Tuesday, August 07, 2007

Mengoptimalkan Fungsi Komunitas Sekolah


HAMPIR tak ada cara yang sama dan seragam dalam mengelola sekolah. Setiap manajemen sekolah, yayasan, administrasi, ataupun guru, punya cara tersendiri dalam menjalankan fungsinya.

Cara yang diterapkan sebuah sekolah yang terbilang sukses, belum tentu berhasil jika diterapkan di sekolah lain. Lantas, bagaimana caranya mengoptimalkan pengelolaan sekolah, yang jelas bermatra peningkatan kualitas siswa dan juga daya saing sekolah?

Aulia Prima Kurniawan, konsultan manajemen, mengatakan, sekolah bisa mengadopsi knowledge management (manajemen berbasis pengetahuan) yang biasa diterapkan di organisasi bisnis. Dengan kata lain, sekolah harus menetapkan visi, misi, strategi, cetak biru, alur kerja, dan kolaborasi. Pemegang kebijakan sekolah harus menciptakan budaya yang mendukung hal tersebut.

"Sekolah harus membudidayakan pengetahuan untuk menggiring organisasi menuju daya saing yang lebih baik. Memang akhirnya harus ada intervensi teknologi karena, bagaimanapun, sistem ini harus berjalan sendiri dalam komunitas yang ada di sekolah," ujar Aulia dalam seminar ''Knowledge Management untuk Sekolah'' di gedung Sampoerna Foundation Teacher Institute (SF-TI), Jakarta, Selasa (31/7).

Sementara itu, Tatang Suratno dari SF-TI menilai, setiap organisasi terdiri dari individu dengan pengalaman beragam. Pada era ini, pengetahuan telah menjadi nilai ekonomi tersendiri dan merupakan aset yang paling berharga.

Jika suatu organisasi bisa menggali pengetahuan yang mereka miliki dan membaginya, sebuah inovasi akan dihasilkan. Contoh sederhanya, guru dapat saling berbagi cara mengajar yang efektif, sehingga kualitas pengajaran pun meningkat.

Tatang mencontohkan SMAN 9 Bandung dan SMAN 1 Lembang, Jawa Barat, yang kini sedang membentuk sebuah lesson study (pembelajaran mata pelajaran). Di bawah bimbingan Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FPMIPA) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), guru-guru MIPA di kedua sekolah tersebut membentuk kelompok diskusi.

Di kelompok diskusi itulah mereka berbagi cara mengajar yang efektif dan menyenangkan. Setelah itu, hasilnya dirumuskan, dipraktikkan, dan dievaluasi. Jika ada yang kurang, maka rencana yang telah mereka susun harus direvisi, kemudian direncanakan pembelajaran selanjutnya. Dalam lingkup yang lebih kecil, sebenarnya mereka telah melakukan knowledge management.

Dari hasil kelompok tersebut, maka saat ini di Sumedang, Jawa Barat, sedang dirancang pembentukan komunitas yang sama. Kelompok ini nanti juga akan dibagi dalam kelompok-kelompok kecil per guru mata pelajaran.

Masih Forum Kumpul-kumpul
Mariti dari Dinas Pendidikan Dasar Provinsi DKI Jakarta menuturkan, komunitas sekolah sebenarnya sudah terbentuk, baik itu musyawarah guru mata pelajaran (MGMP), musyawarah kepala sekolah, pengawas, ataupun kepala seksi (Kasi) tingkat Kecamatan.

Hanya, komunitas itu masih sebatas kumpul-kumpul, belum menghasilkan terobosan ataupun berbagi pengetahuan.

Menurut Aulia, komunikasi yang terjalin seharusnya lebih intens untuk menentukan pengetahuan yang paling selaras dengan perkembangan zaman. Dalam komunitas ini pula tacit knowledge harus digali. Sebab, dari seluruh pengetahuan manusia, 80 persen adalah tacit knowledge, yang melingkupi latar belakang pendidikan, pengalaman profesional, dan pengalaman hidup.

"Karena ada di alam pikiran pengetahuan ini susah ditransfer, tapi juga susah dicuri orang. Ini juga yang bisa meningkatkan daya saing sekolah," ujarnya.
Yang terpenting, setelah digali, pengetahuan tersebut harus didokumentasikan, disimpan, ditata dan diatur, sehingga bisa diakses kapan saja. (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, Rabu, 1 Agustus 2007.

No comments: