Thursday, December 31, 2009

Teknologi Seluler dan Pengaruhnya Terhadap Demokrasi Indonesia

Teknologi bergerak kian cepat di dunia Teknologi informasi (IT) dan telekomunikasi. Dua bidang yang awalnya terpisah kini semakin menyatu. Akibatnya informasi mejadi semakin mudah didapat masyarakat. Lalu apa dampaknya terhadap demokrasi Indonesia ?

Teknologi baru selalu melahirkan kebudayaan baru, demikian halnya dengan perkembangan internet dan handphone (hp). Kini hp tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, namun juga berfungsi sebagai alat penyampaian pendapat ke ruang publik. Perkembangan situs-situs jejaring sosial ditambah kemudahan akses internet dengan hp membuat masyarakat makin mudah menyuarakan pendapatnya.

Muhammad Syukur (20), mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Moestopo Jakarta, mengaku rajin mengakses internet menggunakan hp. Biasanya ia menggunakannya untuk mengakses facebook, twitter dan juga berselancar di internet. Syukur semakin keranjingan mengakses internet setelah menggunakan Blackberry (BB). Ia selalu update dengan status facebooknya dan makin sering bertwiiter ria.

“Dari BB juga bisa dapat info dari teman-teman. Malah waktu ada yang bunuh diri di Sensi (Senayan City) gue taunya dari twitter. Trus gue tau kasus KPK versus Polri ama koin Prita juga dari facebook,” katanya.

Syukur bisa jadi adalah gambaran remaja kebanyakan di Jakarta. Ia lebih banyak menghabiskan waktu bersurfing di internet dibandingkan membaca koran atau melihat berita di TV. Informasi yang mereka terima kebanyakan berasal dari komunitas yang mereka bangun dari dunia maya.

“Waktu itu di-invite temen-temen untuk join 'Gerakan 1.000.000 facebookers Dukung Bibit-Chandra, gue baru tahu kasus yang dihadapi KPK,” katanya.

Syukur mengaku sebelumnya tidak pernah mengenal sosok Bibit Samad Rianto dan Chandara Hamzah yang merupakan petinggi KPK. Melalui grup facebook itulah ia mengenal nama, jabatan dan kasus yang menimpa kedua tokoh tesebut.

“Pas udah lihat groupnya, gue jadi tahu, trus gue ikutan join,” katanya.

Bahkan, Syukur dan beberapa temannya ikut turun ke jalan pada 8 November 2009, saat gerakan sejuta facebooker menggelar aksi di bundaran Hotel Indonesia.

Hal yang serupa juga dialami Pratiwi (20 tahun) mahasiswi jurusan Penyiaran Universitas Paramadina. Mengetahui adanya gerakan koin prita dari facebook, Tiwi, begitu ia akrab disapa, lalu mengajak teman-temannya untuk mengumpulkan koin.

“Aku juga sempet tulis di status facebook-ku kalau anak-anak Paramadina lagi ngumpulin koin, jadi kalau ada yang mau nyumbang ya bisa langsung temuin kita di koridor kampus. Hasilnya lumayan juga. Bahkan waktu mau ngasih anak-anak juga pada ikutan,” ceritanya.

Kisah di atas menggambarkan bagaimana IT dan telekomunikasi telah memberikan warna terhadap demokrasi Indonesia. Suara remaja-remaja gaul Jakarta yang selama ini menjadi silent majority dan tidak memiliki saluran untuk menyuarkan pendapatnya, kini bisa terdengar lantang.

Suara-suara mereka yang tidak tertampung media konvensional seperti koran atau televisi sekarang bisa terdengar. Berawal dari sekedar invite to join group menjadi sebuah aksi nyata.

Sejauh ini suara-suara silent majority di dunia maya tersebut cukup ampuh dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Bersama-sama dengan media massa, demokrasi ala facebooker dan twitter ini berhasil memberikan tekanan terhadap pemerintah.

Kita bisa melihat kalau akhirnya Bibit dan Chandara dilepaskan. Gerakan koin untuk prita berhasil mengumpulkan dana hampir Rp 650 juta, jauh lebih besar dibandingkan denda yang harus dibayar Prita sebesar Rp 204 juta .

Facebook telah menjadi media alternatif bagi masyakarat untuk mendapatkan informasi. Jika informasi di media massa harus melalui proses penyaringan yang sangat banyak, di situs pertemanan informasi mengalir tanpa perantara. Hal tersebut tentu sangat penting bagi ketersediaan informasi.

Selain itu, situs pertemanan juga menyediakan peluang yang sangat besar untuk seseorang menyebarkan informasi kepada jaringannya. Setiap pemilik akun di situs pertemanan berpotensi menjadi sumber informasi, termasuk juga informasi tentang isu-isu politik.

Namun, yang paling penting adalah, situs pertemanan membuat tingkat partisipasi politik di Indonesia meningkat. Pada Pemilu lalu, syukur dan Tiwi sama-sama tak menggunakan hak plih mereka karena tak tahu siapa yang mau mereka pilih. Meski tak berpartisiaspi dalam pemilu, keduanya berpartisipasi dalam sebuah isu nasional: yakni lawan korupsi dan tak setuju dengan UU ITE.

Dapat kita lihat bahwa ternyata facebook dapat menghubungkan orang-orang dari beraneka ragam latar belakang di seluruh Indonesia. Sebagian besar di antaranya bahkan adalah warga Negara yang “terputus” dengan sistem politik dan tak berpartisiaspi secara aktif dalam pemilu.

Tentunya kebebasan berpendapat dan berbicara ini tidak lepas dari makin majunya IT dan telekomunikasi. Selain itu, faktor yang juga tak kalah penting adalah tarif telekomunikasi yang semakin murah. Syukur, yang seringnya menggunakan pulsa internet harian di blackberrynya dan bisa mengakses informasi dengan murah, dimana saja dan kapan saja.

“Paling ngaruh sih kalau ada tugas di kelas. Daripada bawa laptop, mending browsing di hp aja,” aku Tiwi.

Saat ini, para penyedia layanan telekominikasi, berlomba-lomaba membuat tarif yang murah untuk mengakses internet. Lalu, mereka juga bekerjasama dengan produsen hp membuat perangkat yang murah, lengkap dengan aplikasi facebook, yahoo messenger, twitter, dan opera mini.

Murahnya tarif otomatis berpengaruh pada semakin banyaknya komunikasi data yang terjadi, tak lagi komunikasi semisal telepon ataupun sms. Yang paling penting, murahnya tarif juga berpengaruh pada tingkat partisipasi politik dan dan demokrasi. Partisipasi politik tak lagi sekedar mencoblos tapi juga membuat dan mengikuti gerakan sosial yang ada di situs pertemanan.