Tuesday, July 17, 2007



9 Pertanyaan untuk Sutardji Calzoum Bachri:
Menulis di Atas Ayat-ayat Tuhan


Jakarta | Jurnal Nasional

MESKI sedang demam, Sutardji Calzoum Bachri, mengupayakan datang ke sebuah kafe sederhana di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Masih dengan jaket warna krem yang selalu dipakainya di berbagai kesempatan, kaos polo, dan topi. Mungkin itulah yang membedakan antara seorang presiden suatu negara dengan presiden penyair.

Lelaki yang genap berusia 66 tahun pada 24 Juni tahun ini ingin mengobrol tentang Pekan Presiden Penyair. Acara yang merupakan penghargaan atas karya-karyanya itu akan digelar oleh Yayasan Panggung Melayu, yang akan berlangsung seminggu, 14-19 Juli 2007. Rangkaian acara tersebut terdiri atas lomba baca puisi, pangung apresiasi sastra, pameran foto, talk show, seminar internasional, dan peluncuran buku.

Sederet nama terkenal, mulai dari tokoh politik, sastrawan, akademisi, hingga rohaniawan berpartisipasi. Bagi mereka yang mengenal betul lelaki kelahiran Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, ini, tentunya merasa heran. Tumben-tumbenan Tardji, begitu ia akrab disapa, menyetujui acara semacam itu.

Berikut obrolan Tardji dengan para wartawan, termasuk Jurnal Nasional, di Kafe Penus, TIM, Kamis (5/7).

1. Apa harapan Bang Tardji bagi Pekan Presiden Penyair?

Mudah-mudahan lancar dan sukses. Sebenarnya perayaan ini hanyalah simbol agar puisi bisa dihargai oleh masyarakat. Bukan hanya karya saya saja, melainkan juga puisi-puisi yang lain. Saya hanya ingin memberi tahu bahwa sebenarnya di samping pelbagai persoalan, seperti Lapindo atau masalah ekonomi, sebenarnya ada masalah puisi yang juga bisa diperhatikan.

2. Melibatkan deretan nama orang terkenal memang disengaja?

Sebenarnya hal itu agar masyarakat punya perhatian dan apresiasi terhadap sastra. Setelah mereka berperhatian, saya harap mereka juga bisa mengapresiasi masalah kemasyarakatan. Kehadiran para tokoh panutan di acara itu akan menjadi simbol penghargaan terhadap puisi. Yang jelas, parade ini bukan untuk memestakan. Saya harap ada dampak syiar bahwa puisi ada di masyarakat.

Kehadiran banyak orang terkenal kan saling memanfaatkan. Mereka berpuisi dan sekaligus kita pakai untuk memperkenalkan puisi di masyarakat. Artinya, biar ada kesan bahwa puisi itu berharga. Agar anak-anak tak lagi dilarang orang tuanya kalau mau belajar puisi. Karena, sudah ada apresiasi oleh masyarakat.



3. Kapan menulis lagi?

Saya tak pernah menulis tapi dituliskan. Secara kultural, saya menulis di atas tulisan yang sudah ada. Saya menulis di atas ayat-ayat Tuhan. Ayat Tuhan seperti hukum gravitasi, apa itu siang, malam, dan semua gejala alam. Saya menulis karena ada tulisan sebelumnya. Saya cuma membengkokkannya sedikit, menambahkan sedikit, atau mengubahnya, saya hanya melakukan inovasi.


4. Tujuan Bang Tardji menulis?

Ada dua tujuan. Menulis untuk melupa dan menulis untuk mengingat. Artinya, waktu menulis mantera, misalnya, kita melupakan mantera sebagai mantera lama. Di sisi lain, kita mengapresiasi apa yang kita tulis sebagai mantera baru. Sebagai contoh, sajak Sitor Situmorang yang berjudul "Malam Lebaran". Di sajak itu ada kalimat "bulan di atas kuburan".

Padahal, itu kan tidak benar, tidak sesuai dengan takdir. Dalam gejala alam mana pun tak pernah ada bulan pada malam lebaran. Dengan berbuat begitu, berarti dia melupakan hukum alam. Dia Melupa. Tapi dia juga mengingat. Ada tarik-menarik di sini. Orang-orang jangan hanya mengingat saja, tapi juga melupa, menghapus.


5. Konkretnya?

Sumpah Pemuda. Semua orang mengingatnya sebagai statement politik. Padahal, ini adalah puisi yang dasarnya kultural. Kita ini masyarakat yang majemuk secara politik kultural. Nah, kultural ini yang menjadi nyawa utama politik. Saat puisi Sumpah Pemuda muncul, bunyinya "Kami putera-puteri Indonesia".

Padahal, tak ada yang namanya pemuda Indonesia. Yang ada pemuda Jawa, Sumatera, Maluku, dan sebagainya. Dalam Puisi Chairil Anwar, dia bilang, aku ini binatang jalang. Apa Chairil itu binatang jalang? Kan tidak. Kaki dia ada dua, kalau binatang jalang pasti empat kakinya.

Itu yang saya maksud dengan melupa. Kita ini imagine society. Negara kita dibuat dari imajinasi. Tadinya kan hanya ada bahasa Melayu, bahasa Jawa atau Sunda, tidak ada Bahasa Indonesia. Pemersatu gerakan mereka adalah kultural. Saat itu, puisi Sumpah Pemuda ini digerakkan oleh pemuda. Soekarno dan Hatta, itulah gerakan pemuda. Puisi yang besar akan menjadi tangan dalam pergerakan, tapi bukan alat propaganda.


6. Dengan berpuisi berarti membuat sejarah?

Kultural dalam puisi adalah pertanda. Sudah lama orang menggunakan puisi untuk menunjukkan keinginan berotonomi daerah. Orang Jawa menulis dengan bahasa Jawa, yang akrab dengan mantera pun menulis dengan itu. Ternyata orang-orang mau budayanya sendiri-sendiri.

Hanya saja, kaum intelektual tidak sadar akan hal itu. Setelah ditodong secara politik barulah mereka sadar dan melalukan otonomi. Kalau kita punya apresiasi yang tajam terhadap puisi, ada arah, ada tanda-tanda bagaimana arah zaman sebaiknya.

7. Inspirasi untuk menulis dari mana saja?

Tidak ada orang yang menulis karena kosong. Walaupun katanya dari langit, tapi tetap saja apa yang ditulisnya akan tumbuh dalam keakraban dan budaya sehari-hari. Saya menulis di atas kultur saya. Jadi, tak ada Malin Kundang dalam budaya, Asalkan dia mengerti budayanya sendiri. Janganlah kita ini menjadi robot tradisi atau robot intelektual. Robot intelektual itu yang senang mengutip orang. Milan Kundera bilang apa lalu dikutip. Kalau begitu kita bisa jadi robot. Setiap penyair harus melawan kerobotannya. Dia harus bisa menjadikan budaya itu bernilai otentik bagi dia. Setiap seniman selalu otentik.

Setiap manusia harus hidup di atas dirinya sendiri. Itulah kenapa tak ada sidik jari yang sama. Kalau sama, bagaimana kita akan tahu garis tangan kita? Janganlah sidik jari kita ini hanya dimanfaatkan polisi saja. Garis tangan juga menetukan karakter dan pencarian diri. Makanya, manusia kalau ke mana-mana selalu membawa rumah batinnya. Seperti siput dan penyu yang selalu membawa rumahnya.

Siapa saja yang dalam pengembaraannnya selalu membawa rumah batinnya, maka dia tak akan pernah mengembara. Kembara itulah yang harus masuk ke rumah batinnya dan menjadi tamu. Saya ini membawa puisi modern ke dalam rumah batin saya yang berupa pantun. Ingat, kalau kita makan bayam jangan hanya jadi tahi bayam. Kalau makan bayam, jadilah popeye, yang mengubah bayam menjadi kekuatan.


8. Makna menulis bagi Bang Tardji?

Menulis itu sudah panggilan hidup saya. Maling yang hebat itu pun karena panggilan hidupnya memang jadi maling. Kalau tak bakat jadi maling, bisa ketangkap dia. Selama masih diberi anugerah oleh Tuhan, maka saya masih mencipta. Saya tak pernah berkeringat dalam menulis, orang yang membacanyalah yang berkeringat.


9. Ada buku Anda yang akan diterbitkan dalam waktu dekat?

Rencananya ada dua buku kumpulan puisi. Satu yang puisinya panjang-panjang, satu lagi yang pendek-pendek. Tadinya saya tak mau terbitkan. Tapi, dari sisi sosial saya merasa harus membukukannya. Kalau nanti saya sudah tidak ada, sayang juga puisi-puisi saya ini.

**

Ika Karlina Idris

No comments: