Thursday, October 12, 2006

Kisah Penyapu Jalan

Jakarta-Jurnal Nasional

Jakarta masih lelap tertidur saat dua orang lelaki terlihat lalu-lalang di dekat sebuah taman. Hanya satu dua kendaran yang melintas di jalan.

Di dekat taman tersebut, terdapat sebuah pos polisi yang lampunya menyala. Namun, tak seorang pun petugas terlihat berjaga. Mungkin mereka masih tidur sambil membawa sisa-sisa hasil patroli semalam.

Jika tak memperhatikan dengan seksama, sosok dua orang lelaki berseragam oranye hanya akan menjadi pemandangan yang menyatu dengan taman tersebut. Meski warna pakaian mereka mencolok, namun gerakan mereka seirama dengan udara yang berhembus dini hari ini.

Taman tersebut adalah taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat. Salah seorang di antara keduanya berdiri di ruas jalan antara taman dengan kedutaan Amerika Serikat, seorang lagi di ujung yang lain. Keduanya melakukan hal yang sama, yaitu menyapu jalan di sekitar taman.

Saat itu, pukul 04.00 WIB. Sekitar seperempat jam lagi waktu imsak tiba. Sugihartono, 40 tahun, sudah makan sahur dan tidak akan menggunakan sisa waktu tersebut untuk makan ataupun minum.

Padahal, ia harus menyapu tiga ruas jalan hingga tiga jam ke depan dan masih harus mengangkut sampah setelahnya.

“Saya kan sudah bertahun-tahun ngelakuin hal ini, jadi sudah terbiasa,” katanya.

Lelaki asal Purwokerto tersebut adalah satu di antara sekian banyak penyapu jalanan yang harus bertugas di shift ke tiga atau sejak pukul 23.00 hingga 07.00 WIB.

“Tantangan paling besar awal-awalnya adalah rasa ngantuk,” tutur Sugihartono yang harus menafkahi seorang istri dan tiga orang anak.

Daerah “kekuasaannya” ada di tiga ruas jalan, yaitu jalan Teuku Umar, Samsu Rizal, dan di sekitar Taman Suropati, Jakarta Pusat. Dari 8 jam masa kerjanya, ia hanya punya satu jam untuk bersitirahat. Meski begitu, tak pernah ia merasa terbebani.

Dengan penuh kesabaran ia berkata,”Memang kalau dengan kata tukang sapu, rasanya kok gimana gitu. Kondisinya memang sejelek kedengarannya. Tapi, saya anggap saja semua ibadah, biar nggak kebawa susah dan kerja jadi bener.”

Sugihartono sudah menjadi penyapu jalan sejak tahun 19990. setelah enam tahun, ia sempat berhenti dan bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik. Malang, dua tahun kemudian pabrik tempatnya bekerja gulung tikar dan ia kena PHK.

Karena tak memiliki keahlian lain, Sugihartono pun kembali memilih jadi penyapu jalan. Walau hanya diupah Rp 19.000 per hari, namun ia dapat membiayai tiga orang anaknya bersekolah.

“Kalau dihitung-hitung sih ya pasti kurang. Tapi alhamdulillah, tiap tahun saya pasti ada sisa buat dipake mudik kalau lebaran,” kisahnya.

Cara mengakalinya adalah dengan bekerja sukarela mengangkut sampah di pagi hari. Ia selalu ikut dengan mobil bak yang mengambil sampah satu persatu dari tiap rumah yang ada di sekitar Menteng.

Dari sanalah ia mendapat tambahan. Maklum, pemilik rumah seringkali merasa simpati dengan apa yang ia lakukan.

Jumlahnya memang tidak seberapa dan tidak menentu. Kadang Rp 10.000, kadang pula tak ada sama sekali. Namun, ia mengaku uang “tips” yang didapatnya cukup untuk menambah biaya kontrakan rumah di daerah Buncit, Jakarta Selatan.

Lain sugihartono, lain pula Rosana, 27 tahun.

Perempuan asli betawi ini juga terlihat menyapu jalan saat Jakarta masih gelap. Daerah kekuasaannya ada di sekitar Jam Gadang, Monumen Nasional, hingga ke depan Istana Kepresidenan.

Tantangan terberat dalam pekerjaannya adalah rasa kantuk, udara malam yang seringkali tidak bersahabat, serta suasana yang gelap.

“Emang sih di Monas banyak lampunya, tapi kalau malam kan serem juga,” ujar Rosana yang mengaku menjadi penyapu jalanan karena harus menghidupi adik dan neneknya. Sedang kdua orang tuanya sudah meninggal dunia.

Selain itu, ia juga harus bekerja ekstra jika akhir pecan tiba. Maklum saja, banyak sekali warga Jakarta yang dating ke Monas.

“Padahal, sudah ada tempat sampah dan sudah banyak papan larangan buang sampah. Tapi, orang kita pada bandel-bandel. Jadi tetep aja banyak sampah. Apalagi kalau ada malam tahun baru, lebaran, atau hari-hari libur gede,” katanya. (Ika Karlina Idris)

No comments: