Tuesday, June 24, 2008

Kisah Sukses Sang Wajah Oriental



Penyanyi berwajah oriental Alena sukses go international. Uniknya, ia lebih terkenal di Hongkong dan Singapura dibanding di negeri sendiri.


TUBUHNYA tinggi, langsing, semampai. Kulitnya putih dan mulus. Rambutnya yang hitam panjang tergerai. Wajahnya oriental. Dialah Alena, 27, aktris, model, dan penyanyi yang pernah meraih Juara I Asia Bagus 2000 dan Gold Medal pada Olimpiade Paduan Suara Tahun 2000 di Linz, Austria, bersama Elfa‘™s Choir.

Nama aslinya Caroline Gunawan alias Wu Hui Li. Gadis yang fasih berbahasa Inggris dan Mandarin ini lahir di Malang, 9 November 1981, di tengah keluarga yang memang gemar bermusik. Papanya, sebelum menjadi pengusaha, adalah penabuh drum selama 11 tahun.

Dari keluarganyalah darah seni Alena mengalir. Tak heran, di usia tiga tahun ia mampu menyanyikan 25 lagu secara baik. Namun, ia baru mendapat bimbingan olah vokal sejak usia 14 tahun, tepatnya dari Ibu Ima, guru menyanyinya di Malang, Jawa Timur.

Kemampuan vokalnya semakin matang setelah ia mendapat bimbingan dari Farman Purnama, guru vokal dan penyanyi opera. Ia juga sempat berlatih vokal pada Catherine Leimena. Kematangan Alena dalam dunia tarik suara diperkuat oleh pengalamannya sebagai pe-Mazmur di Gereja.

Kemampuannya tak hanya teruji di bidang tarik suara. Sebab, ternyata ia juga berbakat sebagai presenter TV. Antara lain dalam acara Klip Plus, TPI (1998), Petualangan Dufan, RCTI (2001), Kuis Made in Indonesia, SCTV (2002), dan sebagainya. Tentang dua profesinya itu, dara ayu ini lebih suka menjadi penyanyi. Alasannya, “menyanyi tak hanya seru, tapi juga asyik,” katanya, tertawa.

Apalagi sejak kecil ia sudah mendalami teknik menyanyi, seni menyanyi, dan seni musik. Maka, menjadi presenter baginya hanya mendukung dan mematangkan performanya di panggung. “Dengan juga menjadi presenter, saya terlatih lebih tenang saat tampil menyanyi di panggung,” katanya.

Orang sering mengira Alena penyanyi khusus lagu-lagu Mandarin. Tidak. Ia sebetulnya penyanyi pop Indonesia. Bahwa ia pun piawai membawakan lagu-lagu berbahasa Mandarin yang bercengkok khas, itu tentu anugerah. Terbukti, penyanyi yang ngefans dengan vokalnya Celine Dion dan Wang Lee Hom ini juga fasih membawakan tembang dengan lirik berbahasa Jawa, Jepang, bahkan Belanda.

Memang, Alena lebih terkenal di Hongkong dan Singapura dibanding di negeri sendiri. Sebab, album lagu-lagunya yang berbahasa Mandarin dan Inggris lebih banyak beredar di dua negara tetangga itu. Wajahnya yang oriental agaknya juga sangat mendukung. Kalau artis-artis lain koar-koar tapi tak kunjung membuktikan, sebaliknya, Alena diam-diam telah lebih dulu going international.

Lagunya Lavender (Wei Ni Cun Zai), misalnya, cukup akrab di telinga orang Hongkong dibanding di kalangan masyarakat Indonesia. "Usaha saya untuk go international telah dirintis. Kiat satu-satunya adalah promo. Semoga masyarakat di dua negara itu memang bisa menerima lagu-lagu saya," katanya, merendah.

Albumnya yang pertama: Alena (2003) oleh Universal Music Indonesia Nominasi Most Promising Newcomer MTV Award (2003), Opening Act Tour "Energy" (Taiwan Band ), Jakarta-Bandung-Surabaya Host: "Oriental Nite" bersama Ronny Sianturi, AnTeve (Juli 2003-Juni 2004), Spoke person "Miss Smart Traveller" Citibank Goldcard (2003). Album Kompilasi: Cilapop 2006, lagu: Bintang-bintang oleh Sony Music Indonesia.

Lagu lainnya yang cukup hits bergema di Taiwan dan Singapura adalah Love to Last My Life, Yi Xuan Le Ta (Sudah Memilih Dia), selain lagu berbahasa Indonesia antara lain Tanpa Air Mata. Album solonya yang kedua bertajuk Seindah Diriku, tahun 2007.

Sejak itulah Hui Li alias Alena makin agresif berkonsentrasi menggarap album di luar negeri. Mencuplik lagu Seindah Diriku, dalam album itu ia lebih banyak menyinggung toleransi antarsuku, tak membedakan pribumi maupun nonpribumi. "Saya harap sudah tidak ada lagi saling hasut, saling gontok-gontokan. Kita seharusnya saling menghormati antarsesama," ujarnya.

Selain promosi album, Alena juga amat gemar membaca. Di tengah jeda kesibukannya, ia selalu meluangkan waktu membaca. "Bagi saya membaca adalah kebutuhan. Tidak baca buku kayak tidak minum vitamin," ujar gadis yang lulus dengan predikat cum laude Universitas Pelita Harapan Fakultas Ilmu Sosial & Politik tahun 2003 ini.

Karena kegemarannya membaca, ia terpilih menjadi Duta World Book Day 2008. "Maka, makin tumbuh lagi minat baca saya. Waktu aku dihubungi, aku pikir: Yes! Akhirya aku bisa share something, bisa menulari dan menginspirasi orang lain. Soalnya, banyak aspek kehidupan yang aku dapat dari buku," tuturnya saat ditemui Jurnal Nasional dalam acara 3rd World Book Day Indonesia di Departemen Pendidikan Nasional, Kamis, 17/4 lalu.

Siapa sangka penyanyi cantik yang sejak remaja memang “kutu buku” ini pernah kuper, dan tidak percaya diri? Tapi itulah fakta. "Masalahku sejak kecil adalah self esteem yang rendah banget. Aku tidak suka hang out, tidak suka clubbing, kuper, dan tak tahu cara bergaul. Buku akhirnya membuatku percaya diri,” katanya.

Ketika membaca buku-buku bernuansa psikologis seperti Chicken Soup, misalnya. Alena jadi mengerti bahwa manusia ternyata makhluk yang sangat berharga. Maka, ia pun mencoba menerima keunikan dirinya dan percaya bahwa kutu buku itu keren dan seksi.

"Gaul itu ternyata bagus, tapi membaca juga bagus. Dulu aku malu dengan kebiasaan membaca, tetapi sekarang justru bangga. Kita jadi bisa menerima diri apa adanya, dan itu lebih indah. Kita bisa lihat orang lain beda, dan itu suatu keunikan," katanya, ceria.

Untuk mengisi otak, Alena menyukai buku-buku bisnis. Misalnya Rich Dad Poor Dad karya Robert Kiyosaki. "Ternyata perasaan dan pikiran, mind is your richest thing. Aku surprise sekali waktu baca buku itu," katanya.

Dengan membaca buku-buku bisnis, ia pun belajar menginvestasikan uangnya. "Membaca buku Robert Kiyosaski membuat saya jadi tahu tentang uang dan konsep menempatkan uang seperti apa. Ternyata uang itu tak bisa disimpan saja, tapi harus diputar," kata pemeran utama FTV special imlek RCTI Xiao Qing bersama Ferry Salim (January 2004) ini.

Alena bercerita, dulu kalau ia punya uang, hanya dipegang saja, atau ditabung. Buku Robert Kiyosaski itu mengubah cara berpikirnya. “Ternyata orang kaya itu tak pernah megang uang banyak. Uang mereka diinvestasikan," katanya. Alena sendiri mengivestasikan uangnya di bidang properti.

Bahkan, lewat buku, katanya, perempuan dapat mempercantik diri. Tak heran, ia pun sering membaca buku tentang kecantikan dan kebugaran. Lewat buku macam itu, ia meraih banyak kiat tentang cara memperindah penampilan, tampil semakin cantik, dan langsing.

Untuk menjaga kecantikan fisiknya, Alena tak punya kiat khusus. Ia hanya menerapkan pola makan sehat. Ia hanya mengonsumsi makanan yang diproses sedekat mungkin dengan alam. Misalnya nasi merah. Atau ia hanya mengonsumsi roti gandum karena tidak diawetkan dan tidak pakai pemutih. Pada pagi hari sampai jam 12 siang, ia hanya mengonsumsi buah. "Setelah itu baru bebas makan apa saja," tuturnya.

Sebelumnya, ia juga sempat melakukan food combining, hanya makan ayam kampung dan daging. "Tapi aku sering melanggar. Sekarang sih melanggarnya udah nggak segila dulu. Misalnya aja kalau ke KFC, paling aku makan twister. Kalau cuma makan sedikit sih bisa," katanya, tertawa.

Alena bersyukur dengan penampilan yang ia miliki. Untuk perawatan badan, ia tak terlalu banyak sibuk dengan berbagai macam “ritual”. Ia hanya paling sering melakukan perawatan rambut. “Creambath setiap bulan dua kali," tuturnya, ringan.

Cantik Gaya Sang Violis


Semua bagian dari tubuh ini punya departemennya sendiri-sendiri, dan tugasnya masing-masing.

KUTU buku itu keren! Tak ada yang perlu ditakutkan untuk jadi orang pintar. Begitulah keyakinan sang violis cantik Maylaffayza, 32. Membaca dan menulis adalah bagian dari hidupnya. Bahkan, murid Idris Sardi ini juga sering membelikan buku untuk orang-orang dekatnya.

Sopir dan karyawannya di Maylaffayza Management, serta semua anggota keluarganya, selalu diberi hadiah buku. "Kalau aku kasih buku, harus dibaca. Nanti dua minggu lagi aku tanyain apa betul mereka sudah baca. Aku pengin mereka mendapat pengetahuan dari membaca," katanya saat menjadi pembicara dalam pembukaan Perayaan World Book Day Indonesia ke-3, Kamis, 17/4, di Jakarta.

Maylaf--panggilan akrabnya--memang senang membaca dan aktif menulis sebagai blogger. Dalam blognya, ia berbagi apa saja. Mulai soal kegiatan bermusik, performa, harapan, masalah kulit, hingga tentang album solo perdananya yang diberi judul Maylaffayza.

Nama lengkapnya Maylaffayza Permata Fitri Wiguna, lahir di Jakarta, 10 Juli 1976. Parasnya cantik. Tubuhnya ramping, tinggi, semampai. Rambutnya panjang tergerai. Tetapi, pertengahan 2006 lalu, ia pernah bermasalah dengan jerawat. Kalau selebriti lain malu berjerawat dan melakukan berbagai cara untuk menumpasnya, ia tidak.

Hari itu, di forum itu, ia melontarkan pertanyaan, dan lebih dari 300 komentar berhamburan. "Girls, do you know any good beauty clinic or doctor? You see.. with my working hour.. almost until 2 am everyday start from the morning comes, hectic schedules blah.. blah.. blah.. I always have problems with zits. I heard about Dr Kayama, Erha Clinic, etc...etc... but I don‘™t know whether they are good or not. Can you tell me where to go?"

Berbagai macam rekomendasi pun datang. Tapi putri pasangan Taufik Wiguna dan Tuti Rochyati ini tidak mau asal coba-coba. Kalau artis lain rela mengeluarkan uang jutaan rupiah demi mendapatkan wajah mulus, Maylaf tidak. Ia tidak mau memilih cara perawatan yang mahal, dan membuatnya ketergantungan. Apalagi dengan cara melakukan pengelupasan kulit. Tidak.

"Karena jadwalku show, pemotretan, atau shooting, gak mungkinlah aku pergi dengan wajah dalam keadaan terkelupas. Kalau aku show, make up artist/hair stylistku perlu waktu kerja paling aman empat jam untuk 'mempersiapkan'ku. Maka aku perlu banget perawatan," tulis Maylaf dalam blognya.

Tapi karena tuntutan menjaga penampilan, ia sempat menyerah juga dengan memakai perawatan dokter kulit ternama. Lucunya, ia sendiri tak merekomendasikan produk tersebut pada para pembaca. Alasan: biayanya mahal. Setelah itu, ia sempat mencoba klinik kecantikan lain. Sayang hasilnya tak sesuai keinginan.

Awal tahun 2007, Maylaf pun memutuskan tak terlalu ambil pusing dengan masalah kulit wajah berjerawat. Menurutnya, jerawat itu bersifat hormonal. Produk apa pun yang dipakai, jerawat pasti akan balik lagi.

"Akhirnya tak masalah lagi mau pake dokter yang mana. Inti permasalahanku sebetulnya hormonal. Mungkin juga stres. Psikologi itu ambil peranan besar. Akhir dari sejuta perjalananku yang tidak murah, kesimpulannya: perlu keseimbangan hormonal," tulis Maylaf pula dalam blognya.

Maka, ia pun mencoba melakukan self healing, bagian dari terapi holistic healing--paduan jin shin jhutsu, acupressure, emotional healing technology, dan tapas teknik acupressure. Katanya, sudah tiga tahun ia belajar ilmu tersebut. Guru self healing-nya: Reza Gunawan.

Setelah melakukan terapi tersebut, Maylaf bilang, ia tidak mengalami lagi gangguan kulit. "Sekarang aku sudah sembuh.. buh. Hilang, tanpa obat apa-apa. Tapi sekali lagi kujelaskan untuk terapi one on one dengan Reza Gunawan, harus yang sudah mengikuti kelas Self Healing yang diselenggarakan True Nature. Jika kita punya kasus kesehatan yang perlu penanganan khusus, baru deh bisa theraphy one on one," tutur Maylaf pula.

Self healing membantu Maylaf membenarkan sistem mental dan fisiknya. Tak sekadar urusan permukaan kulit. Lewat self healing, ia memperbaiki semua lalu lintas mental dan fisiknya. "Semua bagian dari tubuh ini punya departemennya sendiri-sendiri, dan tugasnya masing-masing," ujarnya.

Setelah itu, perawatan kulit tak perlu lagi beraneka ragam. Apalagi harus mengeluarkan biaya jutaan rupiah. "Kesehatan tak hanya dari faktor badan, tapi juga pikiran," tuturnya.

Selain itu, ia juga rajin membaca tentang kesehatan dari buku Ancient Herbs, Modern Medicine karangan Glenn E Miller, Henry Han, dan Nancy Deville. Bahkan, ia juga menjalankan diet Golongan Darah. Informasi tentang diet itu ia peroleh dari buku Dr Peter JD‘™ Adamo, Eat Right For Your Type, terbit 1996.

Karena sangat memperhatikan kesehatan, sebelum menjalankan diet golongan darah, ia riset terlebih dahulu. Ia ingin apa yang dijalankannya sesuai kebutuhan. "Aku sangat peduli pada tubuhku. Kalau orang kerjanya maksimal, dirinya juga harus diurus. Jangan cuma kerja habis-habisan," katanya.

Namun, diet yang telah dijalankannya ini belum tentu cocok bagi orang lain. "Pada setiap tubuh manusia, ada undang-undangnya sendiri," katanya. Ia pilih diet golongan darah karena menurutnya paling masuk akal. Ia sudah menjalaninya selama dua tahun. Tak heran, badannya ramping, tapi tidak terlalu kurus.

"Aku sampe beliin bukunya ke saudara-saudara. Pada dasarnya diet ini menyarankan aku untuk banyak mengonsumsi daging dan sayuran. Pemilik golongan darah O bebas mengonsumsi daging dan ikan yang dicampur minyak zaitun,” tuturnya.

Selain itu, ia juga bebas mengonsumsi telur dan kacang. Tetapi sebaiknya membatasi buah. Sementara makanan yang harus benar-benar dihindari adalah sereal, berbagai jenis pasta, dan nasi.

Untuk mendapatkan stamina tubuh maksimal, kata Maylaf, Dr Peter JD‘™ Adamo menganjurkan olah raga aerobik. Gerakannya mirip gerakan para pemburu. "Karbohidrat di-cut, tapi bukan berarti anti. Sekali-sekali bolehlah," katanya.

Telah sekitar tiga tahun Maylaf tak berolahraga berat. "Jadwalku padat sekali. Percuma olah raga kalau kurang istirahat," kata perempuan yang memproduseri sendiri albumnya ini.

Penyebab lain, low back pain yang dialaminya sejak Maret lalu. Sebenarnya, ia sangat senang berolahraga. Tetapi, suatu hari, saat sedang workout di gym, ia melakukan latihan beban yang sudah lama tak dilakoninya. Mungkin karena terlalu aktif, otot-ototnya terasa nyeri.

Selama dua hari ia tak bangun dari tempat tidur dan melakukan self healing. Suster di tempat ia periksa bilang, kondisi Maylaf tak terlalau parah. Ia pun menjalani fisioterapi selama enam hari ditambah enam hari lagi. Ia juga tak menggunakan sepatu berhak tinggi selama beberapa bulan.

Untuk menjaga kebugaran tubuh, Maylaf juga senang melakukan yoga--untuk melatih koordinasi antara pikiran dan tubuh. “Sedangkan untuk rambut, setiap dua minggu aku selalu menyempatkan diri creambath,” tuturnya, riang.

Cemburu karena UN

Ujian Nasional (UN) tak hanya membuat beban belajar siswa semakin banyak ataupun orangtua mereka panik. UN juga membuat sebagian guru merasa terpinggirkan oleh sistem yang ada di sekolah. Persaan tersebut dialami guru-guru yang mengajar mata pelajaran yang tidak diujikan, seperti PPKn, agama, sejarah, muatan lokal, olahraga, atau kesenian.

Pasalnya, pihak sekolah lebih fokus mempersiapkan siswa menghadapi UN dengan mengadakan pelajaran tambahan. Sekolah seakan pilih kasih memberi honor tambahan pada guru-guru yang terlibat atau seenaknya menghilangkan mata pelajaran di luar UN.

Sebagai contoh, SD Malaka Sari 04 Pagi mengantisipasi UN dengan mengadakan pendalaman materi. Menurut guru kelas VI di sana, Usman, Spd, tak jarang ia mengisi jam pelajaran lain dengan mata pelajaran IPA atau Matematika.

"Mata pelajaran yang sekiranya bisa ditunda, seperti muatan lokal, akan kita tunda. Kalau mata pelajaran yang sifatnya muatan lokal itu kan bisa dipelajari dalam kehidupan sehari-hari, tapi kalau IPA atau sains kan butuh pemahaman dan pengertian," katanya.

Menurut Guru Bimbingan Konseling di SMPN 98 Lenteng Agung Jakarta Selatan Yahya Siregar, dipilihnya beberapa bidang studi yang di-UN-kan tersebut menimbulkan kecemburuan diantara para guru bidang studi. Guru yang mengajar bidang studi yang diuji tersebut merasa dirinya lebih tinggi dibandingkan dengan guru yang mengajar bidang studi yang tidak diuji.

"Selain perbedaan psikologis, juga guru yang mengajar bidang studi yang diuji tersebut juga tentu mendapat honorarium. Jadi, Ujian Nasional menciptakan diskriminasi diatara para guru," ujarnya.

Arfani, Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Tambelan, Bintan, Kepulauan Riau, juga melihat adanya kondisi tersebut. Hanya saja, belum ada guru yang berani menyampaikannya secara terang-terangan. Ia pun berusaha agar porsi setiap mata pelajaran tetap sama.

"Kalau mata pelajaran UN kami beri tambahan waktu di sore hari, mata pelajaran lain juga kami tambah atau tidak dihilangkan," katanya saat dihubungi Jurnal Nasional.

Sementara itu, Tatang Suratno dari program pendidikan guru Sekolah Dasar Universitas Pendidikan Indonesia, mengatakan bahwa pada dasarnya, beban dan taggung jawab guru adalah sama. Akan tetapi, UN sudah mengubah beban dan tanggung jawab tersebut, bahkan hingga pada pendapatan dan nilai yang diperoleh guru.

Ada tiga tugas mendasar yang dimiliki oleh setiap guru, yakni mengajar dan mendidik, memberi penilaian hasil belajar, dan membimbing siswa.

"Jika ada yang merasa seperti itu, baiknya menyadari kembali tugas mereka dan fokus ke sana. Tak usah pusing jika mata pelajaran tidak diujikan, guru masih bisa berperan penting dalam memotivasi siswa atau membuat pelajaran menjadi menarik," jelas Tatang yang juga aktif sebagai konsultan di Sampoerna Foundation Teacher Institute.

Selain itu, sekolah juga harus menetapkan batasan yang adil dan menciptakan kultur yang seimbang. "Agar siswa tak hanya melihat UN sebagai satu-satunya faktor penentu kelulusan. Masih ada penilaian tentang perilaku mereka. bagaimanapun tak semua siswa menguasasi mata pelajaran UN," ujarnya.

Hal serupa dikatakan Yahya. "Masak gara-gara beberapa bidang studi yang di-UN-kan itu siswa divonis tidak lulus." Kalau mau fair, ujarnya, bidang studi yang diujikan meliputi seluruh bidang studi yang didapatkan siswa selama masa pendidikan.

Lalu, Yahya juga memandang perlunya perbedaan bobot soal UN pada siswa kelas regular dan kelas unggulan. Sedari awal, mereka diberi bobot materi yang berbeda. Maka itu, akan tak adil jika bobot soalnya sama.

Menurutnya, siswa kelas unggul memiliki kemampuan di atas rata-rata dan memiliki perlakuan yang istimewa dibandingkan siswa kelas biasa. Karena itu, seharusnya, bobot bidang studi yang diuji untuk siswa dari kelas unggul berbeda dengan siswa dari kelas biasa. "Pemerintah harus konsisten dari awal hingga akhir. Jangan awalnya saja yang dibedakan, sedangkan pada saat akhir (UN) bidang studinya sama," ujarnya.

Walau terletak di tempat strategis dan di pinggir jalan raya, SMPN 98 Lenteng Agung ini cukup lengang. Siswa kelas III SMP tampak serius di kelas mempersiapkan diri menghadapi Ujian Nasional. Ditemui pada saat istirahat, Dwiki, salah seorang siswa kelas III mengatakan, kalau ia serius menghadapi ujian. "Saya terpaksa mengurangi waktu bermain saya," ujarnya.

Menurut Yahya, para siswa kelas III sudah dipersiapkan menghadapi ujian sejak sebulan lalu. Empat hari seminggu, yakni hari Senin, Selasa, Rabu dan Kamis, siswa mengadakan try out. Pelatihan itu dilaksanakan setelah jam sekolah usai, yakni mulai pukul 12.30-14.30. Namun, saking seriusnya melakukan persiapan, Dwiki bahkan tidak tahu (atau lupa) tanggal ujian nasional untuk jenjang SMP. "Saya tidak tahu," ujarnya sambil bergegas menuju ruangan kelas.

** Dimuat di Jurnal Nasional, Kamis, 10 April 2008

Pesantren Jangan Kehilangan Akar Budaya

Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua dalam sejarah bangsa Indonesia. Pesantren berkontribusi besar dalam mengembangkan watak, karakter, dan moral santri serta anak didiknya dalam masyarakat.

Selain itu, pesantren mampu menjadi agen perubahan sosial dalam pembangunan masyarakat. Hal tersebut semata-mata karena kedekatannya dengan masyarakat akar rumput.

Menurut Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Komaruddin Hidayat, ada dua kekuatan besar yang dimiliki pesantren. Pertama adalah budaya khas yang selalu ditransfer dan dijaga. Hal ini tak ditemui pada sekolah umum yang hanya berfungsi sebagai tempat transfer ilmu pengetahuan.

Kedua, stuktur atau karakter yang dibentuk oleh kiyai, sesuai kapsitas mereka. Dalam belajar, biasanya kiyai tak mengajar santri untuk mengejar nilai, tapi lebih kepada mendapatkan ilmu.

"Saya maklum jika ada pesantren yang menolak UAN (Ujian Akhir Nasional). Sebenarnya bukan UAN-nya yang mereka tolak, tapi UAN itu membuat mereka untuk mengejar nilai dan ijazah. Standar memang perlu, tapi jangan sampai standar itu membuat santri melupakan life skill (keahlian hidup) yang mereka punyai," jelas Komaruddin yang juga lulusan pesantren modern Pabelan, Magelang dan Al-Iman, Muntilan.

Karakter lain adalah kediktatoran kiyai dalam mengajar. "Ini juga perlu karena anak dalam usia belajar harus dibentuk kebiasaannya," katanya.

Meski pesantren terlambat mengadopsi teknologi, namun ia melihatnya sebagai sebuah keuntungan karena bisa mencegah ketergantungan santri akan internet. Bagaimanapun, penggunaan internet dalam keseharian akan menghilangkan kemampuan emosional, komunikasi, dan sosialisasi anak. Jika ingin menerapkannya dalam proses belajar mengajar, maka harus ada pendampingan agar santri punya teman berdiskusi.

Hal yang serupa juga dikatakan Bahruddin, aktivis pendidikan dan pengasuh SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah di Salatiga, Jawa Tengah. Selama ini, pesantren sudah menjadikan lingkungannya sebagai tempat pembelajaran. "Kalau Depdiknas baru tetapkan itu di KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), justru pesantren sudah lakukan sejak lama," katanya.

Anehnya, selama ini banyak pesantren yang terjebak pada sistem pendidikan sekolah, dengan membuka Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah. "Santri jangan terlalu banyak hafalan, seperti di sekolah umum. Tapi biarkan mereka membaca realitas yang ada di daerah mereka."

Sementara itu, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan bahwa ada perbedaan dalam memandang proses belajar dalam Islam dan negara. Islam, katanya, memandang belajar sebagai kewajiban yang harus dilakukan setiap muslim, tanpa batasan usia. Sedang negara, dalam undang-undang, menetapkan belajar sebagai sebuah hak bagi warga negara yang berada pada usia sekolah dan kuliah.

"Maka itu, bagi setiap muslim, setiap hal dalam hidup bisa menjadi bahan pembelajaran. Tak heran kalau santri terus belajar, tak menuntut gedung sekolah harus bagus," ujar Mendiknas.

**Dimuat di Jurnal Nasional, Rabu 9 April 2008

Nyantri Melalui Dunia Maya

Pesantren tak perlu mendebatkan lagi teknologi informasi itu halal atau haram.

Kemajuan teknologi telah menghilangkan batasan jarak, baik itu geografis, waktu, ataupun sosial budaya. Teknologi juga dapat mempermudah masyarakat mengakses kebebutuhan informasi dan ilmu pengetahuan.

Menyediakan pendidikan bagi semua orang bukanlah suatu hal yang mustahil
dilkukan hari ini. Internet dan Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) lainnya memungkinkan warga menjangkau pendidikan, misalnya dengan mengunduh materi pembelajaran di internet atau belajar jarak jauh. Selain itu, teknologi juga penting untuk mendukung proses transformasi masyarakat. Menurut Menteri Komunikasi dan Informasi Mohammad M Nuh transformasi adalah hal yang multlak karena ilmu pengetahuan terus berkembang.

"Tapi transformasi bukanlah asal berubah, diperlukan suatu wisdom (kearifan) yang mendasarinya. Dan pesantren adalah salah satu bagian dari masyarakat yang memiliki wisdom tersebut, yaitu keikhlasan," kata M. Nuh saat membuka seminar tentang Pendidikan Open, Distance, dan E-Learning (ODEL) untuk Transformasi Masyarakat Islam Melalui Pesantren, Senin (7/4), di Jakarta.

Ia juga menyarankan agar pesantren tak mendebatkan lagi apakah teknologi informasi komunikasi itu haram atau halal. "Teknologi hanyalah metode teknis, yang peting substansinya tetap transformasi," ujarnya.

Sebanyak delapan pesantren berpartisipasi dalam program pendidikan ODEL yang diadakan Ford Foundation dan Internasional Center for Islam and Pluralism (ICIP) sejak Juni tahun lalu. Sebagian dari pesantren tersebut dipilih karena angka kemiskinan di daerahnya tinggi serta angka partisipasi sekolah dan indeks pembangunan manusia yang rendah. Beberapa pesantren tersebut di antaranya Hasyim Asya'ari di Jepara, Raudhatul Falah di Rembang, Al Kenaniyah di Jakarta Timur, Annizamiyyah di Pandeglang, Miftahul Huda A Musri' di Cianjur, dan Al Mizan di Majalengka.

Program ini menyediakan perangkat keras TIK, materi dan strategi pembelajaran, serta mengembangkan learning management sistem dan website www.pesantrenglobal.com. Selain itu, program ini juga mengadakan pendidikan kesetaraan paket B dan C, keterampilan, dan pendidikan kewarganegaraan. Pesertanya bisa dari santri atau masyarakat sekitar pondok pesantren yang belum mengikuti pendidikan konvensional.

Direktur Eksekutif ICIP M Syafi'i Anwar mengatakan bahwa ODEL bertujuan untuk meningkatkan jumlah lulusan sekolah menengah, dan mendukung transformasi komunitas Muslim. "Jika pesantren dekat dengan ICT, kami harap mereka akan memberi pencerahan bagi masyarakat dan perdaban islam," jelas Syafi'i.

Masalah izin

Menurut Deputi Direktur ICIP M Syafiq hasyim, ia menargetkan sekitar 1800 santri sudah mengikuti pendidikan kesetaraan dan mendapat sertifikat. Sayangnya masih banyak kendala di lapangan yang berasal dari Dinas Pendidikan setempat. Sebagai contoh, sulitnya perijinan untuk mendirikan komunitas belajar meski pesantren yang bersangkutan sudah memenuhi syarat.

"Santri juga sering tak bisa ikut ujian kesetaraan karena biaya yang mahal. Peraturan Depdiknas, biayanya cuma Rp65 ribu, tapi ternyata ada yang mencapai Rp2 juta karena mengikuti ketentuan Dinas Pendidikan," katanya.

Ia juga menilai bahwa sumber daya dan infrastruktur yang ada di pesantren
sudah cukup siap menerima perubahan teknologi. "Masalah yang timbul justru yang tak terlihat seperti tak biaya untuk membayar tagihan listrik yang membengkak," katanya.

Sementara itu, Undang Sumantri, dari Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Departemen Agama, mengatakan bahwa jumlah pesantren yang telah menerapkan Wajar Dikdas sebanyak 3.902. Lalu, pesantren yang sudah menjalankan kegiatan perdagangan sebanyak 33,5%, agribisnis 49,2%, industri kecil 37,7% dan bisnis layanan 28,3%.

Untuk memulai penerapan sistem belajar jarak jauh di ponpes, haruslah menempatkan pesantren sebagai subjek. Artinya, kiyai, sebagai pemimpin utama ponpes dapat menentukan dan memilih sistem pembelajaran sesuai kebutuhan lokal. Pada prinsipnya harus mengembangkan masyarakat. Jadi, membidik pengguna program sesuai dengan kesiapan mereka, budaya, kondisi sosial ekonomi, dan pemahaman agama. "Yang tak kalah penting, program tersebut jangan sampai menghilangkan tradisi yang ada di ponpes," ujar Undang.

ps: dimuat di Jurnal Nasional 9 April 2008