Tuesday, August 07, 2007




Alam dan Mainan Anak-anak


Meski ketersediaannya cenderung menurun, alam masih menyediakan bahan untuk mainan anak-anak.

SANGAT jarang, bahkan mungkin nyaris tak ada lagi, anak-anak di kota besar bermain ketapel. Mereka kini lebih banyak mengenal bentuk ketapel dari sinetron di televisi atau film. Padahal mainan tersebut cukup gampang dibuat karena hanya mebutuhkan ranting kayu, karet, dan biji-bijian sebagai pelurunya.

Dalam banyak contoh, mainan anak-anak di berbagai suku bangsa, sebagian besar memang dibuat dari bahan yang disediakan oleh alam. Bahan itu bisa berupa daun, bunga, buah, kayu, bambu, maupun tempurung kelapa. Masalahnya, apakah lingkungan di sekitar anak-anak itu masih menyediakan bahan-bahan untuk membuat mainan?

Dulu anak-anak perempuan di daerah Surakarta, Jawa Tengah, mengenal sebuah permainan bernama sumbar suru. Hanya, menurut arkeolog Edi Sedyawati, saat ini permainan sumbar suru tak lagi dikenal. "Berapa orang di antara Anda yang pernah mendengar nama permaianan ini?" katanya pada seminar "Produk Budaya Permainan Tradisional", Kamis (12/7) lalu, di Jakarta Convention Center.

Dari sekitar 150 peserta, ternyata hanya tiga orang yang pernah mengenalnya. Meski demikian, dari tiga peserta yang mengaku pernah mendengar itu, tak ada satu pun yang tahu pasti bagaimana memainkannya. Menurut Edi, permainan sumbar suru membutuhkan biji dari buah sawo kecik. Namun, sawo kecik pun kini jarang dijumpai di pasar-pasar.

Selain lingkungan, mainan tradisional anak juga terbentur pada masalah ekonomi. Ada beberapa bahan dari alam yang sebenarnya memiliki nilai ekonomis lebih tinggi jika dijual sebagai komoditas ketimbang dijadikan bahan mainan. Misalnya, mainan yang terbuat dari batok kelapa, biji-bijian, atau dari mangga muda.

"Kalau mangga muda dibiarkan matang, batok kelapa dipakai untuk arang atau bahan asesoris, tentu akan lebih mahal. Sehingga, penggunaan bahan ini untuk mainan dapat dilihat sebagai ‘saingan' bagi pemanfaatan ekonominya," ujar Edi, Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia.

Untung saat ini beberapa mainan sudah dibuat dari bahan-bahan sintesis. Hanya saja, hal itu seolah-olah menjauhkan anak dari peluang untuk bereksplorasi dan berkreasi di dalam lingkungan huniannya.

Perlu Ruang
Hal senada dikatakan Mohamad Zaini Alif dari Pusat Kajian Mainan Rakyat Sunda, Hong. Saat ini, ujarnya, terjadi pergeseran fungsi dalam bermain atau permainan itu sendiri. Dulu fungsi bermain merupakan bentuk peniruan kegiatan orang dewasa dan menjadi bekal pengetahuan ketika anak sudah dewasa. Sekarang, bermain lebih pada meningkatkan kemampuan motorik dan kreativitas anak. Sementara mainan sendiri banyak yang hanya jadi pajangan rumah.

Sebenarnya, proses bermain di masyarakat bermula sejak pembuatan mainan sampai dimainkan. "Sebenarnya mainan itu lebih mementingkan proses. Sekarang malah mainan diberikan pada anak, lalu anak itu bermain. Mainan harusnya jangan jadi cindera mata belaka," ujar Zaini, pengajar di Institut Teknik Nasional, Bandung.

Menurut dia, mainan tradisional sangat berhubungan dengan alam dan lingkungan, baik dari media, alat, dan aturan. Dengan mainan tradisional, kepekaan seorang anak terhadap alam dengan sendirinya akan dilatih. Zaini, yang pernah melakukan penelitian terhadap mainan anak di seluruh daerah selatan Jawa Barat, menilai anak-anak yang tumbuh di desa lebih mengenal bahan-bahan alam untuk dijadikan mainan. "Mereka juga lebih peka," ujarnya.

Contoh sederhananya, jika ingin mengambil bambu untuk angklung, mereka akan mengambilnya saat terjadi hujan silantang. Hujan ini terjadi lima tahun sekali saat musim kemarau. Menurut Zaini, sebenarnya tak ada hujan, namun terdengar gemuruh yang sangat besar.

"Itulah saatnya mengambil bambu karena kadar air pada bambu sangat kecil. Bambu yang diambil saat itu dapat menghasilkan suara bagus dan tahan lama," tuturnya.

Untuk menghidupkan permainan tradisional, hal pertama yang harus dilakukan adalah menyediakan ruang, baik di desa maupun di kota. Ruang itu adalah "lapangan" untuk melaksanan permaian tersebut. Selain itu, perlu pula diciptakan "lapangan usaha'' untuk memproduksi mainan maupun alat-alat permainan yang sumbernya dari tradisi suku bangsa itu sendiri. Penyebaran mainan itu pun seharusnya dilakukan lintas budaya.

Oleh karena itu, kata Edi, besarnya peran dunia industri dan media massa akan memengaruhi hal tersebut. Transfer budaya dalah hal permainan tak dapat terjadi dengan sendirinya, harus ada penciptaan kesadaran budaya. "Namun tak boleh juga lupa untuk menyisakan peluang kreatif bagi si anak atau remaja untuk merancang dan membuat sendiri alat-alat bermainnya. Bagaimanapun, dunia bermaian adalah dunia yang tak ada titik hentinya," ucap Edi.

Dimuat di Jurnal Nasional, Kamis, 12 Juli 2007.

No comments: