Wednesday, October 24, 2007

Witty’s Time



Kalau kamu punya sahabat, kamu pasti punya kebiasaan atau hal-hal tertentu yang kamu lakukan hanya dengan sahabatmu itu. Yah, sebut saja ngerumpiin kecengan, makan kue enak, buka-bukaan rahasia tentang pacar, jalan-jalan nggak jelas di mall, atau mungkin.. hanya membahas baju yang lucu di majalah.

Saya punya satu hal yang menyenangkan yang biasa saya lakukan dengan Witty, sahabat saya yang sedang menempuh gelar master di benua terkecil. Sebenarnya, apa yang saya lakukan dengan Witty itu juga pernah saya lakukan dengan sahabat ataupun teman yang lain.

Tapi, rasanya hal itu paling menyenangkan jika saya lakukan dengan Witty. Kenapa? Karena dia tak menghakimi saya dengan apa yang saya lakukan. Dia hanya tersenyum dan pada akhirnya akan memeluk saya.

Saya tak akan memberitahu kamu hal itu apa. Yah, anggap saja semacam warisan pemberontakan jaman SMA yang belum bisa dihilangkan (pasti Puti bisa nebak deh.. hehehe..). Kalau saya beritahu di sini, rasanya akan menuai banyak komentar teman-teman.

Pada dasarnya, kami cuma duduk di dalam mobil atau kamar Witty, menghabiskan cemilan, mendengarkan lagu, curhat (apalagi kalau bukan kegiatan ini?), dan melakukan kebiasaan kami. Saat membuat tulisan ini, saya memutuskan untuk menyebut waktu yang menyenangkan itu dengan Witty’s time.

Sore tadi, saya melakukannya sendirian. Sedikit lagi magrib, saya tiba di kampus. Akan ada ujian tengah semester, tapi saya belum belajar atau membaca bahan-bahannya. Sore tadi udaranya lembab karena habis hujan.

Daripada lekas masuk kelas dan membahasa materi ujian, saya memilih melakukan kebiasaan saya dengan Witty. Witty’s time. Biasanya, hal itu membuat saya lebih tenang. Semua pertanyaan seperti: Bagaimana dengan ini? Kalau begitu? Jangan-jangan, nanti, bisa jadi, tapi.. tiba-tiba menjadi tidak penting.

Witty’s time membuat saya calm down (baca: kalem). Membuat saya tak terlalu khawatir dengan ujian, pekerjaan, dan semua hal-hal menyebalkan yang sedang terjadi.

Sore itu, saya kangen Witty. Meski saluran radio yang saya putar adalah siaran berita, ada sebuah lagu menyelinap di kepala saja.

And there's no cure
And no way to be sure
Why everythings turned inside out
Instilling so much doubt
It makes me so tired
I feel so uninspired
My head is battling with my heart
My logic has been torn apart

(Sway, Big Runga)

Dan tiba-tiba saya bersenandung sendiri. Rasanya seperti orang gila saja. Lalu saya terdiam sampai azan maghrib menyadarkan saya. Ah, sudah waktunya masuk kelas untuk ujian.


**
Wit, belajar yang rajin ya. Cepat-cepatlah lulus dan pulang ke sini. Ada yang kangen tuh…

Wednesday, October 10, 2007

Sepatu


"Tuh kan! Kamu beli sepatu lagi!" kata pacar saya.

"Sepatuku tuh udah rusak, tau!" balas saya.

"Tapi sepatu kamu kan udah banyak," kata dia lagi.

"Iya, tapi udah pada rusak. Nggak bisa dipake liputan lagi," kilah saya.


Sebenarnya saya bukan tipikal perempuan yang gemar berbelanja sepatu atau tergila-gila dengan tas merek tertentu. Saya punya banyak sepatu karena pekerjaan saya membuat saya harus membeli sepatu.

Saya bukannya model sepatu, desainer sepatu, atau apa. Cuma seorang reporter. Tapi, pekerjaan ini menuntut mobilitas yang tinggi dan sepatu yang bagus (dalam artian cukup trendy, bisa dipakai berlari mengejar nara sumber, mudah dicopotdipakai segera, tahan hujan, dan tidak membuat kaki lecet kalau dipakai).

Dulu, saya memakai sepatu kets. Sekarang, saya memilih model yang sedikit lebih manis. Makudnya, model yang dipakai kebanyakan perempuan di Mall. Hehehehe...

Herannya, sekuat apapun, semahal apapun, dan merek apapun yang saya beli, sepertinya sepatu-sepatu itu selalu kewalahan menemani saya. Paling lama, sepasang sepatu bertahan 6 bulan! Itu pun kalau saya pakai bergantian dengan sepatu lainnya. Kalau saya pakai terus-terusan, paling-paling hanya 3 bulan.

Hmm... Seneng juga sih, jadi ada alasan beli sepatu. Hehehe...
Setelah bertanya ke beberapa teman sekator (yang perempuan), ternyata mereka juga mengalamai hal yang sama. Apa jangan-jangan sepatu-sepatu tadi dibuat sedemikian rupa sehingga tak tahan lama? Bisa jadi. Soalnya tiap jangka waktu itulah produsen sepatu mengeluarkan model-model terbaru.

Kalau dipikir-pikir, selain tunjangan ini itu, harusnya perusahaan media massa menganggarkan tunjangan sepatu ke reporter mereka. Kalau bisa, menjalin kerja sama dengan produsen sepatu tertentu! Hehehe...


S B Y


**
foto diambil setahun lalu di Bukittinggi

Agama Selalu Mengusung Perdamaian

Puluhan siswa SMA bernyanyi bersama. Meski berasal dari sekolah yang berbeda-beda, namun semuanya nampak syahdu menyanyikan lagu Heal the World yang kondang dibawakan Michael Jackson.

"...There are people dying, if you care enough for the living. Make a better place for you and for me..."

Puluhan siswa datang untuk merayakan sebuah hari untuk menghormati perdamaian. Tepat 21 Sepetember lalu dunia merayakan hari perdamaian internasional. United Nation Information Centre (UNIC) Jakarta tak ketinggalan. Meski baru merayakannya pada Rabu, 26 September namun tak mengurangi sedikit pun maknanya.

Selain puluhan pelajar, acara itu juga dihadiri tokoh masing-masing agama, yaitu Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama Nasaruddin Umar, Ketua Bidang Agama dan Pendidikan Majelis Agama Kong Hu Cu Indonesia Haksu Buana Jaya, Bimbingan Masyarakat Kristen Departemen Agama Thomas Edison, Kepala Bagian Perencanaan dan Data Direktorat Masyarkat Hindu I Made Sutresna, dan Sekjen Indonesian Conference on Religon and Peace (ICRP) Romo Hariyanto.

Dalam kesempatan tersebut, setiap perwakilan agama membahas tentang konsep perdamaian menurut agama mereka masing-masing. Menurut Nasaruddin, kata islam berasal dari bahasa arab islamun yang artinya perdamaian. Sayangnya, kata islam sering diasosiasikan dengan terorisme.

"Tak ada satu pun dasarnya dalam Islam membenarkan terorisme. Jangan takut sama Islam karena sebenarnya adalah agama perdamaian," kata Nasaruddin.

Ia juga menambahkan, sepanjang sejarah Indonesia, konsep perdamaian selalu dibuat dari atas ke bawah sehingga hanya menghasilkan perdamaian yang rapuh. Agar konsep ini lebih konstruktif, maka harus dibuat sebaliknya. Untuk mewujudkan perdamaian haruslah dimulai darigenerasi muda.

"Generasi inilah yang memegang masa depan. Mereka harus diberi pemahaman bahwa Tuhan menganugerahkan perdamaian sebagai lukisan yang indah. Semakin banyak warnanya, maka akan semakin indah. Kalau hanya satu warnakan monoton," paparnya.

Konsep serupa dikatakan Haksu. Menurut dia, Indonesia hanya akan berarti dengan keberagaman agama. "Bangsa Indonesia besar bukan karena keanekaragaman hayati, tapi karena siap menerima perbedaan tadi."

Menurut Sutrisna, doa paling utama umat Hindu adalah meminta perdamaian. Pada kalimat "Om santi santi Om, kata santi" dalam behasa sansekerta artinya damai. "Dalam konsep agama, perdamaian adalah tujuan," katanya.

Sedang Thomas memaparkan sebuah konsep perdamaian dalam Kristen. Untuk dapat berdamai dengan orang lain, maka seseorang harus dapat berdamai dengan dirinya sendiri. "Ini karena jarang ada orang yang membenci dirinya sendiri," katanya.

Lingkungan sekolah, haruslah kondusif bagi upaya perdamaian, Menurut Egi Septiadi, Idham Rizali Saleh, siswa kelas 3 IPA SMU 8 Jakarta, berbagai macam agama ada di sekolah mereka. "Tapi semuanya hidup rukun dan saling berdampingan," kata Idham.

Di sekolah mereka, kata Adit, tak pernah ada masalah agama. Dalam melaksanakan ibadah tak pernah ada siswa yang saling ledek ataupun ganggu. "Kita juga menghindari tawuran. Letak sekolah kan agak tersembunyi jadi mungkin jarang lewat," kata Alhadi bergurau.

Korupsi, Kemiskinan, Sadar Lingkungan
Sementara itu, Romo Hariyanto menegaskan bahwa saat ini agama muncul sebagai kekuatan baru. Dulu, katanya, banyak orang berpendapat bahwa semua masalah bisa diselesaikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tapi kenyataan menunjukkan sebaliknya.

Karena itulah, agama muncul sebagai kekuatan dengan segala bentuknya. Sekitar 15-20 tahun lalu, hanya sedikit remaja yang menggunakan istilah agama dalam bahasa keseharian mereka. "Berbeda betul dengansekarang. Terlihat sekali ada keyakinan yang sangat besar bahwa agama bisa digunakan untuk menghadapi masalah serius," jelasnya.

Pada semua agama, kebangkitan agama ini menarik perhatian anak muda karena mereka idealis dan punya banyak mimpi. Sayangnya, kebangkitan agama hanya berhenti pada tataran simbolik.

Agama di satu sisi bisa menyerukan perdamaian, tapi di sisi lain bisa memberi pembenaran atas tindakan menentang perdamaian. Untuk mencapai prdamaian, harusnya bukan dogma agama yang digunakan, tapi kemanusiaan itu sendiri.

Romo Suharyanto menawarkan konsep universal untuk menuju perdamaian. Pertama, jangan korupsi. "Semua tempat ibadah penuh sesak kalau ada perayaan, tapi korupsi jalan terus."

Kedua, memberantas kemiskinan. "Seseorang tak bisa mengklaim dirinya sudah beribadah dengan baik jika masih ada kemiskinan di sekitarnya," ujarnya

Ketiga, menjaga kelestarian lingkungan hidup. Anak-anakyang ada di desa ternyata hanya menghabiskan 10 persen energi yang digunakan anak-anak di kota besar. "Jika pemakaian energi bisa dikurangi dan lingkungan hidup terjaga, barulah kita bisa bicara tentang indahnya perdamaian," kata Romo.

Dimuat di Jurnal Nasional 1 Oktober 2007

Lindungi Anak dari Penculik

"Kalau saat ini dia masih hidup, pasti sudah 2 tahun 2 bulan umurnya," kata Sani pilu.

Saat masih berumur empat bulan, putrinya diculik orang. Berbagai upaya dilakukan Sani dan keluarga. Sampai-sampai mereka tahu siapa yang menculik, tempat tinggal keluarga si penculik, hingga lokasi keberadaan penculik.

Sayang, anaknya tidak juga ditemukan, sampai detik ini. Dengan nada putus asa, ia menyalahkan pihak kepolisian. Sani dan keluarga bertempat tinggal di Yogyakarta, sedang ia mencurigai si pelaku ada di Bekasi. Dengan penuh harap ia melapor ke Polres Bekasi, tapi malah "penolakan" yang dia terima.

"Polisinya bilang yang tangani harus kepolisian di TKP (tempat kejadian perkara). Sedang polisi di Sleman tak mau berbuat apa-apa. Malah akhirnya istri saya dituduh menjual anak kami," kata Sani, masygul.

Bersama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sani datang ke Jakarta. Siang itu, Selasa (25/9), di kantor KPAI, ia mengeluarkan semua unek-uneknya di hadapan peserta debat "Penculikan Anak: Dapatkan Dicegah?". Diskusi itu tak hanya menghadirkan pihak sekolah, tapi juga orang tua pelaku penculikan dan orang tua korban, pesinetron Cece Kirani, Kepala Satuan Remaja Anak dan Wanita (Kasat Renakta) Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Ahmad Rivai.

Akhir-akhir ini media massa sering sekali memberitakan penculikan anak. Terakhir yang paling besar adalah berita penculikan Raisya, anak Ali Said, Ketua Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP-Hipmi). Akan tetapi, korban penculikan anak tak hanya dari keluarga kaya, tapi juga keluarga pemulung.

Menurut Rivai, anak-anak orang kaya biasanya diculik karena faktor ekonomi atau dendam. Sedang anak-anak dari kelurga kurang mampu diculik untuk dijadikan pengemis, diadopsi, dijadikan pekerja seks, dijual organ tubuhnya, atau dieksploitasi dalam berbagi bentuk.

Berdasarkan anatomy of crime (anatomi kejahatan), pelaku penculikan biasanya orang-orang yang dikenal oleh korban. Paling tidak, informasi tentang di anak mereka dapat dari orang-orang dekat korban. Pada kasus Raisya, misalnya, penculik mendapat informasi dari guru mengajinya.

"Orang dekat itu bisa siapa saja, pembantu, sopir, guru, ataupun kerabat sendiri. Pokoknya orang-orang yang berinteraksi dengan anak," ujar Rivai.

Jika penculik adalah orang-orang yang tak dikenal oleh korban, modusnya adalah kekerasan seksual, eksploitasi, atau pemerasan. Ia mencontohkan sebuah kasus paedofilia yang dilakukan warga negara Australia pada sejumlah anak jalanan beberapa waktu lalu. Saat diselidik, ternyata si pelaku mengoleksi celana dalam anak-anak yang pernah dicabulinya.

Untuk itulah, orang tua harus mencegah agar penculikan itu tidak terjadi. Rivai mengatakan ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, anak harus diajarkan tak cepat percaya pada orang asing. Kedua, tidak memakaikan perhiasan yang berlebihan pada anak.

"Kalaupun pakai anting-anting, cukup satu atau dua gram saja, janga terlalu mencolok," tutur Rivai yang pernah menjabat Kepala Kepolisian Sektor Tanah Abang dan Cempaka Putih.

Kedua, meningkatkan pengawasan anak, baik di rumah ataupun sekolah. Ketiga, meningkatkan pengawasan di lingkungan rumah terhadap orang asing. "Lalu bersosialisasilah, perkenalkan anak anda pada tetangga. Siapa tahu tetangga anda ada yang melihat kejadian," urainya.

Kelima, saat mencari pembantu, suster, guru mengaji, atau guru les, cari tahulah identitas lengkapnya, kepribadian, asal-usul keluarganya. "Kalau bisa, simpan fotonya. Kalau tak enak meminta, siasati saja. Misalnya difoto bersama saat sedang menggendong anak. Kalau ada foto, lebih gampang bagi polisi untuk menemukannya," papar Rivai.

Jika sudah kadung terjadi, maka orang tua harus sesegera mungkin melapor pada polisi. Tak perlu panik agar dapat mencari saks-saksi di sekitar TKP dan mengingat jika ada hal-hal aneh sebelum kejadian. Yang paling penting, tugaskan seseorang di keluarga yang dapat tenang jika menerima telepon pelaku. "Agar dapat diketahui keberadaannya," katanya.

Dalam kesempatan itu, hadir juga Ali Said, ayah Raisya. Menurutnya, sangat penting bagi keluarga korban agar tak membeberkan keadaan sebenarnya ke media. Memang, informasi perlu disampaikan untuk menjadi pembelajaran masyarakat. Hanya saja pemberitaan juga mempengaruhi tindakan penculik terhadap anak.

Ia juga menyarankan agar sekolah selalu mendampingi siswa dalam setiap kegiatan. "Pengamanan itu harus termasuk mendaftar siapa saja yang menjemput ataupun ingin bertemu si anak," kata Ali.

Dimuat di Jurnal Nasional, 28 September 2007

Perlindungan Anak Tak Boleh Diskriminatif

Pekan depan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) akan menandatangani kesepakatan dengan kepolisian dan kejaksaan tentang perlindungan anak. Pasalnya, selama ini kedua lembaga tersebut belum menggunakan Undang-undang terbaru yaitu UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Tiga tersangka kasus penculikan Raisya Ali, yakni J, FA dan BH selama ini ditempatkan di rumah tahanan narkoba Kepolisian Metropolitan Jakarta Raya. Menurut Ketua KPAI Giwo Rubianto Wiyogo, setelah pihaknya menemui Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutanto, barulah ketiganya dipindah ke Rutan Pondok Bambu.

"Mereka itu kan masih anak-anak, harusnya jangan ditempatkan di rutan Polda," tegas Giwo. Hal itu terjadi karena Kepolisian belum mengacu pada UU No 23 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa batasan usia anak hingga 18 tahun.

"Kesepatakan perlu dilakukan agar ada sinkronisasi definisi anak dan perlakukan terhadap mereka," jelasnya.

Dalam kasus penculikan, korban tak hanya anak yang diculik tapi juga mereka yang berkonflik dengan hukum, Jadi, dalam hal ini ketiga tersangka juga termasuk korban. "Mereka masih di bawah umur dan gampang dibujuk rayu. Mereka adalah korban dan komoditas karena informasi yang salah," katanya.

Menurut Ketua Kelompok Kerja Pemantauan Evaluasi dan Pemantauan KPAI Magdalena Sitorus, tahun ini jumlah penculikan di seluruh Indonesia mencapai 307 kasus. Mayoritas adalah perebutan hak asuh anak. Maka itu, penculikan harus menjadi tanggung jawab bersama semua pihak.

Tak heran jika Sutanto akhirnya mengeluarkan Peraturan Kapolri No.10 tahun 2007 tentang Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di lingkungan Kepolisian. Unit PPA ini nantinya menggantikan RPK (Ruang Pelayanan Khusus) yang ada di tingkat Kepolisian Daerah (Polda) dan Kepolisian Restro (Polres).

Kepala Satuan Remaja, Anak, dan Wanita (Renakta) Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Ahmad Rivai mengatakan, selama ini masih ada beberapa Polres yang belum optimal dalam melakukan pelayanan RPK.

"Dulu RPK belum masuk dalam jajaran kepolisian. Petugas di sana malas-malasan karena tak ada jabatan dan budget. Tapi dengan peraturan ini, tak ada diksriminasi lagi untuk RPK. Semua Kanit (Kepala Unit) di sana harus berpangkat AKP (Ajun Komisaris Polisi) dan diutamakan wanita," katanya.

Dimuat di Jurnal Nasional 28 september 2007

Menimbang Liberalisasi Pendidikan

Tepat 3 Juli lalu presiden menandatangani peraturan No. 77. Isinya menyebutkan daftar bidang usaha tertutup dan terbuka. Salah satu bidang yang memberi peluang adanya investasi asing adalah pendidikan, dengan nilai saham asing mencapai 49 persen. Paling tidak, sudah ada enam negara yang menyatakan tertarik.

Sejak awal, selalu ada perdebatan tentang swastanisasi dan liberalisasi pendidikan di masyarakat. Bahkan penolakan itu datang dari kelompok mahasiswa hingga rektor-rektor perguruan tinggi.

Pekan lalu, Ketua Dewan Pembina Forum Rektor Indonesia Prof Dr Sofian Effendi, MPIA, mengatakan bahwa perpres ini akan membawa konsekuensi besar pada pengelolaan pendidikan nasional. Selain terbuka bagi asing, lembaga penyedia layanan pendidika formal dan pendidikan non formal milik negara pun harus berbentuk badan hukum privat yang terpisah dari birokrasi pemerintah.

"Jika semua pendidikan asing diperbolehkan mendirikan pendidikan maka siapa yang akan bertanggungjawab menanamkan nilai-nilai bangsa seperti nasionalisme dan cinta tanah air," kata Sofian yang juga mantan rektor Universitas Gadjah Mada itu.

Maka sebuah diskusi pun digelar oleh Lembaga Manajemen Pendidikan Indonesia (LMPI) pada Kamis pecan lalu di Jakarta. Diskusi bertajuk "Ikhtiar untuk Pendidikan Indonesia" pun menghadirkan para praktisi di bidang pendidikan, semisal komisioner Bidang Pendidikan dan Iptek Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Habib Chirzin, mantan guru SMP 56 Melawai Nurlaela HS, pengelola program komik Lapas Tangerang Abdul Rahman, pendiri milis sekolahrumah Sumardiono dan Ketua Dewan Pembina Yayasan LMPI Buchori Nasution.

Menurut Habib, Undang-undang Dasar 1945 mengatakan bahwa pendidikan adalah hak warga negara. Maka itu, sudah menjadi konsekuensi negara untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas.

"Adanya liberalisasi dan komersialisasi pendidikan berlawanan dengan falsafah hidup bangsa dan semangat Pancasila, yaitu sila ke lima tentang keadilan sosial. Perpres ini kurang menguntungkan bagi pendidikan nasional karena akan ada eliminasi dan proses segregasi sosial antara yang kaya dan miskin," kata Habib.

Saat ini di Indonesia ada sekitar 103 juta penduduk usia sekolah (PUS) yang merupakan pasar menggiurkan. Negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika memang mendapat kontribusi cukup tinggi dari sektor pendidikan. Sebagai gambaran, pada tahun 2000 ekspor pendidikan Amerika mencapai sekitar Rp 126 triliun dan Inggris mencapai 4 persen dari total penerimaan sektor jasa.

Meski pemerintah berdalih bahwa perpers itu berlaku terbatas di beberapa kota dan wilayah, namun Habib menilai hakikat memperjualbelikan pendidikan saja sudah salah. "Pendidikan adalah hak dasar, sama seperti hak atas kesehatan dan air bersih. Istimewanya, pendidikan dapat digunakan untuk menikmati hak lain seperti politik dan ekonomi," ujar Habib.

Ia juga mengatakan bahwa laporan Unesco tahun ini menyatakan bahwa Indonesia termasuk negara yang menyepakati program education for all (pendidikan untuk semua). Sayangnya, lanjut Habib, tahun ini Unesco menyatakan bahwa Indonesia belum berusaha maksimal mencapai tujuan itu.

Paling tidak, pendidikan harus terjangkau secara jarak dan ekonomi. Kalau tidak terjangkau secara ekonomi, maka akan dibebankan ke nagara. Sedang jika jarak terlalu jauh, maka Negara harus membangun sekolah yang dekat atau menyediakan bus sekolah. "Bahkan negara semiskin Srilanka saja mampu sediakan bus sekolah dan sekolah gratis," kata Habib.

Karena merupakan hak dasar, maka hak atas pendidikan bisa dituntut. Saat ini, Habib sedang mengajak forum rektor dan praktisi pendidikan untuk menolak Perpres tersebut.


Homeschooling sebagai Alternatif

Jika negara sebagai penyelenggara pendidikan masih nelum mampu menanggung hak rakyatnya, tak salah jika masyarakat akhirnya mencari alternatif . Salah satunya adalah mengembangkan homeschooling (bersekolah di rumah).

Moderator diskusi Hidayat Rahzen mengatakan bahwa Undang-undang Sisdiknas tak memberi peluang bagi kreativitas dan aspirasi masyarakat. UU ini pun sudah tak mengenal perbedaan antara sekolah swasta dan negeri.

"Sistem apa yang akan ditetapkan oleh depdiknas terkait perpers ini tidak jelas. Jangankan itu, kurikulum pun tak pernah ditemukan catatan resminya," kata Hidayat.

Sementara itu, praktisi homeschooling Sumardiono mengatakan bahwa apa yang dilakukannya adalah pemberontakan atas kondisi pendidikan saat ini. Pendidikan, katanya, harus dapat meningkatkan kualitas manusia. "Bukan hanya cari uang untuk bayar sekolah," kata Sumardiono.

Dimuat di Jurnal Nasional, 25 September 2007.

Membangun Akhlak Anak Didik

Berbicara tentang pendidikan memang tak ada habisnya. Sayangnya, masalah pendidikan selalu berputar-putar pada sarana dan prasarana. Padahal, yang paling penting adalah tentang anak-anak didik. Pendidikan harusnya membekali mereka dengan kemapuan untuk menghadapai lapangan kehidupan.

Menurut Ketua Dewan Pembinan Yayasan Lembaga Manajemen Pendidikan Indonesia (LMPI) Muchtar Buchori Nasution, inti dari pendidikan adalah membangun ahlak. Apa yang termasuk dalam ahlak? Yaitu ilmu dan keterampilan tentang bersikap.

Ahlak adalah bekal anak untuk menjalani hidup mereka. Apa saja yang termasuk dalam ahlak? Kata Buchori, "Shadat, mukminin, muttaqin, muhlisin. Dengan kata lain, ahlak itu sama dengan care (perhatian), sharing (berbagi), trusted (kepercayaan), dan kemampuan mengatur alam semesta," katanya.

Selain itu, anak didik juga harus dibekali dengan keterampilan khusus. Buchori melanjutkan bahwa Nabi Muhammad SAW selalu mengajak umat Islam untuk mengikuti jejaknya.

"Nabi itu kerjanya kan berdagang. Kalau kita mau ikuti jejaknya, maka jadikanlah anak didik kita pedagang. Toh semua negara yang maju ekonominya datang dari perdagangan," ujar Buchori yang juga pendiri Yayasan al Muslim, sebuah lembaga pendidikan untuk generasi muslim.

Saat ini, lanjutnya, pemerintah Inggris sudah menyiapkan anak-anak mereka jadi pedagang sejak usia lima tahun. Kemampuan sales marketing sudah diberikan sejak SMA. Lalu, padatingakt lanjutan harus mampu jadi entrepreneur (wirausaha).

Sayangnya, ia menilai kebijakan yang dimabil pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) bertentangan dengan konsep itu. Doktrin Depdiknas, lanjutnya, adalah menyiptakan anak didik yang siap pakai. Hal ini berarti menyiapkan anak-anak Indonesia untuk menjadi buruh dan tak ada kemampun untuk negosiasi.

Lalu, anak didik juga harus dibekali dengan kemampuan leadership (kepemimpinan). Hal ini, sudah mulai dikembangkan di Amerika. Memang belum semua anak mendapatkannya, hanya sekolah tertentu saja. Tapi paling tidak penerapannya sudah ada.

"Kita janganlah terjebak pada masalah kemampuan guru atau metode pembelajaran. Harusnya anaklah yang kita pikirkan. Saya sudah jualan ini berkali-kali ke Depdiknas, tapi mereka tak mau terima dan tak mau berubah, maka jadilah kita kuli semua," tegasnya.

Untuk menerapkan motedo itu, kebjiakan haruslah diambil oleh kepala sekolah yang bersangkutan. Mengapa? Karena dialah yang menentukan mau jadi apa muridnya. Dengan kata lain, jika kepala sekolah berantakan, maka akan berantakan semuanya.

Lalu, apa yang harus dilakukan kepala sekolah ini? Pertama, ia harus membuat profil siswanya. Mau jadi siswa yang seperti apa? Punya kemampuan apa? Dan bagaimana membentuk siswa yang seperti itu?

Kedua, kepala sekolah harus menegrti cara mengelola manajemen sekolah. Untuk itu, ia harus punya kemampuan benchmarking, leadership, dan mengenali karakter guru dan anak didiknya. (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, 25 September 207.

Perlu Format Pendidikan Seks Sesuai Budaya

Akses informasi yang semakin mudah membuat nilai-nilai yang ada di masyarakat. Jika tadinya dalam suatu masyarakat tak ada konsep pacaran, kini pacaran adalah suatu hal yang tak asing lagi. Bahkan, berhubungan seks, meski sembunyi-sembunyi, terjadinya juga pada remaja di Indonesia.

Seorang antropolog dan pakar kajian perempuan dari University of Western, Australia, Dr. Lyn Parker, pun mencoba mencari tahu seperti apa pergeseran nilai itu. Ia paham betul bahwa setiap kelompok masyarakat di Indonesia punya nilainya sendiri. Maka itu, Lyn mencoba mencari tahu dulu seksualitas remaja di satu daerah, yaitu Bukittinggi, Sumatera Barat.

Kata Lyn, penelitian selanjutnya adalah Bali. Meski hasil penelitiannya tak berlaku bagi semua remaja di Indonesia, tapi menarik juga melihat hasil temuan perempuan yang sudah dua puluh tahun meneliti masyarakat Indonesia.

Menurutnya, konsep seksualitas dalam konteks Indonesia tak bisa lepas dari agama. Hubungan seks, dalam konsep masyarakat di Indonesia, harus terjadi setelah ada pernikahan. Sebab, jika tidak menikah berarti telah melakukan zina. "Tapi, apa yang dipahami tak sama dengan apa yang dilakukan," katanya.

Yang menarik, kata dia, adalah pengakuan seorang siswi pesantren yang menjadi respondennya. Si siswi mengaku bahwa orang tua melarang pacaran. Ia pun berniat untuk memberikan cinta pertamanya ke suaminya nanti. Jika ia berpacaran, berarti ia telah berdosa dan tak lagi memberi cinta yang murni pada suaminya.

Anehnya, si siswi juga mengaku kalau dia sudah punya pacar. Alasannya, "Boleh asal tahu batas." Yang pasti, si siswi mengaku sedih ketika mengatakan hal tersebut ke orang tuanya.

"Bayangkan seperti apa konflik yang terjadi dalam dirinya. Padahal itu hanyalah bicara pacar, bukan berhubungan seks," urai Lyn yang juga penulis buku From Subjects to Citizens: A Balinese Village Within the Indonesian Nation-State.

Adapun karakter remaja yang ditelitinya yaitu, ingin mencoba, sering meniru idola, tedalan atau peran, menyukai barang-barang baru. Remaja juga mudah terkesan, belum matang, mudah terpengaruh, ingin tahu kebenaran. Terkadang mereka berani mengutarakan pendapat, tapi bisa pemalu dan senang memberontak jika ada hal yang tak sesuai dengan keinginan mereka.

Gambaran yang ada di media massa Indonesia, khususnya televisi, menunjukkan kecocokan dengan karakter tadi. Selain itu, remaja juga ditunjukkan memiliki perilaku seks yang aktif. "Di televisi, remaja ini digambarkan senang mengikuti tren, mereka berpacaran, berpegangan tangan atau berciuman di depan umum," kata Lyn saat memaparkan hasil penelitiannya, Senin (17/9) di Departemen Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Depok.

Namun, responden yang ia teliti pada 2004 itu menunjukkan sebaliknya. "Ternyata siswa-siswi yang jadi responden banyak yang sangat khawatir tentang nilai dan ujian di sekolah. Bahkan, remaja yang prestasinya tak begitu bagus pun masih ingin lulus dan mengamankan masa depannya dengan bersekolah. Terlihat bahwa mereka khawatir menjadi pengangguran jika tak bersekolah," ujar Lyn.

Meski demikian, pendidikan seks mutlak diperlukan pada remaja. Mengapa? "Hasil penelitian di berbagai dunia tentang perilaku seks menunjukkan bahwa peran pendidikan sangat penting. Mereka tahu bahwa seks itu tidak boleh, tapi mereka melakukannya. Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan seks yang baik ternyata hanya membuat remaja menunda melakukannya," katanya.

Perlu Psikologi
Menurut Chintia, salah satu peserta diskusi, pendidikan seks di sekolah harus dibedakan dari mata pelajaran biologi. Merumuskan seksualitas, harus menyertakan psikologi perkembangan. Selama ini, siswa di sekolah hanya diperkenalkan secara sekilas.

"Semua guru harusnya bisa bekerja sama untuk memberi pengetahuan ini," kata Chintia yang juga guru Bimbingan Konseling di SMP Labschool Kebayoran, Jakarta.

Adapaun materinya harus ditekankan pada aspek tanggung jawab. "Dia harus kelan dirinya, kenal organ reproduksi yang dia miliki, dan bagaimana memperlakukan organ tubuhnya itu. Tanggung jawab apa saja yang harus ia tempuh seandainya berhubungan seks lalu menghamili ataupun hamil. Seperti apa konsekuensi kalau seseorang terkena HIV atau AIDS," jelas Chintia.

Selain itu, pendidikan tentang seks, menurutnya harus disampaikan dengan menggunakan bahasa remaja.

Sementara, menurut Mina Elfira, pengajar di kajian gender, UI, pendidikan seks harus dikemas dengan pendekatan budaya. Bagaiamanpun, setiap suku di Indonesia punya konsep mereka sendiri tentang remaja dan seksualitas. Apa yang dianggap tabu di Sumatera Barat, misalnya, bisa jadi diperbolehkan di daerah lain di Kalimantan.

Hal itu juga disepakati oleh Lyn. Format pendidikan seks dan lembaga yang melakukannya masih harus dikaji lebih jauh. Selama ini, pemerintah hanya menyerahkan tanggung jawab ini pada lembaga non pemerintah. "Padahal ini tugas semua institusi, mulai dari negara hingga keluarga," ujar Lyn.

Dimuat di Jurnal Nasional, 20 September 2007.

Seksualitas dan Keremajaan, Beda di Barat dan Timur

Seksualitas adalah konstruksi historis yang dibentuk oleh banyak hal. Mulai dari faktor biologis, mental, identitas gender, perbedaan budaya, kecakapan reproduktif, keperluan, keinginan, hingga fantasi-fantasi. Semuanya tentunya terikat dengan norma-norma atau nilai budaya yang ada di masyarakat.

Menurut antropolog dan pakar kajian perempuan dari University of Western, Australia, Dr. Lyn Parker, dunia barat mengenal tiga konsep seksualitas, yaitu heteroseksual, gay, dan lesbian.

Seiring terjadinya kapitalisme industri, maka terjadilah perpisahan antara dunia kerja dengan dunia keluarga, dunia pribadi dengan dunia politik "Begitupun dengan kehidupan seks. Seks pertama kalinya punya eksistensi independen sebagai proyek privatisasi tentang self atau ego dalam masayarakat modern," kata Lyn.

Dalam dunia barat, seksualitas tak ada hubungannya dengan seks, reproduksi, ataupun komitmen. Seks bisa dilakukan dengan banyak orang, tanpa komitmen dan tak ada akibat dengan reproduksi.

Di Indonesia sebaliknya. "Hanya seksualitas yang heteroseksual yang dianggap pantas. Begitu pun dengan keluarga yang heteroseksual. Seksualitas yang aktif seharusnya terjadi dalam pernikahan," ujar Lyn.

Maka itu, di Indonesia selalu ada kaitan antara pernikahan, seksualitas, dan reproduksi. Konseptualisasi seksualitas dalam konteks Indonesia selalu mempertimbangkan agama.

Menurut Mina Elfira, pengajar di kajian gender Universitas Indonesia, pengertian seks tidak bisa digeneralisasikan. Selama ini, peneliti barat yang datang ke Indonesia selalu menggunakan konsep universal. "Hal itu malah mengekang hasil penelitiannya," ujarnya.

Selain itu, konsep tentang keremajaan di barat dan di Indoensia juga sangat berbeda. Di barat, remaja selalu identik dengan kesusahan dan pemberontakan. Ada konsep strum und drag (angin ribut dan stres), krisis identitas, konstruksi identitas, youth rebellion dan resistensi.

Sementara itu, orang tua di Indonesia cenderung melihat remaja sebagai pribadi yang ingin mencoba, mudah terpengaruh, dan pemalu. "Tak ada anggapan bahwa remaja adalah pemberontrak," kata Lyn.

Adapun konsep remaja ada di Indonesia sekitar tahun 1970-an saat perguruan tinggi mulai berdiri. Sebelumnya, hanya ada konsep anak-anak dan dewasa. Seseorang dianggap dewasa setelah menikah. Namun, karena semakin banyak anak-anak yang belajar di perguruan tinggi, maka terjadilah penundaan pernikahan. Maka lahirlah istilah remaja.

Dimuat di Jurnal Nasional, 20 September 2007.

Tuesday, October 09, 2007

Konflik Berlalu, Definisi Baru Ditunggu

Sudah saatnya kata Indonesia didefinisikan kembali dengan mempertimbangkan segala unsur kebinekaannya. Setiap etnis yang ada di negeri ini tak dapat disamakan dengan etnis lainnya. Kata Jawa, tak hanya berarti Yogyakarta, Surabaya, Semarang, ataupun Solo karena masih banyak daerah di pula Jawa dan semuanya punya ciri masing-masing.

Membangun kepapuaan orang Papua atau keacehan orang Aceh, misalnya, berarti membangun suku bangsa yang membentuk Indonesia. Tanpa ada unsur sparatis ataupun sentralisme.

Demi mendefinisikan Indonesia yang seperti itu, maka Yayasan Tifa mengadakan diskusi berjudul Mendefinisikan Indonesia: Keadilan, Demokrasi, dan Toleransi. Acara yang berlangsung Jumat, 14 September 2007, di Jakarta, menghadirkan Sekretaris Eksekutif Foker J Septer Manufandu, Ketua Partai Rakyat Aceh Aguswandi, dan Samuel Gultom dari Yayasan Tifa.

Menurut Septer, selama ini warga Papua sulit sekali mendefinisikan Indonesia. Soalnya, selama 42 tahun Papua selalu dieksploitasi sumber daya alamnya. Meski sudah ada otonomi khusus bagi wilayah ini, namun Septer melihat bahwa wewenang belum diberikan sepenuhnya bagi mereka.

"Orang Papua ingin menjadi tuan di negeri sendiri. Menjadi Papua sejati sama saja dengan menjadi Indonesia sejati. Bukankah Bhineka Tunggal Ika menunjukkan proses Indonesia bermula dari dan berakhir menjadi anggota sebuah etnis?" kata Septer.

Seorang profesor dari Georgetown University Amerika pernah mengatakan padanya bahwa jumlah suku bangsa yang beragam bisa membentuk Indonesia jadi negara federasi terkuat di Asia. Karena konsep ini hanya bisa dibangun oleh kumpulan etnik yang punya ciri unik.

Hal senada juga dikatakan Aguswandi. Menurutnya, konflik yang terjadi di Aceh beberapa waktu lalu adalah reaksi terhadap Indonesia. "Reaksi tentang keadilan, kehidupan bernegara, dan gerakan bersenjata," kata Agus. "Gerakan bersenjata adalah penyeimbang terhadap bahasa yang dipakai Indonesia untuk berkomunikasi dengan Aceh," katanya.

Sebenarnya, tutur Agus, hal serupa terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Akan tetapi, hanya di negeri rencong itulah terjadi perlawanan. Kenapa? Ia melihat bahwa ada mobilitas di sana yang terbangun di atas identitas, etnis, dan sejarah.

Imagine community versi Ben Anderson dapat tercipta di Jawa karena adanya mesin cetak. Orang-orang di Jawa punya suatu perasaan yang sama tentang kebangsaan karena membaca pidato Bung Karno di koran. "Meski mereka tak saling bertemu, tapi ada yang menyatukan. Terjadi komunikasi imajiner di sana," urainya.

Di Aceh, Imagine community terjadi karena kekerasan. "Yang membuat kami sama-sama Aceh karena harus pakai KTP merah putih, kalau tidak hafal lagu Indonesia raya maka kami akan ditampar, kalau tidak hafal Pancasila maka kami akan ditangkapi," kata Agus.

Untuk itulah, ia melihat perlunya suatu tatanan Aceh baru dimana nasionalisme tak hanya didefiniskan secara wilayah dan etnis. Konsep ini adalah antitesis dari Indonesia lama, yaitu korup dan militeristik.

Sementara itu menurut Samuel, jika ada kebingungan tentang mendefinisikan Indonesia, berarti ada dua masalah mendasar di sana. Pertama, pengingkaran terhadap hak menentukan nasib sendiri.

"Inilah problem terbesar yang kita hadapi. Menentukan nasib sendiri adalah hak untuk menentukan arahnya sendiri, hak untuk terus membangun kesepakatan sehingga kehidupan betul-betul dibangun atas kesepakatan bersama," kata Samuel.

Kedua, adanya kata final terhadap Pancasila,UUD 1945, NKRI, dan kebinekatunggalikaan. "Ini bertentangan dengan yang pertama. Tak ada yang boleh final karena semua harus dirundingkan. Contohnya, bagi sebagian orang yang tidak percaya adanya Tuhan, pasal satu dalam Pancasila itu sudah diskriminatif bagi mereka," ujar Samuel.

Sejak 1966, tambahnynya, proyek nation building sudah berakhir dan digantikan dengan state building. Dan state building menurutnya sangat ambisius karena lebih berorientasi menjaga keuasaaan daripa memberikan hak pada warga Negara.

Maka itu, usulnya, jangan lagi ada pembicaraan tentang identitas yang akhirnya menimbulkan masalah. "Identitas tak hubungannya dengan budaya. Salah satu kegagalan negara adalah membangun komunitas ini. Sehingga orang selalu bicara tentang komunitas etnis."

Sedang Adriana dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melihat bahwa masalahnya adalah peace and prosperity (perdamaian dan kesejahteraan).

Jika ada peace, berarti adademokrasi yang terjadi. Sedang prosperity berkaitan dengan keadilan ekonomi. "Indonesia itu ada, it's a given, mendefinisikan Indonesia adalah mengurangi dominasi militer. Mengganti pendekatan kekerasan,yang selama ini digunakan di Papua dan Aceh, menjadi pendekatan nonkekerasan" kata Adriana.

Dimuat di Jurnal Nasional, 19 September 2007

Membangun Kebanggaan Bangsa

Membincang tentang nasionalisme seakan tak ada habisnya. Isu ini pun paling ampuh menggeser isu-isu lain dan mendapat perhatian masyarakat.

"Isu nasionalisme ini selalu digunakan untuk menutupi kegagalan negara dalam mengatasi suatu masalah," kata pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indra J Piliang.

Ia pun mencontohkan apa yang baru saja terjadi bulan lalu. Saat media massa ramai memberitakan kelangkaan minyak tanah dan konversi kompor gas, tiba-tiba saja berita tentang pemukulan wasit karate Indonesia, Donald, muncul. Di lain waktu, muncul isu tentang kapal asing yang masuk ke perbatasan atau menangkap nelayan.

"Selalu ada ide nasionalisme yang disebar, seakan-akan mengalahkan masalah eknomi. Makanya saya curiga bahwa nasionalisme sebenarnya penuh tipuan, trik-trik politik sehingga masalah sebenarnya tidak kelihatan," kata Indra dalam acara diskusi bertema ‘Membangun Bangsa dengan Nasionalisme' yang berlangsung pekan lalu di Jakarta.

Konsep nasionalisme yang selama ini digunakan pun harus dipertanyakan. Ada hal-hal dalam konstitusi negara ini yang tak mendukung nasionalisme. Pada kasus lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan, misalnya, Indonesia kalah dari Malaysia karena keterangan dalam konstitusi.

"Undang-undang Malaysia menyebut masyarakat di sana sebagai masyarakat asli, sedang undang-undang kita menyebut mereka masyarakat terasing," jelas Indra yang beberapa waktu lalu sempat mencalonkan diri menjadi angora Komisi Pemilihan Umum.

Selain itu, konsep nasionalisme seakan tak mengakui adanya keberagaman. Lihatlah perlakuan negara terhadap pemeluk agama. Kalau ada yang tak memeluk agama resmi negara maka akan dianggap aneh dan sesat.

"Itulah yang membuat nasionalisme di negara ini selalu melahirkan militerisme. Selalu ada tentara dalam menyelesaikan masalah kebangsaan," tuturnya. Kalau sudah begitu, maka negara akan melakuakn penjajahan terhadap warganya. "Selama ini kita masih melihat daerah sebagai tempat untuk mengeksploitasi sumber daya."

Menurut sosiolog dari Universitas Airlangga Daniel Sparingga, saat ini sulit untuk membangun gagasan tentang keindonesiaan. Gara-garanya, globalisasi yang sedang terjadi dan adanya kebangkitan sentiment etnis.

Globalisasi menyebabkan berlakukanya hukum pasar. "Dan sentiment kebangsaan tidak mudah dibangkitkan dalam materialisme. Tak ada lagi nilai patriotik karena memakai busana daerah. Merek seperti Guess atau Levi's yang dipakai orang dan tak ada identifikasi diri terhadap merek lokal."

Selain itu, kebangkitan etnis adalah sebuah fenomena yang pasti menimbulkan ketegangan. Ada kelahiran baru berdasarkan etnis yang akhirnya melahirkan politik identitas. "Dan ini tidak sehat," tegas Daniel.

Jika seorang nelayan ingin menjual ikan, maka hubungan terjadi karena adanya kepentingan. Tapi, jika nelayan tersebut bertransaksi karena identitasnya, maka akan menimbulkan ketidakadilan.

Dimuat di Jurnal Nasional, 19 September 2007

Yang Muda, Yang Bersemangat

Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan selagi masih muda! Makan apa saja sebelum kolesterol atau gula darah menjadi masalah, coba arung jeram atau jet coaster selagi jantung masih kuat, dan yang penting raih cita-cita setinggi langit selagi usia panjang.

"Orang muda itu ibaratnya batang pohon yang muda dan orang tua adalah batang pohon yang tua. Kalau pohon muda dicabut dan ditanam di tempat lain, pohon itu masih bisa tumbuh. Tapi tak begitu dengan pohon tua," kata penulis Ayu Utami.

Kenapa bisa begitu? Penulis buku Saman ini melihat bahwa orang muda sangat fleksibel dalam segala hal. Jika ada prestasi yang dilakukan orang tua, maka orang muda juga akan melakukannya dengan tempo yang lebih singkat.

Semangat untuk berjuang juga terlihat pada bisnis yang dilakukan keluarga Sampoerna. Dalam buku berjudul Sampoerna Legac: a family and business history, generasi keempat mereka, yaitu Jacqueline Michelle Sampoerna menceritakan sejarah keluarganya.

"Sejak penjualan saham Sampoerna ke Phillip Morris pada 2005, ada semacam panggilan untuk menulis dan menggambarkan sukses dan perjalanan keluarga. Kami akan masuk ke babak baru dan penuh tantangan. Buku ini agar kami tidak melupakan masa lalu kami," tulis Michelle dalam buku itu.

Berbicara tentang perusahaan rokok di Indonesia,tentu tak akan lepas dari PT H.M. Sampoerna. Perusahaan itu didirikan pada 1913 di Surabaya oleh Liem Seeng Tee dan istrinya Siem Tjiang Nio, imigran Tionghoa dari Fujian. Awalnya bernama Handel Maastchpaij Liem Seeng Tee, lalu berubah menjadi NV Handel Maastchapij Sampoerna.

Kesempatan untuk mengembangkan bisnis terjadi pada awal 1916. Waktu itu Liem Seeng Tee membeli berbagai jenis tembakau dalam jumlah besar dari seseorang pedagang tembakau yang bangkrut. Perusahaan ini meraih kesuksesan dengan merek Dji Sam Soe, tahun 1930-an. Sayang, kedatangan Jepang memporak-porandakan bisnis yang telah dibangun itu. Bisnis pun diambil alih oleh generasi yang lebih muda.

"Jadi, bisnis di keluarga ini terus sukses saat diambl alih oleh generasi yang lebih muda. Karena orang muda lebih dipercaya, berani berpetualang, punya mimpi, dan cita-cita lebih besar," kata Albert Wibisono dari House of Sampoerna dalam peluncuran buku Sampoerna Legac: a family and business history, pekan lalu, di Kemang, Jakarta Selatan.

Pengusaha muda Yoris Sebastian mengatakan bahwa dalam masyarakat mana pun, orang muda selalu punya semangat untuk tampil beda. "Meski bukan nomor satu tapi anak muda biasanya tak mau kalau hanya jadi copy cat. Mereka akan berbuat sesuatu yang melawan arus," jelasYorris yang meniti karirnya sebagai manajer di Hard Rock Café Jakarta.

Lalu, dari mana Ayu, Yorris, dan generasi muda Sampeorna mendapatkan semangat mereka?

Kata Ayu, dia cukup melihat masalah yang ada pada generasi sebelumnya. Bagaimanapun, generasi muda selalu punya keinginan untuk bereaksi terhadap apa yang sudah dilakukan generasi sebelumnya. "Dan kami selalu fleksibel, harus dapat mempelajari sesuatu dengan cepat daripada orang tua yang sudah keras."

Menurut Yoris, orang muda perlu belajar dan berkompromi. Untuk mencari tahu apa yang ingin dilakukan, sah-sah saja mengikuti orang lain. "Saya juga mulai dengan magang, lalu jadi reporter majalah, lalu pindah ke tempat lain."

Namun semangat yang mendasari bisnis keluarga Sampoerna adalah semangat yang paling primitif: bertahan hidup sebagai imigran. Setelah penjajahan Jepang, semangat keluarga adalah untuk mengembangkan bisnis. Di tangan generasi ketiga, yaitu Putera Sampoerna, perusahaan ini pun melakukan terobosan-terobosan, semisal rokok bernikotin rendah, A Mild.

Semangat, tentu tak selalu ada. Risiko sering membuat orang muda ragu untuk bertindak. Kata Yoris, ia adalah orang yang tak terlalu berani ambil resiko. Ia baru berani berwirausaha setelah 15 tahun bekerja. Masalahnya, ia melihat banyak teman yang berwirausaha gagal.

"Semuanya memang harus dari awal. Ibaratnya pembalap F1, harus mulai dulu dari A1 dan A3," kisah Yoris yang pernah meraih penghargaan International Young Music Entrepreneur 2006. Ia juga menekankan perlunya prinsip "win-win-win" yang digunakan Liem.

"Dalam berbisnis, jangan hanya berpikir tentang diri sendiri, perhatikan juga apa yang terbaik bagi lingkungan dan ekosistem dalam bisnis kita."

Lain lagi dengan Ayu. Sebelum jadi penulis, ia adalah wartawan yang ikut melawan Orde Baru melalui Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Lalu mengapa ia berani ambil resiko?

"Karena temen saya bilang bahwa umur kita masih lebih panjang dari Soeharto. Jadi, apa pun yang terjadi, saya lebih punya kesempatan untuk berubah daripada dia (Soeharto)."

Dimuat di Jurnal Nasional, 13 September 2007

Semangat Filantropik Keluarga Sampoerna

Kerajaan bisnis keluarga Sampoerna bermula dari semangat bertahan hidup sebagai imigran. Pada generasi ke dua, semangat itu pun berubah jadi mengembangkan bisnis. Di tangan generasi ketiga, semangat untuk melakukan terobosan baru sangat terlihat.

Lalu bagaiaman dengan generasi sekarang? Dan bagaimana dengan generasi yang akan datang? Dengan jumlah kekayaan mereka saat ini, rasanya semangat itu bukan lagi untuk bertahan hidup ataupun mengembangkan bisnis.

Sebagai gambaran, saat Putera Sampoerna menjual sahamnya ke Philip Morris International Inc pada Maret 2005, nilainya mencapai Rp18,5 triliun. Majalah Globe Asia, Edisi Agustus 2007, menyebutkan bahwa Putera Sampoerna, berada di urutan kelima dari 150 orang terkaya di Indonesia. Jumlah kekayaannya senilai 2,2 dolar AS miliar atau sekitar Rp 20,02 triliun.

Pada peluncuran buku sejarah keluarga Sampoerna, Albert Wibisono dari House of Sampoerna bercerita banyak tentang semangat keluarga itu. "Meski sudah berhasil seperti sekarang, tapi mereka tetap mengelola bisnis dengan profesional. Semangat generasi Sampoerna yang sekarang pun adalah semangat filantropik," katanya.

Nilai-nilai yang ada dalam keluarga selalu diwariskan. Yang paling ditekankan, tambahnya, bahwa perusahaan tak hanya untuk keuntungan, tapi juga untuk dedikasi.

"Mereka mencintai bangsa ini. Keluarga Sampoerna punya pilihan terhadap apa yang akan mereka lakukan untuk Indonesia," tegas Albert. Sebenarnya, Putera dan istrinya Ketie tidak dilahirkan di Indonesia, begitupun dengan keturunan mereka. "Tapi mereka selalu kembali ke negara ini dan berbuat sesuatu."

Menurut Ayu Utami, sebenarnya identitas adalah sesuatu yang diciptakan masyarakat. Jika ditanya tentang kecintaannya akan Indonesia, ia hanya berkata bahwa ia tak punya pilihan lain. "Bukan karena bangsa ini istimewa, tapi karena saya memang dilahirkan di sini."

Bagi keluarga Sampoerna, semangat mencintai bangsa ini diwujudkan dengan membuka kesempatan untuk mengecap pendidikan. Tepat 1 Maret 2001, Jacqueline Michelle Sampoerna, anak dari Putera Sampoerna, mendirikan Sampoerna Foundation (SF).

Saat ini SF termasuk salah satu yayasan nirlaba terbesar yang didirikan oleh keluarga pengusaha. SF juga telah memberikan lebih dari 25.000 beasiswa mulai dari tingkat SD hingga S-2. Mereka juga mengirimkan putra-putri terbaik bangsa ke sekolah bisnis top di dunia, semisal Harvard Business School, Hass School of Business, Wharton School, dan London Business School.

SF juga membuka program perbaikan kualitas guru bernama Teacher Institute dan bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung membuka Sampoerna School of Business and Management (SBM-ITB). Selain itu, ada juga program United Schools Program (USP), untuk memperbaiki kualitas Sekolah Menengah Atas. USP sudah dilakukan di 17 sekolah negeri di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali. Adapun total dana bantuan pendidikan yang disalurkan pada kuartal keempat tahun 2006 mencapai 4,85 juta dollar AS atau sekitar Rp 43,6 miliar.

Menurut Albert, semangat filantropik dikeluarga ini sudah ada sejak awal. "Yang menarik adalah saat Jepang masuk ke Indonesia. Keluarga ini lebih memilih untuk membagikan tembakau mereka ke penduduk sekitar daripada dirampas sama Jepang."

Mengenai kegiatan filantropik, Putera mengatakannya sebagai kegiatan yang dilakukan turun-temurun. "Aktivitas ini telah dimulai oleh kakek saya, lalu dilanjutkan ayah saya, dan kini dikembangkan lebih jauh oleh saya dan anak-anak saya," katanya beberapa waktu lalu.

"Kami merasa perlu mengingatkan diri kami atas berkah yang kami terima dan membagi karunia tersebut kepada mereka yang kurang beruntung. Sebagaimana kata pepatah, yang kaya membantu yang miskin. Dan, yang kuat menolong yang lemah. Tradisi ini akan terus kami jaga dan pelihara."

Dimuat di Jurnal Nasional, 13 September 2007

Mencari Arah Pendidikan Tinggi Seni di Indonesia

Pendidikan dan Perguruan Seni di Indonesia ibarat atlet panahan yang sedang berusaha mengarahkan anak panahnya ke sasaran. Sasaran itu bergerak cepat dan dinamis.
Perguruan tinggi seni kini berkembang pesat. Semakin banyak perguruan tinggi yang merasa perlu menyelenggarakan program studi tentang kesenian, tak hanya pada tingkat sarjana tapi juga master dan doktor.

Namun, ke mana orientasi pendidikan ini sebenarnya?

Dalam sebuah seminar bertajuk Pendidikan Apresiasi Seni, yang diselenggarakan di Universitas Nasional Jakarta, Senin, 10 September, pakar-pakar pendidikan seni pun bertukar ide. Penyelenggaranya adalah Akademi Jakarta, yang tak lain adalah para seniman berprestasi yang bertugas merumuskan ide tentang kesenian.

Sebenarnya, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas telah mencoba mengakomodasi pendidikan tinggi seni. Beberapa waktu lalu, Tim Ditjen Dikti dan perwakilan disiplin seni dan perguruan tinggi seni merumuskan paradigma baru dalam pendidikan tinggi seni.

Inti pedoman itu adalah mencapai aspirasi pasal 56 HELTS (Higher Education Long Term Strategy), yakni "Art, particularly that is rooted at noble indigenous tradition and culture, is critical for strengthening the nation's character in addition to personal growth for developing creativity and innovation." (Seni, yang merupakan akar tradisi dan budaya, sangat penting untuk memperkuat karakter bangsa dalam mengembangkan kepribadian seseorang untuk menghasilkan kreatifitas dan inovasi).

Menurut Ketua Pusat Penelitian Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) Setiawan Sabana, pendidikan tinggi seni belum maksimal dalam memanfaatkan potensi seni tradisi yang ada di sekitar masyarakat. Hal ini diperparah dengan belum ada filter untuk menyaring seni yang datang dari luar.

"Para pendidik seni masih mengacu ke pemikiran barat, baik untuk materi, teknik, aliran, atau metode pengajaran," kata Setiawan. "Ini membuat genre seni tradisi khas Indonesia mati."

Menurut Endo Suanda dari Lembaga Pendidikan Seni Nusantara (LPSN), sistem sekolah formal adalah warisan pemerintah kolonial. Titik tolak penggolongan disiplin seni pun mengacu ke Barat, yaitu seni musik, seni tari, teater, dan seni rupa. Keempat kategori itu, tak semuanya cocok jika dihadapkan dengan seni lokal.

Sebagai contoh, sindrilik di Makassar atau kentrung di Jawa adalah seni mendongeng sambil menyanyi atau main alat musik. Terkadang, pemain musik saling sindir ataupun bergurau dengan penontonnya. "Lalu, seni macam ini mau masuk ke kategori yang mana?" kata Endo.

Dulu, pendidikan seni berkembang di sanggar-sanggar. Pada 1974, sudah ada pengaturan tentang kurikulum yang menekankan pada basis isi. Saat ini, pendidikan tinggi seni sudah menerapkan sistem kredit semester (SKS), sehingga bobot ilmu dan seni seimbang.

"Sebenarnya, penerapan kaidah barat bisa dimengerti, karena kesenian barat memiliki sistematika yang paling lengkap. Sehingga sistem ini mampu memenuhi tuntutan sistem kurikulum. Kalau ini digunakan, bagaimana menggunakan kaidah budaya lokal kita," jelas Endo.

Untuk mengembangkan pendidikan seni, Setiawan melihat perlunya kurikulum berbasis kompetensi. "Harus bersifat multikultural, agar ada dialog antar budaya."

Bagaimanapun, seni budaya tradisional sangat beragam dan punya potensi yang tak pernah habis untuk dikembangkan. Yang tak kalah penting, tambah Setiawan, harus ada pergeseran paradigma dalam melihat pendidikan tinggi seni.

Selain itu, perguruan tinggi juga harus mengembangkan sikap terbuka dan kritis. Lalu, harus mau menjalin dialog. "Tak bisa lagi ada sikap sektarianisme, eksklusivisme, dan parsialisme."

Harusnya, pendidikan tinggi seni mengembangkan penelitian dan pendataan tentang berbagai seni yang ada di masyarakat sekitar. Masa kini, seni harus bisa mengimbangi perkembangan teknologi, dan riset-riset seni mutlak diperlukan.

"Setelah riset, publikasikanlah hasilnya. Lakukan penciptaan dan eksploitasi HaKI agar seni ini dapat menghasilkan teknologi dan bisa menjadi bisnis baru untuk dikembangkan."

Dimuat di Jurnal Nasional, 12 September 2007

Memahami Seni Budaya Lokal

Beberapa orang tampak berkumpul di atas podium. Mereka adalah peserta seminar Pendidikan Apresiasi Seni yang begitu diskusi usai langsung mendatangi si pemateri.
Sambil memegang buku dan VCD, mereka berebut untuk bertanya pada Endo Suanda dari Lembaga Pendidikan Seni Nusantara (LPSN).

"Pak, yang ini untuk murid SMP atau SMA?" tanya seorang guru perempuan.

"Pak, buku Topeng ini berapa harganya?" tanya guru yang lainnya.

"Harganya Rp15.000, tapi ini tidak untuk dijual, hanya sebagai contoh. Kalau mau, datang saja ke kantor," kata Endo yang mulai kewalahan menanggapi minat peserta.

Awalnya, Endo dan praktisi pendidikan seni di LPSN merasa khawatir dengan bahan-bahan dan metodologi pengajaran seni di sekolah. Ia menganggap pengajaran seni di sekolah terlalu mengacu ke barat. Untunglah Kurikulum Tingkat Satuan Pengajaran (KTPS) 2006 mengubah mata pelajaran ‘kesenian' menjadi ‘seni budaya'.

Meski berubah, namun timbul lagi banyak kegundahan baru. Budaya yang dimaksud mengacu pada budaya nusantara atau budaya daerah? "Jujur saja, saya tak setuju dengan sebutan budaya nusantara. Karena itu berarti adanya penyeragaman budaya dan penyederhanaan terhadap kompleksitas yang ada," kata Endo.

Akan tetapi, sebagai bahan ajar, seni tetap membutuhkan suatu standarisasi untuk diukur. Apakah setiap wilayah di nusantara punya tradisi kesenian yang cukup 12 jenjang pembelajaran di sekolah? Lalu, apakah kesenian daerah tersebut cocok jadi bahan pelajaran?

Jika memilih budaya lokal yang dianggap mayoritas, menurut Endo nantinya kita akan kembali pada pengikisan budaya yang lebih kecil. "Jika kita mengacu pada wilayah budaya yang sangat sempit, semisal budaya desa di mana sekolah berada, maka kita akan terjebak pada pemahaman yang sempit. Padahal sistem pendidikan harusnya terbuka," ujar Endo.

Ia pun melihat bahwa hal yang paling mungkin dilakukan adalah memakai pendekatan tematik. Padahal, selama ini pendekatan pendidikan seni berdasarkan kategori disiplin seni, yaitu musik, tari, tater, dan seni rupa. Dalam berbagai budaya di nusantara, ia melihat bahwa kesenian tak terpisah secara baku menjadi empat disiplin.

Dengan menentukan topik, kata Endo, LPSN mengambil fenomena kesenian yang hidup di masyarakat. "Jangan lupakan bahwa seni tak hanya menyangkut jenis dan bentuk, tapi juga makna, nilai, dan persepsi masing-masing individu," katanya.

Sejauh ini, sudah ada 5 jenis buku untuk jenjang SMP maupun SMA. Untuk jenjang SMP, topik yang diambil adalah tekstil, gong, musik populer, tari tontonan, dan pemukiman. Sedang jenjang SMA topiknya adalah alat musik dawai, topeng, tari komunal, kaligrafi, dan teater.

Menurut Kepala Divisi Penelitian dan Pengembangan LPSN Adi Nugroho, saat ini ia sedang menyiapkan dua topik lagi untuk diterbitkan Januari 2008. "Topik untuk SMA adalah kesenian dan media, sedang untuk SMP adalah gambar," kata Adi.

Topik-topik itu dipilih karena memuat materi yang tersebar di banyak wilayah, bahannya tersedia di sekitar siswa, dan sudah banyak dikenal di masyarakat.
Adapun metode yang digunakan untuk topik-topik tersebut adalah keterlibatan langsung terhadap fenomena kesenian. Mau tak mau, LPSN membawa kehidupan kesenian dalam pelajaran dan membawa siswa pada kenyataan praktis dalam masyarakat.

"Bahan-bahan itu kami lengkapi dengan paket audiovisual, agar pengenalan materi lebih nyata. Dengan topik-topik ini, kami ingin siswa paham, punya pengalaman, dan pernah menikmati kesenian yang ada dalam keseharian mereka," kata Adi.

Sejak menerapkan pengajaran ini pada 2003, LPSN telah bekerja sama dengan sekitar 500 sekolah di 12 provinsi. Awalnya, tentu mendapat tentangan dari pihak sekolah karena isinya berbeda dengan arahan kurikulum pusat. Penolakan lain datang karena adanya anggapan bahwatopik tersebut erat dengan jawanisasi.

"Maklumlah, banyak bahan ajar seperti topeng dan gong yang diambil dari Jawa. Kami juga pernah dituduh punya agenda kristenisasi karena beberapa sampel kami ambil dari lingkungan kristen," urai Endo.

Seiring berjalannya waktu, anggapan seperti itu mulai hilang. Hal ini tak lepas dari semakin jelasnya wewenang pemerintah daerah dan sekolah dalam pelajaran kesenian. Sedang kecurigaan terhadap etnosentrisme ataupun resistensi keagamaan juga menghilang setelah pihak sekolah mempelajari isi buku tersebut.

"Setelah dijalankan, akan terasa bahwa materi kami mengacu pada budaya nusantara. Bahkan pemerintah pusat menganggap bahwa program kami saling melengkapi dengan mereka," papar Endo.

Kreativitas dapat tumbuh jika masing-masing budaya dapat saling mengenal dan memahami kebutuhan masing-masing. Apresasi seni berbasis budaya nusantara bukan untuk saling bersaing dan menempatkan budaya yang satu di atas segalanya.

"Jangan ada lagi istilah budaya nasional sebagai puncak budaya daerah. Juga jangan ada lagi lomba kesenian antar tradisi. Kita lihat saja apa manfaat seni bagi kehidupan ini," ujar Endo.

Dimuat di Jurnal Nasional 12 September 2007

"Seni Harus Dinikmati dengan Pengetahuan Memadai"

Seringkali terdengar keluhan bahwa apresasi seni masyarakat kita rata-rata masih rendah. Salah satu penyebabnya adalah pendidikan apresiasi seni yang belum optimal, baik di sekolah ataupun di lingkungan keluarga. Akibatnya, penghargaan masyarakat akan kesenian dan pekerjaan seni masih rendah.

Melalui seminar tentang Apresiasi Pendidikan Seni, Akademi Jakarta (AJ) menekankan perlunya melatih daya tangkapakan seni. Lalu, seperti apa daya apresiasi masyarakat kita saat ini? Berikut petikan wawancara singkat Jurnal Nasional dengan anggota Akademi Jakarta juga guru besar Antropologi Universitas Indinesia, Edi Sediawati:

Mengapa AJ memilih topik ini?

Nilai seni dengan cita rasa tinggi perlu diarahkan dari segi kepentingan pendidikan. Pendidikan seni perlu internalisasi yang terarah dan difasilitasi dengan saran dan prasarana memadai.

Jika tidak, maka yang akan dinikmati oleh khalayak adalah apa yang disajikan oleh pasar. Sedang produk pasar itu kan didominasi oleh sinetron yang mutunya menengah ke bawah. Dengan kata lain, baik secara artistic ataupun kandungan pesannya itu buruk. Lebih banyak nilai negative yang kita lihat. Contoh kecilnya adalah anak yang bicara bentak-bentak ke orang tua.

Apa yang membedakan seni yang bermutu baik dan yang tidak?

Seni yang bermutu adalah seni yang menunjukkan perasaan atau tanggapan rasa yang mendalam.Seni itu dapat membuat seseorang menikmatinya dengan kedalaman perasaan, mengajak orang-orang untuk merenungkan hakekat berbagai hal dalam kehidupan, atau hal lain yang sesuai temanya.

Sedang seni yang rendah mutunya adalah seni yang sensasional, vulgar, dan bisa menimbulkan rangsangan fisik.

Apa yang dibutuhkan untuk mengapresiasi seni?

Harus ada proses kesiapan untuk mengungkap keindahan. Dengan kata lain ada proses pemberian pengetahuan dan pengenalan untuk menikmatinya. Seni tak akan bisa dinikmati tanpa pengetahuan yang memadai, semisal mengenali wayang kulit, tentu harus tahu dulu karakteristik tokoh-tokohnya.

Jika ini tidak dilatih, maka kemahiran seseorang untuk dapat menangkap nilai-nilai seni bermutu juga tidak akan ada.

AJ adalah think tank yang harus bisa mengintervensi wacana publik supaya ada kesadaran akan kebutuhan pendidikan seni. Forumnya bisa macam-macam, bisa lewat sekolah atau forum non-formal, seperti keluarga ataupun media massa.