Tuesday, July 17, 2007

Berlomba Memaknai Puisi Sutardji

Jakarta | Jurnal Nasional

Bukan masalah masih cukup banyak peserta salah menafsirkan puisi-puisi Tardji.


SEBUAH panggung besar gagah berdiri di depan Perpustakaan HB Jassin di Komplek Taman Ismail Marzuki (TIM). Tak satu pun umbul-umbul melambai di sekitarnya. Tak ada umbul-umbul pabrik rokok, makanan dan minuman, atau yang lainnya.

Hanya karikatur wajah sang Presiden Penyair, Sutardji Calzoum Bachri, yang menghiasi kanan dan kiri panggung dengan tulisan ''Lomba Baca Puisi'' sebagai background panggung. Di sekeliling panggung berdiri tenda-tenda, tempat segala hal berbau Sutardji, serta meja untuk juri.

“Kami ingin acara yang bermarwah. Produk-produk itu kasih uang sedikit, tapi mau
tulisannya memenuhi acara. Seolah-olah mereka yang mengadakan,” ujar Ketua Panitia, Asrizal Nur.

Di atas panggung, seorang perempuan berkaus lengan panjang bergaris hitam dan putih membaca puisi Kucing karya Sutradji. Rambutnya yang sepanjang dada dibiarkan tergerai. ''Ngiau!'' teriaknya mengikuti suara kucing mengeong. Ia terus menirukan gerak-gerik kucing sembari melanjutkan baca puisinya.

Menurut Ahmadun Y Herfanda, salah seorang juri, puisi-pusi karya Sutardji memang mengandung banyak jebakan. Salah satunya adalah puisi Kucing yang dibawakan perempuan tadi. Puisi yang ditulis Sutardji pada 1973 itu hanya mengandung satu titik dan satu koma.

''Sebanyak 80 persen peserta lomba salah menafsirkannya. Untuk bisa memotong puisi itu, pembacanya harus tahu konteks yang ada di dalam puisi,'' ujar Ahmadun.

Dia lantas menyebut sepenggal kalimat dalam puisi itu, ''jangan beri daging dia tak mau daging Jesus jangan beri roti dia tak mau roti.''

Sebagian besar peserta memenggalnya menjadi ''dia tak mau daging Jesus.'' Padahal, kata Ahmadun, yang benar adalah '' Jesus jangan beri roti.''

Jadi, bukan daging Jesus, tapi seruan agar Jesus tidak memberikan roti. ''Karena dalam sakramen Jesus menyajikan roti. Hal-hal ini kan harusnya tahu dulu, baru bisa menafsirkan,'' ujarnya.

Salah satu peserta yang tampak benar dalam menafsirkan Kucing adalah Apito Lahire. Pada babak penyisihan, lelaki asal Tegal, Jawa Tengah, itu membaca Kucing dan lolos ke final. Menurut Apite, beberapa peserta menafsirkan Kucing sebagai binatang. Sedang Apite menilai puisi Kucing adalah jiwa Sutardji yang ingin memberontak.

''Kadang-kadang ingin melawan kodrat, tapi juga terkadang tak bisa apa-apa,” ujarnya.

Lomba Baca Puisi Piala Sutardji ini merupakan rangkaian acara “Pekan Presiden Penyair” yang digelar Yayasan Panggung Melayu untuk memperingati ulang tahun ke-66 Sutardji. Selain itu, pada 14 - 19 Juli ini di TIM juga digelar pameran foto Sutardji, talk show, seminar internasional, panggung apresiasi puisi, dan peluncuran buku.

Untuk lomba baca puisi, panitia hanya menargetkan 300 peserta. Namun, saat
technical meeting pada Jumat (13/7) lalu, ternyata peserta membeludak hingga lebih dari 400 orang. Padahal, panitia sudah membatasi jumlah mereka dengan uang pendaftaran. Kalau biasanya uang pendaftaran lomba puisi sebesar Rp10 - 20 ribu, kali ini sebesar Rp50 ribu. Karena lomba ini berskala internasional, banyak peserta datang dari daerah dan beberapa dari luar negeri.

Lia, mahasiswa Linguistik, Fakultas Budaya, Universitas Gadjah Mada, seorang diri datang dari Yogyakarta dan menumpang inap di rumah saudara. ''Saya memang suka puisi Tardji. Lomba dengan skala nasional atau internasional kan
jarang. Jadi pas tahu ada, saya daftar dan datang ke Jakarta,'' ujar Lia. Ia tak lolos ke final, tapi tetap antusias menonton hingga selesai.

Sedangkan peserta asing datang dari Australia dan Malaysia. Sebenarnya, kata Asrizal, ada juga peserta dari Polandia. Namun yang terakhir ini tidak jadi ikut karena permintaannya agar panitia menerjemahkan puisi Tardji ke dalam bahasa Polandia tidak bisa dipenuhi.

Menurut Ahmadun, para juri berencana meloloskan peserta dari Australia ke final. ''Penafsirannya sudah pas, hanya emosinya yang masih kurang.'' Namun, seusai babak penyisihan, peserta itu justru pamit mau pulang ke Australia.

Ada 23 puisi yang dilombakan. Selain Kucing, di antaranya adalah Tanah Air Mata, Jembatan, Tragedi Winka & Sihka, Kami Tahu Asal Jadi Kau, Batu, Cari, Mesin Kawin, Dapat Kau, Sepi Saupi, dan Perjalanan Kubur.

Lomba ini melibatkan enam juri, yakni Ahmadun, Sunu Wasono, Jose Rizal Manua, Leon Agusta, Slamet Kinanto, dan Tommy F Awuy.

Pada babak penyisihan hari pertama, Sabtu (14/7), lomba berlangsung dari pukul 10.00 - 24.00 WIB. Sedangkan di hari kedua, Minggu (15/7), lomba bahkan berlangsung hingga Senin (16/7) pukul 04.00 dini hari.

''Sebagian besar hanya daftar lewat telepon atau e-mail. Karena belum bayar uang pendaftaran, makanya tak kami hitung. Karena mereka sudah datang ke Jakarta, lantas kasihan juga kalau tak kami ikutkan,'' ujar Asrizal.

Meski minat peserta sudah besar, tapi belum tentu menunjukkan apresiasi mereka
terhadap puisi Sutardji. ''Motivasi peserta kan macam-macam. Bisa jadi, mereka ikut hanya karena minat terhadap sastra,'' ucap Ahmadun.

Paling tidak, lomba ini bisa menjembatani apresiasi terhadap puisi Sutardji yang mengandung banyak mantera dan tergolong puisi tipografi itu, sehingga puisi Sutardji ''susah'' dibaca. Paling tidak, peserta yang masih ''salah baca'' bisa belajar dari peserta yang lain.

Ika Karlina Idris

2 comments:

zen said...

Berlomba memaknai Soetardji? Hihihihi... Lucu juga judulnya. Sepertinya kagak bakal ada yang menang, dech. Om Tardji gitu loch!

abie said...

minta naskah asli puisi kucing dong