Tuesday, October 31, 2006

Upacara Kehidupan

Kau tahu apa itu upacara kehidupan? Segala hal yang kamu jalani selama hidup, yang juga dijalani orang lain. Sebenarnya sih, ada upacara yang tidak harus kamu jalani.

Tapi, kalau tidak kamu jalani, kamu akan dianggap aneh, atau terkena sanksi sosial lainnya (digosipin, dirumpiin, dicela, atau dironrong).

Gampang saja kalau mau tahu upacara kehidupan itu apa. Sesekali, coba dengarkan topik pembicaraan ibumu saat sedang arisan dengan teman-temannya.

Atau kalau belum tahu juga, coba ingat lagi hal-hal apa saja yang selalu ditanyakan sama om, tante, sepupu, ipar, kakek, nenek, tetangga, atau bahkan teman yang basa-basi saat reuni.

”Eh, bu, bu, anaknya kuliah di mana? Unpad? Kalau anak saya mah di ITB. Anaknya jeng Anu kuliah di UI lho, program khusus lagi!,” kata seorang teman ibu saya.

”Bagaimana skripsinya? Kapan lulus?,” tanya Om saya sekitar setahun lampau.

”Mana dong pacarnya? Kapan dikenalin ke tante?” kata tante saya di salah satu arian keluarga.

”Oh sekarang kerja di situ? Perusahaan apa itu? Punya siapa? Gajinya berapa?” kata seorang teman yang mengajak berbasa-basi.

”Gila! Kerjaan lo di sana enak banget! Gajinya gede lagi!” komentar salah seorang teman akrab saya.

”Alhamdulillah, teteh sudah menikah. Kamu kapan nyusul?” ujar seorang teman.

”Ya ampun! Kok kawin nggak bilang-bilang? Kapan nih punya anak?” kata-kata yang pastinya sering kamu dengar atau bahkan kamu tanyakan.

Jadi, sejauh ini, upacara kehidupan itu menurut saya adalah sekolah, lulus sekolah, bekerja, bekerja di tempat yang bagus dengan gaji paling tidak 5 kali UMR buruh di Jakarta, menikah, lalu punya anak.

Kemarin, seorang teman saya bercerita. Saat lebaran dia sampai kesal karena terus dironrong pertanyaan yang sama., yaitu kapan menikah.

Padahal, teman saya umurnya baru 22 tahun! Well, memang sih, kalau di kampung umur segitu biasanya sudah punya anak dua.. Tapi, come on! She’s not that old!

Anehnya, ada beberapa pengeculian untuk perempuan. Kamu boleh tidak lulus kuliah ataupun tidak punya pekerjaan, asalkan ada seseorang yang mau mengawinimu, memberimu uang, dan memberimu anak! Haha!

Hmm.. kalau upacara di sekolah, biasanya saya suka membolos, bersembunyi di sekretariat sisgahana atau makan di kantin. Bahkan kalau perlu, ngumpet di WC! Memang sih, kalau sedang apes, biasanya suka ketahuan guru.

Kadang, saya ikut upacara tapi tak mengikutinya dengan khidmat. Biasanya saya sibuk bergosip dengan teman-teman. Atau, kalaupun ikut, saya biasanya baris di belakang. Alias, barisan tempat orang-orang yang dihukum karena terlambat, tidak pakai topi, tidak pakai dasi, atau karena tidak pakai rok putih.

Saya jadi berpikir, apa boleh saya ikut upacara kehidupan dengan kasus-kasus seperti upacara di sekolah?

Apa boleh ngabur ke kantin? Apa boleh baris di belakang karena seragam yang tidak lengkap? Atau, apa boleh tidak mengikuti upacara dengan khidmat?

Atau...Apa boleh tidak ikut upacara? Pura-pura pusing saja, biar disuruh istirahat di ruang PMR! Hehehe..

Ps: Tenang saja mamahku sayang.. Saya sedang latihan baris-berbaris, biar nanti kalau upacara bisa jadi pengibar bendera! Haha!

Sunday, October 29, 2006

Run, Nala! Run!

Ayo, sayang!
Ayo, berlari secepatnya!

Melewati antrean kemacetan jalan karena pembangunan bus trans jakarta, menyelip di antara pedagang kaki lima dan pengamen yang ada di setiap perempatan jalan. Terus saja berlari.

Sewaktu melewati jalan Sudirman, tak usah pedulikan orang-orang yang mengintip dari jendela perkantoran gedung-gedung bertingkat. Jangan pula berhenti meski massa bayaran yang sedang berunjuk rasa di depan bundaran Hotel Indonesia mengajak bergabung, terus saja berlari.

Melewati kota tua Jakarta, hingga pelabuhan sunda Kelapa.

Lari saja sampai menyeberang lautan. Bertemu Deni si manusia ikan atau ubur-ubur. Jaga langkahmu agar tak tersandung kapal karam. Jaga nafasmu agar tak tersedak tumpahan minyak.

Hingga kita mengelilingi tujuh keajaiban dunia. Menara eifel di Paris, Tembok Besar di Cina, Taj Mahal, Taman Gantung Babilonia, Menara Pisa, Koloseum romawi, dan Piramida di Mesir.

Terus saja berlari..

Eratkan peganganmu, atur nafasmu, dan
Percaya padaku..

we're running, keep holding my hands, so we don't get separated. -No Doubt-

Thursday, October 19, 2006

Chasing Walmiki

Saya masih memburu Walmiki

Ada yang bilang, dia terakhir terlihat di sekitar Menteng, dekat taman suropati

Tenang saja, pasti terkejar

Sekarang saya sudah pakai sepatu lari keluaran NIKE!
Anak-anak S2

Ada angkatan 2001 yang baru aja lulus, belum bekerja, langsung kuliah S2, biaya di tanggung orang tua.

Ada yang maniak teknologi. PDA, HP, USB Flash Disk, laptop terkini, semuanya dipakai untuk menunjang kuliah.

Ada yang sangat modis. Baju ala bohemian, jeans ala J-lo, rambut dicat, sepatu blink-blik, bedak tidak pernah luntur, lipstik menempel, wangi, bulu mata disapu maskara. Biasanya, di sekeliling mereka selalu menempel banyak lelaki.
(saya pikir kumpulan seperti ini cuma ada waktu SMA saja!)

Ada dosen yang sudah tua dan belajar bersama anak-anak 2001 yang baru lulus. Biasanya mereka jadi korban saat dosen mengajukan pertanyaan dan tidak ada yang mau menjawab.

Ada ibu-ibu. Sukses dalam karir, usia di atas 40 tahun, jinjingan tas segambreng, selalu beli setiap buku yang ditawarkan.

Ada yang selalu masuk keluar kelas. Biasanya karena mengantuk, bosan, mau merokok, atau menerima telepon.

Ada yang mau aja ditunjuk jadi ketua kelas, sekretaris, bendahara. Dengan suka rela harus mengirim soft copy bahan kuliah ke milis, mengopi bahan-bahan kuliah, dan yang lebih hebat lagi, mereka melakukan semuanya sambil sesekali diprotes.
(Kembalian gue mana? kok gue nggak dapet bahan itu? bahan kuliah kemarin belum di posting ke milis ya? bla..bla..bla..

Ada yang jualan kue, jualan barang-barang lucu, jualan kosmetik.

Ada yang selalu datang terlambat.

Ada yang sering nitip absen.

Ada yang nyolot dan jadi musuh bersama. (tapi ini rahasia ya!! inisialnya D, tapi selalu ngotot dipanggil S)

Ada yang sering berkomentar lucu, komentar pedas, atau komentar bodoh.

Dan akhirnya ada saya. Datang nyaris terlambat, duduk paling depan, tertawa cekikikan dengan teman di samping, sehabis kuliah selalu panik bertanya apakah ada bahan kuliah yang harus dikopi, dan pulang paling cepat.
Surat Cinta

Dua hari lalu, teman saya, mas Nafi dari Koran Tempo, bercerita tentang surat cinta. Dulu, sewaktu mengajar di sebuah SMK yang ada di Jakarta, dia pernah dikirimi surat cinta dari salah satu muridnya.

Tiba-tiba saja, saya jadi ingat surat-surat cinta yang pernah saya dapat.

23 tahun umur saya, hanya ada satu orang yang mengirmi saya surat cinta. Ada banyak surat. Semuanya masih saya simpan di sebuah kotak bekas sepatu, bersama dengan kartu ulang tahun dan kartu lebaran yang pernah saya terima dari orang-orang.

Karena cerita Mas Nafi, saya pun membuka kotak itu dan membaca beberapa surat.

Saya paling suka surat yang pertama kali dia berikan.

lebih mirip kartu sebenarnya. Bentuknya seperti bunga yang punya enam kelopak. Terbuat dari karton warna merah dan ditengah-tengahnya ada kertas. Di kertas itu dia menuliskan perasaannya.

Saya tidak akan memberi tahu kamu isinya. (Itu kan rahasia!)
Tapi, saya ingat betul masa di mana dia memberikan surat itu.

Waktu itu, saya kelas dua SMA dan dia kelas tiga. Sudah sore, sudah jam pulang sekolah.

Kami sempat mengobrol sebentar dan tahu-tahu dia memberi saya surat itu. Waktu itu dia bilang,"Jangan bilang siapa-siapa."

Saya bilang,"Iya."

Lalu dia menyuruh saya berjanji. Dan saya pun setuju.

Tapi, ternyata saya bilang-bilang. Saya cerita ke Cindy, Witty, Dea, dan Vina. Bagaimana mungkin saya tidak cerita? Itu kan surat cinta pertama saya!

Setelah itu, dia mengirimi saya beberapa surat lagi. Bahkan setelah saya kuliah pun dia masih mengrimi saya surat cinta.

Yang terakhir, dia mengirimi saya sebuah buku seukuran buku saku. Isinya, kumpulan puisi dan surat-surat cinta selama setahun yang tidak sempat dia kirim ke saya.

Hmm.. Saya yakin kamu ada yang kegelian atau merasa sangat "ABG" sekali atau sangat "Rangga dan Cinta" (Hueeeeek!!!).

Tapi, menurut saya puisi-puisi itu bagus. Saya suka.

Betapapun picisannya isi surat dan pusi cinta itu, saya tetap suka membacanya. terkadang, di saat-saat tertentu, saya merasakan perasaan bahagia sewaktu membaca surat itu pertama kali.

Lagipula, kamu-kamu kan tahu kalau saya ini melankolis! hehehehe...

Jadi, apa kamu juga pernah dikirimi surat cinta?

Wednesday, October 18, 2006

Jamrut, bukan Jamrud!

Ada yang tahu jalan Jamrut itu di mana?

Jalan Jamrut itu ada di daerah Kramat, Jakarta Pusat. Tepatnya, ada di sebelah kanan kantor Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU). Kalau ke arah Senen, berarti kamu harus belok kiri sebelum kantor PBNU.

Saya tahu jalan itu karena katanya sering ada transaksi senjata ilegal di sekitarnya. Mungkin sebulan lalu, pernah ada anggota TNI yang tertangkap polisi karena bertransaksi senjata di jalan itu.

Tapi, baik TNI maupun polisi tak ada yang memberi pernyataan resmi tentang keterlibatan anggota TNI dalam kejadian itu. Padahal, sempat terjadi baku tembak antara polisi dan pelaku.

Hmm.. Kita lewatkan saja bagian itu. Bukan itu yang mau saya ceritakan.

Saya mau memberi tahu kalau saya senang melewati jalan itu.

Jalan Jamrut sebenarnya cuma salah satu jalan sempit yang ada di Jakarta. Berliku-liku, mengikuti aliran kali yang ada di sana.
(Aduh! saya tidak tahu nama kalinya apa)

Jalan Jamrut isinya rumah-rumah kecil, mungkin hanya seluas 50 meter. Saya juga tidak tahu persis. Yang jelas, kalau kamu lewat, kamu bisa sekalian melihat isi rumah.

Kamu bisa lihat orang-orang sedang tidur. Biasanya, di ruang tamu, ada dua atau tiga orang yang tidur. Padahal, ukuran ruang tamu itu paling-paling hanya 3x4 meter. Itu pun masih "saingan" sama lemari TV atau kursi tamu.

Sepandangan saya, biasanya hanya ada kamar tamu dan satu kamar tidur. Tidak ada halaman. Bahkan, tidak ada WC atau kamar mandi.

Makanya, di sepanjang jalan Jamrut terdapat banyak WC atau kamar mandi umum.

Oh iya, di sepanjang jalan juga kamu akan melihat jejeran gerobak. Sepertinya, mayoritas warga yang tinggal di jalan itu adalah penjual gorengan, mie tek-tek, bakso, siomay, atau es kelapa muda. Pokoknya, jajanan pinggir jalan.

Anehnya, saya paling suka lewat jalan ini. Mungkin karena saya membonceng dia, pacar saya.

Hampir selalu, dia ngomong seperti ini, "Nggak ada yang nyangka di Jakarta masih ada daerah kumuh kayak gini. terpinggirkan."

Belum lagi kalau dia tambahkan dengan kata TERMARGINALKAN!

Setelah saya pikir-pikir, mungkin saya suka melewati jalan itu karena semua hal tadi. Melewati jalan Jamrut membuat saya berpikir bahwa saya jauh lebih beruntung dari pada warga jalan jamrut.

Membuat saya bersyukur akan nikmat yang diberi tuhan ke saya.

Sesekali, membuat saya jadi lebih sayang dia.

Kamu bayangkan saja semua perasaan bersyukur itu kamu lewati bersama dengan orang yang kamu sayangi.

Teman saya Odit pernah bilang begini:
"Romantis bukan suasana. Tapi romantis itu ketika lo melewati waktu yang menyenangkan."

Kalau patokannya omongan Odit, berarti melewati jalan jamrut adalah hal yang romantis.

Sebenarnya, saya tidak punya indikator apa saja yang bisa disebut romantis dan apa yang tidak. Tapi, kali ini saya sepakat saja dengan Odit.


*** Waktu berita tentang transaksi senjata itu turun di beberapa harian nasional dan ibukota, sebagian besar salah menuliskan jalan JAMRUT jadi jalan JAMRUD. hehehe... Berarti semuanya ramai-ramai melakukan kesalahan elementer! Haha!

Monday, October 16, 2006

Seorang Redaktur Tewas Dibunuh!

Jakarta-Jurnal Nasional

Seorang redaktur harian nasional berinisial DN, umur cukup tua tapi belum menikah, ditemukan tewas, kemarin malam, dalam kondisi yang mengenaskan.

Seluruh tubuhnya penuh luka tusuk dan kedua bola matanya hilang. Polisi menduga, DN dibunuh oleh preman yang ada di daerah lokalisasi Kramat Tunggak, Cilincing, Jakarta Utara.

Mayat DN ditemukan oleh seorang pemulung bernama Asep, 35 tahun, saat sedang membawa anjingnya mencari makan di tong sampah.

”Waktu itu anjing saya nyari makan. Saya kira dia nemu tulang, taunya lagi ngorek-ngorek mayat. Saya serem banget pas ngeliat mayat itu, orang matanya aja hilang,” ujar Asep polos.

Salah seorang penjual nasi goreng yang biasa berjualan di daerah tersebut, Panjul, 23 tahun, mengaku melihat DN sekitar pukul 22.00 WIB. Menurutnya, DN baru saja keluar dari sebuah hotel murahan.

”Gaya jalannya seperti lagi mabok. Trus saya liat ada dua orang laki-laki berpakaian hitam yang mengikuti dia dari belakang,” cerita Panjul.

Menurut Kepala Satuan Kejahatan Jalanan dan Kekerasan Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Ajun Komisaris Besar Polisi M. Fadil, pihaknya sudah memeriksa 5 orang saksi. Dua di antaranya sudah ditetapkan sebagai tersangka.

”Memang DN ini langganan PSK di sana. Waktu itu dia lagi mabok dan mungkin tidak bawa uang banyak. Makanya lalu dihajar sama dua preman,” terang Fadil.

Polisi menduga kuat motifnya adalah masalah keuangan. Salah seorang reporter DN mendukung hal tersebut.

”Yah, memang orangnya banyak yang nyebelin, wajar aja kalau ada yg bunuh. Saya sih senang ada yang mewakili saya. Kalau masalah dia suka nyewa PSK sih, semua orang di kantor sudah tahu,” ujar Ika, 23 tahun, datar dan tak sedikit pun merasa kehilangan.

Hingga saat ini, kelima saksi, termasuk kedua tersangka belum dapat ditemui dan diterima wartawan. Mayat DN hingga saat ini masih berada di RSCM untuk diotopsi. Namun belum ada keluarga yang mau datang mengambil.

”Biarin aja, terserah polisi mau diapain,” ujar Sari, kakak korban. (IKA)

Ps: Saya benci redaktur saya!!!
tapi kan nggak mungkin marah-marah ke dia!
makanya saya berimajinasi saja =P

Sunday, October 15, 2006

Sepatu dan Celana Cargo

Tadi malam saya menemani pacar saya belanja pakaian. (baju baru buat lebaran ya, sayang? hihihihi)

well, dia memang tidak modis. bahkan, suka berpakaian asal-asalan.

potongan jinsnya aneh, yang mengecil di bawah, atau model lurus. ada celana cargo yang rada mendingan (saya ulangi, rada mendingan, rada!) tapi, kalau celananya kepanjangan. ujungnya nggak pernah dipendekin, cuma dilipat. Aneh!

baju sebenernya nggak masalah. (Asal kamu tidak pakai kaos yang gembel itu. yang kamu pakai waktu menemani saya liputan tukang sapu jalanan, subuh-subuh di monas)

kemeja bolehlah...

sepatu?? no! No! NO!
sudah dekil sekali!
(jadi, besok-besok pas lagi sholat dan sepatu kamu hilang, kamu tahu kan bukan orang yang ngambil. sepatu kayak gitu siapa yang mau pakai? itu pasti saya yang ambil dan saya buang, biar kamu beli sepatu lagi)

saya jadi ingat waktu kamu saya ajak ke buka puasa bareng teman-teman kampus saya. waktu itu, kamu langsung mau beli baju baru. kamu bilang gini:

"Ntar temen-temen lo bilang, si ika ngajak gembel dari mana niy.."

waktu itu, saya sedikit terharu. kamu kok segitunya sih? tapi, setelah saya pikir, kamu ada benarnya juga. dan akhirnya kita membeli kemeja coklat dan baju merah garis-garis itu.

baju garis-garis yang akhirnya membuatmu diledek teman-teman se-liputan!
mereka bilang begini:
"Cie... baju lebarannya udah dipake?"
"lo make baju adek lo ya?"
"udah, amplopnya diambil aja, kan bisa buat beli baju garis-garis"

hihihihihi... itu lucu banget lho sayang!

o y, tadi malam juga lucu, soalnya saya harus maksa-maksa kamu dulu. ditambah beberapa kali ngambek, baru deh mau beli baju.

alhasil, kamu bawa pulang celana jins dan dua kemeja.

sebenarnya sih, baju itu nggak penting-penting amat. katanya, yang penting hatinya, yg penting di "dalemnya".

tapi, kalau dipikir-pikir, sebenarnya penting juga. kamu kan harus ketemu orang banyak. dan pakaian itu, salah satu cara kamu berkomunikasi.

kalau kamu pakai baju yg sudah buluk waktu ketemu narasumber, kan jadi ada hambatan dalam komunikasi kalian. buluk dan kucel itu kan identik dengan orang-orang jalanan, mana ada orang yg mau ngasih informasi ke orang yg tidak peduli sama penampilannya? bisa-bisa informasi itu malah disalahgunakan!

(hehehe... berlebihan ya?)

lagian, kalau rapih, kamu jadi lebih ganteng! (kedip..kedip.. fiwiiit..fiwiiiit)

jadi, kapan mau dipake kemeja barunya?
saya tidak sabar ingin tahu komentar orang-orang tentang penampilan kamu. atau lebih tepatnya lagi, celaan orang-orang!

ps: meski nggak modis, saya tetep sayang kamu kok.. (kedip..kedip..)
Untuk Shinta

Jumat siang, 13 Oktober, saya dapat sms dari teman saya Shinta. kurang lebih begini:
Gulrz, nyokap gue tadi pagi masuk rumah sakit islam. ada pendarahan lagi otaknya. mohon doanya ya!

Setelah membaca sms itu saya kaget. sempat diam sejenak, seperti adegan slow motion di film-film. kalau saya tidak salah hitung, ini sudah kali ketiga mamahnya shinta masuk rumah sakit karena pendarahan di otak alias stroke.

sebenarnya, hari itu saya masih ada dua liputan, pembuat beduk di pramuka dan tekstil impor di tanah abang. tapi, saya juga ingin ke rumah sakit. saya mau bertemu sahabat saya itu. mungkin tidak ada yang bisa yang saya lakukan. toh, kata shinta mamahnya belum sadar.

meski harus bohong ke redaktur dan korlip (hehehe.. maap mas..) akhirnya saya berangkat juga ke rumah sakit islam.

di mobil, saya jadi berpikir hal yang sebenarnya sudah sering saya pikirkan. bagaimana kalau saya berada di posisinya?

kami sama-sama anak sulung dari tiga bersaudara. masih ada dua cecunguk yang harus kami jaga.

tapi shinta, papahnya baru saja kena stroke dam ke mana-mana harus pakai kursi roda. mamahnya, masuk rumah sakit lagi.

saya takut ketemu dia. saya takut menjadi terlalu sedih dan memberikan reaksi yang salah. dan hanya akan membuatnya tambah sedih.

karena pikiran-pikiran itu, saya membelokkan mobil dan mampir ke carefour. cukup lama saya berputar-putar di koridor buah dan roti.

lalu, saya tiba di rak makanan dan minuman instan. ada jus instan, susu instan, mie instan, bihun instan, sup instan, dan nasi instan.

saya pun terpkir,"kenapa sih tidak ada yang isntan-instan untuk perasaan manusia? shinta, seandainya ada obat instan biar kamu tidak sedih, pasti sudah saya belikan."

dan kau tahu apa yang saya beli? saya beli pocari sweat dan ayam panggang. saya harap dua-duanya bisa mengganti energi kamu setelah bersedih.

(ayamnya enak kan? =p)

singkat cerita, saya tiba di rumah sakit dan mendapati sahabat saya itu. seperti biasa, dia pakai kaos pink! (bahkan di saat panik pun kamu masih memakai kaos pink! hihihihi)

sebenarnya dia tidak terlihat sedih, bahkan dia bercerita hal-hal lucu. tentang betapa paniknya dia tadi pagi sampai-sapai lupa memakai BH saat ke rumah sakit.

tapi, saya tahu, itu cuma akal-akalan dia saja. akal-akalan biar dia tidak menangis.

saya pun duduk di sampingnya, di bangku ruang tunggu rumah sakit. saya berkomentar seperlunya saja dan (seperti biasa) hanya merutuki segala hal yang terjadi hari itu.
kamu tahu, itu juga cuma akal-akalan saja. biar saya tidak memelukmu dan menangis.

apa jadinya kalau kita berdua menangis?

Damn! saat ini lebih mebuat saya sedih daripada mendengar ceritamu tentang pacar-pacar yang jahat atau saat kamu gagal tes interview kerjaan.


ps: harusnya, saya bilang agar kamu tegar atau apa. tapi, kadang-kadang kita butuh untuk menangis.

ngomong-ngomong, kamu hebat sekali deh shin!

Thursday, October 12, 2006

Mahalnya Mendaftar Calon Pegawai Negeri Sipil

Jakarta-Jurnal Nasional

Puluhan orang memadati ruang Sentra Pelayanan Masyarakat di Kepolisian Resor Bekasi. Hampir semua datang dengan tujuan yang sama, membuat Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).

Maklum saja, Departemen Luar Negeri sedang membuka lowongan. Meski tak mendaftar ke sana , sebagian besar pembuat SKCK mengaku menyiapkannya jika sewaktu-waktu ada departemen lain yang buka.

“Saya mau bikin dua SKCK, satu untuk persyaratan CPNS, satu lagi untuk keperluan mencari kerja,” ujar Dalva Rachmawati, 22 tahun.

Dan berapa biaya untuk membuatnya?

Pertama kali masuk ke ruangan tersebut, ada meja kecil tempat mendaftar. Di sana, tertulis syarat pembuatan SKCK, yaitu membawa pengantar dari Kecamatan, foto kopi KTP, pas foto berwarna ukuran 4x6 sebanyak 3 lembar, sidik jari, dan telah mengisi lembar biodata.

Tapi, setelah itu semua, pemohon harus membayar Rp.15.000 setiap jenis SKCK. Karena membuat untuk dua kepentingan, maka Dalva harus membayar Rp.30.000. Setelah itu, ia masih harus membayar Rp.10.000 saat mengisi surat sidik jari.

Tak ada satupun biaya tersebut yang memakai tanda terima alias masuk ke kantong petugas!

Lain lagi dengan Retno Rita Sari, 21 tahun. Karena tak membawa Surat Pengantar dari Kecamatan, petugas tak mau memproses pembuatannya. Tapi, karena Retno butuh SKCK dan tak ada waktu lagi untuk kembali keesokan harinya, ia pun memberi “uang pelicin”.

“Ngomongnya pas lagi sepi. Kalau banyak orang, bapaknya jaim (jaga image). Saya sempat dimarahin dulu, tapi langusng mau pas saya nawarin goban (Rp.50.000),” ujarnya.

Saat Jurnal Nasional berada di sana , jumlah pemohon begitu banyak. Saking banyaknya, pemohon harus berdiri mengantri ataupun menunggu di luar ruangan karena tak ada tempat di dalam.

Tanpa malu-malu, petugas di meja pendaftaran langsung meminta Rp.15.000 jika ingin berkasnya diproses. Sepengamatan Jurnal Nasional, tak ada satupun pemohon yang berani menanyakan tentang pungutan tersebut.

“Nggak nanya aja bapaknya sudah ketus, gimana kalau kita nanya! Bisa-bisa nggak dibuatin,” ujar Izkandar Sulkarnaen, 27 tahun, yang akrab disapa Izul.

SKCK berfungsi untuk menyatakan bahwa seseorang tidak sedang dalam proses tindak pidana atau kejahatan lainnya. Yang mengherankan, kenapa harus dibedakan natara keperluan melamar CPNS dan keperluan melamar kerja? Bukankah keduanya sama saja.

“Begini ya, itu bukan kami yang tentukan, tapi pihak di sana (perusahaan),” ujar petugas di meja pendaftaran dengan nada ketus.

Saat mencari konfirmasi tentang pungutan tersebut, Brigadir Kepala Jajat Sudrajat dari Satuan Bina Mitra Polres Bekasi mengatakan bahwa seharusnya uang tersebut jangan dilihat sebagai pungutan.

“Mereka yang di sana (SPK) itu kan harus bekerja cepat. Malah kadang ada yang mau selesai buru-buru. Jangan dilihat sebagai pungutan, anggap saja karena mereka telah melayani,” katanya.

Namun, ia tetap enggan menegaskan apakah pungutan tersebut resmi atau tidak. Saat mencoba bertanya ke Kepala Satuan Intelejen dan Keamanan, petugas yang ada di sana berkata bahwa Kasat sedang berada di Bangkok .

“Belum tahu sammapi kapan. Memangnya anda keberatan kalau dimintai uang?” ujarnya dengan nada sinis.

Sayangnya, hingga saat ini, belum ada konfirmasi dari Kepala Polres Bekasi. Beberapa kali Jurnal Nasional menghubungi nomor telpon selulernya tapi tidak diangkat.

Untuk mebuat SKCK, pemohon diharuskan membawa surat pengatar dari Kecamatan. Prosesnya, harus membuat pengantar dari Kelurahan, lalu membawanya ke Kecamatan.

“Di kelurahan, saya dimintai Rp.5.000, plus satu kupon PMI (Palang Merah Indoensia) sebesar Rp.1.000. Di Kecamatan, saya dimintai RP.3.000. Semuanya nggak pake tanda terima,” kata Izul.

Selain SKCK, pendaftaran CPNS juga mensyaratkan adanya Kartu Tanda Pencari Kerja atau yang dikenal dengan Kartu Kuning. Kartu tersebut dibuat di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Dan biayanya? Cukup Rp.5.000 saja setiap orang. Lagi-lagi tanpa tanda terima!

“Saya sebenarnya memperpanjang aja. Dua bulan lalu, pas bikin pertama kali, saya disuruh bayar Rp.3.000. Eh ternyata sekarang udah naik,” ujar Usella, 25 tahun.

Total kedua persyaratan tersebut Rp.39.000. Belum lagi biaya foto kopi dan cuci cetak foto. Bahkan untuk persyaratan mendaftar kerja pun ternyata mahal. (IKA KARLINA IDRIS)
Tak Ada Jaminan Jiwa dan Kesehatan bagi Pemadam Kebakaran

Jakarta-Jurnal Nasional

Kebakaran kembali memakan korban. Sebanyak lima orang tewas dalam kebakaran yang terjadi Kamis, 5 Oktober, di Kelurahan Krendang, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
Tiga warga yang tewas adalah warga Kelurahan Krendang, sedang dua lainnya adalah petugas pemadam kebakaran dari Suku Dinas Pemadam Kebakaran Jakarta Pusat. Kedua petugas tersebut adalah Iwan Supriyanto, 22 tahun, dan Nursito, 22 tahun.

Apa mau dikata, kehilangan nyawa sudah menjadi resiko pekerjaan seorang petugas pemadam kebakaran. Meski menyadari hal tersebut, tak mengurangi kesedihan rekan-rekan sekerja mereka.

Kejadian yang menimpa Iwan dan Nursito membuat para pegawai tidak tetap di Sudin PDK Jakpus berpikir. Masalahnya, tidak hanya kematian yang harus siap mereka hadapi, tapi juga tidak ada santunan.

Meski uang yang diberikan tidak sebanding dengan kehilangan nyawa, namun santunan merupakan salah satu bentuk penghargaan terhadap keduanya.

Menurut Kepala Suku Dinas Pemadam Kebakaran Jakarta Pusat Idrus Paddai, saat melepas kedua jenazah, perwakilan dari Pemerintah Daerah DKI Jakarta mengatakan ada santunan. Besarnya, masing-masing keluarga mendapat Rp 7 juta rupiah.

”Tapi itu kan banyak syarat yang harus dipenuhi dan prosesnya lama. Saya juga nggak tahu kapan uang itu turun. Makanya, saya merasa tidak enak hati saat keluarga Iwan dan Nursito bertanya ke saya tentang santunan. Saat itu saya tidak menjawab apa-apa,”urai Idrus.

Adapun jumlah pegawai tidak tetap (PTT) di kantornya sebanyak 251 orang. Sedang di seluruh Dinas PDK DKI ada 1401 orang.

Menurut Idrus jumlah tersebut cukup besar karena sebenarnya mereka membutuhkan banyak tenaga. Hanya saja belum ada waktu untuk perekrutan pegawai. Jadilah, mengakalinya dengan mengangkat PTT atau yang disebut juga pegawai honorer.

Adapun gaji PTT di Dinas PDK sebesar Rp 925 ribu. Selain gaji, mereka juga mendapat uang piket sebesar Rp750 ribu, uang PTT sebesar Rp 500 ribu, dan uang makan Rp 150 ribu.

”Tapi pengeluaran kami kan banyak. Nyicil motor, kontrak rumah, belum lagi beli susu anak,” keluh salah seorang petugas.

Para PTT tidak mendapat asuransi jiwa maupun kesehatan. Menurut Nurul Lusianto, 25 tahun, ia dan para PTT yang lain pernah mencoba ikut asuransi. Tapi kemudian banyak yang berhenti.

”Kami harus bayar berkisar antara Rp 100-300 ribu tiap bulan. Tapi, kalau mau klaim kesehatan, banyak alasan dari pihak ausransi. Makanya anak-anak banyak yg berhenti,” katanya.

Mengenai asuransi jiwa dan kesehatan, Idrus mengakui bahwa hal tersebut belum mendapat perhatian dari Pemda DKI. Memang, Pemda sudah mengasuransikan melalui Asuransi Kesehatan (Askes).

”Tapi, kan tidak semua hal bisa kami klaim. Dulu, kalau klaim obat gampang, sekarang sudah susah,” ujarnya.

Bahkan, sekitar tahun 1996 Idrus pernah melakukan operasi mata. Gara-garanya syaraf mata sebelah kanannya rusak karena terkena asap saat bertugas.

Sayangnya, ongkos operasi tersebut didapatnya dari biaya pribadi dan dari Paguyuban Karyawan Suku Dinas PDK Jakpus.

Gunadi menambahkan, Paguyuban yang mereka bentuk memang sangat membantu. Setiap bulannya, mereka ditarik iuran sebesar Rp 10.000. Uang tersebut akan digunakan untuk membantu biaya kesehatan pegawai atau jika ada yang mengalami kecelakaan kerja.

”Sedang untuk musibah yang menimpa dua anggota kami, masing-masing petugas ditarik Rp 20.000. kalau mau lebih, ya bagus,” kata Idrus.

Kurangnya jaminan kesehatan dan jiwa pada petugas PDK juga diakui Pelaksana Harian Kepala Dinas Pemadam Kembakaran DKI Martono. Aturan asuransi kolektif yang ditetapkan Pemda jumlahnya tidak dapat menutupi segala biaya kesehatan.

”Yang spesifik macam operasi berat memang belum ada. Mungkin karena nilainya tinggi,” ujar Martono saat dihubungi Jurnal Nasional.

Kalau untuk kecelakaan juga belum ada. ”Paling-paling ya dari Askes itu,” tambah Martono.

Meski diangkat sebagai pegawai ternyata tak beda jauh dengan pegawai tidak tetap. Sama-sama tak ada jaminan jiwa dan kesehatan.

”Padahal, jadi pemadam resiko nyawa hilang sewaktu-waktu dapat terjadi,” tegas Idrus. (IKA KARLINA IDRIS)
Berpuasa di Usia Senja

Jakarta-Jurnal Nasional

Empat orang nenek terlihat duduk di kursi plastik yang ada di beranda sebuah panti jompo. Mereka saling mengejek satu sama lain sambil bersenda gurau.

“Lu puasa kagak?” kata seorang nenek bertubuh gemuk yang menggunakan daster batik berwarna kuning.

“Ya puasalah. Emangnya elu kagak puasa,” balas nenek bertubuh kecil yang duduk di sebelahnya.

Setelah itu, mereka tertawa-tawa.

“Nenek-nenek emang kayak gini. Kalau sore kan kita udah pada lemes. Makanya duduk-duduk aja sambil nunggu buka puasa,” ujar Nurhaya, 87 tahun.

Meski sudah berusia lanjut, namun sebagian besar penghuni Panti Werdha I, jalan Bina Marga, Cipayung, Jakarta Timur, masih berpuasa.

Sebagian mereka mengaku lemas. Namun, merupakan hal yang wajar dialami orang yang berpuasa.

“Kuncinya, jangan makan terlalu banyak. Kalau buka puasa, nenek biasanya uma minum teh manis dan makan kolak atau bubur kacang ijo. Itu aja udah bikin nenek kenyang. Makan nasi ntar aja pas sahur,” ujar Nani, 72 tahun.

Ia juga mengakaui bahwa selama melakukan ibadah puasa, badannya terasa lebih sehat. Penyakit maag yang dimilikinya tak pernah kambuh, padahal biasanya telat makan sebentar ia langsung sakit perut.

Hal tersebut juga diakui Tukinun, 48 tahun, staf perawatan panti. Menurutnya, setiap bulan bisa ada sekitar 4-5 orang yang masuk rumah sakit. Namun, sejak awal bulan Ramadhan hingga saat ini, belum ada satupun penghuni panti yang masuk rumah sakit.

Selama bulan Ramadhan, tak ada kegiatan penghuni panti yang berubah. Tetap ada kelas merajut dan kelas mebuat kerajinan tangan.

Bahkan, kegiatan tersebut ditambah dengan serangkaian ibadah, seperti sholat berjamaah dan sholat tarawih.

Jumlah penghuni panti tersebut ada 99 orang. Yang tidak berpuasa ada 20 orang, diantaranya 7 orang non muslim dan 13 orang termasuk kategori renta.

Jika sholat tarawih tiba, penghuni yang ikut ada sekitar 40-an orang. Tak semuanya mampu sholat berdiri sehingga harus duduk. Di musholla kecil yang ada di panti, biasanya mereka sholat 11 rakaat, terdiri dari 8 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir.

“Saya nggak bisa kelamaan berdiri, tapi saya mau ikutan sholat tarawih bareng temen-temen, makanya biar duduk juga nggak apa-apa. Lagian, suka ada yang ceramah, bikin tenang hati nenek,” kata Nurhaya.

Jika sedang tak ada kelas atau kegiatan, mereka menghabiskan waktu dengan berzikir. Lucunya, beberapa orang di antara mereka mengaku tak mengaji karena tak biasa membaca Al-quran.

Menurut pengakuan Sumiati, 69 tahun, sejak muda ia tak pernah belajar mengaji. Makanya, selain berzikir, ia hanya mengulang-ngulang surat yang dihafalnya saja.

Meski kesehatan penghuni panti membaik selama bulan Ramdhan, tidak begitu dengan kondisi psikologis mereka. Jika di hari-hari biasa mereka seolah tak memiliki beban, hal yang sebaliknya terjadi saat bulan Ramadhan tiba.

“Apalagi hari-hari menjelang lebaran. Tak tadinya ceria, tiba-tiba sering terlihat merenung atau diam-diam saja. Pokoknya tak bergairah,” ujar Tukinun.

Maklum saja, sebagian besar penghuni yang ada di sini tak punya anak yang bisa merawat mereka. Kalaupun ada, biasanya sanak keluarga yang hubungannya sudah jauh, misalnya keponakan, sepupu, ataupun anak angkat.

Makanya, Tukinun dan para pengurus lain biasanya mengajak lebih banyak pengunjung jika bulan puasa. Biasanya uztad, para donatur, atau anak-anak sekolah keperawatan.

“Siapa aja lah yang bisa ngajak mereka ngobrol. Kalau lagi pada nggak bisa, ya staf yang gantian nemenin mereka,” ujarnya.

Bahkan, jika Idul Fitri tiba, para staf selalu mengusahakan datang ke panti. Memang sebagian ada yang pulang ke sanak keluarga mereka. Tapi, biasanya hanya satu hari.

Nurhaya mengaku, setiap lebaran biasanya ia habiskan di rumah keponakannya di daerah Bogor , Jawa barat. Tak ada yang menjemputnya. Meski berjalan tertatih-tatih, ia mengaku ke sana menggunakan bus dan ojek.

“Nenek naik ojek dulu ke pangkalan bus. Alhamdulillah, biar udah nggak kuat jalan jauh, tapi masih nyampe Bogor . Makanya kalau nggak kuat lagi, nenek naik ojek saja,” katanya.

Akan tetapi, ia juga mengaku tak ingin berlama-lama di ruamh saudara. Selain tidak enak hati, ia merasa harus menghabiskan satu hari di antara dua hari Idul fitri bersama teman-teman panti.

“Kami kan satu nasib, sama-sama nggak punya keluarga. Kalau bukan kita-kita juga yang saling nyari, mau siapa lagi,” kata Nurhaya. (IKA KARLINA IDRIS)
Perlukah Pemotongan Subsidi Busway?

Dewan Perwakilan Daerah DKI Jakarta akan memotong subsidi dana Busway. Diperlukan Audit sebelum mengambil keputusan tersebut.

Jakarta-Jurnal Nasional

Dewan Perwakilan Rakyat DKI Jakarta akan mengurangi dana operasional busway sebesar Rp 31 Miliar.
Sebelumnya, dalam laporan hasil pembahasan Komisi D DPRD DKI terhadap Usulan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD DKI 2006 disebutkan perlu ada pengurangan anggaran sebesar Rp 100 miliar dari Rp 230 miliar anggaran operasional TransJakarta. Sehingga, pada APBD-P 2006, dana operasional tinggal Rp 130 miliar.

Adanya pemotongan sepertiga dari jumlah yang direncanakan tersebut, menurut Wakil Ketua Komisi D Muhayar karena sudah tidak bisa dikurangi lagi.

Pemangkasan anggaran perlu dilakukan mengingat penerimaan dari pengoperasian bus Transjakarta Koridor I, II, dan II hanya akan tercapai Rp 100 miliar dari Rp 200 miliar yang ditargetkan untuk pendapatan daerah.
Perbedaan itu dinilai terlalu mencolok dalam realisasi penerimaan. Karena itu, harus dievaluasi dalam rangka optimalisasi anggaran.

Komisi D DPRD DKI Jakarta juga menyatakan bahwa pihaknya akan meminta detail pembiayaan Badan Pengelola Trans Jakarta.

"kami ingin tahu yang lebih jelas. Misalkan sebulan butuh berapa biayanya dan untuk apa saja. Bila berbentuk rekapitulasi seperti ini bagaimana bisa jelas," kata Ketua Komisi D DPRD DKI Sayogo Hendrosubroto.

Dijelaskannya pihak BP TransJakarta pada 2005 pernah menyatakan pendapatan (recovery-red) bila dibandingkan dengan besarnya biaya subsidi bisa mencapai 97 persen.

"Misalnya bila kita beri Rp100 miliar maka penerimaannya yang dijanjikan Rp97 miliar. Ketika kita alokasikan Rp230 miliar mereka menjanjikan Rp215 miliar, tapi bila sekarang penerimaan diperkirakan tidak mencapai itu ya lucu kalau tetap minta Rp230 miliar," katanya.

Sayogo juga menyatakan perlu dicari apakah ada kebocoran baik dari penerimaan maupun pengeluaran yang menyebabkan kemungkinan tidak tercapainya target. Ia menjelaskan bila ternyata ada kebococaran dan DPRD tetap menyetujui dana rakyat sebesar Rp230 miliar untuk subsidi, sulit bila nantinya harus mempertanggung jawabkan pada rakyat.

"Itu baru tiga koridor, saya tidak bisa membayangkan bila koridor empat hingga tujuh nanti sudah beroperasi, ruginya bisa berapa ratus miliar," tegasnya.

Menurut DPRD, target penerimaan hanya akan terealisasi separuhnya, sekitar Rp 100 miliar, jika dilakukan pemotongan biaya operasional.

Adapun perincian pengurangan biaya tersebut yaitu sebesar Rp 17 miliar diambil dari anggaran pembayaran feeder, belanja pegawai, dan belanja modal. Sedang sisanya, sebesar Rp 14 miliar berasal dari pengajuan efisiensi yang pernah diajukan Badan Layanan Umum (BLU) TransJakarta ke Badan Pembangunan Daerah DKI Jakarta.

Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso menyatakan bila DPRD tetap mengurangi subsidi, maka pilihan terakhir yang dilakukan adalah menaikkan tiket busway.

"Kalau subsidi ditarik ya terpaksa menaikkan tiket, padahal sebenarnya kita mengindari hal tersebut dengan memberikan subsidi selama ini. Semua penumpang kita beri subsidi Rp150 per penumpang," kata Sutiyoso.

Namun, ia juga mengaku belum mengetahui berapa kenaikan tarif nantinya.
Menganai adanya pencabutan subsidi ini, Ketua Dewan ransportasi Kota DKI Jakarta Sutanto Soehodo mengatakan bahwa DPRD perlu mengadakn audit lebih dulu.

“Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah pemotongan subsidi tersebut sudah tepat? Kalaupun ada pemotongan subsidi, berapa jumlahnya? Yang paling penting, adalah kepentingan masyarakat,” ujar Sutanto saat dihubungi Jurnal Nasional.

Kalau mau, tambah Sutanto, harusnya DPRD adakan audit terlebih dulu ke semua operator busway yang ada. Kalau perlu, bentuk sebuah tim independen untuk menilai apakah subsidi lebih baik dicabut atau tidak.
Ia juga mengatakan bahwa sebenarnya, busway adalah proyek untung.

Subsidi yang dibayar itu hitungannya per orang per kilo meter. Jadi, kalau dalam satu kali angkut busnya tidak penuh, akan tetap memberi keuntungan karena ada subsidi. Makanya, pihak pengelola harus memikirkan bagaimana cara untuk melayani dengan baik.

Ia berkata,”Kalau armada masih kurang kan berarti subsidi terbuang percuma. Hal ini yang harus kita perhatikan.”

Jika memang ada pemotongan subsidi busway, tentunya akan berdampak pada masyarakat. Karena harus ada keseusaian antara biaya operasional dengan pemasukan.

Bagaimanapun juga, busway harus tetap berjalan. Kalau biaya operasional tinggi tapi pemasukan rendah, nantinya akan jadi kolaps. Karenanya, semua usaha tersebut harus dipelajari lebih dulu.
Sutanto juga mengingatkan DPRD dan Pemda DKI tentang nilai strategis yang dimiliki busway.

”Busway itu kan modal yang baru pertama kali diperkenalkan pada masyarakat. Keberadaannya untuk membuktikan pada publik bahwa ternyata sarana transportasi umum lebih baik dari pada kendaraan pribadi,” urai Sutanto.

Busway digunakan masyarakat karena terkenal aman, nyaman, dan lebih murah dari bus Patas AC. Lagipula, selama ini masyarakat lebih senang naik kendaraan pribadi daripada naik transportasi publik.

”Nah, keinginan masyarakat untuk berubah itu sebenarnya tidak dapat diukur dengan uang,” tegasnya. (IKA KARLINA IDRIS)
Kisah Penyapu Jalan

Jakarta-Jurnal Nasional

Jakarta masih lelap tertidur saat dua orang lelaki terlihat lalu-lalang di dekat sebuah taman. Hanya satu dua kendaran yang melintas di jalan.

Di dekat taman tersebut, terdapat sebuah pos polisi yang lampunya menyala. Namun, tak seorang pun petugas terlihat berjaga. Mungkin mereka masih tidur sambil membawa sisa-sisa hasil patroli semalam.

Jika tak memperhatikan dengan seksama, sosok dua orang lelaki berseragam oranye hanya akan menjadi pemandangan yang menyatu dengan taman tersebut. Meski warna pakaian mereka mencolok, namun gerakan mereka seirama dengan udara yang berhembus dini hari ini.

Taman tersebut adalah taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat. Salah seorang di antara keduanya berdiri di ruas jalan antara taman dengan kedutaan Amerika Serikat, seorang lagi di ujung yang lain. Keduanya melakukan hal yang sama, yaitu menyapu jalan di sekitar taman.

Saat itu, pukul 04.00 WIB. Sekitar seperempat jam lagi waktu imsak tiba. Sugihartono, 40 tahun, sudah makan sahur dan tidak akan menggunakan sisa waktu tersebut untuk makan ataupun minum.

Padahal, ia harus menyapu tiga ruas jalan hingga tiga jam ke depan dan masih harus mengangkut sampah setelahnya.

“Saya kan sudah bertahun-tahun ngelakuin hal ini, jadi sudah terbiasa,” katanya.

Lelaki asal Purwokerto tersebut adalah satu di antara sekian banyak penyapu jalanan yang harus bertugas di shift ke tiga atau sejak pukul 23.00 hingga 07.00 WIB.

“Tantangan paling besar awal-awalnya adalah rasa ngantuk,” tutur Sugihartono yang harus menafkahi seorang istri dan tiga orang anak.

Daerah “kekuasaannya” ada di tiga ruas jalan, yaitu jalan Teuku Umar, Samsu Rizal, dan di sekitar Taman Suropati, Jakarta Pusat. Dari 8 jam masa kerjanya, ia hanya punya satu jam untuk bersitirahat. Meski begitu, tak pernah ia merasa terbebani.

Dengan penuh kesabaran ia berkata,”Memang kalau dengan kata tukang sapu, rasanya kok gimana gitu. Kondisinya memang sejelek kedengarannya. Tapi, saya anggap saja semua ibadah, biar nggak kebawa susah dan kerja jadi bener.”

Sugihartono sudah menjadi penyapu jalan sejak tahun 19990. setelah enam tahun, ia sempat berhenti dan bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik. Malang, dua tahun kemudian pabrik tempatnya bekerja gulung tikar dan ia kena PHK.

Karena tak memiliki keahlian lain, Sugihartono pun kembali memilih jadi penyapu jalan. Walau hanya diupah Rp 19.000 per hari, namun ia dapat membiayai tiga orang anaknya bersekolah.

“Kalau dihitung-hitung sih ya pasti kurang. Tapi alhamdulillah, tiap tahun saya pasti ada sisa buat dipake mudik kalau lebaran,” kisahnya.

Cara mengakalinya adalah dengan bekerja sukarela mengangkut sampah di pagi hari. Ia selalu ikut dengan mobil bak yang mengambil sampah satu persatu dari tiap rumah yang ada di sekitar Menteng.

Dari sanalah ia mendapat tambahan. Maklum, pemilik rumah seringkali merasa simpati dengan apa yang ia lakukan.

Jumlahnya memang tidak seberapa dan tidak menentu. Kadang Rp 10.000, kadang pula tak ada sama sekali. Namun, ia mengaku uang “tips” yang didapatnya cukup untuk menambah biaya kontrakan rumah di daerah Buncit, Jakarta Selatan.

Lain sugihartono, lain pula Rosana, 27 tahun.

Perempuan asli betawi ini juga terlihat menyapu jalan saat Jakarta masih gelap. Daerah kekuasaannya ada di sekitar Jam Gadang, Monumen Nasional, hingga ke depan Istana Kepresidenan.

Tantangan terberat dalam pekerjaannya adalah rasa kantuk, udara malam yang seringkali tidak bersahabat, serta suasana yang gelap.

“Emang sih di Monas banyak lampunya, tapi kalau malam kan serem juga,” ujar Rosana yang mengaku menjadi penyapu jalanan karena harus menghidupi adik dan neneknya. Sedang kdua orang tuanya sudah meninggal dunia.

Selain itu, ia juga harus bekerja ekstra jika akhir pecan tiba. Maklum saja, banyak sekali warga Jakarta yang dating ke Monas.

“Padahal, sudah ada tempat sampah dan sudah banyak papan larangan buang sampah. Tapi, orang kita pada bandel-bandel. Jadi tetep aja banyak sampah. Apalagi kalau ada malam tahun baru, lebaran, atau hari-hari libur gede,” katanya. (Ika Karlina Idris)
Sumirah Melahirkan di Bawah Pohon

Jakarta-Jurnal Nasional

Sumirah, 35 tahun, sempat mebuat panik warga di sekitar Jalan Trikora Raya Rt 04 Rw 09, Gedong, Pasar Rebo, Jakarta Timur. Pada Kamis pekan lalu, 14 September, perempuan asal Cirebon itu melahirkan di bawah pohon.

“Untung warga di sana baik-baik semua. Saya ditolong dan dibawa ke rumah sakit. Ini kali pertama anak saya ada yang dirawat di rumah sakit,” katanya.

Selasa, 19 September, Sumirah terlihat mengemasi beberapa barang-barangnya di sebuah kamar perawatan kelas II di Rumah Sakit Harapan Bunda, Ciracas, Jakarta Timur. Maklum saja, siang nanti dia sudah harus meninggalkan rumah sakit.

Beberapa perlengkapan bayi seperti botol susu, tas bayi, popok, dan selimut, menurutnya didapat dari warga yang datang menjenguk. ”Ditolong mereka saja saya sudah syukur, apalagi dikasih barang-barang seperti iii,” ujarnya sambil tersenyum.

Bayi perempuan dengan berat 3,1 kilo gram dan panjang 48 senti meter tampak sedang tidur pulas dalam boks bayi. Bayi itu belum diberinya nama. Sumirah beralasan ia masih bingung untuk menentukan nama anaknya.

Sambil mengusap kepala bayinya, ibu dari lima orang anak itu mulai bercerita.

Ia dan suaminya Sucipto tinggal di sebuah kampung di Cirebon. Mereka hidup susah hanya dengan mengandalkan penghasilan Sucipto sebagai sopir angkutan kota.

”Pokoknya uang yang dibawa pulang suami saya pas-pasan. Hanya untuk hari itu saja,” katanya.

Suatu hari, SIM milik Sucipto hilang. Karena takut kena tilang polisi, ia pun tidak berani lagi bekerja sebagai sopir.

Berbekal uang tabungan yang tidak seberapa jumlahnya, pasangan suami istri dan keempat anak mereka pun mengadu nasib di Jakarta,

Karena tak ada keahlian khusus, satu-satunya cara yang terpikir dalam benak Sucipto adalah dengan memulung barang-barang bekas. Hasilnya tentu tak seberapa. Menurut Sumirah, meski telah memulung seharian, uang yang mereka dapatkan hanya berkisar Rp 10-20 ribu.

Saat itu, mereka membeli sebuah gerobak dan menggunakannya sebagai tempat tinggal. Selama setahun di Jakarta, gerobak tidak hanya untuk beristirahat, tapi juga melindungi mereka dari panas dan hujan.

Kamis pagi, 14 September, sekitar pukul 06.00 ia merasa perutnya mules dan akan melahirkan. Tapi, karena tak punya biaya, ia nekat akan melahirkan di bawah pohon yang ada di tepi Kali Baru, apapun yang terjadi nanti.

Saat anaknya sudah keluar dan menangis, ia merasa lemas. Untungnya, ada ibu-ibu yang lewat dan mendengar tangisan anaknya.

Ibu-ibu itu pun panik. Mereka sibuk mencari dukun beranak ataupun bidan. Karena tak juga ketemu, mereka akhirnya sepakat membawa Sumirah ke rumah sakit.

”Sebenarnya, mereka juga nggak berani. Bayi merah keluar dan tinggal putus ari-arinya aja nggak ada yang berani megang,” kata Sumirah.

Awalnya ia khawatir dengan biaya rumah sakit. Untung saja, pihak rumah sakit membebaskan semua biayanya. ”Kayaknya nggak semua orang seberuntung saya,” ceritanya.

Ia juga mengaku kalau terkadang ingin kembali ke Cirebon. Memang, rumah yang ada di sana kecil dan masih menumpang dengan saudara. Tapi, bagaimanapun masih lebih layak dari pada sebuah gerobak.

”Mau gimana lagi? Kan saya tidak uang untuk ngontrak rumah. Untung anak saya masih kecil, jadi masih bisa cukup kalau mereka bertiga. Anak yang ini saja jadinya di gerobak kok,” ujarnya malu-malu.

Kemiskinan jugalah yang memaksa anak sulung mereka, Septi, 8 tahun, tidak lagi bersekolah. Padahal, di Cirebon dulu, Septi sempat mengeyang bangku sekolah hingga kelas II SD.

Sambil, mengusap kepala bayinya, Sumirah mengaku belum punya gambaran tentang masa depan anaknya. Ia juga mengaku tak ingin lagi menambah anak.

Perempuan berkulit sawo matang dan rambut kemerahan sisa terbakar matahari, berkata, ”Saya takut nggak bisa melihara mereka dengan baik.” (IKA KARLINA IDRIS)
OLEH-OLEH DARI PADANG::


Puasa Setelah Melihat Bulan

Padang-Jurnal Nasional

Meski sebagian besar masyarakat berpuasa sejak Minggu, 24 September, tapi tidak demikian dengan warga Desa Tanjung Kedung, Ulakan, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.

“Bulan belum terlihat, jadi kami belum puasa,” kata mereka.

Ya, sudah puluhan tahun, masyarakat Padang Pariaman terkenal memiliki cara sendiri untuk menentukan jatuhnya bulan suci Ramadhan. Yaitu, dengan melihat bulan.

Menurut pemegang syariat agama yang ada di desa Tanjung Kedung, Ali Imran, 55 tahun, apa yang mereka lakukan tersebut sesuai dengan hadis Bukhori Musim.

Bunyinya,”Maka berpuasalah kamu dengan melihat bulan, berbukalah kamu dengan melihat bulan. Maka bila bulan itu tertutup oleh awan, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban selama 30 hari.”

Menurut Ali, ajaran tersebut dibawa oleh Syekh Burhanuddin. Dialah pribumi pertama yang menyebarkan Islam di Sumatera Barat.

Selain cara menentukan Ramadhan, Syekh Burhanuddin juga mengajarkan bahwa umat islam harus merayakan kelahiran nabi Muhammad SAW yang jatuh pada Bulan Syafar. Karenanya, pemeluk ajaran ini dikenal dengan nama Tarikat Syafariah.

Di Sumatera Barat, ada dua daerah dimana Tarikat Syafariah berpusat, yaitu Ulakan dan Bukit Tinggi. Maka dari itu, tradisi melihat bulan juga dilakukan di dua tempat. Di Ulakan, mereka melakukannya di sepanjang pantai Ulakan.

“Bisa saja di sini (Ulakan) belum terlihat, tapi di sana (Bukit Tinggi) sudah. Makanya kami saling memberi informasi. Kalau ternyata di sana terlihat bulan, maka akan kami rapatkan di sini. Setelah itu akan kami tentukan hari berpuasa,” jelas Ali.

Adapun tradisi ini mereka lakukan pada Minggu, 24 September. Semata-mata karena hingga Sabtu, 23 Sepetember, belum ada tanda-tanda bulan akan nampak.

Tak ada hal khusus yang dilakukan jika ingin melihat bulan. Cukup mengambil wudhu dan berjalan ke pantai Ulakan sambil bersyikir.

Yang menarik, para pemeluk ajaran ini juga punya kebiasaan menyambangi makam Syekh Burhanuddin. Saat Jurnal Nasional datang ke sana, ternyata mereka sedang melakukan sholat maghrib dan bersyikir untuk keselamatan guru mereka.

Mereka melakukannya di halaman makan yang berukuran sekitar 30 x 40 meter. Anehnya, ada dua imam yang memimpin sholat. Berarti ada dua jamaah. Menurut Ali, hal tersebut semata-mata karena tempat yang tidak cukup.

Selain sholat di halaman, sebagian besar orang yang datang bergantian masuk ke makam Syekh Burhanuddin. Makan itu berukuran sekitar 1x2 meter dan dikelilingi jeruji besi serupa penjara. Antara makam dan jeruji ada jarak sekitar setengah meter.
Tepat di atas makam, terdapat bingkai besar berisi dua lembar kertas berukuran sekitar 1 x 0,5 meter. Tertulis huruf arab gundul atau huruf arab tanpa tanda baca di kertas itu.

Di depan makam, terdapat kotak besi berwarna emas. Ke dalam kotak itulah para pengunjung makam memberi sedekah.

“Syekh, kemarin Yuli minta naik kelas, ternyata bisa. Seperti niat Yuli yang sudah, ini Yuli ada sedikit rejeki,” ujar seorang remaja belasan tahun sambil memasukkan selembar uang Rp 5.000 ke dalam kotak.

Rupanya, para pengunjung silih berganti melakukan hal yang sama dengan Yuli. Mardina, 41 tahun, misalnya. Ia berdoa di depan makam dengan nada suara sedih dan sesekali menyeka air mata. Rupanya, putrid bungsunya sedang sakit.

“Saya biasa datang berdoa ke sini kalau ada masalah. Biasanya saya Nazar dan kalau terkabul saya datang memberi uang atau apa saja yang ada di rumah,” ujar Mardina yang juga warga Desa Kapuh Gadur, Kecamatan 2 X 11 Lingkung, Padang Pariaman.

Tak heran, di sekitar makam terdapat bungkusan berbagai jenis kebutuhan rumah tangga seperti minyak tanah, beras, gula, tepung terigu, hingga minyak kelapa.

Menurut Ali yang juga guru terakhir dari ajaran ini, setiap harinya, warga yang datang mengnjungi makam sekitar 100-200 orang. Akan tetapi, jumlah ini bisa berlipat-lipat jika hari besar tiba, semisal di bulan Syafar, Maulid nabi, ataupun bulan Ramadhan.

Bahkan, beberapa tokoh penting pernah datang ke sini untuk berdoa. Ia menyebutkan beberapa nama seerti Wiranto, Megawati, dan Taufik Kemas.

“Masjid yang ada di ujung jalan ini, dibangun karena sumbangan Taufik Kemas,” ujar Ali.

Namun, tak sedikit pun Ali merasa apa yang mereka lakukan itu termasuk menduakan Allah SWT atau Syirik. “Kami tetap meminta ke Allah SWT. Kami ke sini kan karena ada beberapa ulama keramat yang dimakamkan di sini. Mudah-mudahan, dengan menghubungkan diri seperti ini, kami mendapat berkat seperti mereka,” urainya. (Ika Karlina Idris)
40 Hari Perjalanan Rohani

Agam, Sumatera Barat-Jurnal Nasional

Selama 40 hari, Zamrosi tinggal di surau. Hanya untuk bersyikir dan bersyalawat. Ia cuti berjualan baju di pasar. Katanya, rezeki sudah diatur Allah SWT.

Tepat sebelum azan Dzuhur tiba, Anita dan ketiga orang anaknya melintasi sawah-sawah. Mereka menuju ke sebuah bangunan berwarna hijau muda yang ada di tengah sawah. Rupanya bangunan tersebut adalah sebuah surau. Bertingkat dua dan terbuat dari kayu.

Di dinding depan bagian atas tertulis Surau Ittihadul Muhaqiqin, Jalan Baso-Batusangkar Km 1, Air Tabit, Kecamatan Baso, Agam, Sumatera Barat.

Anita dan ketiga orang anaknya membersihkan kaki di kamar mandi yang ada di depan surau. Setelah itu, mereka membuka sandal jepit mereka. Layaknya seseorang yang akan masuk ke sebuah ruangan, mereka mengucap,”Assalamualaikum.”

Sewaktu memasuki surau, ada pemandangan yang jarang ditemui di dalamnya. Cahaya lampu dibiarkan temaram, tak ada satu pun jendela yang dibuka. Kata Buya Yonri, pemimpin surau, “Dalam gelap, seseorang dapat beribadah lebih Khusuk.”

Hampir seluruh ruangan dipenuhi kamar-kamar kecil yang hanya bersekat kain putih. Luas setiap kamar hanya sekitar 1 x 2 meter. Mengingatkan kita pada luas kuburan.

Di dalamnya, terletak kasur kapuk beralas sajadah. Di sekeliling kasur, terdapat barang-barang pribadi semisal baju, mukena, sarung, ataupun balsam dan minyak kayu putih.

Di tempat itulah, Zamrosi, 46 tahun, suami Anita, sedang melakukan apa yang dikenal oleh masyarakat Minangkabau dengan nama Basuluak.

Basuluak berasal dari kata Bersulukun atau melakukan Sulukun. Sedang Sulukun sendiri berasal dari bahasa Arab Salaka yang berarti perjalanan rohani.

“Basuluak adalah menjalani suatu latihan kejiwaan untuk mencari ilmu dan mengantarkan seseorang dengan mudah ke surga. Dengan kata lain, ini adalah pelatiahn untuk mengingat Allah SWT terus-menerus selama 40 hari,” ujar Buya Yonri.

Tradisi ini, diambil dari sebuah hadis yang menyebutkan bahwa barang siapa yang bisa shalat berjamaah tanpa putus selama 40 hari, maka akan diberi dua keistimewaan oleh Allah SWT.

Pertama, terlepas dari azab kubur. Kedua, tidak akan mati dalam keadaan munafik.

Basuluak dilakukan 10 hari sebelum bulan Ramadhan ditambah 30 hari di bulan Ramadhan.

Seseorang yang akan mengikuti basuluak terlebih dulu harus mandi taubat, semata-mata untuk menyucikan diri mereka. Setelah itu, mereka harus meminta maaf pada keluarga, tetangga, dan para kerabat mereka. Dimaksudkan agar tak ada satupun beban dunia yang ikut bersama mereka.

Selama basuluak, mereka tidak diperkenankan keluar jauh-jauh dari surau. Kalaupun keluar, hanya boleh sebelum Dzuhur dan setelah Ashar. Sisanya, mereka melakukan ibadah seperti sholat, baca Al-quran, bersyikir, dan bersyalawat.

“Sewaktu basuluak, Wudhu tidak boleh putus. Jadi, kalau ada hal-hal yang membatalkan wudhu, seperti kentut atau buang hajat, setelah itu mereka harus segera berwudhu lagi,” tegas Buya Yonri yang sudah mendirikan surau tersebut sejak 1998.

Makanan yang mereka makan pun diatur. Tidak boleh ada daging. Daging hanya di makan setiap 20 hari, yang berarti pada tanggal 9 Ramadhan dan sehari sebelum Idul Fitri.

Daging tidak boleh dimakan sering-sering karena akan membuat darah panas dan mempengaruhi pikiran. Demikian alasan mereka.

Adapun sebelum mengikuti basuluak, setiap peserta harus membawa beras sebanyak 20 kilo gram. Beras itu nantinya untuk makan mereka. Tetapi, lauk-pauk tetap dibawakan dari rumah oleh masing-masing keluarga.

Hal itulah yang sedang dilakukan Anita. Ia datang membawakan lauk-pauk untuk Zamrosi yang sedang basuluak di surau.

Sehari-harinya, Zamrosi adalah seorang pedagang baju dan kain di pasar. Tapi, karena mengikuti ‘perjalanan rohani’, makanya ia cuti berjualan.

“Sudah ada 11 bulan yang saya pakai untuk mencari rezeki. Masa tak boleh satu bulan untuk mengingat Allah? Rezeki itu kan dia juga yang memberi,” ujar Zamrosi yang sudah kali kedua mengikuti basuluak.

Peserta lain, yaitu Yarni, 38 tahun mengaku, merasa lebih tenang selama mengikuti basuluak ataupun sesudahnya. Karena itulah, ia mengajak serta suaminya.

Dengan suara yang pelan, ia berujar,”Saya merasakan kasih Allah SWT dan jiwa saya lebih tenang.” (IKA KARLINA IDRIS)
Ramai-ramai Mandi dengan Limau

Padang-Jurnal Nasional

Tepat sehari sebelum memasuki bulan Ramadhan, ratusan orang memenuhi tempat-tempat pemandian umum. Bahkan, air terjun lembah Anai dan beberapa kolam di sekitarnya juga dipadati orang-orang.

Mereka dating dari berbagai tempat, dari Bukit Tinggi hingga Padang. Meski ada yang sendiri-sendiri, tapi lebih banyak yang dating dengan menggunakan mobil bak terbuka. Satu mobil bias berisi 15-25 orang.

Orang-orang tersebut dating ke pemandian umum untuk melaksanakan satu tradisi mandi yang sudah berlangsung puluhan tahun. Tradisi ini dilakukan sejak siang hari hingga azan magrib tiba. Namanya, mandi balimau.

Menurut Evi, 24 tahun, ia datang ke lembah Anai bersama 13 orang lainnya.

“Kami menyewa mobil. Masing-masing membayar Rp 5.000. Balimau ini memang sudah kami niatkan,” kata Evi yang juga warga nagari Batangan, kecamaan X Koto, Batusangkar.

Meski sore itu hujan turun cukup deras, namun tak menyurutkan niat orang-orang yang ada di sekitar lembah Anai. Besar-kecil, Tua-muda, dan lelaki-perempuan bercamur di bawah air terjun sambil bersenda gurau.

Yang tak ikut mandi, berdiri di pinggir air terjun sambil makan. Tapi, sebagian besar dari mereka adalah insan-insan yang beradu kasih sambil menonton orang-orang mandi.

Evi sendiri mengaku ia dating bersama pacarnya. Sedang teman-temannya yang lain juga berpasang-pasangan. Meski malu-malu, ia mengakui momen ini ditungu-tunggunya.

“Bisa jalan-jalan sama pacar dan teman-teman,” ujarnya.

Mungkin hal itulah yang membuat sebagian kalangan melarang tradisi mandi Balimau.

Menurut masyarakat Minangkabau, mandi Balimau adalah mandi dengan menyucikan diri layaknya mandi wajib. Setelah mandi, diharapkan seseorang menjadi suci untuk memasuki bulan Ramadhan.

Yang membuatnya berbeda karena saat mandi mereka menggunakan limau atau jeruk nipis ditambah ramuan lainnya yang membuat wangi. Ramuan tersebut biasanya terdiri dari daun pandan wangi, bunga kenangan, bunga rampai, dan akar-akar tanaman.

Akan tetapi, tradisi mandi tersebut kini sudah bergeser, baik tata cara maupun maknanya. Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau Kamardi Rais, tradisi ini awalnya tidak dilakukan di tempat pemandian umum.

Tradisi ini menggunakan ramuan Balimau yang direndam di air hangat dan dioleskan ke kepala.

“Balimau dulu lambing untuk menyucikan diri, sesuai dengan syariat agama dan adapt. Tapi sekarang, sudah banyak yang melanggar adat, apalagi syariat,” tegas Kamardi.

Ia mencontohkan, karena Balimau dilakukan hingga menjelang magrib, tak ada yang bisa mengawasi tingkah leku pemuda-pemudi yang ada di pemandian umum. Maknanya pun bergerser. Tidak lagi untuk menyucikan diri, melainkan bergembira bersama sebelum bulan Ramadhan.

“Lagi pula, masa mandinya bercampur. Sudah begitu, pakai baju yang tipis dan basah-basah pula. Apa nantinya tidak mengundang syaitan?” ujarnya.

Namun, perkataan Kamardi dibantah oleh Reni, 18 tahun, yang saat itu dating untuk balimau ke pemandian Mega Mendung, Kecamatan X Koto, Tanah Datar.

Gadis yang datang besama teman-teman sekolahnya itu berkata,”Di sini (pemandian umum) kan cuma mandinya saja. Sampai di rumah nanti, baru kami mandi pakai ramuan balimau. Lagi pula, kalau mandi kan orangnya banyak dan ada polisi yang menjaga, jadi tidak mungkin kami berbuat yang tidak-tidak.”

Indra, 35 tahun, warga kota Padang yang datang bersama keluargnya ke lembah Anai mengaku tak pernah sekalipun melewatkan tradisi ini. Adapun tempat yang biasanya ia datangi untuk balimau adalah Jembatan Pangkalan atau di aliran sungai Batang Mahat (Kabupaten Limapuluh Koto), Danau Singkarak (Kabupaten Solok), Lubuk Peraku, Lubuk Minturun, Aliran sungai Batang Anai, hingga kolam renang Tirta Alami (Kabupaten Tanah Datar).

Ia mengaku dating Balimau sekaligus pulang kampong ke Bukit Tinggi untuk menghabiskan puasa pertamanya di sana. (Ika Karlina Idris)

Friday, October 06, 2006

Magic is In The Air

October, 6th

Leo (Jul 23 - Aug 22)

You can sense the energetic shift today that may have you feeling like you're on top of the world. This is your time to dream and scheme, so don't let anything hold you back. Although there may not be gold in those hills, you can count on the magic that is in the air.


Itu ramalan bintang saya untuk hari ini. Cocok untuk menggambarkan perasaan saya. Terima Kasih untuk semalam ya sayang... XOXOXOXO