Monday, May 28, 2007

Menyoal Peran BUMN dalam Pemberdayaan MasyarakatJakarta

Kamis, 26 April 2007

SEJATINYA kemiskinan yang terjadi di Indonesia bisa dikurangi dengan pemberdayaan masyarakat. Peran ini tak hanya diambil oleh lembaga swadaya masyarakat, tapi juga dapat dilakukan oleh perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta.

Salah satu caranya melalui program tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR).Khusus BUMN, CSR dilakukan melalui Program Kemitraan Bina ingkungan (PKBL).

Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, disebutkan tujuan BUMN tak hanya mencari keuntungan tapi juga memberi bantuan dan bimbingan kepada masyarakat. Adapun program PBKL ditujukan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat khususnya masyarakat yang berdomisili di sekitar perusahaan BUMN itu berada.

"Kami menganggap program ini penting. Bagaimanapun kelangsungan usaha BUMN tergantung pada disparitas antara perusahaan dengan masyarakat. Kalau ingin perusahaan tidak terganggu, maka disparitas itu harus dikurangi," urai Menteri Negara BUMN, Sugiharto, Selasa (24/4), usai memberikan paparan dalam konferensi CSR Indonesia 2007 di Jakarta.

Menurut Sugiharto, dalam Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor 236 tahun 2003 telah diatur setiap BUMN harus menyisihkan laba yang mereka dapatkan untuk PBKL. Jumlah yang harus disisihkan untuk Program Kemitraan sekitar 1-3 persen dari laba bersih dan maksimal 3 persen untuk Program Bina Lingkungan.

Pada Program Kemitraan, dana disalurkan dalam tiga bentuk. Pertama, dalam bentuk pinjaman untuk modal kerja atau pembelian alat produksi. Kedua, dalam bentuk pinjaman khusus untuk membiayai kegiatan usaha atau meningkatkan penjualan. Ketiga, dana berbentuk hibah yang digunakan untuk pembinaan dan pelatihan mitra.

"Hal ini sudah dilakukan sejak tahun 1989. Sepanjang sejarah, BUMN sudah menyalurkan Rp3,796 triliun kepada sekitar 427 ribu mitra binaan," kata Sugiharto.

Tahun lalu saja, 20 ribu unit usaha telah mendapatkan bantuan modal kerja melalui program ini. Jumlah dananya sebesar Rp456,9 miliar.

"Jumlah itu akan terus meningkat karena keuntungan BUMN juga meningkat tajam," tegas Sugiharto.

Distribusi dana tersebut sebanyak 33,4 persen di sektor perdagangan, 20,2 persen di sektor industri, 19,5 persen untuk sektor jasa, 6,4 persen untuk sektor pertanian, 6,1 persen untuk sektor perikanan dan peternakan, serta sisanya untuk sektor lain.

"Memang yang paling besar disalurkan ke sektor perdagangan dan industri karena bidang ini yang paling efektif untuk meningkatkan kesejahteraan," terang Sugiharto.

Ia mengakui tingkat pengembalian non-performing loan (NPL) dana tersebut berada di atas rata-rata nasional untuk pinjaman perusahaan kecil dan mikro.

"NPL-nya sekitar 15 persen. Sebagian besar mitra kita kan tidak bankable. Karena itu tingkat resikonya juga lebih tinggi. Tingkat bunga untuk PKBL juga sangat rendah sekitar 6-10 persen. Tapi akan kami turunkan lagi seiring turunkan BI rate (suku bungan Bank Indonesia)"Sugiharto menjelaskan, hambatan yang terjadi untuk pengembalian kredit, disebabkan oleh tiga hal.

Pertama, adanya persepsi dana PKBL dana pemerintah. Kedua, adanya aturan yang kurang tegas untuk PKBL sebab BUMN juga dibebankan fungsi mencari profit. Ketiga, adanya bencana alam, seperti yang terjadi di Aceh dan Yogyakarta.

"Saat terjadi gempa di Yogya, banyak pengrajin yang kena. Karena itu kami harus tahu diri juga, apakah dana itu direstrukturisasi atau di lay off. Saya kira kedua kemungkinan itu dimungkinkan," paparnya.

Pada Program Bina Lingkungan, Sugiharto berencana melakukan ekspansi penyaluran dana. Saat ini, bentuk bantuan masih sebatas bantuan korban bencana alam, pembangunana fasilitas pendidikan dan pelatihan masyarakat, fasilitas kesehatan dan sarana umum, serta beasiswa bagi masyarakat tak mampu di sekitar wilayah BUMN.

"Nantinya, akan kami perluas, seperti pembangunan sarana olahraga atau yang lainnya," ujar Sugiharto.

Realisasi penyaluran dana PKBL sepanjang 2006 sebesar Rp723,724 miliar. Rinciannya, sebesar Rp78,58 miliar untuk korban bencana alam, Rp237,803 miliar untuk pendidikan dan pelatihan masyarakat, Rp210 miliar untuk sarana umum, Rp118 miliar untuk sarana ibadah, Rp69 miliar untuk peningkatan kesehatan, dan Rp9 miliar untuk bidang lain.

Saat ini, katanya, Kementerian BUMN sedang menyusun aturan dana Program Bina Lingkungan agar tidak tumpang tindih.

"Jumlahnya maksimal 30 persen dari dana Program Bina Lingkungan. Dana itu nantinya bisa kita salurkan jika ada bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, atau bahkan luapan lumpur. Kalau sudah sentralisasi, bisa dibuat semacam posko-posko BUMN di lokasi bencama itu,"

Terkait hal itu, Ketua Yayasan Bina Swadaya, Bambang Ismawan menanggapi positif pelaksanaan CSR oleh BUMN. Hanya saja terkadang apa yang mereka lakukan tak sebanding dengan dampak kerusakan lingkungan akibat beroperasinya perusahaan itu.

"Supaya wajah mereka dalam memperlakukan lingkungan tidak buruk, maka dirias dengan CSR," katanya.

Seharusnya, kata dia, CSR tak hanya sebatas kegiatan Public Realtion (PR) tapi sudah menjadi panggilan etik suatu perusahaan. Kalau memang suatu perusahaan bersikap profesional, seharusnya mereka peduli dengan lingkungan, baik itu lingkungan hidup maupun sosial.

Menurut Humas PT Permodalan Nasional Madani (PNM), Asri Al Jufri, pihaknya sering membantu pelaksanaan program CSR perusahaan tambang, seperti Prima Coal, Newmont, hingga PT Pertamina.

Sebenarnya, jika melihat dampak lingkungan yang disebabkan oleh perusahaan pertambangan, nilainya tidak sebanding. "Bagaimanapun kerusakan lingkungan itu kan tidak ternilai. Namun, paling tidak sudah ada perubahan pola dalam program CSR yang mereka kerjakan," ujarnya.

Dulu, perusahaan pertambangan lebih sering melakukan CSR dalam bentuk pemberian uang tunai kepada masyarakat sekitar. Hal itu, kata Asri, bisa membawa dampak yang kurang baik karena ada kemungkinan pembagian yang tidak merata.

"Mereka mau gampangnya saja, ingin yang bersifat seremonial, dihadiri bupati dan diliput media massa. Padahal masyarakat butuh diberdayakan," tegas Asri.

Saat ini, beberapa perusahaan yang sudah bekerja sama dengan PNM sudah memikirkan kepentingan jangka panjang masyarakat di sekitar perusahaan. Salah satunya dengan membuat Lembaga Keuangan Mikro (LKM) seperti koperasi. Di wadah tersebut, masyarakat tak hanya diberi pinjaman modal tapi juga dilakukan pemberdayaan.

"Ada mitra PNM di Kalimantan yang melakukan pelatihan penanaman pada masyarakat sekitar tambang. Mereka bahkan didatangkan ke Bandung untuk pelatihan itu. Nantinya, mereka juga mendapat bantuan permodalan," terang Asri.

Sementara Humas PT Pertamina Toharso menambahkan, pihaknya menghitung tingkat kerusakan yang ditimbulkan dan tingkat kebutuhan masyarakat.

"Sifat pertambangan yang dilakukan Pertamina berbeda dengan pertambangan lain. Selama 50 tahun kami beroperasi, Pertamina selalu memperhatikan masalah lingkungan dan kebutuhan masyarakat di sekitarnya," ujarnya membela.

Dia mencontohkan, di daerah Balongan pihaknya menyediakan tanah di sekitar kilang minyak untuk digarap masyarakat. "Bahkan kami memberi bantuan permodalan dan pemasaran. Hal yang kurang lebih sama juga kami lakukan di daerah lain," imbuhnya.

Contoh lain, Pertamina juga turut menanami kembali hutan bakau yang ada di wilayah Jakarta Utara. Selain itu, saat pipa Pertamina meledak di Porong, pihaknya juga memberi bantuan beasiswa mulai TK hingga perguruan tinggi pada 23 anak.(Ika)



9 Pertanyaan buat Sofyan Djalil


Jakarta Jurnal Nasional
Senin, 14 Mei 2007

PENGUNJUNG kantin yang ada di lobi kantor Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mendadak riuh. Pasalnya, "bos baru" di kantor tersebut tanpa sungkan memutuskan untuk makan siang di sana.

Beberapa orang bahkan terlihat mengabadikan momen itu dengan kamera yang ada di telepon seluler mereka. "Jarang-jarang ngeliat menteri ngantri buat beli makanan prasmanan," ujar salah seorang pengunjung kantin.

Rupanya, tak hanya mereka yang mendapat kejutan siang itu. Sesaat sebelumnya, Sofyan A Djalil juga menawarkan diri untuk menjadi khatib salat Jumat di mesjid kompleks gedung Kementrian BUMN.

Saat dimintai komentarnya oleh wartawan karena menjadi khatib dadakan, ia pun menanggapinya sambil berkelakar. "Kompetensi utama saya sebenarnya di sini, memberi khotbah. Kalau jadi menteri sebenarnya hanya hobi saja, hahaha..., " kata lelaki kelahiran Perlak, Nanggroe Aceh Darussalam, 53 tahun lalu itu.

Sofyan yang juga mantan Menteri Komunikasi dan Informasi itu juga mengaku sudah terbiasa menjadi khatib di kantor lamanya. "Pokoknya kalau tidak ada khatib, saya yang biasa khotbah."

Lalu, bagaimana rencana Sofyan ke depan untuk 139 BUMN yang dipimpinnya? Berikut petikan wawancara Jurnal Nasional yang berlangsung di kantin kantor BUMN.

Sebagai "supermanajer" karena harus menangani banyak BUMN dengan bidang yang berlainan, apa rencana ke depan?

Pada dasarnya, semua masih saya pelajari. Tunggulah paling tidak dua minggu lagi. Nanti, saya akan melapor ke Presiden dan Wakil Presiden. Lalu kami juga akan adakan rapat kabinet.

Namun pada prinsipnya, segala proses bisnis yang bisa dipercepat harus dilakukan, selama itu masih sesuai dengan koridor good corporate governance (GCG atau tatakelola pemerintahan yang baik). Karena dalam prinsip GCG, tidak ada konflik kepentingan, sesuai dengan good faith (itikad baik), dan tender yang sesuai aturan.

Kalau sudah gitu, tinggal teken saja kan bisa. Pokoknya, kantor ini harus mendorong semua kinerja BUMN secepat mungkin. Kalau bisa cepat kenapa harus ditunda? Toh yang bertanggungjawab itu kan BUMN itu sendiri.

Negara kita ini begitu besar dan kekayaannya luar biasa. Hanya saja saya melihat selama ini kurang kapitalisasi. Karena itu, kita butuh lebih banyak perusahaan. Tentunya yang memberikan nilai tambah.

Bahkan, saya pikir, sekolah kita pun harus diubah kurikulumnya agar lebih banyak menghasilkan entrepreneur (pengusaha). Bukan cuma memproduksi pegawai negeri atau wartawan, hahaha...

Bagaimana dengan rencana sejumlah BUMN yang akan masuk ke pasar modal?

Intinya saya tetap ingin mempercepat proses. Biasanya perusahaan membuat sendiri surat-suratnya lalu dikirim ke Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Setelah itu, Bapepam akan melihat apakah ada kekurangan. Kalau ternyata ada yang kurang, maka akan dilakukan surat menyurat lagi.

Nah, semua kan bisa tertunda karena proses seperti itu. Karena itu, mereka sebaiknya langsung bertemu saja. Semisal ada tim IPO (initial public offering atau penawaran saham perdana) suatu BUMN. Tim ini bisa langsung ketemu Bapepam untuk melihat apakah semuanya sudah lengkap atau belum. Jadi bisa lebih cepat.

Kalau rencana IPO Jasa Marga bagaimana?

Saya targetkan minggu ketiga bulan Juni sudah bisa. Paling lambat bulan Juli, soalnya Agustus pasar libur karena di Eropa juga sedang musim libur. Ada pun penjamin emisinya adalah PT Bahana Sekuritas dan PT Danareksa Sekuritas. Keduanya telah memenuhi prinsip GCG.

Penunjukan penjamin emisi melalui konsorsium, setelah itu dishortlist hingga tinggal dua konsorsium saja. Keduanya juga sudah disetujui DPR. Kita perlu proses segera karena pasar lagi luar biasa bagus sekarang. Lihat saja, rupiah sudah begitu menguat, dana-dana masuk ke Indonesia, pasar saham luar biasa tinggi.

Karena itu, saya tekankan untuk tempa besi selagi panas.

Sejumlah posisi direksi BUMN kini sedang kosong, apa yang akan Anda lakukan?

Mudah-mudahan dalam satu bulan ini selesai. Selama ini pergantian direksi ada yang tertunda dua sampai tiga tahun, bahkan ada yang kosong. Padahal posisi-posisi itu harus diisi segera.

Untuk pemilihan orang-orangnya, tentu ada berbagai proses. Namun, poin utama adalah kompetensi dan integritas direksi tersebut. Selain itu, direksi juga harus mengerti tentang masalah keuangan. Kalau selama ini ada anggapan direksi BUMN kurang yang berasal dari "orang finance", maka akan kami perbaiki, baik dengan pelatihan maupun hal lainnya.

Dari tadi Anda ingin mempercepat semua proses. Apa menteri terdahulu kurang cepat?

Hahaha...

Janganlah mengadu saya dengan Pak Sugiharto (Menteri BUMN sebelum ini). Beliau itu kinerjanya bagus. Prinsip saya, semuanya harus segera diputuskan. Soalnya, keputusan yang terlambat lebih mahal daripada tidak membuat keputusan. Bahkan, keputusan yang terlambat itu lebih mahal daripada bikin keputusan yang salah.

Mengapa selama ini BUMN selalu diguncang oleh Serikat Pekerja (SP)?

Ya, itulah. Kesalahan kita adalah menandatangai semua perjanjian ILO (International Labour Organization). Saat itu saya rasa kita terlalu gagah berani, padahal negara lain tak seperti itu.

Apa yang Anda lakukan untuk menjaga kesehatan?

Saya sih senangnya main golf, bukan main golok lho, hahaha... Selain itu, saya juga rutin jogging di rumah. Ada beberapa peralatan untuk itu di rumah saya. Lagipula, jogging itu paling simple. Biasanya saya rutin dua hari sekali, setiap kali sekitar tiga puluh menit.

Apa yang Anda lakukan kalau ada waktu luang?

Paling-paling membaca. Saya senang membaca berita ekonomi. Saya juga senang membaca buku. Buku favorit saya berjudul The World is Flat (karangan Thomas L Friedman).

Pasalnya, dalam buku itu dapat dipelajari tentang bagaimana bangsa ini bisa berkompetisi dalam persaingan global. Kita mau jadi the winner or the looser (sang juara atau sang pecundang)? Nah, yang harus kita perhatikan adalah agar bangsa ini bisa cepat bergerak.

Saya ingin BUMN ini lari. Saya sudah mengatakan ke mereka (BUMN) bahwa kantor saya ini akan membantu Anda berlari. Kalau kami tidak bisa membantu mereka, tentu kami tak akan mengganggu. Semua keputusan harus dibuat oleh BUMN, kami hanya memberikan pendapat saja. Karena toh kalau ada apa-apa yang masuk penjara mereka juga.

Selain itu, saya juga sudah mengatakan bahwa yang menggerakkan sektor riil adalah BUMN. Jadi, kami meminta mereka agar betul-betul proaktif menggerakkan sektor riil, jangan cuma taruh uang di Bank Indonesia atau SBI. Lebih beranilah sedikit, tapi tentunya dengan tetap menjaga prudential.

Lalu, apa prinsip hidup seorang Sofyan Djalil?

Di manapun saya berada, saya harus dapat memberikan nilai tambah. Kalau saya masuk kantor ini dalam keadaan buruk, maka kalau saya ke luar harus lebih baik dari waktu saya masuk. Hal yang sama juga berlaku untuk keluarga saya.
Kiat BUMN Keluar dari Krisis

Jakarta Jurnal Nasional

Senin, 28 Mei, 2007

RENCANA privatisasi perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sempat sepi di era kepemimpinan Sugiharto, kini mencuat lagi. Menteri Negara BUMN, Sofyan Jalil, serius melakukan privatisasi terhadap sejumlah perusahaan milik pemerintah.

Pengamat ekonomi Ichsanoodin Noersy mengatakan, privatisasi BUMN sebenarnya bukan barang baru. Hanya saja, dalam praktiknya menjadi sebuah proses penyingkiran peran pemerintah dalam penyediaan barang dan jasa publik. Dia menyebut privatisasi dengan istilah swastanisasi.

"Sebenarnya de-BUMN-isasi tak masalah selama dilakukan terhadap BUMN yang tidak berkaitan dengan barang dan jasa publik. Itu juga selama pembelinya dari kalangan domestik sehingga pivatisasi tidak sama dengan asingisasi," katanya kepada Jurnal Nasional kemarin.

Selama ini, kata dia, privatisasi ditujukan untuk mengatasi defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Jika pemerintah konsisten untuk membenahi modal BUMN, sebenarnya dapat dilakukan dengan restrukturisasi dan profitisasi.

Misalnya dengan revaluasi aset, restrukturisasi modal dan sumber daya perusahaan, kata dia, "Sehingga terbentuk modal yang lebih kuat."

Profitisasi dapat dilakukan dengan efisiensi biaya poduksi dan meningkatkan margin keuntungan. Tahun lalu ada 10 BUMN dengan laba terbesar dan hal ini merupakan bukti bahwa profitisasi bisa dilakukan.

"Tentu saja asal BUMN bebas dari korupsi dan tidak menjadi sapi perah politisi dan birokrasi," kata dia. Dia menyarankan pemerintah mengembalikan orientasi BUMN sesuai dengan mandat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 tentang pengelolaan kekayaan negara. "Itu kalau memang pemerintah mau meningkatkan peran BUMN," ujarnya.

Sebagaimana diketahui, BUMN didirikan dengan dua tujuan utama, yaitu tujuan yang bersifat ekonomi dan tujuan yang bersifat sosial. Dalam tujuan ekonomi, BUMN dimaksudkan untuk mengelola sektor-sektor bisnis strategis agar tidak dikuasai pihak-pihak tertentu. Tujuan sosial antara lain dapat dicapai melalui penciptaan lapangan kerja serta upaya untuk membangkitkan perekonomian lokal.

Hal senada dikatakan ekonom Universitas Gadjah Mada, Sri Adiningsih. Menurutnya, jika pemerintah ingin menjual saham BUMN, maka seharusnya mengutamakan investor domestik.

"Jangan lebih banyak ke investor asing karena mereka bisa seenaknya keluar masuk. Pemerintah harus memprioritaskan investor kecil karena pembeli domestik paling banyak di sana," ujarnya.

Dengan begitu, pemerintah tak hanya memperbaiki kinerja BUMN tapi juga dapat menghindarkan adanya kecurigaan. Pasalnya, lanjut Sri, sudah bukan rahasia umum jika BUMN sering disalahgunakan oleh berbagai kepentingan politik.

"Kecurigaan masyarakat terhadap BUMN sangat tinggi. BUMN kan juga tidak bersih. Untuk menghindari kecurigaan, maka segala proses privatisasi harus dilakukan dengan baik dan pemaparan yang jelas tentang hasil privatisasi tersebut," jelasnya.

Adapun untuk BUMN yang akan diprivatisasi, Sri menyarankan BUMN yang tidak strategis saja. "Jangan BUMN yang menguasasi hajat hidup orang banyak," dia menegaskan.

Akhir pekan lalu, Kementerian Negara BUMN menyatakan akan menambah 10 lagi BUMN yang akan diprivatisasi. Privatisasi dilakukan karena ke 10 perusahaan BUMN sedang butuh tambahan modal dan membaiknya kondisi pasar modal.

Menurut Sofyan, 10 BUMN tersebut akan diusulkan ke Komite Privatisasi menyusul 12 BUMN yang telah disetujui dan tiga BUMN lainnya yang juga telah disetujui DPR. Dalam program privatisasi 2007 ditetapkan BUMN yang akan didivestasi jumlahnya 15 perusahaan.

Sebelumnya pemerintah mengusulkan 17 BUMN tetapi dua BUMN ditunda, yaitu Krakatau Steel dan BTN. Dari 15 BUMN itu, tiga BUMN didivestasi dengan cara go public yaitu PT BNI Tbk., PT Wijaya Karya, dan PT Jasa Marga.

Lima BUMN melalui strategic sales dan go public yaitu PT Garuda Indonesia, PT Merpati Nusantara Airlines, PT Permodalan Nasional Madani (PNM), PT Industri Gelas (Iglas), dan PT Cambrics Primissima. Satu BUMN dengan kepemilikan saham mayoritas yaitu PT ISI akan dilikuidasi karena dalam kondisi tidak memungkinkan untuk diprivatisasi.

Sementara itu, enam BUMN akan dilepas seluruh kepemilikan saham pemerintah yaitu PT Jakarta International Hotel Development, PT Atmindo, PT Intirub, PT Prasadha Pamunah Limbah Industri, PT Kertas Blabak, dan PT Kertas Basuki Rahmat.

"Supply (penawaran) saham di pasar sangat sedikit sementara dana ada banyak. Kita sangat ingin secepatnya. Semakin banyak BUMN yang masuk pasar modal, semakin banyak saham yang ke pasar, maka tentu semakin baik," ujarnya.

Mekanisme yang mungkin ditempuh, kata Sofyan, adalah penawaran saham perdana atau IPO. Dia optimis saham BUMN akan diminati pasar. Pasalnya, perusahaan swasta pun, meski kecil, tapi bisa berhasil di perusahaan. "Apalagi BUMN adalah perusahaan yang yang sudah berpengalaman dan mempunyai track record (rekam jejak) yang baik" ujarnya.
(Ika Karlina Idris )
Perum Damri Hidup Segan Mati Tak Mau

Jakarta-Jurnal Nasional

SEPERTI halnya perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor jasa angkutan lainnya yang setiap tahun cenderung merugi, Perum Damri juga mengalami hal serupa. Bahkan kerugian itu ditaksir semakin membesar.

Anggota Dewan Pengawas Perum Damri, Suripno, mengatakan bahwa jumlah kerugian yang diderita perusahaan setiap tahun tak menunjukkan penyusutan. Setelah ditelisik penyebab kerugian terletak pada besarnya jumlah pegawai dibandingkan jumlah armada.

Sekadar perbandingan, kata dia, pada tahun 2005 jumlah karyawan berjumlah 6.529 orang sementara jumlah armada 1.698, kemudian akhir tahun lalu jumlah pegawai tercatat 6.185 orang dengan jumlah armada yang siap beroperasi sebanyak 1.200.

"Dari jumlah itu, komposisi pengemudi ada 37 persen atau sebanyak 2.344 orang di tahun 2006," katanya kepada Jurnal Nasional, Senin (29/1)

Adapun jumlah kondektur sebanyak 1.064 orang dan pegawai di bagian direksi serta administrasi sekitar sekitar 2.777 orang. Menurut Kepala Seksi Hukum, Humas dan Organisasi Perum Damri, Elizar, jumlah pegawai yang tidak seimbang dengan jumlah armada mengakibatkan adanya pegawai yang makan gaji buta alias tetap dibayar meski tidak bekerja.

Sebagai contoh, di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Medan hanya 15 bus yang beroperasi, padahal jumlah pengemudi tercatat 40 orang. Artinya ada 25 orang yang makan gaji buta. Lantas bagaimana cara mengatasinya? Cara mengatasinya, kata dia, dengan membagi waktu operasi dalam dua shift.

"Semula kan bus kami banyak, jadi hanya ada long shift. Tetapi karena sudah banyak yang rusak, makanya kami bikin jadi dua shift. Untuk kasus UPT Medan, kalau dihitung-hitung kan malah kekurangan sopir," papar Elizar.

Kendati demikian, Suripno tidak sependapat dengan komentar Elizar. Dia menegaskan, bahwa jumlah pegawai di Perum Damri terlalu tinggi dan sudah melampaui kapasitas perusahaan BUMN tersebut dalam membayar gaji. Karena itu, jalan keluarnya adalah dengan mengurangi jumlah pegawai. Sayangnya hal tersebut juga sulit dilakukan.

Bagaimanapun, pegawai yang diberhentikan harus diberi uang pesangon. "Tapi, aset yang dimilki Damri tidak cukup untuk bayar pesangon mereka. Karena itu pegawai tetap dipertahankan," kata Suripno yang juga menjabat sebagai Direktur Keselamatan Transportasi Darat Departemen Perhubungan.

Suripno menambahkan, penyakit lainnya adalah adanya pegawai meski sudah pensiun namun masih tetap bekerja. Akibatnya perusahaan tak punya uang untuk membayar pensiun.

"Pegawai yang harusnya sudah pensiun tetap bekerja dengan gaji 60 persen, padahal mereka tak melakukan apa-apa." Ungkapnya

Jika kondisi ini terus dibiarkan, Damri akan mengalami nasib serupa seperti Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD). Maksudnya, meski semua aset sudah dijual, tapi tetap tak mencukupi sehingga berhutang pada karyawan.

Suripno mengakui, jumlah pegawai yang berlebih juga disebabkan ketidakmampuan Damri untuk membeli armada baru. Bahkan, jumlah bus yang usianya di atas 15 tahun ada sekitar 80 persen dari jumlah yang ada.

Bagaimana solusinya? Langkah terbaik, kata dia, dengan menutup UPT yang merugi. "Hanya trayek dari Bandara ke terminal bus seperti Jakarta, Bandung, dan Pontianak. Selebihnya seperti UPT Makassar, Medan, Solo, Yogyakarta, dan Semarang cenderung merugi," paparnya.

Masih menurut Suripno, ia sebenarnya sudah merasa lelah setiap kali mengusulkan hal tersebut kepada direksi selalu tidak ditanggapi, karena direksi merasa setiap tahun terus menambah armada meski tidak signifikan

"Jika terus-terusan begini, Damri bisa tinggal kenangan," Tahun 2006, Damri melakukan penambahan bus AC sebanyak 70 unit yang disebar ke sejumlah UPT, seperti Makassar 10 unit, Medan 10 unit, Bandung 15 unit, dan Surabaya 20 unit.

Hanya saja penambahan bus tersebut sebagian baru direalisasikan tahun ini. "Kami membutuhkan 1000 unit bus, bukan 70 unit," jelasnya.Untuk tahun ini, Damri merencanakan melakukan penambahan lagi sebanyak 60 unit bus AC, bekerjasama dengan pihak ketiga. 'Maklum saja harga satu unit bus sekitar Rp700 juta," pungkasnya. (Ika Karlina Idris )
Bertahan dengan Alat-alat Tua

Jakarta-Jurnal Nasional

Sebuah kapal tanker seberat 500 ton tampak tak berdaya. Dinding yang ada di lambung depan sebelah kanannya bolong. Butuh diganti atau paling tidak ditambal agar tidak bocor.

“Peraturannya, kalau ketebalan sudah tinggal 7 mili (meter) lagi, harusnya diganti. Tapi kan biayanya besar, makanya biasanya yang punya kapal minta dilas saja kalau ada yang bocor,” kata seorang pekerja konstruksi kapal bernama Kardam.

Sudah sekitar 20 tahun lelaki bernama lengkap Kardam Rosadi ini menangani konstruksi kapal. Ia adalah pekerja di PT Dok Kodja Bahari (PT DKB).

“Kira-kira, sudah tiga periode (kepengurusan) manajer. Ini aja itungannya sudah lumayan, apalagi saya cuma pegawai honorer,” katanya sambil mengisap rokok tembakau.

Sore itu, hampir pukul 5, Kardam baru saja selesai bekerja. Ia masih mengenakan seragam biru muda dengan tulisan namanya di bagian kanan, dan tulisan PT DKB di sebelah kiri. Karena seharian mengelas dinding kapal, tangannya kotor dari jari-jari hingga sebatas lengan.

Awal bekerja di PT DKB karena ia diajak saudara yang lebih dulu bekerja di sana. Sebelumnya, ia sempat menjadi kuli bangunan dan berbagai pekerjaan kasar lainnya.

Meski tak berbekal pendidikan resmi, ia nekat juga. “Yah, waktu itu kan asal bisa bekerja juga sudah untung,” katanya.

Namun sayang, lelaki asal Cirebon ini “telat” bekerja di sana. Sekitar tahun 2002 lalu ada pengangkatan pegawai honorer menjadi pegawai tetap. Usia Kardam saat itu sudah di atas 40 tahun, sehingga dianggap terlalu tua untuk diangkat pegawai.

Karena statusnya itulah, maka ayah dari empat orang anak ini menerima gaji hanya setengah dari pegawai tetap. Setiap bulan, ia menerima gaji pokok sekitar Rp 600 ribu. Jika ditambah berbagai macam tunjangan, ia bisa membawa pulang hampir Rp 1 juta.
“Mau nggak mau, harus diakalin. Soalnya, kebutuhan di rumah saya, tiap bulan bisa sampai Rp 3 juta. Anak saya kan masih ada tiga orang yang sekolah,” ceritanya. Besarnya kebutuhan rumah tangga jugalah yang membuat Sri Sumarni, istrinya, membuka warung nasi uduk.

Pendapatan tambahan didapat lelaki 48 tahun ini dari uang lembur. Tapi, lagi-lagi karena statusnya, maka jumlah yang ia terima, hanya setengah dari karyawan tetap. Setiap jam, ia dibayar Rp 4.000. Kalau sebulan lembur terus, ia bisa membawa pulang sekitar Rp 1,5 juta. Tapi itu pun kalau sedang ada proyek.

“Di konstruksi aja, ada lima yang honorer. Memang sih dapatnya nggak sebanyak pegawai tetap. Tapi saya sudah seneng kerja di sini, ibaratnya, saya udah ngerti banget dengan konstruksi kapal. Pokonya, bekerja saja dengan ikhlas. Rezeki itu kan sudah ada yang atur.”

Bekerja di galangan kapal, membuatnya berhubungan dengan alat-alat berat. Jadi, keselamatan tentu nomor satu. Meski honorer, tapi mengakua kalau PT DKB mau menanggung seperempat dari biaya yang ia keluarkan kalau-kalau harus masuk rumah sakit.

Hanya saja, Kardam mengeluhkan tentang standar keselamatan. Harusnya, standar itu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Kardam mengaku kalau kantor sudah menyediakan alat tersebut, hanya saja kualitasnya tak sesuai standar.

Selain itu, Kardam juga mengeluhkan tentang peralatan yang sudah tua. Maklum saja, galangan V PT DKB, tempatnya bekerja adalah “warisan Belanda”.

“Karena alatnya yang udah tua bikin kita lama kalo ngerjain kapal. Jadinya nggak maksimal. Pokoknya, gimana caranya kita ngakalin alat aja,” ceritanya.

Salah satu alat yang paling sering digunakannya adalah las. Wajar jadinya jika ia ahli dalam bidang ini. Bahkan, warga gang Kancil, jalan Pegangsaan, Cilincing, Tanjung Priok ini berangan-angan punya bengkel las.
“Saya kan sebentar lagi pensiun. Inginnya sih buka bengkel las, karena saya mampunya cuma nge-las. Tapi modalnya besar, mesin las aja harganya Rp 10 juta. Belum sewa tempat ama yang lainnya.” (Ika)