Tuesday, June 24, 2008

Nyantri Melalui Dunia Maya

Pesantren tak perlu mendebatkan lagi teknologi informasi itu halal atau haram.

Kemajuan teknologi telah menghilangkan batasan jarak, baik itu geografis, waktu, ataupun sosial budaya. Teknologi juga dapat mempermudah masyarakat mengakses kebebutuhan informasi dan ilmu pengetahuan.

Menyediakan pendidikan bagi semua orang bukanlah suatu hal yang mustahil
dilkukan hari ini. Internet dan Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) lainnya memungkinkan warga menjangkau pendidikan, misalnya dengan mengunduh materi pembelajaran di internet atau belajar jarak jauh. Selain itu, teknologi juga penting untuk mendukung proses transformasi masyarakat. Menurut Menteri Komunikasi dan Informasi Mohammad M Nuh transformasi adalah hal yang multlak karena ilmu pengetahuan terus berkembang.

"Tapi transformasi bukanlah asal berubah, diperlukan suatu wisdom (kearifan) yang mendasarinya. Dan pesantren adalah salah satu bagian dari masyarakat yang memiliki wisdom tersebut, yaitu keikhlasan," kata M. Nuh saat membuka seminar tentang Pendidikan Open, Distance, dan E-Learning (ODEL) untuk Transformasi Masyarakat Islam Melalui Pesantren, Senin (7/4), di Jakarta.

Ia juga menyarankan agar pesantren tak mendebatkan lagi apakah teknologi informasi komunikasi itu haram atau halal. "Teknologi hanyalah metode teknis, yang peting substansinya tetap transformasi," ujarnya.

Sebanyak delapan pesantren berpartisipasi dalam program pendidikan ODEL yang diadakan Ford Foundation dan Internasional Center for Islam and Pluralism (ICIP) sejak Juni tahun lalu. Sebagian dari pesantren tersebut dipilih karena angka kemiskinan di daerahnya tinggi serta angka partisipasi sekolah dan indeks pembangunan manusia yang rendah. Beberapa pesantren tersebut di antaranya Hasyim Asya'ari di Jepara, Raudhatul Falah di Rembang, Al Kenaniyah di Jakarta Timur, Annizamiyyah di Pandeglang, Miftahul Huda A Musri' di Cianjur, dan Al Mizan di Majalengka.

Program ini menyediakan perangkat keras TIK, materi dan strategi pembelajaran, serta mengembangkan learning management sistem dan website www.pesantrenglobal.com. Selain itu, program ini juga mengadakan pendidikan kesetaraan paket B dan C, keterampilan, dan pendidikan kewarganegaraan. Pesertanya bisa dari santri atau masyarakat sekitar pondok pesantren yang belum mengikuti pendidikan konvensional.

Direktur Eksekutif ICIP M Syafi'i Anwar mengatakan bahwa ODEL bertujuan untuk meningkatkan jumlah lulusan sekolah menengah, dan mendukung transformasi komunitas Muslim. "Jika pesantren dekat dengan ICT, kami harap mereka akan memberi pencerahan bagi masyarakat dan perdaban islam," jelas Syafi'i.

Masalah izin

Menurut Deputi Direktur ICIP M Syafiq hasyim, ia menargetkan sekitar 1800 santri sudah mengikuti pendidikan kesetaraan dan mendapat sertifikat. Sayangnya masih banyak kendala di lapangan yang berasal dari Dinas Pendidikan setempat. Sebagai contoh, sulitnya perijinan untuk mendirikan komunitas belajar meski pesantren yang bersangkutan sudah memenuhi syarat.

"Santri juga sering tak bisa ikut ujian kesetaraan karena biaya yang mahal. Peraturan Depdiknas, biayanya cuma Rp65 ribu, tapi ternyata ada yang mencapai Rp2 juta karena mengikuti ketentuan Dinas Pendidikan," katanya.

Ia juga menilai bahwa sumber daya dan infrastruktur yang ada di pesantren
sudah cukup siap menerima perubahan teknologi. "Masalah yang timbul justru yang tak terlihat seperti tak biaya untuk membayar tagihan listrik yang membengkak," katanya.

Sementara itu, Undang Sumantri, dari Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Departemen Agama, mengatakan bahwa jumlah pesantren yang telah menerapkan Wajar Dikdas sebanyak 3.902. Lalu, pesantren yang sudah menjalankan kegiatan perdagangan sebanyak 33,5%, agribisnis 49,2%, industri kecil 37,7% dan bisnis layanan 28,3%.

Untuk memulai penerapan sistem belajar jarak jauh di ponpes, haruslah menempatkan pesantren sebagai subjek. Artinya, kiyai, sebagai pemimpin utama ponpes dapat menentukan dan memilih sistem pembelajaran sesuai kebutuhan lokal. Pada prinsipnya harus mengembangkan masyarakat. Jadi, membidik pengguna program sesuai dengan kesiapan mereka, budaya, kondisi sosial ekonomi, dan pemahaman agama. "Yang tak kalah penting, program tersebut jangan sampai menghilangkan tradisi yang ada di ponpes," ujar Undang.

ps: dimuat di Jurnal Nasional 9 April 2008

No comments: