Tuesday, October 09, 2007

Membangun Kebanggaan Bangsa

Membincang tentang nasionalisme seakan tak ada habisnya. Isu ini pun paling ampuh menggeser isu-isu lain dan mendapat perhatian masyarakat.

"Isu nasionalisme ini selalu digunakan untuk menutupi kegagalan negara dalam mengatasi suatu masalah," kata pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indra J Piliang.

Ia pun mencontohkan apa yang baru saja terjadi bulan lalu. Saat media massa ramai memberitakan kelangkaan minyak tanah dan konversi kompor gas, tiba-tiba saja berita tentang pemukulan wasit karate Indonesia, Donald, muncul. Di lain waktu, muncul isu tentang kapal asing yang masuk ke perbatasan atau menangkap nelayan.

"Selalu ada ide nasionalisme yang disebar, seakan-akan mengalahkan masalah eknomi. Makanya saya curiga bahwa nasionalisme sebenarnya penuh tipuan, trik-trik politik sehingga masalah sebenarnya tidak kelihatan," kata Indra dalam acara diskusi bertema ‘Membangun Bangsa dengan Nasionalisme' yang berlangsung pekan lalu di Jakarta.

Konsep nasionalisme yang selama ini digunakan pun harus dipertanyakan. Ada hal-hal dalam konstitusi negara ini yang tak mendukung nasionalisme. Pada kasus lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan, misalnya, Indonesia kalah dari Malaysia karena keterangan dalam konstitusi.

"Undang-undang Malaysia menyebut masyarakat di sana sebagai masyarakat asli, sedang undang-undang kita menyebut mereka masyarakat terasing," jelas Indra yang beberapa waktu lalu sempat mencalonkan diri menjadi angora Komisi Pemilihan Umum.

Selain itu, konsep nasionalisme seakan tak mengakui adanya keberagaman. Lihatlah perlakuan negara terhadap pemeluk agama. Kalau ada yang tak memeluk agama resmi negara maka akan dianggap aneh dan sesat.

"Itulah yang membuat nasionalisme di negara ini selalu melahirkan militerisme. Selalu ada tentara dalam menyelesaikan masalah kebangsaan," tuturnya. Kalau sudah begitu, maka negara akan melakuakn penjajahan terhadap warganya. "Selama ini kita masih melihat daerah sebagai tempat untuk mengeksploitasi sumber daya."

Menurut sosiolog dari Universitas Airlangga Daniel Sparingga, saat ini sulit untuk membangun gagasan tentang keindonesiaan. Gara-garanya, globalisasi yang sedang terjadi dan adanya kebangkitan sentiment etnis.

Globalisasi menyebabkan berlakukanya hukum pasar. "Dan sentiment kebangsaan tidak mudah dibangkitkan dalam materialisme. Tak ada lagi nilai patriotik karena memakai busana daerah. Merek seperti Guess atau Levi's yang dipakai orang dan tak ada identifikasi diri terhadap merek lokal."

Selain itu, kebangkitan etnis adalah sebuah fenomena yang pasti menimbulkan ketegangan. Ada kelahiran baru berdasarkan etnis yang akhirnya melahirkan politik identitas. "Dan ini tidak sehat," tegas Daniel.

Jika seorang nelayan ingin menjual ikan, maka hubungan terjadi karena adanya kepentingan. Tapi, jika nelayan tersebut bertransaksi karena identitasnya, maka akan menimbulkan ketidakadilan.

Dimuat di Jurnal Nasional, 19 September 2007

No comments: