Wednesday, October 10, 2007

Menimbang Liberalisasi Pendidikan

Tepat 3 Juli lalu presiden menandatangani peraturan No. 77. Isinya menyebutkan daftar bidang usaha tertutup dan terbuka. Salah satu bidang yang memberi peluang adanya investasi asing adalah pendidikan, dengan nilai saham asing mencapai 49 persen. Paling tidak, sudah ada enam negara yang menyatakan tertarik.

Sejak awal, selalu ada perdebatan tentang swastanisasi dan liberalisasi pendidikan di masyarakat. Bahkan penolakan itu datang dari kelompok mahasiswa hingga rektor-rektor perguruan tinggi.

Pekan lalu, Ketua Dewan Pembina Forum Rektor Indonesia Prof Dr Sofian Effendi, MPIA, mengatakan bahwa perpres ini akan membawa konsekuensi besar pada pengelolaan pendidikan nasional. Selain terbuka bagi asing, lembaga penyedia layanan pendidika formal dan pendidikan non formal milik negara pun harus berbentuk badan hukum privat yang terpisah dari birokrasi pemerintah.

"Jika semua pendidikan asing diperbolehkan mendirikan pendidikan maka siapa yang akan bertanggungjawab menanamkan nilai-nilai bangsa seperti nasionalisme dan cinta tanah air," kata Sofian yang juga mantan rektor Universitas Gadjah Mada itu.

Maka sebuah diskusi pun digelar oleh Lembaga Manajemen Pendidikan Indonesia (LMPI) pada Kamis pecan lalu di Jakarta. Diskusi bertajuk "Ikhtiar untuk Pendidikan Indonesia" pun menghadirkan para praktisi di bidang pendidikan, semisal komisioner Bidang Pendidikan dan Iptek Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Habib Chirzin, mantan guru SMP 56 Melawai Nurlaela HS, pengelola program komik Lapas Tangerang Abdul Rahman, pendiri milis sekolahrumah Sumardiono dan Ketua Dewan Pembina Yayasan LMPI Buchori Nasution.

Menurut Habib, Undang-undang Dasar 1945 mengatakan bahwa pendidikan adalah hak warga negara. Maka itu, sudah menjadi konsekuensi negara untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas.

"Adanya liberalisasi dan komersialisasi pendidikan berlawanan dengan falsafah hidup bangsa dan semangat Pancasila, yaitu sila ke lima tentang keadilan sosial. Perpres ini kurang menguntungkan bagi pendidikan nasional karena akan ada eliminasi dan proses segregasi sosial antara yang kaya dan miskin," kata Habib.

Saat ini di Indonesia ada sekitar 103 juta penduduk usia sekolah (PUS) yang merupakan pasar menggiurkan. Negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika memang mendapat kontribusi cukup tinggi dari sektor pendidikan. Sebagai gambaran, pada tahun 2000 ekspor pendidikan Amerika mencapai sekitar Rp 126 triliun dan Inggris mencapai 4 persen dari total penerimaan sektor jasa.

Meski pemerintah berdalih bahwa perpers itu berlaku terbatas di beberapa kota dan wilayah, namun Habib menilai hakikat memperjualbelikan pendidikan saja sudah salah. "Pendidikan adalah hak dasar, sama seperti hak atas kesehatan dan air bersih. Istimewanya, pendidikan dapat digunakan untuk menikmati hak lain seperti politik dan ekonomi," ujar Habib.

Ia juga mengatakan bahwa laporan Unesco tahun ini menyatakan bahwa Indonesia termasuk negara yang menyepakati program education for all (pendidikan untuk semua). Sayangnya, lanjut Habib, tahun ini Unesco menyatakan bahwa Indonesia belum berusaha maksimal mencapai tujuan itu.

Paling tidak, pendidikan harus terjangkau secara jarak dan ekonomi. Kalau tidak terjangkau secara ekonomi, maka akan dibebankan ke nagara. Sedang jika jarak terlalu jauh, maka Negara harus membangun sekolah yang dekat atau menyediakan bus sekolah. "Bahkan negara semiskin Srilanka saja mampu sediakan bus sekolah dan sekolah gratis," kata Habib.

Karena merupakan hak dasar, maka hak atas pendidikan bisa dituntut. Saat ini, Habib sedang mengajak forum rektor dan praktisi pendidikan untuk menolak Perpres tersebut.


Homeschooling sebagai Alternatif

Jika negara sebagai penyelenggara pendidikan masih nelum mampu menanggung hak rakyatnya, tak salah jika masyarakat akhirnya mencari alternatif . Salah satunya adalah mengembangkan homeschooling (bersekolah di rumah).

Moderator diskusi Hidayat Rahzen mengatakan bahwa Undang-undang Sisdiknas tak memberi peluang bagi kreativitas dan aspirasi masyarakat. UU ini pun sudah tak mengenal perbedaan antara sekolah swasta dan negeri.

"Sistem apa yang akan ditetapkan oleh depdiknas terkait perpers ini tidak jelas. Jangankan itu, kurikulum pun tak pernah ditemukan catatan resminya," kata Hidayat.

Sementara itu, praktisi homeschooling Sumardiono mengatakan bahwa apa yang dilakukannya adalah pemberontakan atas kondisi pendidikan saat ini. Pendidikan, katanya, harus dapat meningkatkan kualitas manusia. "Bukan hanya cari uang untuk bayar sekolah," kata Sumardiono.

Dimuat di Jurnal Nasional, 25 September 2007.

No comments: