Thursday, October 12, 2006

OLEH-OLEH DARI PADANG::


Puasa Setelah Melihat Bulan

Padang-Jurnal Nasional

Meski sebagian besar masyarakat berpuasa sejak Minggu, 24 September, tapi tidak demikian dengan warga Desa Tanjung Kedung, Ulakan, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.

“Bulan belum terlihat, jadi kami belum puasa,” kata mereka.

Ya, sudah puluhan tahun, masyarakat Padang Pariaman terkenal memiliki cara sendiri untuk menentukan jatuhnya bulan suci Ramadhan. Yaitu, dengan melihat bulan.

Menurut pemegang syariat agama yang ada di desa Tanjung Kedung, Ali Imran, 55 tahun, apa yang mereka lakukan tersebut sesuai dengan hadis Bukhori Musim.

Bunyinya,”Maka berpuasalah kamu dengan melihat bulan, berbukalah kamu dengan melihat bulan. Maka bila bulan itu tertutup oleh awan, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban selama 30 hari.”

Menurut Ali, ajaran tersebut dibawa oleh Syekh Burhanuddin. Dialah pribumi pertama yang menyebarkan Islam di Sumatera Barat.

Selain cara menentukan Ramadhan, Syekh Burhanuddin juga mengajarkan bahwa umat islam harus merayakan kelahiran nabi Muhammad SAW yang jatuh pada Bulan Syafar. Karenanya, pemeluk ajaran ini dikenal dengan nama Tarikat Syafariah.

Di Sumatera Barat, ada dua daerah dimana Tarikat Syafariah berpusat, yaitu Ulakan dan Bukit Tinggi. Maka dari itu, tradisi melihat bulan juga dilakukan di dua tempat. Di Ulakan, mereka melakukannya di sepanjang pantai Ulakan.

“Bisa saja di sini (Ulakan) belum terlihat, tapi di sana (Bukit Tinggi) sudah. Makanya kami saling memberi informasi. Kalau ternyata di sana terlihat bulan, maka akan kami rapatkan di sini. Setelah itu akan kami tentukan hari berpuasa,” jelas Ali.

Adapun tradisi ini mereka lakukan pada Minggu, 24 September. Semata-mata karena hingga Sabtu, 23 Sepetember, belum ada tanda-tanda bulan akan nampak.

Tak ada hal khusus yang dilakukan jika ingin melihat bulan. Cukup mengambil wudhu dan berjalan ke pantai Ulakan sambil bersyikir.

Yang menarik, para pemeluk ajaran ini juga punya kebiasaan menyambangi makam Syekh Burhanuddin. Saat Jurnal Nasional datang ke sana, ternyata mereka sedang melakukan sholat maghrib dan bersyikir untuk keselamatan guru mereka.

Mereka melakukannya di halaman makan yang berukuran sekitar 30 x 40 meter. Anehnya, ada dua imam yang memimpin sholat. Berarti ada dua jamaah. Menurut Ali, hal tersebut semata-mata karena tempat yang tidak cukup.

Selain sholat di halaman, sebagian besar orang yang datang bergantian masuk ke makam Syekh Burhanuddin. Makan itu berukuran sekitar 1x2 meter dan dikelilingi jeruji besi serupa penjara. Antara makam dan jeruji ada jarak sekitar setengah meter.
Tepat di atas makam, terdapat bingkai besar berisi dua lembar kertas berukuran sekitar 1 x 0,5 meter. Tertulis huruf arab gundul atau huruf arab tanpa tanda baca di kertas itu.

Di depan makam, terdapat kotak besi berwarna emas. Ke dalam kotak itulah para pengunjung makam memberi sedekah.

“Syekh, kemarin Yuli minta naik kelas, ternyata bisa. Seperti niat Yuli yang sudah, ini Yuli ada sedikit rejeki,” ujar seorang remaja belasan tahun sambil memasukkan selembar uang Rp 5.000 ke dalam kotak.

Rupanya, para pengunjung silih berganti melakukan hal yang sama dengan Yuli. Mardina, 41 tahun, misalnya. Ia berdoa di depan makam dengan nada suara sedih dan sesekali menyeka air mata. Rupanya, putrid bungsunya sedang sakit.

“Saya biasa datang berdoa ke sini kalau ada masalah. Biasanya saya Nazar dan kalau terkabul saya datang memberi uang atau apa saja yang ada di rumah,” ujar Mardina yang juga warga Desa Kapuh Gadur, Kecamatan 2 X 11 Lingkung, Padang Pariaman.

Tak heran, di sekitar makam terdapat bungkusan berbagai jenis kebutuhan rumah tangga seperti minyak tanah, beras, gula, tepung terigu, hingga minyak kelapa.

Menurut Ali yang juga guru terakhir dari ajaran ini, setiap harinya, warga yang datang mengnjungi makam sekitar 100-200 orang. Akan tetapi, jumlah ini bisa berlipat-lipat jika hari besar tiba, semisal di bulan Syafar, Maulid nabi, ataupun bulan Ramadhan.

Bahkan, beberapa tokoh penting pernah datang ke sini untuk berdoa. Ia menyebutkan beberapa nama seerti Wiranto, Megawati, dan Taufik Kemas.

“Masjid yang ada di ujung jalan ini, dibangun karena sumbangan Taufik Kemas,” ujar Ali.

Namun, tak sedikit pun Ali merasa apa yang mereka lakukan itu termasuk menduakan Allah SWT atau Syirik. “Kami tetap meminta ke Allah SWT. Kami ke sini kan karena ada beberapa ulama keramat yang dimakamkan di sini. Mudah-mudahan, dengan menghubungkan diri seperti ini, kami mendapat berkat seperti mereka,” urainya. (Ika Karlina Idris)

No comments: