Thursday, July 05, 2007

Sebuah Kebutuhan Mutlak Pembentuk Karakter

Jakarta | Jurnal Nasional

SEBUAH mobil melaju membawa beberapa siswa kelas 3 Sekolah Dasar (SD) pulang ke rumah mereka. Tak hanya mengobrol dan tertawa, mereka juga bernyanyi bersama saat sebuah tembang diputar di tape mobil.

"Engkau bukanlah segalaku, bukan tempat ‘tuk hentikan langkahku. Usai sudah semua berlalu, biar hujan menghapus jejakmu..."

Charil, Adit, dan Ibra sedang memegang sampul CD band Peterpan sambil bernyanyi. Layaknya anak-anak, terkadang mereka menyanyi lepas dari nada yang seharusnya. Setelah lagu Menghapus Jejakmu itu habis, mereka melanjutkannya dengan lagu lain. "Gantian dong bacanya," sahut Charil kepada Adit sambil menarik sampul CD.

Setelah sedikit pertengkaran kecil, mereka kembali bernyanyi. "Emang gitu kalau udah lagu Peterpan," kata Kiky (24), tante Ibra yang biasa menjemput mereka dari sekolah.

Putri Alya Rohali mengalami hal serupa. Suatu waktu, mantan Puteri Indonesia itu kaget karena buah hatinya menanyakan lirik lagu band Radja. Alya pun dibuat prihatin. "Saat ini kita sedang krisis penyanyi anak. Sejak Sherina usai sebagai penyanyi anak-anak, memang masih ada Tasya dan anak-anak AFI Junior. Selain itu, hampir tidak ada yang lain," katanya.

Oleh karena itu, bersama Elfa Secoria, Alya pernah memroduseri sebuah album panyanyi anak-anak. "Semoga saja dengan menerbitkan album ini, cukup mengurangi minat anak-anak menyanyikan lagu dengan lirik dewasa yang tidak pantas untuk anak-anak usia dini," ujarnya berharap.

Menurut pakar pendidikan Prof Conny R Semiawan, saat ini jumlah lagu anak-anak sangat sedikit. Padahal, pendidikan musik sangat penting untuk mengembangkan otak kanan mereka. Otak bagian ini, katanya, sangat terkait dengan psikologi seseorang, sehingga "membutuhkan" banyak musik.

Sebuah penelitian di bidang neurosains menyebutkan, seorang anak yang tumbuh tanpa musik akan mendefinisikan lingkungannya sebagai suasana kekerasan. Maka, tidak mengherankan jika anak tumbuh dengan karakter agresif, suka marah, dan senang berkelahi.

Musik memang tidak hanya membantu mengatasi kebosanan, mengusir kesedihan, atau melepaskan stres. Bagi anak-anak, musik berpengaruh tidak hanya pada kecerdasan berpikir (IQ) saja, namun juga kecerdasan emosi (EQ). Kecerdasan musikal merupakan salah satu aspek kecerdasan emosi.

"Musik adalah wahana paling jitu untuk untuk harmonisasi perkembangan anak. Musik janganlah diartikan kepiawaian anak memankan suatu alat, tapi juga kecukupan akan irama. Manusia yang utuh harus diisi dengan musik dan harus diajari menghasilkannya," terang Conny, yang juga aktif di Yayasan Pendidikan Musik (YPM) ini.

Ia bahkan menekankan musik sebagai conditio sine qua non atau sebuah kondisi mutlak. Dengan kata lain, musik harus ada. Kalau tidak, itu akan merugikan.

Conny juga menyayangkan kebijakan televisi yang tak banyak memutar program lagu anak. Mau tak mau, anak-anak hanya mengenal lagu orang dewasa. Padahal, kebutuhan musik antara dewasa dan anak-anak amat berbeda. Ia menggambarkan musik orang dewasa saat ini sebagai musik yang berteriak-teriak, lalu dilupakan.

Hal serupa pernah dikatakan pencipta lagu anak-anak AT Mahmud. Menurut dia, perkembangan saat ini terlampau negatif. Pasalnya, anak-anak mengonsumsi lagu yang bukan untuk mereka. Selain itu, lagu anak-anak sekarang terlalu dewasa dan banyak yang kurang mendidik.

Dalam menciptakan lagu anak-anak, menurutnya ada tiga unsur utama yang harus dipenuhi, yaitu bahasa nada, bahasa emosi, dan bahasa gerak. Tetapi, pengarang lagu Anak Gembala itu melihat bahwa sekarang banyak pencipta lagu anak-anak tidak mengetahui konsep dalam mencipta.

Lagu yang baik seharusnya bisa mengembangkan daya imajinasi, daya berpikir anak, dapat menyalurkan emosi, dan kemampuan aspek sosial dan kebudayaan. Maksudnya, bahasa yang digunakan dalam lagu harus baik dan cocok untuk mereka. Lagu anak-anak sekarang cenderung menggambarkan cara berpikir dan berbahasa orang dewasa. Sebagai contoh, lagu anak-anak seringkali menggambarkan pengalaman orang dewasa, bukan anak-anak.

AT Mahmud, yang sudah mencipatakan 230 judul lagu anak-anak ini, melihat penyebab utamanya ada pada komersialisasi. "Karya yang dibuat dengan dorongan seni, maka hasilnya adalah seni. Yang dibuat dengan dorongan komersial, hasilnya juga komiditas yang dijual, menciptakan gebrakan, kemudian menghilang, asal laku."

Tentang komersialisasi, Conny berpendapat senada. Bahkan, pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta ini menyoroti penyanyi anak yang sebenarnya membawakan lagu orang dewasa. Tentang hal ini, Conny sudah sering mengingatkan pelbagai pihak. "Saya sudah sering teriak-teriak, tapi tak ada yang perhatikan. Bagaimanapun, kebutuhan musik anak tak bisa ditawar dan ditunda-tunda. Tentu kita tak mau anak-anak tumbuh jadi pemarah hanya karena kekurangan musik."

Ika Karlina Idris

No comments: