Tuesday, July 17, 2007

Membincang Kajian Politik Kuantitatif Saiful Mujani

Jakarta | Jurnal Nasional

SELAMA ini kajian politik lazim dilakukan melalui pendekatan kualitatif. Namun, melalui disertasi terbaik di Ohio State University tahun 2003, Saiful Mujani justru menggunakan metode kuantitatif.

Dalam disertasinya, Saiful mencoba mengukur hubungan antara Islam dan demokrasi. Di saat membincang dua hal tersebut, orang lazim menggunakan ayat-ayat Al-Quran. Islam mendukung demokrasi atau tidak, dasarnya dicari pada ayat-ayat tersebut.

Bahkan, sejauh ini sejumlah pemikir besar, seperti Samuel P Huntington, Bernard Lewis, maupun Ernes Gelner lebih memakai pendekatan budaya politik. Mereka berpendapat, perilaku politik, instutisi politik, dan kinerja politik Islam yang tidak mendukung demokrasi berasal dari kultur Islam itu sendiri. Alhasil, tantangan Islam dalam upaya demokratisasi dinilainya bukan hanya pada menyikapi fundamentalisme dan radikalisme, tapi Islam itu sendiri.

Saiful Mujani membantah pendapat tersebut. Ia menemukan bahwa tak ada hubungan negatif yang signifikan antara perilaku Islam atau keislaman dan budaya demokrasi. Jika Islam memiliki hubungan negatif, maka faktor Islam cenderung tidak terlalu kuat, setidaknya bukan faktor dominan.

Karena itu, Juru Bicara Kepresidenan, Andi Alifian Mallarangeng, berani menyatakan disertasi Saiful Mujani itu memperlihatkan penolakan terhadap pemikiran Huntington. ‘’Jadi, tak benar jika ada anggapan bahwa semakin Islam seseorang, maka ia akan semakin menolak demokrasi,” ujar Andi saat peluncuran buku dari disertasi Saiful Mujani berjudul Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru di Kampus Universitas Paramadina, Rabu (27/6).

Selain Andi, peluncuran buku Saiful Mujani itu juga dihadiri Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan, dan analis Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk.

Menurut Anies, yang dilakukan Saiful Mujani, mau tak mau, memaksa ilmu politik untuk menggunakan scientific method yang lebih maju. ‘’Tidak hanya berdasarkan kuantitatif deskriptif yang beda tipis dengan mengarang,” ujarnya.

Dengan metode itu, hasil penelitian bisa diuji ulang. Sayang, hal ini masih minim dalam kajian ilmu politik Indonesia. ‘’Bagaimana menerapkan kajian politik dengan social science yang menantang kajian lain. Semuanya base on fact, base on empirical studies,” ujar Anies.

Perubahan selama 52 tahun terakhir di Indonesia bukan saja membuat masyarakat muslim menerima demokrasi, tapi juga menunjukkan pola dalam memilih yang lebih demokratis. Hal ini berdasarkan sebaran dan afiliasi politik.

Sedangkan Hamdi berpendapat, ada dua hal penting yang harus dicermati dalam disertasi Saiful Mujani. Pertama, metodologi penelitian. Kedua, gagasan tentang islam dan demokrasi.

Selama ini, kata Hamdi, demokrasi dan Islam selalu dipandang dengan tradisi kualitatif. Sepertinya sulit membuktikan dua kaitan variabel berdasarkan perilaku. Ada kesulitan mengukur indikator tentang Islam itu sendiri. ‘’Ilmuwan politik di Indonesia kebanyakan tak menggunakan pengukuran. Construct validation (validitas konstruksi) memungkinkan suatu penelitian dapat diuji berkali-kali dengan hasil yang tetap sama. Dalam kajian politik hal ini tidak ada,’’ ujar Hamdi.

Metodologi studi politik di Amerika Serikat, demikian Hamdi, sudah lebih jauh. Tak lagi sebatas korelasional atau regresi, tetapi sudah menggunakan uji kausalitas.

Saiful Mujani memang menekankan pentingnya teori dan metodologi kuantitatifnya dengan dua kaitan variabel berdasarkan perilaku. “Kalau itu sudah oke, apa pun isinya pasti oke juga.”

Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia itu menilai kegandrungan para pengkaji ilmu politik pada dekonstruksi hanya akan mengaburkan masalah karena jalan keluar yang ada seringkali bersifat relatif. “Ilmuwan seperti ini tak jauh beda dengan wartawan. Wawancara ke sana ke mari, lalu mengonstruksi pendapat,” ujarnya.

Ika Karlina Idris

No comments: