Tuesday, October 09, 2007

Mencari Arah Pendidikan Tinggi Seni di Indonesia

Pendidikan dan Perguruan Seni di Indonesia ibarat atlet panahan yang sedang berusaha mengarahkan anak panahnya ke sasaran. Sasaran itu bergerak cepat dan dinamis.
Perguruan tinggi seni kini berkembang pesat. Semakin banyak perguruan tinggi yang merasa perlu menyelenggarakan program studi tentang kesenian, tak hanya pada tingkat sarjana tapi juga master dan doktor.

Namun, ke mana orientasi pendidikan ini sebenarnya?

Dalam sebuah seminar bertajuk Pendidikan Apresiasi Seni, yang diselenggarakan di Universitas Nasional Jakarta, Senin, 10 September, pakar-pakar pendidikan seni pun bertukar ide. Penyelenggaranya adalah Akademi Jakarta, yang tak lain adalah para seniman berprestasi yang bertugas merumuskan ide tentang kesenian.

Sebenarnya, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas telah mencoba mengakomodasi pendidikan tinggi seni. Beberapa waktu lalu, Tim Ditjen Dikti dan perwakilan disiplin seni dan perguruan tinggi seni merumuskan paradigma baru dalam pendidikan tinggi seni.

Inti pedoman itu adalah mencapai aspirasi pasal 56 HELTS (Higher Education Long Term Strategy), yakni "Art, particularly that is rooted at noble indigenous tradition and culture, is critical for strengthening the nation's character in addition to personal growth for developing creativity and innovation." (Seni, yang merupakan akar tradisi dan budaya, sangat penting untuk memperkuat karakter bangsa dalam mengembangkan kepribadian seseorang untuk menghasilkan kreatifitas dan inovasi).

Menurut Ketua Pusat Penelitian Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) Setiawan Sabana, pendidikan tinggi seni belum maksimal dalam memanfaatkan potensi seni tradisi yang ada di sekitar masyarakat. Hal ini diperparah dengan belum ada filter untuk menyaring seni yang datang dari luar.

"Para pendidik seni masih mengacu ke pemikiran barat, baik untuk materi, teknik, aliran, atau metode pengajaran," kata Setiawan. "Ini membuat genre seni tradisi khas Indonesia mati."

Menurut Endo Suanda dari Lembaga Pendidikan Seni Nusantara (LPSN), sistem sekolah formal adalah warisan pemerintah kolonial. Titik tolak penggolongan disiplin seni pun mengacu ke Barat, yaitu seni musik, seni tari, teater, dan seni rupa. Keempat kategori itu, tak semuanya cocok jika dihadapkan dengan seni lokal.

Sebagai contoh, sindrilik di Makassar atau kentrung di Jawa adalah seni mendongeng sambil menyanyi atau main alat musik. Terkadang, pemain musik saling sindir ataupun bergurau dengan penontonnya. "Lalu, seni macam ini mau masuk ke kategori yang mana?" kata Endo.

Dulu, pendidikan seni berkembang di sanggar-sanggar. Pada 1974, sudah ada pengaturan tentang kurikulum yang menekankan pada basis isi. Saat ini, pendidikan tinggi seni sudah menerapkan sistem kredit semester (SKS), sehingga bobot ilmu dan seni seimbang.

"Sebenarnya, penerapan kaidah barat bisa dimengerti, karena kesenian barat memiliki sistematika yang paling lengkap. Sehingga sistem ini mampu memenuhi tuntutan sistem kurikulum. Kalau ini digunakan, bagaimana menggunakan kaidah budaya lokal kita," jelas Endo.

Untuk mengembangkan pendidikan seni, Setiawan melihat perlunya kurikulum berbasis kompetensi. "Harus bersifat multikultural, agar ada dialog antar budaya."

Bagaimanapun, seni budaya tradisional sangat beragam dan punya potensi yang tak pernah habis untuk dikembangkan. Yang tak kalah penting, tambah Setiawan, harus ada pergeseran paradigma dalam melihat pendidikan tinggi seni.

Selain itu, perguruan tinggi juga harus mengembangkan sikap terbuka dan kritis. Lalu, harus mau menjalin dialog. "Tak bisa lagi ada sikap sektarianisme, eksklusivisme, dan parsialisme."

Harusnya, pendidikan tinggi seni mengembangkan penelitian dan pendataan tentang berbagai seni yang ada di masyarakat sekitar. Masa kini, seni harus bisa mengimbangi perkembangan teknologi, dan riset-riset seni mutlak diperlukan.

"Setelah riset, publikasikanlah hasilnya. Lakukan penciptaan dan eksploitasi HaKI agar seni ini dapat menghasilkan teknologi dan bisa menjadi bisnis baru untuk dikembangkan."

Dimuat di Jurnal Nasional, 12 September 2007

No comments: