Tuesday, August 07, 2007

Terperangkap Dua Bingkai Budaya


MESKI penulisannya sama, tapi sastra bisa ditafsirkan berbeda-beda. Sebaliknya, dalam sains selalu bermakna sama karena ditampilkan secara sistematis. Mungkinkah sastra disajikan dengan metode sains? Atau bisakah sains dalam buku pelajaran disampaikan dengan pemaparan yang lebih indah seperti sastra?

Menurut pengamat ilmu dan budayawan Yasraf Amir Piliang, cara kerja sastra dan sains saling memengaruhi. "Dalam membuat sains fiksi, misalnya, ada penelitian dan eksperimen yang harus dilakukan. Lihatlah bagaimana karya Dan Brown yang penuh dengan hasil riset itu,'' ujar Yasraf.

Sebaliknya, banyak karya sains fiksi merupakan cetak biru pengembangan sains pada masa mendatang. Salah satu contohnya adalah novel William Gibson yang ditulis sekitar 1960-an berjudul Neuromancer. Novel itu melukiskan sebuah "tanah impian baru" berupa rekaan dunia maya yang dibentuk oleh jaringan komputer yang terkoneksi secara global, yang disebutnya matrix.

"Fiksi ilmiah ini menjadi realitas keseharian abad informasi yang kita kenal sebagai internet atau realitas virtual," ujar Yasraf.

Sayang, perkembangan sains dan teknologi serta sastra di Indonesia masih terperangkap dalam dua bingkai budaya, yaitu utopia dan distopia. Utopia merayakan sains dan teknologi dalam ekspresi dan narasinya. Sedang sastra distopia melukiskan masa depan yang kelam dan suram karena perkembangan sains dan teknologi yang tak bisa dikendalikan.

"Kecenderungan umum dalam sastra Indonesia adalah spirit distopia," kata Yasraf.

Sejauh ini, di Indonesia, sains dan sastra dipisahkan tembok besar. Orang sains tidak tahu sastra dan sebaliknya. Namun, sudah mulai muncul pemikiran baru bahwa keduanya bisa saling berkomunikasi. "Dan ini terlihat dalam ilmiah populer," katanya.

Perkembangan mutakhir teknologi informasi membuat sastra elektronik (electronic literature) berkembang. Lihatlah pada situs, blog, atau mailing list sastra. Sastra pun berkembang menjadi semacam sastra jaringan (net-literature) dimana komunitas-komunitas sastra berinterkasi dan berkolaborasi secara virtual.

"Tapi perkembangan ini hanya peralihan medium semata-dari teks ke arah hiper-teks, dari kertas ke realitas virtual. Belum ada perubahan substansi dan isi karya sastra itu sendiri. Prinsip-prinsip sains dan teknologi, pada kenyataannya, belum banyak memberi 'roh' pada ekspresi karya sastra," ucap Yasraf.

Hal senada dikatakan sastrawan Nirwan Ahmad Arsuka. Bahkan Nirwan melihat perlunya sebuah pendidikan bagi publik (public education) agar memahami khasanah sains dan sastra. Jika cara kerja sains dimanfaatkan untuk menghasilkan karya sastra, sejauh ini masih terbatas pada model penulisan. "Belum pada isi tulisan," ucap Nirwan.

Sedangkan ahli filsafat, Karlina Supelli, melihat intuisi yang digunakan dalam menulis sastra bukanlah wangsit atau wahyu. "Intusisi ini perlu dilatih. Nalar ilmiah perlu dilengkapi juga dengan kandungan berpikir ilmiah." (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, Rabu, 8 Agustus 2007.

1 comment:

Anonymous said...

Hey Ikot,
Indonesia memang belum punya sastra elektronik yang representatif.

Maklum pada belum melek elektronok.