Wednesday, October 10, 2007

Membangun Akhlak Anak Didik

Berbicara tentang pendidikan memang tak ada habisnya. Sayangnya, masalah pendidikan selalu berputar-putar pada sarana dan prasarana. Padahal, yang paling penting adalah tentang anak-anak didik. Pendidikan harusnya membekali mereka dengan kemapuan untuk menghadapai lapangan kehidupan.

Menurut Ketua Dewan Pembinan Yayasan Lembaga Manajemen Pendidikan Indonesia (LMPI) Muchtar Buchori Nasution, inti dari pendidikan adalah membangun ahlak. Apa yang termasuk dalam ahlak? Yaitu ilmu dan keterampilan tentang bersikap.

Ahlak adalah bekal anak untuk menjalani hidup mereka. Apa saja yang termasuk dalam ahlak? Kata Buchori, "Shadat, mukminin, muttaqin, muhlisin. Dengan kata lain, ahlak itu sama dengan care (perhatian), sharing (berbagi), trusted (kepercayaan), dan kemampuan mengatur alam semesta," katanya.

Selain itu, anak didik juga harus dibekali dengan keterampilan khusus. Buchori melanjutkan bahwa Nabi Muhammad SAW selalu mengajak umat Islam untuk mengikuti jejaknya.

"Nabi itu kerjanya kan berdagang. Kalau kita mau ikuti jejaknya, maka jadikanlah anak didik kita pedagang. Toh semua negara yang maju ekonominya datang dari perdagangan," ujar Buchori yang juga pendiri Yayasan al Muslim, sebuah lembaga pendidikan untuk generasi muslim.

Saat ini, lanjutnya, pemerintah Inggris sudah menyiapkan anak-anak mereka jadi pedagang sejak usia lima tahun. Kemampuan sales marketing sudah diberikan sejak SMA. Lalu, padatingakt lanjutan harus mampu jadi entrepreneur (wirausaha).

Sayangnya, ia menilai kebijakan yang dimabil pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) bertentangan dengan konsep itu. Doktrin Depdiknas, lanjutnya, adalah menyiptakan anak didik yang siap pakai. Hal ini berarti menyiapkan anak-anak Indonesia untuk menjadi buruh dan tak ada kemampun untuk negosiasi.

Lalu, anak didik juga harus dibekali dengan kemampuan leadership (kepemimpinan). Hal ini, sudah mulai dikembangkan di Amerika. Memang belum semua anak mendapatkannya, hanya sekolah tertentu saja. Tapi paling tidak penerapannya sudah ada.

"Kita janganlah terjebak pada masalah kemampuan guru atau metode pembelajaran. Harusnya anaklah yang kita pikirkan. Saya sudah jualan ini berkali-kali ke Depdiknas, tapi mereka tak mau terima dan tak mau berubah, maka jadilah kita kuli semua," tegasnya.

Untuk menerapkan motedo itu, kebjiakan haruslah diambil oleh kepala sekolah yang bersangkutan. Mengapa? Karena dialah yang menentukan mau jadi apa muridnya. Dengan kata lain, jika kepala sekolah berantakan, maka akan berantakan semuanya.

Lalu, apa yang harus dilakukan kepala sekolah ini? Pertama, ia harus membuat profil siswanya. Mau jadi siswa yang seperti apa? Punya kemampuan apa? Dan bagaimana membentuk siswa yang seperti itu?

Kedua, kepala sekolah harus menegrti cara mengelola manajemen sekolah. Untuk itu, ia harus punya kemampuan benchmarking, leadership, dan mengenali karakter guru dan anak didiknya. (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, 25 September 207.

No comments: