Tuesday, July 24, 2007

Ini ucapan selamat ulang tahun yang paling membuat saya haru.
Tanpa mengecilkan semua kalian yang juga mengucapkannya.
Untuk ucapan, tahun ini banyak kejutan.
Ada yang selalu salah tanggal, tapi kali ini pas.
Ada yang selalu telat, tapi kali ini tidak.
Ada yang berkata, "Selamat ulang tahun ya sayang."

Saya berharap, semua doa untuk saya terjadi juga pada kalian.


from: meita_a@jurnas.com
to: ika@jurnas.com
subject: BUAT IKOT

to my beloved best friend

Ikot sayang, met ultah ya.. tenang..gue nga minta traktir kok..heuheuheuheu...gue cuma sekedar pengen ucapin selamat ulang tahun..

kalo biasanya orang - orang ngucapin met sukses ya..moga-moga panjang umur ya..and so on and so on...kalo gue mau ucapin...semoga lo sempet nyobain yang namnya roller coaster di disneyland, semoga loe sempet salaman ama pinguin, bermain salju dengan orang yang elo cinta (ama sih nala itu mungkin, hohohoho) semoga loe sempet nyobain dive di irian jaya, smoga lo bakal nyobain ngelus-ngelus harimau putih di taman safari, semoga nanti anak-anak lo jadi orang yang baik hati dan suka menolong, semoga lo menemukan jalan hidup lo, semoga lo dapat apa yang terbaik dunia ini bisa tawarkan ke talapak tangan lo, semoga lo bisa nyusul gw ke Jerman =')

semoga lo sempet datengin chocolat festival, semoga loe bisa noton F1 di sirkuit jalan raya di monaco, semoga lo ngga pernah kekurangan materi, tapi lo selalu kekurangan kesombongan, semoga loe selalu tahu jalan mana yang lo ambil, semoga lo selalu .......dapat yang terindah di semua sudut mata lo...

HEPY B'DAY MY DEAR... LUVU MUCH..!!!!!

Tuesday, July 17, 2007

Berlomba Memaknai Puisi Sutardji

Jakarta | Jurnal Nasional

Bukan masalah masih cukup banyak peserta salah menafsirkan puisi-puisi Tardji.


SEBUAH panggung besar gagah berdiri di depan Perpustakaan HB Jassin di Komplek Taman Ismail Marzuki (TIM). Tak satu pun umbul-umbul melambai di sekitarnya. Tak ada umbul-umbul pabrik rokok, makanan dan minuman, atau yang lainnya.

Hanya karikatur wajah sang Presiden Penyair, Sutardji Calzoum Bachri, yang menghiasi kanan dan kiri panggung dengan tulisan ''Lomba Baca Puisi'' sebagai background panggung. Di sekeliling panggung berdiri tenda-tenda, tempat segala hal berbau Sutardji, serta meja untuk juri.

“Kami ingin acara yang bermarwah. Produk-produk itu kasih uang sedikit, tapi mau
tulisannya memenuhi acara. Seolah-olah mereka yang mengadakan,” ujar Ketua Panitia, Asrizal Nur.

Di atas panggung, seorang perempuan berkaus lengan panjang bergaris hitam dan putih membaca puisi Kucing karya Sutradji. Rambutnya yang sepanjang dada dibiarkan tergerai. ''Ngiau!'' teriaknya mengikuti suara kucing mengeong. Ia terus menirukan gerak-gerik kucing sembari melanjutkan baca puisinya.

Menurut Ahmadun Y Herfanda, salah seorang juri, puisi-pusi karya Sutardji memang mengandung banyak jebakan. Salah satunya adalah puisi Kucing yang dibawakan perempuan tadi. Puisi yang ditulis Sutardji pada 1973 itu hanya mengandung satu titik dan satu koma.

''Sebanyak 80 persen peserta lomba salah menafsirkannya. Untuk bisa memotong puisi itu, pembacanya harus tahu konteks yang ada di dalam puisi,'' ujar Ahmadun.

Dia lantas menyebut sepenggal kalimat dalam puisi itu, ''jangan beri daging dia tak mau daging Jesus jangan beri roti dia tak mau roti.''

Sebagian besar peserta memenggalnya menjadi ''dia tak mau daging Jesus.'' Padahal, kata Ahmadun, yang benar adalah '' Jesus jangan beri roti.''

Jadi, bukan daging Jesus, tapi seruan agar Jesus tidak memberikan roti. ''Karena dalam sakramen Jesus menyajikan roti. Hal-hal ini kan harusnya tahu dulu, baru bisa menafsirkan,'' ujarnya.

Salah satu peserta yang tampak benar dalam menafsirkan Kucing adalah Apito Lahire. Pada babak penyisihan, lelaki asal Tegal, Jawa Tengah, itu membaca Kucing dan lolos ke final. Menurut Apite, beberapa peserta menafsirkan Kucing sebagai binatang. Sedang Apite menilai puisi Kucing adalah jiwa Sutardji yang ingin memberontak.

''Kadang-kadang ingin melawan kodrat, tapi juga terkadang tak bisa apa-apa,” ujarnya.

Lomba Baca Puisi Piala Sutardji ini merupakan rangkaian acara “Pekan Presiden Penyair” yang digelar Yayasan Panggung Melayu untuk memperingati ulang tahun ke-66 Sutardji. Selain itu, pada 14 - 19 Juli ini di TIM juga digelar pameran foto Sutardji, talk show, seminar internasional, panggung apresiasi puisi, dan peluncuran buku.

Untuk lomba baca puisi, panitia hanya menargetkan 300 peserta. Namun, saat
technical meeting pada Jumat (13/7) lalu, ternyata peserta membeludak hingga lebih dari 400 orang. Padahal, panitia sudah membatasi jumlah mereka dengan uang pendaftaran. Kalau biasanya uang pendaftaran lomba puisi sebesar Rp10 - 20 ribu, kali ini sebesar Rp50 ribu. Karena lomba ini berskala internasional, banyak peserta datang dari daerah dan beberapa dari luar negeri.

Lia, mahasiswa Linguistik, Fakultas Budaya, Universitas Gadjah Mada, seorang diri datang dari Yogyakarta dan menumpang inap di rumah saudara. ''Saya memang suka puisi Tardji. Lomba dengan skala nasional atau internasional kan
jarang. Jadi pas tahu ada, saya daftar dan datang ke Jakarta,'' ujar Lia. Ia tak lolos ke final, tapi tetap antusias menonton hingga selesai.

Sedangkan peserta asing datang dari Australia dan Malaysia. Sebenarnya, kata Asrizal, ada juga peserta dari Polandia. Namun yang terakhir ini tidak jadi ikut karena permintaannya agar panitia menerjemahkan puisi Tardji ke dalam bahasa Polandia tidak bisa dipenuhi.

Menurut Ahmadun, para juri berencana meloloskan peserta dari Australia ke final. ''Penafsirannya sudah pas, hanya emosinya yang masih kurang.'' Namun, seusai babak penyisihan, peserta itu justru pamit mau pulang ke Australia.

Ada 23 puisi yang dilombakan. Selain Kucing, di antaranya adalah Tanah Air Mata, Jembatan, Tragedi Winka & Sihka, Kami Tahu Asal Jadi Kau, Batu, Cari, Mesin Kawin, Dapat Kau, Sepi Saupi, dan Perjalanan Kubur.

Lomba ini melibatkan enam juri, yakni Ahmadun, Sunu Wasono, Jose Rizal Manua, Leon Agusta, Slamet Kinanto, dan Tommy F Awuy.

Pada babak penyisihan hari pertama, Sabtu (14/7), lomba berlangsung dari pukul 10.00 - 24.00 WIB. Sedangkan di hari kedua, Minggu (15/7), lomba bahkan berlangsung hingga Senin (16/7) pukul 04.00 dini hari.

''Sebagian besar hanya daftar lewat telepon atau e-mail. Karena belum bayar uang pendaftaran, makanya tak kami hitung. Karena mereka sudah datang ke Jakarta, lantas kasihan juga kalau tak kami ikutkan,'' ujar Asrizal.

Meski minat peserta sudah besar, tapi belum tentu menunjukkan apresiasi mereka
terhadap puisi Sutardji. ''Motivasi peserta kan macam-macam. Bisa jadi, mereka ikut hanya karena minat terhadap sastra,'' ucap Ahmadun.

Paling tidak, lomba ini bisa menjembatani apresiasi terhadap puisi Sutardji yang mengandung banyak mantera dan tergolong puisi tipografi itu, sehingga puisi Sutardji ''susah'' dibaca. Paling tidak, peserta yang masih ''salah baca'' bisa belajar dari peserta yang lain.

Ika Karlina Idris


9 Pertanyaan untuk Sutardji Calzoum Bachri:
Menulis di Atas Ayat-ayat Tuhan


Jakarta | Jurnal Nasional

MESKI sedang demam, Sutardji Calzoum Bachri, mengupayakan datang ke sebuah kafe sederhana di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Masih dengan jaket warna krem yang selalu dipakainya di berbagai kesempatan, kaos polo, dan topi. Mungkin itulah yang membedakan antara seorang presiden suatu negara dengan presiden penyair.

Lelaki yang genap berusia 66 tahun pada 24 Juni tahun ini ingin mengobrol tentang Pekan Presiden Penyair. Acara yang merupakan penghargaan atas karya-karyanya itu akan digelar oleh Yayasan Panggung Melayu, yang akan berlangsung seminggu, 14-19 Juli 2007. Rangkaian acara tersebut terdiri atas lomba baca puisi, pangung apresiasi sastra, pameran foto, talk show, seminar internasional, dan peluncuran buku.

Sederet nama terkenal, mulai dari tokoh politik, sastrawan, akademisi, hingga rohaniawan berpartisipasi. Bagi mereka yang mengenal betul lelaki kelahiran Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, ini, tentunya merasa heran. Tumben-tumbenan Tardji, begitu ia akrab disapa, menyetujui acara semacam itu.

Berikut obrolan Tardji dengan para wartawan, termasuk Jurnal Nasional, di Kafe Penus, TIM, Kamis (5/7).

1. Apa harapan Bang Tardji bagi Pekan Presiden Penyair?

Mudah-mudahan lancar dan sukses. Sebenarnya perayaan ini hanyalah simbol agar puisi bisa dihargai oleh masyarakat. Bukan hanya karya saya saja, melainkan juga puisi-puisi yang lain. Saya hanya ingin memberi tahu bahwa sebenarnya di samping pelbagai persoalan, seperti Lapindo atau masalah ekonomi, sebenarnya ada masalah puisi yang juga bisa diperhatikan.

2. Melibatkan deretan nama orang terkenal memang disengaja?

Sebenarnya hal itu agar masyarakat punya perhatian dan apresiasi terhadap sastra. Setelah mereka berperhatian, saya harap mereka juga bisa mengapresiasi masalah kemasyarakatan. Kehadiran para tokoh panutan di acara itu akan menjadi simbol penghargaan terhadap puisi. Yang jelas, parade ini bukan untuk memestakan. Saya harap ada dampak syiar bahwa puisi ada di masyarakat.

Kehadiran banyak orang terkenal kan saling memanfaatkan. Mereka berpuisi dan sekaligus kita pakai untuk memperkenalkan puisi di masyarakat. Artinya, biar ada kesan bahwa puisi itu berharga. Agar anak-anak tak lagi dilarang orang tuanya kalau mau belajar puisi. Karena, sudah ada apresiasi oleh masyarakat.



3. Kapan menulis lagi?

Saya tak pernah menulis tapi dituliskan. Secara kultural, saya menulis di atas tulisan yang sudah ada. Saya menulis di atas ayat-ayat Tuhan. Ayat Tuhan seperti hukum gravitasi, apa itu siang, malam, dan semua gejala alam. Saya menulis karena ada tulisan sebelumnya. Saya cuma membengkokkannya sedikit, menambahkan sedikit, atau mengubahnya, saya hanya melakukan inovasi.


4. Tujuan Bang Tardji menulis?

Ada dua tujuan. Menulis untuk melupa dan menulis untuk mengingat. Artinya, waktu menulis mantera, misalnya, kita melupakan mantera sebagai mantera lama. Di sisi lain, kita mengapresiasi apa yang kita tulis sebagai mantera baru. Sebagai contoh, sajak Sitor Situmorang yang berjudul "Malam Lebaran". Di sajak itu ada kalimat "bulan di atas kuburan".

Padahal, itu kan tidak benar, tidak sesuai dengan takdir. Dalam gejala alam mana pun tak pernah ada bulan pada malam lebaran. Dengan berbuat begitu, berarti dia melupakan hukum alam. Dia Melupa. Tapi dia juga mengingat. Ada tarik-menarik di sini. Orang-orang jangan hanya mengingat saja, tapi juga melupa, menghapus.


5. Konkretnya?

Sumpah Pemuda. Semua orang mengingatnya sebagai statement politik. Padahal, ini adalah puisi yang dasarnya kultural. Kita ini masyarakat yang majemuk secara politik kultural. Nah, kultural ini yang menjadi nyawa utama politik. Saat puisi Sumpah Pemuda muncul, bunyinya "Kami putera-puteri Indonesia".

Padahal, tak ada yang namanya pemuda Indonesia. Yang ada pemuda Jawa, Sumatera, Maluku, dan sebagainya. Dalam Puisi Chairil Anwar, dia bilang, aku ini binatang jalang. Apa Chairil itu binatang jalang? Kan tidak. Kaki dia ada dua, kalau binatang jalang pasti empat kakinya.

Itu yang saya maksud dengan melupa. Kita ini imagine society. Negara kita dibuat dari imajinasi. Tadinya kan hanya ada bahasa Melayu, bahasa Jawa atau Sunda, tidak ada Bahasa Indonesia. Pemersatu gerakan mereka adalah kultural. Saat itu, puisi Sumpah Pemuda ini digerakkan oleh pemuda. Soekarno dan Hatta, itulah gerakan pemuda. Puisi yang besar akan menjadi tangan dalam pergerakan, tapi bukan alat propaganda.


6. Dengan berpuisi berarti membuat sejarah?

Kultural dalam puisi adalah pertanda. Sudah lama orang menggunakan puisi untuk menunjukkan keinginan berotonomi daerah. Orang Jawa menulis dengan bahasa Jawa, yang akrab dengan mantera pun menulis dengan itu. Ternyata orang-orang mau budayanya sendiri-sendiri.

Hanya saja, kaum intelektual tidak sadar akan hal itu. Setelah ditodong secara politik barulah mereka sadar dan melalukan otonomi. Kalau kita punya apresiasi yang tajam terhadap puisi, ada arah, ada tanda-tanda bagaimana arah zaman sebaiknya.

7. Inspirasi untuk menulis dari mana saja?

Tidak ada orang yang menulis karena kosong. Walaupun katanya dari langit, tapi tetap saja apa yang ditulisnya akan tumbuh dalam keakraban dan budaya sehari-hari. Saya menulis di atas kultur saya. Jadi, tak ada Malin Kundang dalam budaya, Asalkan dia mengerti budayanya sendiri. Janganlah kita ini menjadi robot tradisi atau robot intelektual. Robot intelektual itu yang senang mengutip orang. Milan Kundera bilang apa lalu dikutip. Kalau begitu kita bisa jadi robot. Setiap penyair harus melawan kerobotannya. Dia harus bisa menjadikan budaya itu bernilai otentik bagi dia. Setiap seniman selalu otentik.

Setiap manusia harus hidup di atas dirinya sendiri. Itulah kenapa tak ada sidik jari yang sama. Kalau sama, bagaimana kita akan tahu garis tangan kita? Janganlah sidik jari kita ini hanya dimanfaatkan polisi saja. Garis tangan juga menetukan karakter dan pencarian diri. Makanya, manusia kalau ke mana-mana selalu membawa rumah batinnya. Seperti siput dan penyu yang selalu membawa rumahnya.

Siapa saja yang dalam pengembaraannnya selalu membawa rumah batinnya, maka dia tak akan pernah mengembara. Kembara itulah yang harus masuk ke rumah batinnya dan menjadi tamu. Saya ini membawa puisi modern ke dalam rumah batin saya yang berupa pantun. Ingat, kalau kita makan bayam jangan hanya jadi tahi bayam. Kalau makan bayam, jadilah popeye, yang mengubah bayam menjadi kekuatan.


8. Makna menulis bagi Bang Tardji?

Menulis itu sudah panggilan hidup saya. Maling yang hebat itu pun karena panggilan hidupnya memang jadi maling. Kalau tak bakat jadi maling, bisa ketangkap dia. Selama masih diberi anugerah oleh Tuhan, maka saya masih mencipta. Saya tak pernah berkeringat dalam menulis, orang yang membacanyalah yang berkeringat.


9. Ada buku Anda yang akan diterbitkan dalam waktu dekat?

Rencananya ada dua buku kumpulan puisi. Satu yang puisinya panjang-panjang, satu lagi yang pendek-pendek. Tadinya saya tak mau terbitkan. Tapi, dari sisi sosial saya merasa harus membukukannya. Kalau nanti saya sudah tidak ada, sayang juga puisi-puisi saya ini.

**

Ika Karlina Idris
Membincang Kajian Politik Kuantitatif Saiful Mujani

Jakarta | Jurnal Nasional

SELAMA ini kajian politik lazim dilakukan melalui pendekatan kualitatif. Namun, melalui disertasi terbaik di Ohio State University tahun 2003, Saiful Mujani justru menggunakan metode kuantitatif.

Dalam disertasinya, Saiful mencoba mengukur hubungan antara Islam dan demokrasi. Di saat membincang dua hal tersebut, orang lazim menggunakan ayat-ayat Al-Quran. Islam mendukung demokrasi atau tidak, dasarnya dicari pada ayat-ayat tersebut.

Bahkan, sejauh ini sejumlah pemikir besar, seperti Samuel P Huntington, Bernard Lewis, maupun Ernes Gelner lebih memakai pendekatan budaya politik. Mereka berpendapat, perilaku politik, instutisi politik, dan kinerja politik Islam yang tidak mendukung demokrasi berasal dari kultur Islam itu sendiri. Alhasil, tantangan Islam dalam upaya demokratisasi dinilainya bukan hanya pada menyikapi fundamentalisme dan radikalisme, tapi Islam itu sendiri.

Saiful Mujani membantah pendapat tersebut. Ia menemukan bahwa tak ada hubungan negatif yang signifikan antara perilaku Islam atau keislaman dan budaya demokrasi. Jika Islam memiliki hubungan negatif, maka faktor Islam cenderung tidak terlalu kuat, setidaknya bukan faktor dominan.

Karena itu, Juru Bicara Kepresidenan, Andi Alifian Mallarangeng, berani menyatakan disertasi Saiful Mujani itu memperlihatkan penolakan terhadap pemikiran Huntington. ‘’Jadi, tak benar jika ada anggapan bahwa semakin Islam seseorang, maka ia akan semakin menolak demokrasi,” ujar Andi saat peluncuran buku dari disertasi Saiful Mujani berjudul Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru di Kampus Universitas Paramadina, Rabu (27/6).

Selain Andi, peluncuran buku Saiful Mujani itu juga dihadiri Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan, dan analis Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk.

Menurut Anies, yang dilakukan Saiful Mujani, mau tak mau, memaksa ilmu politik untuk menggunakan scientific method yang lebih maju. ‘’Tidak hanya berdasarkan kuantitatif deskriptif yang beda tipis dengan mengarang,” ujarnya.

Dengan metode itu, hasil penelitian bisa diuji ulang. Sayang, hal ini masih minim dalam kajian ilmu politik Indonesia. ‘’Bagaimana menerapkan kajian politik dengan social science yang menantang kajian lain. Semuanya base on fact, base on empirical studies,” ujar Anies.

Perubahan selama 52 tahun terakhir di Indonesia bukan saja membuat masyarakat muslim menerima demokrasi, tapi juga menunjukkan pola dalam memilih yang lebih demokratis. Hal ini berdasarkan sebaran dan afiliasi politik.

Sedangkan Hamdi berpendapat, ada dua hal penting yang harus dicermati dalam disertasi Saiful Mujani. Pertama, metodologi penelitian. Kedua, gagasan tentang islam dan demokrasi.

Selama ini, kata Hamdi, demokrasi dan Islam selalu dipandang dengan tradisi kualitatif. Sepertinya sulit membuktikan dua kaitan variabel berdasarkan perilaku. Ada kesulitan mengukur indikator tentang Islam itu sendiri. ‘’Ilmuwan politik di Indonesia kebanyakan tak menggunakan pengukuran. Construct validation (validitas konstruksi) memungkinkan suatu penelitian dapat diuji berkali-kali dengan hasil yang tetap sama. Dalam kajian politik hal ini tidak ada,’’ ujar Hamdi.

Metodologi studi politik di Amerika Serikat, demikian Hamdi, sudah lebih jauh. Tak lagi sebatas korelasional atau regresi, tetapi sudah menggunakan uji kausalitas.

Saiful Mujani memang menekankan pentingnya teori dan metodologi kuantitatifnya dengan dua kaitan variabel berdasarkan perilaku. “Kalau itu sudah oke, apa pun isinya pasti oke juga.”

Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia itu menilai kegandrungan para pengkaji ilmu politik pada dekonstruksi hanya akan mengaburkan masalah karena jalan keluar yang ada seringkali bersifat relatif. “Ilmuwan seperti ini tak jauh beda dengan wartawan. Wawancara ke sana ke mari, lalu mengonstruksi pendapat,” ujarnya.

Ika Karlina Idris

Thursday, July 05, 2007

Bens Leo: Media Massa harus Bertanggung Jawab

Jakarta | Jurnal Nasional

Media massa turut bertanggung jawab atas kurangnya lagu anak-anak. Pasalnya, mereka tak menyediakan ruang untuk video klip penyanyi anak diputar. Karena tak ada tempat promosi, tentu industri rekaman kesulitan dalam "menjual" lagu anak-anak.

Hal tersebut dikatakan pengamat musik Bens Leo tentang minimnya ruang berkreasi anak di televisi. Berikut petikan wawancaranya dengan Jurnal Nasional:

Seperti apa ruang untuk bermusik bagi anak-anak di televisi?

Saat ini, stasiun televisi sama sekali tak menyajikan acara musik. Yang masih punya program hanya TVRI dan space toon. Hanya saja, tak semua orang tahu space toon karena menurut mereka salurannya susah dicari.

Sejak tiga tahun terakhir, stasiun televisi menjadi sangat komersil. Untuk memasang video musik, hanya dibatasi 30 detik, dengan bayaran tiga juta sekali tayang. Itu pun untuk pemusik yang sudah mengeluarkan album. Artinya, stasiun televisi menganggap pemutaran video musik sama dengan pemutaran iklan.

Lalu, kualitas lagu anak-anak sendiri seperti apa?

Selama ini, lagu anak-anak juga tak semuanya baik. Saya setuju dengan pendapat pak AT Mahmud, bahwa lagu anak-anak harus dibatasi. Secara nada, mereka hanya bisa satu oktaf, maksdunya, hanya sebatas do-re-mi-fa-sol-la-si-do. Lebih dari itu, akan merepotkan mereka.

Nanti, seiring dengan bertambahnya usia si anak, maka nadanya bisa ditambahkan.

Untuk lirik, baiknya yang bersifat edukasi. Bisa bercerita tentang keluarga, lingkungan, ataupun yang menyangkut kemampuannya. Hal ini terjadi pada lagu-lagu AT Mahmud, seperti balonku ada lima atau naik-naik ke puncak gunung.

Memang ada lagu-lagu orang dewasa yang seringkali dinyanyikan anak-anak. Semisal anak-anak menyanyikan lagu Peterpan, itu karena lagu itu sering diputar di televisi, diapresiasi oleh mereka, dan disukai. Tapi sebenarnya melodinya tidak pas dengan mereka.

Apakah lagu anak-anak masih diminati oleh produser rekaman?

Sebenarnya iya. Dulu, Sony BMG pernah membuat perusahaan Sony Wonder yang khusus memproduseri lagu anak-anak. Hanya saja, karena tak ada ruang promosi, bagaimana industri mau memasarkan produk mereka? Ya akhirnya kan tidak produksi lagi.

Itulah juga yang membuat sebagian besar penyanyi anak-anak diproduseri sendiri oleh orang tuanya.

Solusinya seperti apa?

Begini saja, televisi itu kan sering mengadakan dan mensponsori acara musik. Hanya saja, selama ini tak ada ruang untuk lagu anak-anak. Kenapa tak mereka masukkan saja kategori lagu anak di situ?

Kalau sudah ada media promosi, otomatis industri akan jalan. Bagaimanapun, media massa sebenarnya turut bertanggung jawab.

Lalu, mungkin stasiun televise bisa memberi waktu untuk program musik anak. Paling tidak setengah jam setiap minggu. Kalau acaranya bagus, pada akhirnya orang tertarik menonton dan apresiasi musik pun meningkat.

Yang paling penting, bagaimana media massa memberi kesempatan pada anak untuk berkreasi. Tak selamanya di media massa khusus anak-anak, di segmen deawasa kan juga bisa beri halaman. Bisa halaman keluarga atau apa saja yang membuka kreativitas anak.

Selain itu, produser juga bisa memanfaatkan tv lokal sebagai media promosi. Saat ini kan jumlahnya banyak sekali, biayanya masih murah, dan tak akan memotong lagu.

(Ika Karlina Idris)
Sebuah Kebutuhan Mutlak Pembentuk Karakter

Jakarta | Jurnal Nasional

SEBUAH mobil melaju membawa beberapa siswa kelas 3 Sekolah Dasar (SD) pulang ke rumah mereka. Tak hanya mengobrol dan tertawa, mereka juga bernyanyi bersama saat sebuah tembang diputar di tape mobil.

"Engkau bukanlah segalaku, bukan tempat ‘tuk hentikan langkahku. Usai sudah semua berlalu, biar hujan menghapus jejakmu..."

Charil, Adit, dan Ibra sedang memegang sampul CD band Peterpan sambil bernyanyi. Layaknya anak-anak, terkadang mereka menyanyi lepas dari nada yang seharusnya. Setelah lagu Menghapus Jejakmu itu habis, mereka melanjutkannya dengan lagu lain. "Gantian dong bacanya," sahut Charil kepada Adit sambil menarik sampul CD.

Setelah sedikit pertengkaran kecil, mereka kembali bernyanyi. "Emang gitu kalau udah lagu Peterpan," kata Kiky (24), tante Ibra yang biasa menjemput mereka dari sekolah.

Putri Alya Rohali mengalami hal serupa. Suatu waktu, mantan Puteri Indonesia itu kaget karena buah hatinya menanyakan lirik lagu band Radja. Alya pun dibuat prihatin. "Saat ini kita sedang krisis penyanyi anak. Sejak Sherina usai sebagai penyanyi anak-anak, memang masih ada Tasya dan anak-anak AFI Junior. Selain itu, hampir tidak ada yang lain," katanya.

Oleh karena itu, bersama Elfa Secoria, Alya pernah memroduseri sebuah album panyanyi anak-anak. "Semoga saja dengan menerbitkan album ini, cukup mengurangi minat anak-anak menyanyikan lagu dengan lirik dewasa yang tidak pantas untuk anak-anak usia dini," ujarnya berharap.

Menurut pakar pendidikan Prof Conny R Semiawan, saat ini jumlah lagu anak-anak sangat sedikit. Padahal, pendidikan musik sangat penting untuk mengembangkan otak kanan mereka. Otak bagian ini, katanya, sangat terkait dengan psikologi seseorang, sehingga "membutuhkan" banyak musik.

Sebuah penelitian di bidang neurosains menyebutkan, seorang anak yang tumbuh tanpa musik akan mendefinisikan lingkungannya sebagai suasana kekerasan. Maka, tidak mengherankan jika anak tumbuh dengan karakter agresif, suka marah, dan senang berkelahi.

Musik memang tidak hanya membantu mengatasi kebosanan, mengusir kesedihan, atau melepaskan stres. Bagi anak-anak, musik berpengaruh tidak hanya pada kecerdasan berpikir (IQ) saja, namun juga kecerdasan emosi (EQ). Kecerdasan musikal merupakan salah satu aspek kecerdasan emosi.

"Musik adalah wahana paling jitu untuk untuk harmonisasi perkembangan anak. Musik janganlah diartikan kepiawaian anak memankan suatu alat, tapi juga kecukupan akan irama. Manusia yang utuh harus diisi dengan musik dan harus diajari menghasilkannya," terang Conny, yang juga aktif di Yayasan Pendidikan Musik (YPM) ini.

Ia bahkan menekankan musik sebagai conditio sine qua non atau sebuah kondisi mutlak. Dengan kata lain, musik harus ada. Kalau tidak, itu akan merugikan.

Conny juga menyayangkan kebijakan televisi yang tak banyak memutar program lagu anak. Mau tak mau, anak-anak hanya mengenal lagu orang dewasa. Padahal, kebutuhan musik antara dewasa dan anak-anak amat berbeda. Ia menggambarkan musik orang dewasa saat ini sebagai musik yang berteriak-teriak, lalu dilupakan.

Hal serupa pernah dikatakan pencipta lagu anak-anak AT Mahmud. Menurut dia, perkembangan saat ini terlampau negatif. Pasalnya, anak-anak mengonsumsi lagu yang bukan untuk mereka. Selain itu, lagu anak-anak sekarang terlalu dewasa dan banyak yang kurang mendidik.

Dalam menciptakan lagu anak-anak, menurutnya ada tiga unsur utama yang harus dipenuhi, yaitu bahasa nada, bahasa emosi, dan bahasa gerak. Tetapi, pengarang lagu Anak Gembala itu melihat bahwa sekarang banyak pencipta lagu anak-anak tidak mengetahui konsep dalam mencipta.

Lagu yang baik seharusnya bisa mengembangkan daya imajinasi, daya berpikir anak, dapat menyalurkan emosi, dan kemampuan aspek sosial dan kebudayaan. Maksudnya, bahasa yang digunakan dalam lagu harus baik dan cocok untuk mereka. Lagu anak-anak sekarang cenderung menggambarkan cara berpikir dan berbahasa orang dewasa. Sebagai contoh, lagu anak-anak seringkali menggambarkan pengalaman orang dewasa, bukan anak-anak.

AT Mahmud, yang sudah mencipatakan 230 judul lagu anak-anak ini, melihat penyebab utamanya ada pada komersialisasi. "Karya yang dibuat dengan dorongan seni, maka hasilnya adalah seni. Yang dibuat dengan dorongan komersial, hasilnya juga komiditas yang dijual, menciptakan gebrakan, kemudian menghilang, asal laku."

Tentang komersialisasi, Conny berpendapat senada. Bahkan, pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta ini menyoroti penyanyi anak yang sebenarnya membawakan lagu orang dewasa. Tentang hal ini, Conny sudah sering mengingatkan pelbagai pihak. "Saya sudah sering teriak-teriak, tapi tak ada yang perhatikan. Bagaimanapun, kebutuhan musik anak tak bisa ditawar dan ditunda-tunda. Tentu kita tak mau anak-anak tumbuh jadi pemarah hanya karena kekurangan musik."

Ika Karlina Idris

Tuesday, July 03, 2007




Kalau Kencan, Siapa yang Bayar?

Di mana malumu..
Setiap kali..
Kuajak berkencan, aku yang bayar


Suatu kali, teman saya Odit pernah bilang begini,”Cewek bule suka berkencan dengan cowok Indonesia karena selalu dibayarin. Kalau di luar negeri, kencan itu bayar masing-masing. Nah, karena cowok di kita selalu ngebayarin cewek, makanya mereka anggap cowok Indonesia itu gentleman.”

Tapi, itu kata Odit.

Di suatu malam yang menyenangkan, teman saya bercerita sebaliknya. Panggil saja dia P (perempuan). Si P ini sedang dekat dengan beberapa cowok. Belum ada yang jadi pacar resmi. Semuanya masih tahap menjajaki-dengan-penuh-harap. Hihihi…

Nah, di antara lelaki itu, si P menemukan satu yang paling lumayan. Yang paling bagus di antara yang buruk-buruk. Sebut saja L (lelaki) Tampang? 8 (poin 1-10), kerja di BUMN dengan laba terbesar tahun lalu, rumah gede, dan yang paling penting:
Hubungan mereka setahap di atas PDKT.

Sayangnya, si L selalu minta dibayarin. Atau, paling tidak, dia membiarkan P yang membayar semuanya. Padahal, setiap pergi, L selalu berbelanja untuk dirinya sendiri, entah kemeja atau sepatu, apa saja.

Padahal lagi, setiap kali mereka berkencan selalu L yang ngajak. Kebayang nggak sih??? Udah situ yang ngajak, situ pula yang minta dibayarin.

Dengan beberapa pertimbangan, P mau saja. Alasanya, P tak mau dianggap sebagai cewek matrealistis hanya karena secara keuangan tidak seberuntung L.

“Gue mau nunjukin kalau gue nggak matre. Gue mau diajak susah,” kata P membenarkan tindakannya.

Okelah kalau begitu. Tapi, apa yang dilakukan L ini sungguh tak bisa ditolerir. Saya kasih contoh.

Suatu waktu, mereka habis nonton. P yang bayar. Setelah itu, mereka makan. Tadinya, P tak mau keluarkan uang. Tapi, karena pelayan menyodorkan tagihan dan L hanay diam saja, dengan tak enak hati P pun membayar makan malam mereka.

Besarnya? Rp70 ribu rupiah saja.

Setelah pelayan pergi, si L bilang ini,”Oh, jadi elo yang mau ngebayarin. Pantesan mesen minumnya teh tawar aja.”

What????

HAI, BUNG! KAMU KOK TAK TAHU DIRI SEKALI??

Setelah itu, saya pun jadi berpikir, apa iya omongan Odit itu benar?

Lalu, saya pun mengadakan “survey” singkat. Memang tidak ilmiah. Saya hanya bertanya ke teman-teman perempuan saya. Hasilnya:
1. Mereka jarang membayarkan kencan.
2. Mereka sering membayar masing-masing.
3. Pacar mereka membayarkan lebih sering.

Lalu, apa dong yang bikin L tega membuat P membayar kencan mereka? Apa alasannya sama saat L mengirim pesan singkat berisi:
“P, kangen…”
“Kamu lagi apa?”
“Aku lg inget kamu”

Hmm……
Apapun alasannya, rasanya P harus mempertimbangkan kembali matang-matang hubungan dia dengan L.


**
Saya menghargai kalian yang mau membayarkan kencan kalian.
Saya juga pernah membayari kencan saya, tapi ternyata tak ada di antara mereka yang saya pacari.
Saya tak masalah membayari pacar, tapi tidak selalu. Lebih banyak kalau sudah tanggal tua dan saya ngotot makan enak di restoran mahal. (Kamu tahu kan kebiasaan makan saya. Hehehe…)