Wednesday, October 10, 2007

Seksualitas dan Keremajaan, Beda di Barat dan Timur

Seksualitas adalah konstruksi historis yang dibentuk oleh banyak hal. Mulai dari faktor biologis, mental, identitas gender, perbedaan budaya, kecakapan reproduktif, keperluan, keinginan, hingga fantasi-fantasi. Semuanya tentunya terikat dengan norma-norma atau nilai budaya yang ada di masyarakat.

Menurut antropolog dan pakar kajian perempuan dari University of Western, Australia, Dr. Lyn Parker, dunia barat mengenal tiga konsep seksualitas, yaitu heteroseksual, gay, dan lesbian.

Seiring terjadinya kapitalisme industri, maka terjadilah perpisahan antara dunia kerja dengan dunia keluarga, dunia pribadi dengan dunia politik "Begitupun dengan kehidupan seks. Seks pertama kalinya punya eksistensi independen sebagai proyek privatisasi tentang self atau ego dalam masayarakat modern," kata Lyn.

Dalam dunia barat, seksualitas tak ada hubungannya dengan seks, reproduksi, ataupun komitmen. Seks bisa dilakukan dengan banyak orang, tanpa komitmen dan tak ada akibat dengan reproduksi.

Di Indonesia sebaliknya. "Hanya seksualitas yang heteroseksual yang dianggap pantas. Begitu pun dengan keluarga yang heteroseksual. Seksualitas yang aktif seharusnya terjadi dalam pernikahan," ujar Lyn.

Maka itu, di Indonesia selalu ada kaitan antara pernikahan, seksualitas, dan reproduksi. Konseptualisasi seksualitas dalam konteks Indonesia selalu mempertimbangkan agama.

Menurut Mina Elfira, pengajar di kajian gender Universitas Indonesia, pengertian seks tidak bisa digeneralisasikan. Selama ini, peneliti barat yang datang ke Indonesia selalu menggunakan konsep universal. "Hal itu malah mengekang hasil penelitiannya," ujarnya.

Selain itu, konsep tentang keremajaan di barat dan di Indoensia juga sangat berbeda. Di barat, remaja selalu identik dengan kesusahan dan pemberontakan. Ada konsep strum und drag (angin ribut dan stres), krisis identitas, konstruksi identitas, youth rebellion dan resistensi.

Sementara itu, orang tua di Indonesia cenderung melihat remaja sebagai pribadi yang ingin mencoba, mudah terpengaruh, dan pemalu. "Tak ada anggapan bahwa remaja adalah pemberontrak," kata Lyn.

Adapun konsep remaja ada di Indonesia sekitar tahun 1970-an saat perguruan tinggi mulai berdiri. Sebelumnya, hanya ada konsep anak-anak dan dewasa. Seseorang dianggap dewasa setelah menikah. Namun, karena semakin banyak anak-anak yang belajar di perguruan tinggi, maka terjadilah penundaan pernikahan. Maka lahirlah istilah remaja.

Dimuat di Jurnal Nasional, 20 September 2007.

No comments: