal yang kamu jalani selama hidup, yang juga dijalani orang lain. Sebenarnya sih, ada upacara yang tidak harus kamu jalani.

Tapi, kalau tidak kamu jalani, kamu akan dianggap aneh, atau terkena sanksi sosial lainnya (digosipin, dirumpiin, dicela, atau dironrong).

Gampang saja kalau mau tahu upacara kehidupan itu apa. Sesekali, coba dengarkan topik pembicaraan ibumu saat sedang arisan dengan teman-temannya.

Atau kalau belum tahu juga, coba ingat lagi hal-hal apa saja yang selalu ditanyakan sama om, tante, sepupu, ipar, kakek, nenek, tetangga, atau bahkan teman yang basa-basi saat reuni.

”Eh, bu, bu, anaknya kuliah di mana? Unpad? Kalau anak saya mah di ITB. Anaknya jeng Anu kuliah di UI lho, program khusus lagi!,” kata seorang teman ibu saya.

”Bagaimana skripsinya? Kapan lulus?,” tanya Om saya sekitar setahun lampau.

”Mana dong pacarnya? Kapan dikenalin ke tante?” kata tante saya di salah satu arian keluarga.

”Oh sekarang kerja di situ? Perusahaan apa itu? Punya siapa? Gajinya berapa?” kata seorang teman yang mengajak berbasa-basi.

”Gila! Kerjaan lo di sana enak banget! Gajinya gede lagi!” komentar salah seorang teman akrab saya.

”Alhamdulillah, teteh sudah menikah. Kamu kapan nyusul?” ujar seorang teman.

”Ya ampun! Kok kawin nggak bilang-bilang? Kapan nih punya anak?” kata-kata yang pastinya sering kamu dengar atau bahkan kamu tanyakan.

Jadi, sejauh ini, upacara kehidupan itu menurut saya adalah sekolah, lulus sekolah, bekerja, bekerja di tempat yang bagus dengan gaji paling tidak 5 kali UMR buruh di Jakarta, menikah, lalu punya anak.

Kemarin, seorang teman saya bercerita. Saat lebaran dia sampai kesal karena terus dironrong pertanyaan yang sama., yaitu kapan menikah.

Padahal, teman saya umurnya baru 22 tahun! Well, memang sih, kalau di kampung umur segitu biasanya sudah punya anak dua.. Tapi, come on! She’s not that old!

Anehnya, ada beberapa pengeculian untuk perempuan. Kamu boleh tidak lulus kuliah ataupun tidak punya pekerjaan, asalkan ada seseorang yang mau mengawinimu, memberimu uang, dan memberimu anak! Haha!

Hmm.. kalau upacara di sekolah, biasanya saya suka membolos, bersembunyi di sekretariat sisgahana atau makan di kantin. Bahkan kalau perlu, ngumpet di WC! Memang sih, kalau sedang apes, biasanya suka ketahuan guru.

Kadang, saya ikut upacara tapi tak mengikutinya dengan khidmat. Biasanya saya sibuk bergosip dengan teman-teman. Atau, kalaupun ikut, saya biasanya baris di belakang. Alias, barisan tempat orang-orang yang dihukum karena terlambat, tidak pakai topi, tidak pakai dasi, atau karena tidak pakai rok putih.

Saya jadi berpikir, apa boleh saya ikut upacara kehidupan dengan kasus-kasus seperti upacara di sekolah?

Apa boleh ngabur ke kantin? Apa boleh baris di belakang karena seragam yang tidak lengkap? Atau, apa boleh tidak mengikuti upacara dengan khidmat?

Atau...Apa boleh tidak ikut upacara? Pura-pura pusing saja, biar disuruh istirahat di ruang PMR! Hehehe..

Ps: Tenang saja mamahku sayang.. Saya sedang latihan baris-berbaris, biar nanti kalau upacara bisa jadi pengibar bendera! Haha!

Sunday, October 29, 2006

Run, Nala! Run!

Ayo, sayang!
Ayo, berlari secepatnya!

Melewati antrean kemacetan jalan karena pembangunan bus trans jakarta, menyelip di antara pedagang kaki lima dan pengamen yang ada di setiap perempatan jalan. Terus saja berlari.

Sewaktu melewati jalan Sudirman, tak usah pedulikan orang-orang yang mengintip dari jendela perkantoran gedung-gedung bertingkat. Jangan pula berhenti meski massa bayaran yang sedang berunjuk rasa di depan bundaran Hotel Indonesia mengajak bergabung, terus saja berlari.

Melewati kota tua Jakarta, hingga pelabuhan sunda Kelapa.

Lari saja sampai menyeberang lautan. Bertemu Deni si manusia ikan atau ubur-ubur. Jaga langkahmu agar tak tersandung kapal karam. Jaga nafasmu agar tak tersedak tumpahan minyak.

Hingga kita mengelilingi tujuh keajaiban dunia. Menara eifel di Paris, Tembok Besar di Cina, Taj Mahal, Taman Gantung Babilonia, Menara Pisa, Koloseum romawi, dan Piramida di Mesir.

Terus saja berlari..

Eratkan peganganmu, atur nafasmu, dan
Percaya padaku..

we're running, keep holding my hands, so we don't get separated. -No Doubt-

Thursday, October 19, 2006

Chasing Walmiki

Saya masih memburu Walmiki

Ada yang bilang, dia terakhir terlihat di sekitar Menteng, dekat taman suropati

Tenang saja, pasti terkejar

Sekarang saya sudah pakai sepatu lari keluaran NIKE!
Anak-anak S2

Ada angkatan 2001 yang baru aja lulus, belum bekerja, langsung kuliah S2, biaya di tanggung orang tua.

Ada yang maniak teknologi. PDA, HP, USB Flash Disk, laptop terkini, semuanya dipakai untuk menunjang kuliah.

Ada yang sangat modis. Baju ala bohemian, jeans ala J-lo, rambut dicat, sepatu blink-blik, bedak tidak pernah luntur, lipstik menempel, wangi, bulu mata disapu maskara. Biasanya, di sekeliling mereka selalu menempel banyak lelaki.
(saya pikir kumpulan seperti ini cuma ada waktu SMA saja!)

Ada dosen yang sudah tua dan belajar bersama anak-anak 2001 yang baru lulus. Biasanya mereka jadi korban saat dosen mengajukan pertanyaan dan tidak ada yang mau menjawab.

Ada ibu-ibu. Sukses dalam karir, usia di atas 40 tahun, jinjingan tas segambreng, selalu beli setiap buku yang ditawarkan.

Ada yang selalu masuk keluar kelas. Biasanya karena mengantuk, bosan, mau merokok, atau menerima telepon.

Ada yang mau aja ditunjuk jadi ketua kelas, sekretaris, bendahara. Dengan suka rela harus mengirim soft copy bahan kuliah ke milis, mengopi bahan-bahan kuliah, dan yang lebih hebat lagi, mereka melakukan semuanya sambil sesekali diprotes.
(Kembalian gue mana? kok gue nggak dapet bahan itu? bahan kuliah kemarin belum di posting ke milis ya? bla..bla..bla..

Ada yang jualan kue, jualan barang-barang lucu, jualan kosmetik.

Ada yang selalu datang terlambat.

Ada yang sering nitip absen.

Ada yang nyolot dan jadi musuh bersama. (tapi ini rahasia ya!! inisialnya D, tapi selalu ngotot dipanggil S)

Ada yang sering berkomentar lucu, komentar pedas, atau komentar bodoh.

Dan akhirnya ada saya. Datang nyaris terlambat, duduk paling depan, tertawa cekikikan dengan teman di samping, sehabis kuliah selalu panik bertanya apakah ada bahan kuliah yang harus dikopi, dan pulang paling cepat.
Surat Cinta

Dua hari lalu, teman saya, mas Nafi dari Koran Tempo, bercerita tentang surat cinta. Dulu, sewaktu mengajar di sebuah SMK yang ada di Jakarta, dia pernah dikirimi surat cinta dari salah satu muridnya.

Tiba-tiba saja, saya jadi ingat surat-surat cinta yang pernah saya dapat.

23 tahun umur saya, hanya ada satu orang yang mengirmi saya surat cinta. Ada banyak surat. Semuanya masih saya simpan di sebuah kotak bekas sepatu, bersama dengan kartu ulang tahun dan kartu lebaran yang pernah saya terima dari orang-orang.

Karena cerita Mas Nafi, saya pun membuka kotak itu dan membaca beberapa surat.

Saya paling suka surat yang pertama kali dia berikan.

lebih mirip kartu sebenarnya. Bentuknya seperti bunga yang punya enam kelopak. Terbuat dari karton warna merah dan ditengah-tengahnya ada kertas. Di kertas itu dia menuliskan perasaannya.

Saya tidak akan memberi tahu kamu isinya. (Itu kan rahasia!)
Tapi, saya ingat betul masa di mana dia memberikan surat itu.

Waktu itu, saya kelas dua SMA dan dia kelas tiga. Sudah sore, sudah jam pulang sekolah.

Kami sempat mengobrol sebentar dan tahu-tahu dia memberi saya surat itu. Waktu itu dia bilang,"Jangan bilang siapa-siapa."

Saya bilang,"Iya."

Lalu dia menyuruh saya berjanji. Dan saya pun setuju.

Tapi, ternyata saya bilang-bilang. Saya cerita ke Cindy, Witty, Dea, dan Vina. Bagaimana mungkin saya tidak cerita? Itu kan surat cinta pertama saya!

Setelah itu, dia mengirimi saya beberapa surat lagi. Bahkan setelah saya kuliah pun dia masih mengrimi saya surat cinta.

Yang terakhir, dia mengirimi saya sebuah buku seukuran buku saku. Isinya, kumpulan puisi dan surat-surat cinta selama setahun yang tidak sempat dia kirim ke saya.

Hmm.. Saya yakin kamu ada yang kegelian atau merasa sangat "ABG" sekali atau sangat "Rangga dan Cinta" (Hueeeeek!!!).

Tapi, menurut saya puisi-puisi itu bagus. Saya suka.

Betapapun picisannya isi surat dan pusi cinta itu, saya tetap suka membacanya. terkadang, di saat-saat tertentu, saya merasakan perasaan bahagia sewaktu membaca surat itu pertama kali.

Lagipula, kamu-kamu kan tahu kalau saya ini melankolis! hehehehe...

Jadi, apa kamu juga pernah dikirimi surat cinta?

Wednesday, October 18, 2006

Jamrut, bukan Jamrud!

Ada yang tahu jalan Jamrut itu di mana?

Jalan Jamrut itu ada di daerah Kramat, Jakarta Pusat. Tepatnya, ada di sebelah kanan kantor Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU). Kalau ke arah Senen, berarti kamu harus belok kiri sebelum kantor PBNU.

Saya tahu jalan itu karena katanya sering ada transaksi senjata ilegal di sekitarnya. Mungkin sebulan lalu, pernah ada anggota TNI yang tertangkap polisi karena bertransaksi senjata di jalan itu.

Tapi, baik TNI maupun polisi tak ada yang memberi pernyataan resmi tentang keterlibatan anggota TNI dalam kejadian itu. Padahal, sempat terjadi baku tembak antara polisi dan pelaku.

Hmm.. Kita lewatkan saja bagian itu. Bukan itu yang mau saya ceritakan.

Saya mau memberi tahu kalau saya senang melewati jalan itu.

Jalan Jamrut sebenarnya cuma salah satu jalan sempit yang ada di Jakarta. Berliku-liku, mengikuti aliran kali yang ada di sana.
(Aduh! saya tidak tahu nama kalinya apa)

Jalan Jamrut isinya rumah-rumah kecil, mungkin hanya seluas 50 meter. Saya juga tidak tahu persis. Yang jelas, kalau kamu lewat, kamu bisa sekalian melihat isi rumah.

Kamu bisa lihat orang-orang sedang tidur. Biasanya, di ruang tamu, ada dua atau tiga orang yang tidur. Padahal, ukuran ruang tamu itu paling-paling hanya 3x4 meter. Itu pun masih "saingan" sama lemari TV atau kursi tamu.

Sepandangan saya, biasanya hanya ada kamar tamu dan satu kamar tidur. Tidak ada halaman. Bahkan, tidak ada WC atau kamar mandi.

Makanya, di sepanjang jalan Jamrut terdapat banyak WC atau kamar mandi umum.

Oh iya, di sepanjang jalan juga kamu akan melihat jejeran gerobak. Sepertinya, mayoritas warga yang tinggal di jalan itu adalah penjual gorengan, mie tek-tek, bakso, siomay, atau es kelapa muda. Pokoknya, jajanan pinggir jalan.

Anehnya, saya paling suka lewat jalan ini. Mungkin karena saya membonceng dia, pacar saya.

Hampir selalu, dia ngomong seperti ini, "Nggak ada yang nyangka di Jakarta masih ada daerah kumuh kayak gini. terpinggirkan."

Belum lagi kalau dia tambahkan dengan kata TERMARGINALKAN!

Setelah saya pikir-pikir, mungkin saya suka melewati jalan itu karena semua hal tadi. Melewati jalan Jamrut membuat saya berpikir bahwa saya jauh lebih beruntung dari pada warga jalan jamrut.

Membuat saya bersyukur akan nikmat yang diberi tuhan ke saya.

Sesekali, membuat saya jadi lebih sayang dia.

Kamu bayangkan saja semua perasaan bersyukur itu kamu lewati bersama dengan orang yang kamu sayangi.

Teman saya Odit pernah bilang begini:
"Romantis bukan suasana. Tapi romantis itu ketika lo melewati waktu yang menyenangkan."

Kalau patokannya omongan Odit, berarti melewati jalan jamrut adalah hal yang romantis.

Sebenarnya, saya tidak punya indikator apa saja yang bisa disebut romantis dan apa yang tidak. Tapi, kali ini saya sepakat saja dengan Odit.


*** Waktu berita tentang transaksi senjata itu turun di beberapa harian nasional dan ibukota, sebagian besar salah menuliskan jalan JAMRUT jadi jalan JAMRUD. hehehe... Berarti semuanya ramai-ramai melakukan kesalahan elementer! Haha!

Monday, October 16, 2006

Seorang Redaktur Tewas Dibunuh!

Jakarta-Jurnal Nasional

Seorang redaktur harian nasional berinisial DN, umur cukup tua tapi belum menikah, ditemukan tewas, kemarin malam, dalam kondisi yang mengenaskan.

Seluruh tubuhnya penuh luka tusuk dan kedua bola matanya hilang. Polisi menduga, DN dibunuh oleh preman yang ada di daerah lokalisasi Kramat Tunggak, Cilincing, Jakarta Utara.

Mayat DN ditemukan oleh seorang pemulung bernama Asep, 35 tahun, saat sedang membawa anjingnya mencari makan di tong sampah.

”Waktu itu anjing saya nyari makan. Saya kira dia nemu tulang, taunya lagi ngorek-ngorek mayat. Saya serem banget pas ngeliat mayat itu, orang matanya aja hilang,” ujar Asep polos.

Salah seorang penjual nasi goreng yang biasa berjualan di daerah tersebut, Panjul, 23 tahun, mengaku melihat DN sekitar pukul 22.00 WIB. Menurutnya, DN baru saja keluar dari sebuah hotel murahan.

”Gaya jalannya seperti lagi mabok. Trus saya liat ada dua orang laki-laki berpakaian hitam yang mengikuti dia dari belakang,” cerita Panjul.

Menurut Kepala Satuan Kejahatan Jalanan dan Kekerasan Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Ajun Komisaris Besar Polisi M. Fadil, pihaknya sudah memeriksa 5 orang saksi. Dua di antaranya sudah ditetapkan sebagai tersangka.

”Memang DN ini langganan PSK di sana. Waktu itu dia lagi mabok dan mungkin tidak bawa uang banyak. Makanya lalu dihajar sama dua preman,” terang Fadil.

Polisi menduga kuat motifnya adalah masalah keuangan. Salah seorang reporter DN mendukung hal tersebut.

”Yah, memang orangnya banyak yang nyebelin, wajar aja kalau ada yg bunuh. Saya sih senang ada yang mewakili saya. Kalau masalah dia suka nyewa PSK sih, semua orang di kantor sudah tahu,” ujar Ika, 23 tahun, datar dan tak sedikit pun merasa kehilangan.

Hingga saat ini, kelima saksi, termasuk kedua tersangka belum dapat ditemui dan diterima wartawan. Mayat DN hingga saat ini masih berada di RSCM untuk diotopsi. Namun belum ada keluarga yang mau datang mengambil.

”Biarin aja, terserah polisi mau diapain,” ujar Sari, kakak korban. (IKA)

Ps: Saya benci redaktur saya!!!
tapi kan nggak mungkin marah-marah ke dia!
makanya saya berimajinasi saja =P

Sunday, October 15, 2006

Sepatu dan Celana Cargo

Tadi malam saya menemani pacar saya belanja pakaian. (baju baru buat lebaran ya, sayang? hihihihi)

well, dia memang tidak modis. bahkan, suka berpakaian asal-asalan.

potongan jinsnya aneh, yang mengecil di bawah, atau model lurus. ada celana cargo yang rada mendingan (saya ulangi, rada mendingan, rada!) tapi, kalau celananya kepanjangan. ujungnya nggak pernah dipendekin, cuma dilipat. Aneh!

baju sebenernya nggak masalah. (Asal kamu tidak pakai kaos yang gembel itu. yang kamu pakai waktu menemani saya liputan tukang sapu jalanan, subuh-subuh di monas)

kemeja bolehlah...

sepatu?? no! No! NO!
sudah dekil sekali!
(jadi, besok-besok pas lagi sholat dan sepatu kamu hilang, kamu tahu kan bukan orang yang ngambil. sepatu kayak gitu siapa yang mau pakai? itu pasti saya yang ambil dan saya buang, biar kamu beli sepatu lagi)

saya jadi ingat waktu kamu saya ajak ke buka puasa bareng teman-teman kampus saya. waktu itu, kamu langsung mau beli baju baru. kamu bilang gini:

"Ntar temen-temen lo bilang, si ika ngajak gembel dari mana niy.."

waktu itu, saya sedikit terharu. kamu kok segitunya sih? tapi, setelah saya pikir, kamu ada benarnya juga. dan akhirnya kita membeli kemeja coklat dan baju merah garis-garis itu.

baju garis-garis yang akhirnya membuatmu diledek teman-teman se-liputan!
mereka bilang begini:
"Cie... baju lebarannya udah dipake?"
"lo make baju adek lo ya?"
"udah, amplopnya diambil aja, kan bisa buat beli baju garis-garis"

hihihihihi... itu lucu banget lho sayang!

o y, tadi malam juga lucu, soalnya saya harus maksa-maksa kamu dulu. ditambah beberapa kali ngambek, baru deh mau beli baju.

alhasil, kamu bawa pulang celana jins dan dua kemeja.

sebenarnya sih, baju itu nggak penting-penting amat. katanya, yang penting hatinya, yg penting di "dalemnya".

tapi, kalau dipikir-pikir, sebenarnya penting juga. kamu kan harus ketemu orang banyak. dan pakaian itu, salah satu cara kamu berkomunikasi.

kalau kamu pakai baju yg sudah buluk waktu ketemu narasumber, kan jadi ada hambatan dalam komunikasi kalian. buluk dan kucel itu kan identik dengan orang-orang jalanan, mana ada orang yg mau ngasih informasi ke orang yg tidak peduli sama penampilannya? bisa-bisa informasi itu malah disalahgunakan!

(hehehe... berlebihan ya?)

lagian, kalau rapih, kamu jadi lebih ganteng! (kedip..kedip.. fiwiiit..fiwiiiit)

jadi, kapan mau dipake kemeja barunya?
saya tidak sabar ingin tahu komentar orang-orang tentang penampilan kamu. atau lebih tepatnya lagi, celaan orang-orang!

ps: meski nggak modis, saya tetep sayang kamu kok.. (kedip..kedip..)
Untuk Shinta

Jumat siang, 13 Oktober, saya dapat sms dari teman saya Shinta. kurang lebih begini:
Gulrz, nyokap gue tadi pagi masuk rumah sakit islam. ada pendarahan lagi otaknya. mohon doanya ya!

Setelah membaca sms itu saya kaget. sempat diam sejenak, seperti adegan slow motion di film-film. kalau saya tidak salah hitung, ini sudah kali ketiga mamahnya shinta masuk rumah sakit karena pendarahan di otak alias stroke.

sebenarnya, hari itu saya masih ada dua liputan, pembuat beduk di pramuka dan tekstil impor di tanah abang. tapi, saya juga ingin ke rumah sakit. saya mau bertemu sahabat saya itu. mungkin tidak ada yang bisa yang saya lakukan. toh, kata shinta mamahnya belum sadar.

meski harus bohong ke redaktur dan korlip (hehehe.. maap mas..) akhirnya saya berangkat juga ke rumah sakit islam.

di mobil, saya jadi berpikir hal yang sebenarnya sudah sering saya pikirkan. bagaimana kalau saya berada di posisinya?

kami sama-sama anak sulung dari tiga bersaudara. masih ada dua cecunguk yang harus kami jaga.

tapi shinta, papahnya baru saja kena stroke dam ke mana-mana harus pakai kursi roda. mamahnya, masuk rumah sakit lagi.

saya takut ketemu dia. saya takut menjadi terlalu sedih dan memberikan reaksi yang salah. dan hanya akan membuatnya tambah sedih.

karena pikiran-pikiran itu, saya membelokkan mobil dan mampir ke carefour. cukup lama saya berputar-putar di koridor buah dan roti.

lalu, saya tiba di rak makanan dan minuman instan. ada jus instan, susu instan, mie instan, bihun instan, sup instan, dan nasi instan.

saya pun terpkir,"kenapa sih tidak ada yang isntan-instan untuk perasaan manusia? shinta, seandainya ada obat instan biar kamu tidak sedih, pasti sudah saya belikan."

dan kau tahu apa yang saya beli? saya beli pocari sweat dan ayam panggang. saya harap dua-duanya bisa mengganti energi kamu setelah bersedih.

(ayamnya enak kan? =p)

singkat cerita, saya tiba di rumah sakit dan mendapati sahabat saya itu. seperti biasa, dia pakai kaos pink! (bahkan di saat panik pun kamu masih memakai kaos pink! hihihihi)

sebenarnya dia tidak terlihat sedih, bahkan dia bercerita hal-hal lucu. tentang betapa paniknya dia tadi pagi sampai-sapai lupa memakai BH saat ke rumah sakit.

tapi, saya tahu, itu cuma akal-akalan dia saja. akal-akalan biar dia tidak menangis.

saya pun duduk di sampingnya, di bangku ruang tunggu rumah sakit. saya berkomentar seperlunya saja dan (seperti biasa) hanya merutuki segala hal yang terjadi hari itu.
kamu tahu, itu juga cuma akal-akalan saja. biar saya tidak memelukmu dan menangis.

apa jadinya kalau kita berdua menangis?

Damn! saat ini lebih mebuat saya sedih daripada mendengar ceritamu tentang pacar-pacar yang jahat atau saat kamu gagal tes interview kerjaan.


ps: harusnya, saya bilang agar kamu tegar atau apa. tapi, kadang-kadang kita butuh untuk menangis.

ngomong-ngomong, kamu hebat sekali deh shin!

Thursday, October 12, 2006

Mahalnya Mendaftar Calon Pegawai Negeri Sipil

Jakarta-Jurnal Nasional

Puluhan orang memadati ruang Sentra Pelayanan Masyarakat di Kepolisian Resor Bekasi. Hampir semua datang dengan tujuan yang sama, membuat Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).

Maklum saja, Departemen Luar Negeri sedang membuka lowongan. Meski tak mendaftar ke sana , sebagian besar pembuat SKCK mengaku menyiapkannya jika sewaktu-waktu ada departemen lain yang buka.

“Saya mau bikin dua SKCK, satu untuk persyaratan CPNS, satu lagi untuk keperluan mencari kerja,” ujar Dalva Rachmawati, 22 tahun.

Dan berapa biaya untuk membuatnya?

Pertama kali masuk ke ruangan tersebut, ada meja kecil tempat mendaftar. Di sana, tertulis syarat pembuatan SKCK, yaitu membawa pengantar dari Kecamatan, foto kopi KTP, pas foto berwarna ukuran 4x6 sebanyak 3 lembar, sidik jari, dan telah mengisi lembar biodata.

Tapi, setelah itu semua, pemohon harus membayar Rp.15.000 setiap jenis SKCK. Karena membuat untuk dua kepentingan, maka Dalva harus membayar Rp.30.000. Setelah itu, ia masih harus membayar Rp.10.000 saat mengisi surat sidik jari.

Tak ada satupun biaya tersebut yang memakai tanda terima alias masuk ke kantong petugas!

Lain lagi dengan Retno Rita Sari, 21 tahun. Karena tak membawa Surat Pengantar dari Kecamatan, petugas tak mau memproses pembuatannya. Tapi, karena Retno butuh SKCK dan tak ada waktu lagi untuk kembali keesokan harinya, ia pun memberi “uang pelicin”.

“Ngomongnya pas lagi sepi. Kalau banyak orang, bapaknya jaim (jaga image). Saya sempat dimarahin dulu, tapi langusng mau pas saya nawarin goban (Rp.50.000),” ujarnya.

Saat Jurnal Nasional berada di sana , jumlah pemohon begitu banyak. Saking banyaknya, pemohon harus berdiri mengantri ataupun menunggu di luar ruangan karena tak ada tempat di dalam.

Tanpa malu-malu, petugas di meja pendaftaran langsung meminta Rp.15.000 jika ingin berkasnya diproses. Sepengamatan Jurnal Nasional, tak ada satupun pemohon yang berani menanyakan tentang pungutan tersebut.

“Nggak nanya aja bapaknya sudah ketus, gimana kalau kita nanya! Bisa-bisa nggak dibuatin,” ujar Izkandar Sulkarnaen, 27 tahun, yang akrab disapa Izul.

SKCK berfungsi untuk menyatakan bahwa seseorang tidak sedang dalam proses tindak pidana atau kejahatan lainnya. Yang mengherankan, kenapa harus dibedakan natara keperluan melamar CPNS dan keperluan melamar kerja? Bukankah keduanya sama saja.

“Begini ya, itu bukan kami yang tentukan, tapi pihak di sana (perusahaan),” ujar petugas di meja pendaftaran dengan nada ketus.

Saat mencari konfirmasi tentang pungutan tersebut, Brigadir Kepala Jajat Sudrajat dari Satuan Bina Mitra Polres Bekasi mengatakan bahwa seharusnya uang tersebut jangan dilihat sebagai pungutan.

“Mereka yang di sana (SPK) itu kan harus bekerja cepat. Malah kadang ada yang mau selesai buru-buru. Jangan dilihat sebagai pungutan, anggap saja karena mereka telah melayani,” katanya.

Namun, ia tetap enggan menegaskan apakah pungutan tersebut resmi atau tidak. Saat mencoba bertanya ke Kepala Satuan Intelejen dan Keamanan, petugas yang ada di sana berkata bahwa Kasat sedang berada di Bangkok .

“Belum tahu sammapi kapan. Memangnya anda keberatan kalau dimintai uang?” ujarnya dengan nada sinis.

Sayangnya, hingga saat ini, belum ada konfirmasi dari Kepala Polres Bekasi. Beberapa kali Jurnal Nasional menghubungi nomor telpon selulernya tapi tidak diangkat.

Untuk mebuat SKCK, pemohon diharuskan membawa surat pengatar dari Kecamatan. Prosesnya, harus membuat pengantar dari Kelurahan, lalu membawanya ke Kecamatan.

“Di kelurahan, saya dimintai Rp.5.000, plus satu kupon PMI (Palang Merah Indoensia) sebesar Rp.1.000. Di Kecamatan, saya dimintai RP.3.000. Semuanya nggak pake tanda terima,” kata Izul.

Selain SKCK, pendaftaran CPNS juga mensyaratkan adanya Kartu Tanda Pencari Kerja atau yang dikenal dengan Kartu Kuning. Kartu tersebut dibuat di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Dan biayanya? Cukup Rp.5.000 saja setiap orang. Lagi-lagi tanpa tanda terima!

“Saya sebenarnya memperpanjang aja. Dua bulan lalu, pas bikin pertama kali, saya disuruh bayar Rp.3.000. Eh ternyata sekarang udah naik,” ujar Usella, 25 tahun.

Total kedua persyaratan tersebut Rp.39.000. Belum lagi biaya foto kopi dan cuci cetak foto. Bahkan untuk persyaratan mendaftar kerja pun ternyata mahal. (IKA KARLINA IDRIS)
Tak Ada Jaminan Jiwa dan Kesehatan bagi Pemadam Kebakaran

Jakarta-Jurnal Nasional

Kebakaran kembali memakan korban. Sebanyak lima orang tewas dalam kebakaran yang terjadi Kamis, 5 Oktober, di Kelurahan Krendang, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
Tiga warga yang tewas adalah warga Kelurahan Krendang, sedang dua lainnya adalah petugas pemadam kebakaran dari Suku Dinas Pemadam Kebakaran Jakarta Pusat. Kedua petugas tersebut adalah Iwan Supriyanto, 22 tahun, dan Nursito, 22 tahun.

Apa mau dikata, kehilangan nyawa sudah menjadi resiko pekerjaan seorang petugas pemadam kebakaran. Meski menyadari hal tersebut, tak mengurangi kesedihan rekan-rekan sekerja mereka.

Kejadian yang menimpa Iwan dan Nursito membuat para pegawai tidak tetap di Sudin PDK Jakpus berpikir. Masalahnya, tidak hanya kematian yang harus siap mereka hadapi, tapi juga tidak ada santunan.

Meski uang yang diberikan tidak sebanding dengan kehilangan nyawa, namun santunan merupakan salah satu bentuk penghargaan terhadap keduanya.

Menurut Kepala Suku Dinas Pemadam Kebakaran Jakarta Pusat Idrus Paddai, saat melepas kedua jenazah, perwakilan dari Pemerintah Daerah DKI Jakarta mengatakan ada santunan. Besarnya, masing-masing keluarga mendapat Rp 7 juta rupiah.

”Tapi itu kan banyak syarat yang harus dipenuhi dan prosesnya lama. Saya juga nggak tahu kapan uang itu turun. Makanya, saya merasa tidak enak hati saat keluarga Iwan dan Nursito bertanya ke saya tentang santunan. Saat itu saya tidak menjawab apa-apa,”urai Idrus.

Adapun jumlah pegawai tidak tetap (PTT) di kantornya sebanyak 251 orang. Sedang di seluruh Dinas PDK DKI ada 1401 orang.

Menurut Idrus jumlah tersebut cukup besar karena sebenarnya mereka membutuhkan banyak tenaga. Hanya saja belum ada waktu untuk perekrutan pegawai. Jadilah, mengakalinya dengan mengangkat PTT atau yang disebut juga pegawai honorer.

Adapun gaji PTT di Dinas PDK sebesar Rp 925 ribu. Selain gaji, mereka juga mendapat uang piket sebesar Rp750 ribu, uang PTT sebesar Rp 500 ribu, dan uang makan Rp 150 ribu.

”Tapi pengeluaran kami kan banyak. Nyicil motor, kontrak rumah, belum lagi beli susu anak,” keluh salah seorang petugas.

Para PTT tidak mendapat asuransi jiwa maupun kesehatan. Menurut Nurul Lusianto, 25 tahun, ia dan para PTT yang lain pernah mencoba ikut asuransi. Tapi kemudian banyak yang berhenti.

”Kami harus bayar berkisar antara Rp 100-300 ribu tiap bulan. Tapi, kalau mau klaim kesehatan, banyak alasan dari pihak ausransi. Makanya anak-anak banyak yg berhenti,” katanya.

Mengenai asuransi jiwa dan kesehatan, Idrus mengakui bahwa hal tersebut belum mendapat perhatian dari Pemda DKI. Memang, Pemda sudah mengasuransikan melalui Asuransi Kesehatan (Askes).

”Tapi, kan tidak semua hal bisa kami klaim. Dulu, kalau klaim obat gampang, sekarang sudah susah,” ujarnya.

Bahkan, sekitar tahun 1996 Idrus pernah melakukan operasi mata. Gara-garanya syaraf mata sebelah kanannya rusak karena terkena asap saat bertugas.

Sayangnya, ongkos operasi tersebut didapatnya dari biaya pribadi dan dari Paguyuban Karyawan Suku Dinas PDK Jakpus.

Gunadi menambahkan, Paguyuban yang mereka bentuk memang sangat membantu. Setiap bulannya, mereka ditarik iuran sebesar Rp 10.000. Uang tersebut akan digunakan untuk membantu biaya kesehatan pegawai atau jika ada yang mengalami kecelakaan kerja.

”Sedang untuk musibah yang menimpa dua anggota kami, masing-masing petugas ditarik Rp 20.000. kalau mau lebih, ya bagus,” kata Idrus.

Kurangnya jaminan kesehatan dan jiwa pada petugas PDK juga diakui Pelaksana Harian Kepala Dinas Pemadam Kembakaran DKI Martono. Aturan asuransi kolektif yang ditetapkan Pemda jumlahnya tidak dapat menutupi segala biaya kesehatan.

”Yang spesifik macam operasi berat memang belum ada. Mungkin karena nilainya tinggi,” ujar Martono saat dihubungi Jurnal Nasional.

Kalau untuk kecelakaan juga belum ada. ”Paling-paling ya dari Askes itu,” tambah Martono.

Meski diangkat sebagai pegawai ternyata tak beda jauh dengan pegawai tidak tetap. Sama-sama tak ada jaminan jiwa dan kesehatan.

”Padahal, jadi pemadam resiko nyawa hilang sewaktu-waktu dapat terjadi,” tegas Idrus. (IKA KARLINA IDRIS)
Berpuasa di Usia Senja

Jakarta-Jurnal Nasional

Empat orang nenek terlihat duduk di kursi plastik yang ada di beranda sebuah panti jompo. Mereka saling mengejek satu sama lain sambil bersenda gurau.

“Lu puasa kagak?” kata seorang nenek bertubuh gemuk yang menggunakan daster batik berwarna kuning.

“Ya puasalah. Emangnya elu kagak puasa,” balas nenek bertubuh kecil yang duduk di sebelahnya.

Setelah itu, mereka tertawa-tawa.

“Nenek-nenek emang kayak gini. Kalau sore kan kita udah pada lemes. Makanya duduk-duduk aja sambil nunggu buka puasa,” ujar Nurhaya, 87 tahun.

Meski sudah berusia lanjut, namun sebagian besar penghuni Panti Werdha I, jalan Bina Marga, Cipayung, Jakarta Timur, masih berpuasa.

Sebagian mereka mengaku lemas. Namun, merupakan hal yang wajar dialami orang yang berpuasa.

“Kuncinya, jangan makan terlalu banyak. Kalau buka puasa, nenek biasanya uma minum teh manis dan makan kolak atau bubur kacang ijo. Itu aja udah bikin nenek kenyang. Makan nasi ntar aja pas sahur,” ujar Nani, 72 tahun.

Ia juga mengakaui bahwa selama melakukan ibadah puasa, badannya terasa lebih sehat. Penyakit maag yang dimilikinya tak pernah kambuh, padahal biasanya telat makan sebentar ia langsung sakit perut.

Hal tersebut juga diakui Tukinun, 48 tahun, staf perawatan panti. Menurutnya, setiap bulan bisa ada sekitar 4-5 orang yang masuk rumah sakit. Namun, sejak awal bulan Ramadhan hingga saat ini, belum ada satupun penghuni panti yang masuk rumah sakit.

Selama bulan Ramadhan, tak ada kegiatan penghuni panti yang berubah. Tetap ada kelas merajut dan kelas mebuat kerajinan tangan.

Bahkan, kegiatan tersebut ditambah dengan serangkaian ibadah, seperti sholat berjamaah dan sholat tarawih.

Jumlah penghuni panti tersebut ada 99 orang. Yang tidak berpuasa ada 20 orang, diantaranya 7 orang non muslim dan 13 orang termasuk kategori renta.

Jika sholat tarawih tiba, penghuni yang ikut ada sekitar 40-an orang. Tak semuanya mampu sholat berdiri sehingga harus duduk. Di musholla kecil yang ada di panti, biasanya mereka sholat 11 rakaat, terdiri dari 8 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir.

“Saya nggak bisa kelamaan berdiri, tapi saya mau ikutan sholat tarawih bareng temen-temen, makanya biar duduk juga nggak apa-apa. Lagian, suka ada yang ceramah, bikin tenang hati nenek,” kata Nurhaya.

Jika sedang tak ada kelas atau kegiatan, mereka menghabiskan waktu dengan berzikir. Lucunya, beberapa orang di antara mereka mengaku tak mengaji karena tak biasa membaca Al-quran.

Menurut pengakuan Sumiati, 69 tahun, sejak muda ia tak pernah belajar mengaji. Makanya, selain berzikir, ia hanya mengulang-ngulang surat yang dihafalnya saja.

Meski kesehatan penghuni panti membaik selama bulan Ramdhan, tidak begitu dengan kondisi psikologis mereka. Jika di hari-hari biasa mereka seolah tak memiliki beban, hal yang sebaliknya terjadi saat bulan Ramadhan tiba.

“Apalagi hari-hari menjelang lebaran. Tak tadinya ceria, tiba-tiba sering terlihat merenung atau diam-diam saja. Pokoknya tak bergairah,” ujar Tukinun.

Maklum saja, sebagian besar penghuni yang ada di sini tak punya anak yang bisa merawat mereka. Kalaupun ada, biasanya sanak keluarga yang hubungannya sudah jauh, misalnya keponakan, sepupu, ataupun anak angkat.

Makanya, Tukinun dan para pengurus lain biasanya mengajak lebih banyak pengunjung jika bulan puasa. Biasanya uztad, para donatur, atau anak-anak sekolah keperawatan.

“Siapa aja lah yang bisa ngajak mereka ngobrol. Kalau lagi pada nggak bisa, ya staf yang gantian nemenin mereka,” ujarnya.

Bahkan, jika Idul Fitri tiba, para staf selalu mengusahakan datang ke panti. Memang sebagian ada yang pulang ke sanak keluarga mereka. Tapi, biasanya hanya satu hari.

Nurhaya mengaku, setiap lebaran biasanya ia habiskan di rumah keponakannya di daerah Bogor , Jawa barat. Tak ada yang menjemputnya. Meski berjalan tertatih-tatih, ia mengaku ke sana menggunakan bus dan ojek.

“Nenek naik ojek dulu ke pangkalan bus. Alhamdulillah, biar udah nggak kuat jalan jauh, tapi masih nyampe Bogor . Makanya kalau nggak kuat lagi, nenek naik ojek saja,” katanya.

Akan tetapi, ia juga mengaku tak ingin berlama-lama di ruamh saudara. Selain tidak enak hati, ia merasa harus menghabiskan satu hari di antara dua hari Idul fitri bersama teman-teman panti.

“Kami kan satu nasib, sama-sama nggak punya keluarga. Kalau bukan kita-kita juga yang saling nyari, mau siapa lagi,” kata Nurhaya. (IKA KARLINA IDRIS)
Perlukah Pemotongan Subsidi Busway?

Dewan Perwakilan Daerah DKI Jakarta akan memotong subsidi dana Busway. Diperlukan Audit sebelum mengambil keputusan tersebut.

Jakarta-Jurnal Nasional

Dewan Perwakilan Rakyat DKI Jakarta akan mengurangi dana operasional busway sebesar Rp 31 Miliar.
Sebelumnya, dalam laporan hasil pembahasan Komisi D DPRD DKI terhadap Usulan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD DKI 2006 disebutkan perlu ada pengurangan anggaran sebesar Rp 100 miliar dari Rp 230 miliar anggaran operasional TransJakarta. Sehingga, pada APBD-P 2006, dana operasional tinggal Rp 130 miliar.

Adanya pemotongan sepertiga dari jumlah yang direncanakan tersebut, menurut Wakil Ketua Komisi D Muhayar karena sudah tidak bisa dikurangi lagi.

Pemangkasan anggaran perlu dilakukan mengingat penerimaan dari pengoperasian bus Transjakarta Koridor I, II, dan II hanya akan tercapai Rp 100 miliar dari Rp 200 miliar yang ditargetkan untuk pendapatan daerah.
Perbedaan itu dinilai terlalu mencolok dalam realisasi penerimaan. Karena itu, harus dievaluasi dalam rangka optimalisasi anggaran.

Komisi D DPRD DKI Jakarta juga menyatakan bahwa pihaknya akan meminta detail pembiayaan Badan Pengelola Trans Jakarta.

"kami ingin tahu yang lebih jelas. Misalkan sebulan butuh berapa biayanya dan untuk apa saja. Bila berbentuk rekapitulasi seperti ini bagaimana bisa jelas," kata Ketua Komisi D DPRD DKI Sayogo Hendrosubroto.

Dijelaskannya pihak BP TransJakarta pada 2005 pernah menyatakan pendapatan (recovery-red) bila dibandingkan dengan besarnya biaya subsidi bisa mencapai 97 persen.

"Misalnya bila kita beri Rp100 miliar maka penerimaannya yang dijanjikan Rp97 miliar. Ketika kita alokasikan Rp230 miliar mereka menjanjikan Rp215 miliar, tapi bila sekarang penerimaan diperkirakan tidak mencapai itu ya lucu kalau tetap minta Rp230 miliar," katanya.

Sayogo juga menyatakan perlu dicari apakah ada kebocoran baik dari penerimaan maupun pengeluaran yang menyebabkan kemungkinan tidak tercapainya target. Ia menjelaskan bila ternyata ada kebococaran dan DPRD tetap menyetujui dana rakyat sebesar Rp230 miliar untuk subsidi, sulit bila nantinya harus mempertanggung jawabkan pada rakyat.

"Itu baru tiga koridor, saya tidak bisa membayangkan bila koridor empat hingga tujuh nanti sudah beroperasi, ruginya bisa berapa ratus miliar," tegasnya.

Menurut DPRD, target penerimaan hanya akan terealisasi separuhnya, sekitar Rp 100 miliar, jika dilakukan pemotongan biaya operasional.

Adapun perincian pengurangan biaya tersebut yaitu sebesar Rp 17 miliar diambil dari anggaran pembayaran feeder, belanja pegawai, dan belanja modal. Sedang sisanya, sebesar Rp 14 miliar berasal dari pengajuan efisiensi yang pernah diajukan Badan Layanan Umum (BLU) TransJakarta ke Badan Pembangunan Daerah DKI Jakarta.

Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso menyatakan bila DPRD tetap mengurangi subsidi, maka pilihan terakhir yang dilakukan adalah menaikkan tiket busway.

"Kalau subsidi ditarik ya terpaksa menaikkan tiket, padahal sebenarnya kita mengindari hal tersebut dengan memberikan subsidi selama ini. Semua penumpang kita beri subsidi Rp150 per penumpang," kata Sutiyoso.

Namun, ia juga mengaku belum mengetahui berapa kenaikan tarif nantinya.
Menganai adanya pencabutan subsidi ini, Ketua Dewan ransportasi Kota DKI Jakarta Sutanto Soehodo mengatakan bahwa DPRD perlu mengadakn audit lebih dulu.

“Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah pemotongan subsidi tersebut sudah tepat? Kalaupun ada pemotongan subsidi, berapa jumlahnya? Yang paling penting, adalah kepentingan masyarakat,” ujar Sutanto saat dihubungi Jurnal Nasional.

Kalau mau, tambah Sutanto, harusnya DPRD adakan audit terlebih dulu ke semua operator busway yang ada. Kalau perlu, bentuk sebuah tim independen untuk menilai apakah subsidi lebih baik dicabut atau tidak.
Ia juga mengatakan bahwa sebenarnya, busway adalah proyek untung.

Subsidi yang dibayar itu hitungannya per orang per kilo meter. Jadi, kalau dalam satu kali angkut busnya tidak penuh, akan tetap memberi keuntungan karena ada subsidi. Makanya, pihak pengelola harus memikirkan bagaimana cara untuk melayani dengan baik.

Ia berkata,”Kalau armada masih kurang kan berarti subsidi terbuang percuma. Hal ini yang harus kita perhatikan.”

Jika memang ada pemotongan subsidi busway, tentunya akan berdampak pada masyarakat. Karena harus ada keseusaian antara biaya operasional dengan pemasukan.

Bagaimanapun juga, busway harus tetap berjalan. Kalau biaya operasional tinggi tapi pemasukan rendah, nantinya akan jadi kolaps. Karenanya, semua usaha tersebut harus dipelajari lebih dulu.
Sutanto juga mengingatkan DPRD dan Pemda DKI tentang nilai strategis yang dimiliki busway.

”Busway itu kan modal yang baru pertama kali diperkenalkan pada masyarakat. Keberadaannya untuk membuktikan pada publik bahwa ternyata sarana transportasi umum lebih baik dari pada kendaraan pribadi,” urai Sutanto.

Busway digunakan masyarakat karena terkenal aman, nyaman, dan lebih murah dari bus Patas AC. Lagipula, selama ini masyarakat lebih senang naik kendaraan pribadi daripada naik transportasi publik.

”Nah, keinginan masyarakat untuk berubah itu sebenarnya tidak dapat diukur dengan uang,” tegasnya. (IKA KARLINA IDRIS)