Thursday, October 12, 2006

Sumirah Melahirkan di Bawah Pohon

Jakarta-Jurnal Nasional

Sumirah, 35 tahun, sempat mebuat panik warga di sekitar Jalan Trikora Raya Rt 04 Rw 09, Gedong, Pasar Rebo, Jakarta Timur. Pada Kamis pekan lalu, 14 September, perempuan asal Cirebon itu melahirkan di bawah pohon.

“Untung warga di sana baik-baik semua. Saya ditolong dan dibawa ke rumah sakit. Ini kali pertama anak saya ada yang dirawat di rumah sakit,” katanya.

Selasa, 19 September, Sumirah terlihat mengemasi beberapa barang-barangnya di sebuah kamar perawatan kelas II di Rumah Sakit Harapan Bunda, Ciracas, Jakarta Timur. Maklum saja, siang nanti dia sudah harus meninggalkan rumah sakit.

Beberapa perlengkapan bayi seperti botol susu, tas bayi, popok, dan selimut, menurutnya didapat dari warga yang datang menjenguk. ”Ditolong mereka saja saya sudah syukur, apalagi dikasih barang-barang seperti iii,” ujarnya sambil tersenyum.

Bayi perempuan dengan berat 3,1 kilo gram dan panjang 48 senti meter tampak sedang tidur pulas dalam boks bayi. Bayi itu belum diberinya nama. Sumirah beralasan ia masih bingung untuk menentukan nama anaknya.

Sambil mengusap kepala bayinya, ibu dari lima orang anak itu mulai bercerita.

Ia dan suaminya Sucipto tinggal di sebuah kampung di Cirebon. Mereka hidup susah hanya dengan mengandalkan penghasilan Sucipto sebagai sopir angkutan kota.

”Pokoknya uang yang dibawa pulang suami saya pas-pasan. Hanya untuk hari itu saja,” katanya.

Suatu hari, SIM milik Sucipto hilang. Karena takut kena tilang polisi, ia pun tidak berani lagi bekerja sebagai sopir.

Berbekal uang tabungan yang tidak seberapa jumlahnya, pasangan suami istri dan keempat anak mereka pun mengadu nasib di Jakarta,

Karena tak ada keahlian khusus, satu-satunya cara yang terpikir dalam benak Sucipto adalah dengan memulung barang-barang bekas. Hasilnya tentu tak seberapa. Menurut Sumirah, meski telah memulung seharian, uang yang mereka dapatkan hanya berkisar Rp 10-20 ribu.

Saat itu, mereka membeli sebuah gerobak dan menggunakannya sebagai tempat tinggal. Selama setahun di Jakarta, gerobak tidak hanya untuk beristirahat, tapi juga melindungi mereka dari panas dan hujan.

Kamis pagi, 14 September, sekitar pukul 06.00 ia merasa perutnya mules dan akan melahirkan. Tapi, karena tak punya biaya, ia nekat akan melahirkan di bawah pohon yang ada di tepi Kali Baru, apapun yang terjadi nanti.

Saat anaknya sudah keluar dan menangis, ia merasa lemas. Untungnya, ada ibu-ibu yang lewat dan mendengar tangisan anaknya.

Ibu-ibu itu pun panik. Mereka sibuk mencari dukun beranak ataupun bidan. Karena tak juga ketemu, mereka akhirnya sepakat membawa Sumirah ke rumah sakit.

”Sebenarnya, mereka juga nggak berani. Bayi merah keluar dan tinggal putus ari-arinya aja nggak ada yang berani megang,” kata Sumirah.

Awalnya ia khawatir dengan biaya rumah sakit. Untung saja, pihak rumah sakit membebaskan semua biayanya. ”Kayaknya nggak semua orang seberuntung saya,” ceritanya.

Ia juga mengaku kalau terkadang ingin kembali ke Cirebon. Memang, rumah yang ada di sana kecil dan masih menumpang dengan saudara. Tapi, bagaimanapun masih lebih layak dari pada sebuah gerobak.

”Mau gimana lagi? Kan saya tidak uang untuk ngontrak rumah. Untung anak saya masih kecil, jadi masih bisa cukup kalau mereka bertiga. Anak yang ini saja jadinya di gerobak kok,” ujarnya malu-malu.

Kemiskinan jugalah yang memaksa anak sulung mereka, Septi, 8 tahun, tidak lagi bersekolah. Padahal, di Cirebon dulu, Septi sempat mengeyang bangku sekolah hingga kelas II SD.

Sambil, mengusap kepala bayinya, Sumirah mengaku belum punya gambaran tentang masa depan anaknya. Ia juga mengaku tak ingin lagi menambah anak.

Perempuan berkulit sawo matang dan rambut kemerahan sisa terbakar matahari, berkata, ”Saya takut nggak bisa melihara mereka dengan baik.” (IKA KARLINA IDRIS)

No comments: