Wednesday, August 15, 2007

Mengubah Bangsa, Mengubah Gurunya

SEBUAH ruangan dipenuhi para guru dan kepala sekolah. Mereka sedang berdiskusi tentang cara agar guru bisa menumbuhkan dan mengembangkan potensi murid-muridnya.

Dalam diskusi itu muncul pengakuan sangat menarik dari seorang guru. ''Saya sudah jadi guru selama lima tahun dan saya merasa berdosa. Saya adalah seorang guru matematika. Selama ini saya hanya memindahkan catatan saya ke mereka. Padahal, kelas adalah tempat siswa untuk mengembangkan dirinya,'' ujar guru yang enggan disebutkan namanya tersebut.

Yang dikatakan guru itu mungkin juga dilakukan dan dirasakan guru-guru lain yang hanya familiar dengan metode ceramah. Padahal, metode itu hanya cocok untuk anak-anak pintar. Padahal, dari sekitar 40-an siswa di kelas, hanya tiga atau empat yang tergolong pintar.

Diskusi dengan topik ''Building Highly Effective Educators'' tersebut digelar oleh Sampoerna Foundation Teacher Institute (SF-TI) pada Jumat (10/8) lalu. Topik ini diambil karena tiap individu memiliki cetak biru dalam mengarahkan hidupnya. Begitu pula guru. Sebagai pengajar dan pendidik, mereka juga harus paham atas aturan-aturan yang mereka miliki, sehingga perannya bisa lebih efektif.

Awalnya, diskusi dibuka dengan menonton film dokumenter tentang pemenang Nobel Perdamaian 2006 asal Bangladesh, M Yunus. Menurut pemateri Agi Rachmat, melalui film itu diharapkan peserta tahu bahwa setiap orang dapat melakukan perubahan. M Yunus melakukan perubahan dengan memberi kredit pada orang miskin, sehingga jumlah mereka berkurang.

''Apakah menjadi guru adalah pilihan Anda?'' tanya Agi.

''Ya!'' jawab beberapa peserta dengan lantang.

''Anda yakin?''

''Ya!''

''Kalau jadi miliarder, mau nggak?'' tanya Agi, yang juga konsultan pendidikan itu, kembali.

Kali ini Peserta mulai-ragu-ragu menjawabnya. ''Kalau Anda cocok dengan kerja tersebut, Anda tak akan pernah mengeluh,'' kata Agi. ''Begitu juga jadi guru. Kalau suka, Anda harus live with it. Kalau tidak, leave it. Kalau nggak happy, ya jangan jadi guru.''

Menurut Agi, ada tiga hal di dunia ini yang tak pernah berubah. Pertama adalah proses perubahan itu sendiri. Jadi, katanya, perubahan adalah hal yang mutlak.

Kedua adalah prinsip. ''Orang yang malas pasti bodoh. Orang yang rajin dan kerja keras pasti berhasil,'' tutur Agi.

Yang ketiga adalah selalu ada pilihan dalam dua hal tadi.

Saat ini kualitas manusia Indonesia ketinggalan jauh dengan bangsa lain. Dulu, cerita Agi, jika Indonesia dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura, orang selalu menjadikan ukuran negara sebagai alasan. Tapi, sekarang itu tak berlaku lagi. Lihat saja China.

''Jumlah penduduk mereka 10 kali lebih besar, tapi toh bisa teratur dan rapi. Mereka bisa membuat apa pun lebih murah dan ada kualitasnya. Bahkan, nilai ekspor China bisa mencapai US$2,3 miliar,'' kata Agi.

Meski begitu, Indonesia masih bisa unggul lewat industri kreatif. Itu hanya bisa dibangun jika pengetahuan bisa ditingkatkan. Lagi-lagi, semuanya terletak pada peran guru. Agi menyebutkan konsep 3 M milik Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), yakni mulai dari diri sendiri, mulai sekarang, dan mulai dari hal kecil. Namun, Agi mengubah konsep itu menjadi 3 S, yaitu sendiri, sekarang, dan sekecil-kecilnya.

Mengapa begitu? Sebab, demikian Agi, selama ini manusia selalu merasa terkungkung oleh tiga determinisme. Pertama adalah determinisme genetik. ''Karena kita orang Melayu atau karena kita orang Indonesia, maka kita tak bisa lakukan itu. Padahal, kita semua punya modal yang sama, yaitu 23 kromosom.''

Yang kedua adalah determinisme psikologi. Menurut Agi, jangan sampai ada angapan guru tak bia menjadi orang hebat. Toh selama ini sudah ada bukti sebaliknya. Ia kemudian menyebut beberapa nama, seperti Jenderal Sudirman dan Ki Hajar Dewantara.

Ketiga adalah determinisme lingkungan sekitar. Oleh karena itu, Agi menyarankan agar seorang pengajar tidak terpaku pada lingkungannya saja. Seorang guru harus
bisa mencari nilai tambah yang ada dalam dirinya dan menggunakan nilai itu untuk berubah. Seperti M Yunus yang menggunakan nilai itu untuk mengubah kemiskinan di negaranya. Itulah yang harus dicontoh guru.

''Kalau Anda punya satu keinginan untuk mengubah generasi, katakan itu dengan tegas. Ucapan adalah energi, maka harus hati-hati untuk mengucapkannya. Jangan pernah sekalipun berpikir negatif,'' tutur Agi.

Ia menyarankan para guru mencari suara hati mereka terhadap profesi yang sedang mereka jalani. ''Apa benar jadi guru adalah panggilan hati Anda? Kalau ya, maka gunakanlah itu untuk mengubah bangsa ini.'' (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, Senin, 13 Agustus 2007.

No comments: