Tuesday, October 09, 2007

Memahami Seni Budaya Lokal

Beberapa orang tampak berkumpul di atas podium. Mereka adalah peserta seminar Pendidikan Apresiasi Seni yang begitu diskusi usai langsung mendatangi si pemateri.
Sambil memegang buku dan VCD, mereka berebut untuk bertanya pada Endo Suanda dari Lembaga Pendidikan Seni Nusantara (LPSN).

"Pak, yang ini untuk murid SMP atau SMA?" tanya seorang guru perempuan.

"Pak, buku Topeng ini berapa harganya?" tanya guru yang lainnya.

"Harganya Rp15.000, tapi ini tidak untuk dijual, hanya sebagai contoh. Kalau mau, datang saja ke kantor," kata Endo yang mulai kewalahan menanggapi minat peserta.

Awalnya, Endo dan praktisi pendidikan seni di LPSN merasa khawatir dengan bahan-bahan dan metodologi pengajaran seni di sekolah. Ia menganggap pengajaran seni di sekolah terlalu mengacu ke barat. Untunglah Kurikulum Tingkat Satuan Pengajaran (KTPS) 2006 mengubah mata pelajaran ‘kesenian' menjadi ‘seni budaya'.

Meski berubah, namun timbul lagi banyak kegundahan baru. Budaya yang dimaksud mengacu pada budaya nusantara atau budaya daerah? "Jujur saja, saya tak setuju dengan sebutan budaya nusantara. Karena itu berarti adanya penyeragaman budaya dan penyederhanaan terhadap kompleksitas yang ada," kata Endo.

Akan tetapi, sebagai bahan ajar, seni tetap membutuhkan suatu standarisasi untuk diukur. Apakah setiap wilayah di nusantara punya tradisi kesenian yang cukup 12 jenjang pembelajaran di sekolah? Lalu, apakah kesenian daerah tersebut cocok jadi bahan pelajaran?

Jika memilih budaya lokal yang dianggap mayoritas, menurut Endo nantinya kita akan kembali pada pengikisan budaya yang lebih kecil. "Jika kita mengacu pada wilayah budaya yang sangat sempit, semisal budaya desa di mana sekolah berada, maka kita akan terjebak pada pemahaman yang sempit. Padahal sistem pendidikan harusnya terbuka," ujar Endo.

Ia pun melihat bahwa hal yang paling mungkin dilakukan adalah memakai pendekatan tematik. Padahal, selama ini pendekatan pendidikan seni berdasarkan kategori disiplin seni, yaitu musik, tari, tater, dan seni rupa. Dalam berbagai budaya di nusantara, ia melihat bahwa kesenian tak terpisah secara baku menjadi empat disiplin.

Dengan menentukan topik, kata Endo, LPSN mengambil fenomena kesenian yang hidup di masyarakat. "Jangan lupakan bahwa seni tak hanya menyangkut jenis dan bentuk, tapi juga makna, nilai, dan persepsi masing-masing individu," katanya.

Sejauh ini, sudah ada 5 jenis buku untuk jenjang SMP maupun SMA. Untuk jenjang SMP, topik yang diambil adalah tekstil, gong, musik populer, tari tontonan, dan pemukiman. Sedang jenjang SMA topiknya adalah alat musik dawai, topeng, tari komunal, kaligrafi, dan teater.

Menurut Kepala Divisi Penelitian dan Pengembangan LPSN Adi Nugroho, saat ini ia sedang menyiapkan dua topik lagi untuk diterbitkan Januari 2008. "Topik untuk SMA adalah kesenian dan media, sedang untuk SMP adalah gambar," kata Adi.

Topik-topik itu dipilih karena memuat materi yang tersebar di banyak wilayah, bahannya tersedia di sekitar siswa, dan sudah banyak dikenal di masyarakat.
Adapun metode yang digunakan untuk topik-topik tersebut adalah keterlibatan langsung terhadap fenomena kesenian. Mau tak mau, LPSN membawa kehidupan kesenian dalam pelajaran dan membawa siswa pada kenyataan praktis dalam masyarakat.

"Bahan-bahan itu kami lengkapi dengan paket audiovisual, agar pengenalan materi lebih nyata. Dengan topik-topik ini, kami ingin siswa paham, punya pengalaman, dan pernah menikmati kesenian yang ada dalam keseharian mereka," kata Adi.

Sejak menerapkan pengajaran ini pada 2003, LPSN telah bekerja sama dengan sekitar 500 sekolah di 12 provinsi. Awalnya, tentu mendapat tentangan dari pihak sekolah karena isinya berbeda dengan arahan kurikulum pusat. Penolakan lain datang karena adanya anggapan bahwatopik tersebut erat dengan jawanisasi.

"Maklumlah, banyak bahan ajar seperti topeng dan gong yang diambil dari Jawa. Kami juga pernah dituduh punya agenda kristenisasi karena beberapa sampel kami ambil dari lingkungan kristen," urai Endo.

Seiring berjalannya waktu, anggapan seperti itu mulai hilang. Hal ini tak lepas dari semakin jelasnya wewenang pemerintah daerah dan sekolah dalam pelajaran kesenian. Sedang kecurigaan terhadap etnosentrisme ataupun resistensi keagamaan juga menghilang setelah pihak sekolah mempelajari isi buku tersebut.

"Setelah dijalankan, akan terasa bahwa materi kami mengacu pada budaya nusantara. Bahkan pemerintah pusat menganggap bahwa program kami saling melengkapi dengan mereka," papar Endo.

Kreativitas dapat tumbuh jika masing-masing budaya dapat saling mengenal dan memahami kebutuhan masing-masing. Apresasi seni berbasis budaya nusantara bukan untuk saling bersaing dan menempatkan budaya yang satu di atas segalanya.

"Jangan ada lagi istilah budaya nasional sebagai puncak budaya daerah. Juga jangan ada lagi lomba kesenian antar tradisi. Kita lihat saja apa manfaat seni bagi kehidupan ini," ujar Endo.

Dimuat di Jurnal Nasional 12 September 2007

No comments: