Wednesday, October 10, 2007

Perlu Format Pendidikan Seks Sesuai Budaya

Akses informasi yang semakin mudah membuat nilai-nilai yang ada di masyarakat. Jika tadinya dalam suatu masyarakat tak ada konsep pacaran, kini pacaran adalah suatu hal yang tak asing lagi. Bahkan, berhubungan seks, meski sembunyi-sembunyi, terjadinya juga pada remaja di Indonesia.

Seorang antropolog dan pakar kajian perempuan dari University of Western, Australia, Dr. Lyn Parker, pun mencoba mencari tahu seperti apa pergeseran nilai itu. Ia paham betul bahwa setiap kelompok masyarakat di Indonesia punya nilainya sendiri. Maka itu, Lyn mencoba mencari tahu dulu seksualitas remaja di satu daerah, yaitu Bukittinggi, Sumatera Barat.

Kata Lyn, penelitian selanjutnya adalah Bali. Meski hasil penelitiannya tak berlaku bagi semua remaja di Indonesia, tapi menarik juga melihat hasil temuan perempuan yang sudah dua puluh tahun meneliti masyarakat Indonesia.

Menurutnya, konsep seksualitas dalam konteks Indonesia tak bisa lepas dari agama. Hubungan seks, dalam konsep masyarakat di Indonesia, harus terjadi setelah ada pernikahan. Sebab, jika tidak menikah berarti telah melakukan zina. "Tapi, apa yang dipahami tak sama dengan apa yang dilakukan," katanya.

Yang menarik, kata dia, adalah pengakuan seorang siswi pesantren yang menjadi respondennya. Si siswi mengaku bahwa orang tua melarang pacaran. Ia pun berniat untuk memberikan cinta pertamanya ke suaminya nanti. Jika ia berpacaran, berarti ia telah berdosa dan tak lagi memberi cinta yang murni pada suaminya.

Anehnya, si siswi juga mengaku kalau dia sudah punya pacar. Alasannya, "Boleh asal tahu batas." Yang pasti, si siswi mengaku sedih ketika mengatakan hal tersebut ke orang tuanya.

"Bayangkan seperti apa konflik yang terjadi dalam dirinya. Padahal itu hanyalah bicara pacar, bukan berhubungan seks," urai Lyn yang juga penulis buku From Subjects to Citizens: A Balinese Village Within the Indonesian Nation-State.

Adapun karakter remaja yang ditelitinya yaitu, ingin mencoba, sering meniru idola, tedalan atau peran, menyukai barang-barang baru. Remaja juga mudah terkesan, belum matang, mudah terpengaruh, ingin tahu kebenaran. Terkadang mereka berani mengutarakan pendapat, tapi bisa pemalu dan senang memberontak jika ada hal yang tak sesuai dengan keinginan mereka.

Gambaran yang ada di media massa Indonesia, khususnya televisi, menunjukkan kecocokan dengan karakter tadi. Selain itu, remaja juga ditunjukkan memiliki perilaku seks yang aktif. "Di televisi, remaja ini digambarkan senang mengikuti tren, mereka berpacaran, berpegangan tangan atau berciuman di depan umum," kata Lyn saat memaparkan hasil penelitiannya, Senin (17/9) di Departemen Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Depok.

Namun, responden yang ia teliti pada 2004 itu menunjukkan sebaliknya. "Ternyata siswa-siswi yang jadi responden banyak yang sangat khawatir tentang nilai dan ujian di sekolah. Bahkan, remaja yang prestasinya tak begitu bagus pun masih ingin lulus dan mengamankan masa depannya dengan bersekolah. Terlihat bahwa mereka khawatir menjadi pengangguran jika tak bersekolah," ujar Lyn.

Meski demikian, pendidikan seks mutlak diperlukan pada remaja. Mengapa? "Hasil penelitian di berbagai dunia tentang perilaku seks menunjukkan bahwa peran pendidikan sangat penting. Mereka tahu bahwa seks itu tidak boleh, tapi mereka melakukannya. Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan seks yang baik ternyata hanya membuat remaja menunda melakukannya," katanya.

Perlu Psikologi
Menurut Chintia, salah satu peserta diskusi, pendidikan seks di sekolah harus dibedakan dari mata pelajaran biologi. Merumuskan seksualitas, harus menyertakan psikologi perkembangan. Selama ini, siswa di sekolah hanya diperkenalkan secara sekilas.

"Semua guru harusnya bisa bekerja sama untuk memberi pengetahuan ini," kata Chintia yang juga guru Bimbingan Konseling di SMP Labschool Kebayoran, Jakarta.

Adapaun materinya harus ditekankan pada aspek tanggung jawab. "Dia harus kelan dirinya, kenal organ reproduksi yang dia miliki, dan bagaimana memperlakukan organ tubuhnya itu. Tanggung jawab apa saja yang harus ia tempuh seandainya berhubungan seks lalu menghamili ataupun hamil. Seperti apa konsekuensi kalau seseorang terkena HIV atau AIDS," jelas Chintia.

Selain itu, pendidikan tentang seks, menurutnya harus disampaikan dengan menggunakan bahasa remaja.

Sementara, menurut Mina Elfira, pengajar di kajian gender, UI, pendidikan seks harus dikemas dengan pendekatan budaya. Bagaiamanpun, setiap suku di Indonesia punya konsep mereka sendiri tentang remaja dan seksualitas. Apa yang dianggap tabu di Sumatera Barat, misalnya, bisa jadi diperbolehkan di daerah lain di Kalimantan.

Hal itu juga disepakati oleh Lyn. Format pendidikan seks dan lembaga yang melakukannya masih harus dikaji lebih jauh. Selama ini, pemerintah hanya menyerahkan tanggung jawab ini pada lembaga non pemerintah. "Padahal ini tugas semua institusi, mulai dari negara hingga keluarga," ujar Lyn.

Dimuat di Jurnal Nasional, 20 September 2007.

No comments: