Tuesday, August 07, 2007

Mengurai Benang Kusut dalam Kelas


Guru paham bahwa mereka tak boleh otoriter, tapi susah sekali mempraktikkannya.

Pada sebuah sore, puluhan guru berkumpul di Teacher Institute, Sampoerna Foundation, Sudirman, Jakarta Pusat. Mereka datang dari berbagai tingkat sekolah, dari Taman Kanak-kanak hingga Sekolah Menengah Atas.

Mereka datang untuk berbagi satu hal, kiat menciptakan suasana kelas yang nyaman agar siswa betah belajar. Mereka datang dari berbagai wilayah, ada yang dari Jakarta, Depok, Tangerang, Lampung, hingga Bandung.

Mereka, sekitar 70 tumplek bleg, baik dari sekolah negeri maupun sekolah swasta isu-isu seputar manajemen sebuah kelas. Titik, salah seorang peserta, mengatakan untuk menegakkan disiplin, guru harus fokus pada murid "si trouble maker" (pembuat onar).

"Kalau perlu, si trouble maker ini yang kita jadikan ketua kelas. Kalau guru memberinya tanggung jawab, otomatis dia akan mengatur dirinya sendiri dan juga mengatur kelas. Kalau dia sudah disiplin, maka yang lain akan mengikuti," kata Titik.

Sedang menurut Willy, peserta yang lainnya, guru harus menyosialisasikan disiplin ke murid. Kalau perlu, tambahnya, kalimat dalam tata tertib diubah. Sebagai contoh, daripada menulis "Dilarang Merokok" lebih baik menulis "Terima Kasih untuk tidak merokok'.

Fasilitator forum, Jalu Noor Cahyanto sejalan dengan Willy. Menurutnya, sosialisasi aturan di kelas mutlak diperlukan. "Dari awal diumumkan agar guru dapat bersikap tegas," ujar Jalu.

Ada juga trik-trik melumpuhkan kebiasaan nyontek. Di antaranya membalik meja agar siswa tak bisa menggunakan kolongnya, membuat soal dalam bentuk esai, atau membuat variasi soal.

Yang tak kalah pentingnya adalah guru mengawasi dari bangku paling belakang. Jalu bilang, cara ini efektif membuat siswa merasa diawasi. Jadi, mereka akan selalu memperhitungkan setiap gerak yang mereka buat.

Tapi, bagi siswa yang jelas-jelas menyontek, tentu saja tak ada toleransi. Diskusi ini sebagai pengantar untuk mengetahui kecenderungan guru dalam mengajar. Mereka membahas pula profil manajemen kelas yang terbagi empat tipe.

Yakni menejemen kelas, yaitu authoritarian (otoriter), authoritative (delegatif/efektif), laissez-faire (permisif), dan indifferent (tak acuh). Guru dengan tipe otoriter biasanya memiliki kontrol dan batasan yang ketat terhadap siswa, tak pernah mengubah posisi duduk siswa, tak menerima masukan dari siswa, kelas cenderung sunyi karena siswa tak boleh menginterupsi, dan tak ada variasi dalam mengajar.

Sedang guru tipe delegatif, biasanya terbuka terhadap kritik, memotivasi siswa, tegas namun ramah, selalu memberi alasan terhadap keputusannya, mengubah-ubah letak duduk siswa, dan membebaskan siswa berkomunikasi sepanjang relevan dengan pengajaran.

Pada tipe ketiga atau permisif, guru cenderung tidak tegas dalam menjalankan peraturan kelas, terlalu memerhatikan emosi siswa daripada kesuksesan mengatur kelas, cenderung menjadi teman bagi siswa, permisif, dan semuanya terserah pada siswa.

Pada tipe acuh tak acuh, guru sama sekali tak ada minat dan perhatian pada siswa, tak mau terlibat dengan siswa, tidak kreatif sehingga menggunakan materi yang sama tiap tahun, dan tak pernah memotivasi siswa.

Beberapa bulan lalu, Teacher Institute pernah mengadakan survei profil manajemen kelas guru SD dan SMP di DKI Jakarta. Namun, terbatas pada peserta yang mengikuti kegiatan mereka saat itu.

Ternyata, tipe yang paling banyak adalah delegatif, lalu permisif, diikuti oleh otoriter dan tak acuh. "Kebanyakan mereka sudah paham secara konsep. Tapi, waktu kita follow up praktik mengajar mereka di sekolah, ternyata cenderung otoriter," kata Jalu yang juga praktisi pendidikan di Teacher Institute.

Meski paham bahwa tata letak kelas harus diubah agar siswa tak bosan, namun sedikit sekali yang melakukannya. "Siswa lebih cenderung bermain sendiri dan tak ada peraturan yang dibuat," terang Jalu.

Padahal, katanya, guru mutlak menciptakan suasana yang kondusif untuk pelajaran. Jika manajemen kelas baik, maka otomatis siwa akan menganggap kelas sebagai milik mereka.
Siswa belajar bukan karena guru otoriter tapi karena mereka merasa menjadi bagian dalam proses itu.

"Otomatis pembelajaran pun akan lebih optimal. Siswa sadar bahwa jika dia berbuat sesuatu yang tidak baik, otomatis semua kegiatan belajar akan terganggu."

Selain itu, peraturan kelas harus dibuat bersama. Dengan demikian, siswa akan merasa bertanggung jawab untuk mewujudkannya. Guru juga harus kreatif. Seorang guru harus tahu bagaimana membuat perubahan yang dapat memotivasi siswa untuk belajar.
(Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, Senin, 30 Juli 2007.

No comments: