Tuesday, June 24, 2008

Pesantren Jangan Kehilangan Akar Budaya

Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua dalam sejarah bangsa Indonesia. Pesantren berkontribusi besar dalam mengembangkan watak, karakter, dan moral santri serta anak didiknya dalam masyarakat.

Selain itu, pesantren mampu menjadi agen perubahan sosial dalam pembangunan masyarakat. Hal tersebut semata-mata karena kedekatannya dengan masyarakat akar rumput.

Menurut Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Komaruddin Hidayat, ada dua kekuatan besar yang dimiliki pesantren. Pertama adalah budaya khas yang selalu ditransfer dan dijaga. Hal ini tak ditemui pada sekolah umum yang hanya berfungsi sebagai tempat transfer ilmu pengetahuan.

Kedua, stuktur atau karakter yang dibentuk oleh kiyai, sesuai kapsitas mereka. Dalam belajar, biasanya kiyai tak mengajar santri untuk mengejar nilai, tapi lebih kepada mendapatkan ilmu.

"Saya maklum jika ada pesantren yang menolak UAN (Ujian Akhir Nasional). Sebenarnya bukan UAN-nya yang mereka tolak, tapi UAN itu membuat mereka untuk mengejar nilai dan ijazah. Standar memang perlu, tapi jangan sampai standar itu membuat santri melupakan life skill (keahlian hidup) yang mereka punyai," jelas Komaruddin yang juga lulusan pesantren modern Pabelan, Magelang dan Al-Iman, Muntilan.

Karakter lain adalah kediktatoran kiyai dalam mengajar. "Ini juga perlu karena anak dalam usia belajar harus dibentuk kebiasaannya," katanya.

Meski pesantren terlambat mengadopsi teknologi, namun ia melihatnya sebagai sebuah keuntungan karena bisa mencegah ketergantungan santri akan internet. Bagaimanapun, penggunaan internet dalam keseharian akan menghilangkan kemampuan emosional, komunikasi, dan sosialisasi anak. Jika ingin menerapkannya dalam proses belajar mengajar, maka harus ada pendampingan agar santri punya teman berdiskusi.

Hal yang serupa juga dikatakan Bahruddin, aktivis pendidikan dan pengasuh SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah di Salatiga, Jawa Tengah. Selama ini, pesantren sudah menjadikan lingkungannya sebagai tempat pembelajaran. "Kalau Depdiknas baru tetapkan itu di KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), justru pesantren sudah lakukan sejak lama," katanya.

Anehnya, selama ini banyak pesantren yang terjebak pada sistem pendidikan sekolah, dengan membuka Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah. "Santri jangan terlalu banyak hafalan, seperti di sekolah umum. Tapi biarkan mereka membaca realitas yang ada di daerah mereka."

Sementara itu, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan bahwa ada perbedaan dalam memandang proses belajar dalam Islam dan negara. Islam, katanya, memandang belajar sebagai kewajiban yang harus dilakukan setiap muslim, tanpa batasan usia. Sedang negara, dalam undang-undang, menetapkan belajar sebagai sebuah hak bagi warga negara yang berada pada usia sekolah dan kuliah.

"Maka itu, bagi setiap muslim, setiap hal dalam hidup bisa menjadi bahan pembelajaran. Tak heran kalau santri terus belajar, tak menuntut gedung sekolah harus bagus," ujar Mendiknas.

**Dimuat di Jurnal Nasional, Rabu 9 April 2008

No comments: