Tuesday, August 07, 2007




Tradisi Unjuk Rasa di SMAN 70


Unjuk rasa siswa bisa jadi karena mereka tak ingin budaya senioritas itu dihapus.

Sepanjang jalan Bulungan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan ditutup Kamis pagi, 26 Juli lalu. Pasalnya, ratusan siswa SMA Negeri 70 sedang mendemo guru mereka.

Beberapa siswa membawa spanduk atau kertas karton bertuliskan tuntutan mereka. "Jangan hambat kreativitas kami. Kami butuh guru, bukan polisi", "Turunkan Afrizal!", atau "Jangan bekukan ekstrakurikuler".

Aldi, perwakilan Komite Sekolah, menenangkan mereka dan berjanji semua tuntutan siswa akan diselesaikan paling lambat pekan ini. Sekitar pukul 15.00, demo bubar dengan sendirinya dan guru yang dimaksud tak juga menunjukkan batang hidungnya. "Mau bimbingan belajar," kata beberapa siswa yang beranjak pergi.

Demonstrasi atau unjuk rasa sebenarnya bukan hal baru di SMAN 70. Sepertinya, hampir setiap tahun terjadi. Namun, dalam 10 tahun terakhir, baru kali ini aksi mereka dilakukan di jalanan. Isu yang mereka angkat pun beragam, mulai dari teman yang dikeluarkan, pihak sekolah akan membangun kelas di atas lapangan bola, atau karena pelarangan jaket angkatan.

Lalu, apa alasan siswa kali ini mendemo guru mereka, Afirizal? Menurut pengakuan beberapa orang guru, Afrizal memang terkenal disiplin. "Maklumlah, dia baru tiga tahun mengajar di sini. Masih fresh, semangatnya masih ada untuk menghapus senioritas," kata Unro, guru PPKn di SMA 70.

Senioritas memang sudah mendarah daging di sekolah unggulan itu. Mungkin karena sejarah terbentuknya yang unik. SMA ini terbentuk setelah menyatukan SMA 9 dan SMA 11 yang muridnya sering berkelahi.

Untuk membedakan setiap angkatan, SMA 70 mengenal nama angkatan dan warna yang menandainya. Sebagai contoh, lulusan tahun 2001 bernama Trabalista dengan warna abu-abu, tahun 2000 bernama Somoza dengan warna marun, dan 1999 bernama Zapatista dengan warna coklat muda.

Uniknya, di SMA 70 ada pembagian wilayah sekolah, seperti kantin dan tangga. Setiap tahun, dengan berbagai cara, pihak sekolah berusaha menghapus budaya itu. Mulai dari pelarangan jaket hingga membatasi waktu pulang sekolah. Beberapa siswa mengatakan, Afrizal selalu menyuruh pulang murid yang ada di sekolah melewati pukul 3 sore.

"Padahal kita kan ada latihan ekskul," kata siswi kelas tiga IPA yang senang menjelajah alam.

Beberapa siswa yang lain juga mengatakan bahwa sekolah melarang siswa kelas satu mengikuti ekstra kulikuler selama tiga bulan pertama. Padahal, di waktu-waktu itulah biasanya pengurus ekstrakurikuler merekrut anggota baru.

Segala tuntutan siswa dibantah pihak sekolah. Menurut Wakil Kepala Sekolah Bidang Humas, Tati Hariati, siswa yang tak naik kelas pun bukan karena Afrizal. "Di rapor ada nilai kognitif, afektif, dan psikomotorik. Karena dia suka tawuran, maka nilai yang tiga itu kurang, jadi tak naik kelas."

Tentang pembekuan ekstra kulikuler juga dia bantah. "Terhitung minggu depan, siswa kelas satu sudah bisa aktif di ekskul," ujar Tati.

Menurut Guru Bimbingan Penyuluhan, Ahmad Yani, unjuk rasa siswa bisa jadi karena mereka tak ingin budaya senioritas itu dihapus. Bagaimanapun, peluang intimidasi lebih besar di luar jam pelajaran, semisal pada kegiatan ekstra kulikuler.

Namun, kata Yani, upaya menghapus senioritas masih sulit dan tak bisa lepas dari sejarah SMA 70, yaitu penggabungan dua sekolah agar akur. "Saya anggap SMA 70 ini adalah kereta yang belum pas berjalan di relnya. Setiap ada kebijakan untuk menghapus budaya ini, setiap itulah bisa terjadi kayak gini (unjuk rasa). Gesekan pasti terjadi, tapi lama-lama kan bisa pas juga."

Hal serupa dikatakan Kosep, guru sosiologi. Menurutnya, karakter siswa SMA 70 sangat unik. "Mereka anak-anak cerdas dengan tingkat ekonomi menengah ke atas."

Secara umum, siswa SMA 70 sudah komplit. "Yang kurang hanyalah eksistensi diri dan inilah yang mereka cari di sekolah," ujar Yani. (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, Kamis, 26 Juli 2007.

No comments: