Tuesday, June 24, 2008

Cemburu karena UN

Ujian Nasional (UN) tak hanya membuat beban belajar siswa semakin banyak ataupun orangtua mereka panik. UN juga membuat sebagian guru merasa terpinggirkan oleh sistem yang ada di sekolah. Persaan tersebut dialami guru-guru yang mengajar mata pelajaran yang tidak diujikan, seperti PPKn, agama, sejarah, muatan lokal, olahraga, atau kesenian.

Pasalnya, pihak sekolah lebih fokus mempersiapkan siswa menghadapi UN dengan mengadakan pelajaran tambahan. Sekolah seakan pilih kasih memberi honor tambahan pada guru-guru yang terlibat atau seenaknya menghilangkan mata pelajaran di luar UN.

Sebagai contoh, SD Malaka Sari 04 Pagi mengantisipasi UN dengan mengadakan pendalaman materi. Menurut guru kelas VI di sana, Usman, Spd, tak jarang ia mengisi jam pelajaran lain dengan mata pelajaran IPA atau Matematika.

"Mata pelajaran yang sekiranya bisa ditunda, seperti muatan lokal, akan kita tunda. Kalau mata pelajaran yang sifatnya muatan lokal itu kan bisa dipelajari dalam kehidupan sehari-hari, tapi kalau IPA atau sains kan butuh pemahaman dan pengertian," katanya.

Menurut Guru Bimbingan Konseling di SMPN 98 Lenteng Agung Jakarta Selatan Yahya Siregar, dipilihnya beberapa bidang studi yang di-UN-kan tersebut menimbulkan kecemburuan diantara para guru bidang studi. Guru yang mengajar bidang studi yang diuji tersebut merasa dirinya lebih tinggi dibandingkan dengan guru yang mengajar bidang studi yang tidak diuji.

"Selain perbedaan psikologis, juga guru yang mengajar bidang studi yang diuji tersebut juga tentu mendapat honorarium. Jadi, Ujian Nasional menciptakan diskriminasi diatara para guru," ujarnya.

Arfani, Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Tambelan, Bintan, Kepulauan Riau, juga melihat adanya kondisi tersebut. Hanya saja, belum ada guru yang berani menyampaikannya secara terang-terangan. Ia pun berusaha agar porsi setiap mata pelajaran tetap sama.

"Kalau mata pelajaran UN kami beri tambahan waktu di sore hari, mata pelajaran lain juga kami tambah atau tidak dihilangkan," katanya saat dihubungi Jurnal Nasional.

Sementara itu, Tatang Suratno dari program pendidikan guru Sekolah Dasar Universitas Pendidikan Indonesia, mengatakan bahwa pada dasarnya, beban dan taggung jawab guru adalah sama. Akan tetapi, UN sudah mengubah beban dan tanggung jawab tersebut, bahkan hingga pada pendapatan dan nilai yang diperoleh guru.

Ada tiga tugas mendasar yang dimiliki oleh setiap guru, yakni mengajar dan mendidik, memberi penilaian hasil belajar, dan membimbing siswa.

"Jika ada yang merasa seperti itu, baiknya menyadari kembali tugas mereka dan fokus ke sana. Tak usah pusing jika mata pelajaran tidak diujikan, guru masih bisa berperan penting dalam memotivasi siswa atau membuat pelajaran menjadi menarik," jelas Tatang yang juga aktif sebagai konsultan di Sampoerna Foundation Teacher Institute.

Selain itu, sekolah juga harus menetapkan batasan yang adil dan menciptakan kultur yang seimbang. "Agar siswa tak hanya melihat UN sebagai satu-satunya faktor penentu kelulusan. Masih ada penilaian tentang perilaku mereka. bagaimanapun tak semua siswa menguasasi mata pelajaran UN," ujarnya.

Hal serupa dikatakan Yahya. "Masak gara-gara beberapa bidang studi yang di-UN-kan itu siswa divonis tidak lulus." Kalau mau fair, ujarnya, bidang studi yang diujikan meliputi seluruh bidang studi yang didapatkan siswa selama masa pendidikan.

Lalu, Yahya juga memandang perlunya perbedaan bobot soal UN pada siswa kelas regular dan kelas unggulan. Sedari awal, mereka diberi bobot materi yang berbeda. Maka itu, akan tak adil jika bobot soalnya sama.

Menurutnya, siswa kelas unggul memiliki kemampuan di atas rata-rata dan memiliki perlakuan yang istimewa dibandingkan siswa kelas biasa. Karena itu, seharusnya, bobot bidang studi yang diuji untuk siswa dari kelas unggul berbeda dengan siswa dari kelas biasa. "Pemerintah harus konsisten dari awal hingga akhir. Jangan awalnya saja yang dibedakan, sedangkan pada saat akhir (UN) bidang studinya sama," ujarnya.

Walau terletak di tempat strategis dan di pinggir jalan raya, SMPN 98 Lenteng Agung ini cukup lengang. Siswa kelas III SMP tampak serius di kelas mempersiapkan diri menghadapi Ujian Nasional. Ditemui pada saat istirahat, Dwiki, salah seorang siswa kelas III mengatakan, kalau ia serius menghadapi ujian. "Saya terpaksa mengurangi waktu bermain saya," ujarnya.

Menurut Yahya, para siswa kelas III sudah dipersiapkan menghadapi ujian sejak sebulan lalu. Empat hari seminggu, yakni hari Senin, Selasa, Rabu dan Kamis, siswa mengadakan try out. Pelatihan itu dilaksanakan setelah jam sekolah usai, yakni mulai pukul 12.30-14.30. Namun, saking seriusnya melakukan persiapan, Dwiki bahkan tidak tahu (atau lupa) tanggal ujian nasional untuk jenjang SMP. "Saya tidak tahu," ujarnya sambil bergegas menuju ruangan kelas.

** Dimuat di Jurnal Nasional, Kamis, 10 April 2008

No comments: