Wednesday, August 15, 2007

Memilih Pintu Masuk Jakarta

Selain memikat, sejak dulu Jakarta menyajikan pelbagai masalah bagi penduduk asli dan pendatang.

BERBAGAI persoalan tentang Jakarta sejatinya sudah ada sejak dulu. Sebutlah jalanan macet, wabah penyakit, tempat tinggal dan lingkungan hidup yang tak teratur, serta banjir. Bedanya, dulu jalanan macet karena andong, tetapi sekarang karena mobil dan motor. Dulu wabah malaria, sekarang ganti demam berdarah.

Berbicara tentang Jakarta memang tidak ada habisnya. Itu pula yang terjadi pada Selasa (14/8) siang lalu di sebuah perpusatakaan. Puluhan orang hadir untuk mendengar dan berbicara tentang Jakarta. Sebagian besar sudah lanjut usia dengan rambut beruban sebagai penanda. Beberapa peserta bahkan mengakui sudah kurang pendengaran, sehingga harus duduk di deretan depan.

Para orang tua itu datang atas undangan si pembuat acara, yaitu Koninklijk Instituut voor Taal-Land- en Volkenkunde (KITLV), lembaga kajian humaniora dan ilmu sosial di Asia Tenggara, Oseania, dan Karibia oleh pemerintah Belanda. Siang itu mereka membahas sebuah buku berjudul Jakarta-Batavia: Sebuah Esai Sosio Kultural. Buku ini berupa kumpulan esai 17 penulis, yang dibuat berdasarkan workshop (pelatihan) tentang Jakarta pada 1995 silam.

Pencetusnya adalah Peter J.M. Nas dari Universitas Leiden, Belanda. Sebenarnya buku itu sudah rampung pada 2000, tapi baru selesai diterjemahkan ke bahasa Indonesia tahun lalu. Adapun pembicara pada diskusi itu adalah J M Nas, sejarawan dan pengamat Betawi J.J. Rizal, serta perwakilan penerbit Banana, Yusi A Pareanom.

Menurut Nas, pada dasarnya ia ingin menyampaikan tentang kelompok etnis yang ada di Jakarta, mulai dari China, Arab, Betawi, dan para pendatang lain. Selama ini orang Betawi selalu dianggap nyaris punah. Padahal, tidak demikian.

Sebenarnya jumlah orang Betawi tumbuh pesat. Hanya, jumlah penduduk lain dan para pendatang tumbuh lebih pesat dari mereka. "Jadi jumlah orang Betawi itu sebenarnya masih banyak," ujar Nas menegaskan.

Ia melihat Jakarta perlu sebuah areal tempat tinggal berdasarkan komunitas etnis yang ada di suatu wilayah. Artinya, tetap mempertahankan etnis asli sembari memberi ruang kepada pendatang. Cara ini dinilai efektif karena tinggal bersama-sama akan memperkuat rasa saling memiliki, sehingga di antara mereka saling membantu.

Sayang pemerintah tak menyadari hal ini, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap lingkungan hidup di Jakarta. "Batavia was a green city (Dulu Batavia adalah kota yang hijau)," tutur Nas.

Waktu dia bertanya ke pemerintah daerah (pemda) Jakarta tentang kebijakan lingkungan mereka, Nas menilai tak ada rencana yang bagus. Padahal, Jakarta butuh pendekatan yang berbeda.

Segregasi dan Kota Konsumsi
Contoh paling mudah adalah melihat perkembangan daerah Kemayoran. Banyak orang Betawi tinggal di daerah itu. Hanya, sebagian besar pembangunan yang dilakukan di sana ternyata lebih banyak menghasilkan apartemen. Sama sekali tidak ada ruang untuk penduduk asli.

Namun, demikian Nas, hal itu sudah menjadi bagian dari rencana Soeharto yang ingin menjadikan Kemayoran sebagai kota terbesar di Asia. "Gubernur yang baru saja terpilih bilang kalau dia mau menempatkan banyak penduduk asli di sana. Tapi, itu sama saja membuat rencana yang sama sekali baru di Kemayoran. Akan butuh banyak uang dan sama sekali tidak mudah," ujarnya.

Seorang peserta diskusi mengatakan, saat Belanda menjajah kota-kota besar, mereka sengaja memisahkan tempat tinggal penduduk. Ruang-ruang permukiman dibagi atas tempat tinggal Belanda, penduduk asli, dan pendatang. Oleh karena itu, pasti terjadi segregasi ruang dan sosial masyarakat.

"Waktu itu, kebijakan pemerintah kolonial memisahkan tempat tinggal adalah untuk menghindari penyakit tropis. Sayangnya, kebijakan memisahkan tempat tinggal masih berlangsung saat ini. Banyak kebijakan segregasi ruang dan masyarakat yang tidak populis. Dulu Batavia adalah kota konsumsi. Sekarang masih seperti itu karena di mana-mana dibangun mal," katanya.

Lantas, seberapa besar sebuah kota dapat berkembang?

Menurut Nas, selalu ada masalah dalam sebuah kota. Meski pemerintah mencari jalan keluar untuk permasalahan lima hingga sepuluh tahun ke depan, tetapi itu tidak akan mencukupi. "Kota selalu berkembang. Begitu juga masalahnya.''

Sedangkan Yusi melihat Jakarta memang selalu memikat para pendatang. Terjadi semacam romantisme tentang Jakarta, entah intuk menarik gadis-gadisnya yang rupawan ataupun mencari uang yang lebih banyak. Tak heran jika para pendatang selalu memaksakan mimpi mereka pada Jakarta.

"Akhirnya semua jadi tak karuan. Rawa diuruk untuk ditinggali dan akhirnya penduduk di sana kena malaria atau, sekarang ini, demam berdarah," kata Yusi.

Perkembangan seperti itu memang tidak bisa dihindari. Tapi, semuanya berpulang pada prinsip dan sikap penduduk asli, serta seberapa besar mereka bisa memengaruhi pendatang agar turut aktif terlibat membangun Jakarta.

Sebab, dalam penilaian J.J. Rizal, para pendatang ini terbagi atas dua tradisi, yaitu trackers dan believers. Para believers percaya bisa andil dalam membangun Jakarta.
Sedangkan para trackers datang untuk cari uang sebanyak-banyaknya. "Kalau sudah kaya, dia akan pulang ke kampung dan membangun kampung asalnya," ucap Rizal.

Buku Jakarta-Batavia ini bisa menjadi pintu masuk menuju banyak ruang di Jakarta. Ini bisa dimaklumi mengingat para penulisnya adalah ahli dari pelbagai latar belakang disiplin ilmu, baik dari dalam maupun luar negeri. Yakni ahli sejarah, sosiologi, antropologi, geografi, linguistik, arsitektur, bahkan sastra. Terserah Anda mau memilih pintu mana untuk masuk ke Jakarta. (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional Kamis, 16 Agustus 2007.

No comments: