Tuesday, October 09, 2007

Konflik Berlalu, Definisi Baru Ditunggu

Sudah saatnya kata Indonesia didefinisikan kembali dengan mempertimbangkan segala unsur kebinekaannya. Setiap etnis yang ada di negeri ini tak dapat disamakan dengan etnis lainnya. Kata Jawa, tak hanya berarti Yogyakarta, Surabaya, Semarang, ataupun Solo karena masih banyak daerah di pula Jawa dan semuanya punya ciri masing-masing.

Membangun kepapuaan orang Papua atau keacehan orang Aceh, misalnya, berarti membangun suku bangsa yang membentuk Indonesia. Tanpa ada unsur sparatis ataupun sentralisme.

Demi mendefinisikan Indonesia yang seperti itu, maka Yayasan Tifa mengadakan diskusi berjudul Mendefinisikan Indonesia: Keadilan, Demokrasi, dan Toleransi. Acara yang berlangsung Jumat, 14 September 2007, di Jakarta, menghadirkan Sekretaris Eksekutif Foker J Septer Manufandu, Ketua Partai Rakyat Aceh Aguswandi, dan Samuel Gultom dari Yayasan Tifa.

Menurut Septer, selama ini warga Papua sulit sekali mendefinisikan Indonesia. Soalnya, selama 42 tahun Papua selalu dieksploitasi sumber daya alamnya. Meski sudah ada otonomi khusus bagi wilayah ini, namun Septer melihat bahwa wewenang belum diberikan sepenuhnya bagi mereka.

"Orang Papua ingin menjadi tuan di negeri sendiri. Menjadi Papua sejati sama saja dengan menjadi Indonesia sejati. Bukankah Bhineka Tunggal Ika menunjukkan proses Indonesia bermula dari dan berakhir menjadi anggota sebuah etnis?" kata Septer.

Seorang profesor dari Georgetown University Amerika pernah mengatakan padanya bahwa jumlah suku bangsa yang beragam bisa membentuk Indonesia jadi negara federasi terkuat di Asia. Karena konsep ini hanya bisa dibangun oleh kumpulan etnik yang punya ciri unik.

Hal senada juga dikatakan Aguswandi. Menurutnya, konflik yang terjadi di Aceh beberapa waktu lalu adalah reaksi terhadap Indonesia. "Reaksi tentang keadilan, kehidupan bernegara, dan gerakan bersenjata," kata Agus. "Gerakan bersenjata adalah penyeimbang terhadap bahasa yang dipakai Indonesia untuk berkomunikasi dengan Aceh," katanya.

Sebenarnya, tutur Agus, hal serupa terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Akan tetapi, hanya di negeri rencong itulah terjadi perlawanan. Kenapa? Ia melihat bahwa ada mobilitas di sana yang terbangun di atas identitas, etnis, dan sejarah.

Imagine community versi Ben Anderson dapat tercipta di Jawa karena adanya mesin cetak. Orang-orang di Jawa punya suatu perasaan yang sama tentang kebangsaan karena membaca pidato Bung Karno di koran. "Meski mereka tak saling bertemu, tapi ada yang menyatukan. Terjadi komunikasi imajiner di sana," urainya.

Di Aceh, Imagine community terjadi karena kekerasan. "Yang membuat kami sama-sama Aceh karena harus pakai KTP merah putih, kalau tidak hafal lagu Indonesia raya maka kami akan ditampar, kalau tidak hafal Pancasila maka kami akan ditangkapi," kata Agus.

Untuk itulah, ia melihat perlunya suatu tatanan Aceh baru dimana nasionalisme tak hanya didefiniskan secara wilayah dan etnis. Konsep ini adalah antitesis dari Indonesia lama, yaitu korup dan militeristik.

Sementara itu menurut Samuel, jika ada kebingungan tentang mendefinisikan Indonesia, berarti ada dua masalah mendasar di sana. Pertama, pengingkaran terhadap hak menentukan nasib sendiri.

"Inilah problem terbesar yang kita hadapi. Menentukan nasib sendiri adalah hak untuk menentukan arahnya sendiri, hak untuk terus membangun kesepakatan sehingga kehidupan betul-betul dibangun atas kesepakatan bersama," kata Samuel.

Kedua, adanya kata final terhadap Pancasila,UUD 1945, NKRI, dan kebinekatunggalikaan. "Ini bertentangan dengan yang pertama. Tak ada yang boleh final karena semua harus dirundingkan. Contohnya, bagi sebagian orang yang tidak percaya adanya Tuhan, pasal satu dalam Pancasila itu sudah diskriminatif bagi mereka," ujar Samuel.

Sejak 1966, tambahnynya, proyek nation building sudah berakhir dan digantikan dengan state building. Dan state building menurutnya sangat ambisius karena lebih berorientasi menjaga keuasaaan daripa memberikan hak pada warga Negara.

Maka itu, usulnya, jangan lagi ada pembicaraan tentang identitas yang akhirnya menimbulkan masalah. "Identitas tak hubungannya dengan budaya. Salah satu kegagalan negara adalah membangun komunitas ini. Sehingga orang selalu bicara tentang komunitas etnis."

Sedang Adriana dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melihat bahwa masalahnya adalah peace and prosperity (perdamaian dan kesejahteraan).

Jika ada peace, berarti adademokrasi yang terjadi. Sedang prosperity berkaitan dengan keadilan ekonomi. "Indonesia itu ada, it's a given, mendefinisikan Indonesia adalah mengurangi dominasi militer. Mengganti pendekatan kekerasan,yang selama ini digunakan di Papua dan Aceh, menjadi pendekatan nonkekerasan" kata Adriana.

Dimuat di Jurnal Nasional, 19 September 2007

No comments: