Monday, May 28, 2007

Perum Damri Hidup Segan Mati Tak Mau

Jakarta-Jurnal Nasional

SEPERTI halnya perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor jasa angkutan lainnya yang setiap tahun cenderung merugi, Perum Damri juga mengalami hal serupa. Bahkan kerugian itu ditaksir semakin membesar.

Anggota Dewan Pengawas Perum Damri, Suripno, mengatakan bahwa jumlah kerugian yang diderita perusahaan setiap tahun tak menunjukkan penyusutan. Setelah ditelisik penyebab kerugian terletak pada besarnya jumlah pegawai dibandingkan jumlah armada.

Sekadar perbandingan, kata dia, pada tahun 2005 jumlah karyawan berjumlah 6.529 orang sementara jumlah armada 1.698, kemudian akhir tahun lalu jumlah pegawai tercatat 6.185 orang dengan jumlah armada yang siap beroperasi sebanyak 1.200.

"Dari jumlah itu, komposisi pengemudi ada 37 persen atau sebanyak 2.344 orang di tahun 2006," katanya kepada Jurnal Nasional, Senin (29/1)

Adapun jumlah kondektur sebanyak 1.064 orang dan pegawai di bagian direksi serta administrasi sekitar sekitar 2.777 orang. Menurut Kepala Seksi Hukum, Humas dan Organisasi Perum Damri, Elizar, jumlah pegawai yang tidak seimbang dengan jumlah armada mengakibatkan adanya pegawai yang makan gaji buta alias tetap dibayar meski tidak bekerja.

Sebagai contoh, di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Medan hanya 15 bus yang beroperasi, padahal jumlah pengemudi tercatat 40 orang. Artinya ada 25 orang yang makan gaji buta. Lantas bagaimana cara mengatasinya? Cara mengatasinya, kata dia, dengan membagi waktu operasi dalam dua shift.

"Semula kan bus kami banyak, jadi hanya ada long shift. Tetapi karena sudah banyak yang rusak, makanya kami bikin jadi dua shift. Untuk kasus UPT Medan, kalau dihitung-hitung kan malah kekurangan sopir," papar Elizar.

Kendati demikian, Suripno tidak sependapat dengan komentar Elizar. Dia menegaskan, bahwa jumlah pegawai di Perum Damri terlalu tinggi dan sudah melampaui kapasitas perusahaan BUMN tersebut dalam membayar gaji. Karena itu, jalan keluarnya adalah dengan mengurangi jumlah pegawai. Sayangnya hal tersebut juga sulit dilakukan.

Bagaimanapun, pegawai yang diberhentikan harus diberi uang pesangon. "Tapi, aset yang dimilki Damri tidak cukup untuk bayar pesangon mereka. Karena itu pegawai tetap dipertahankan," kata Suripno yang juga menjabat sebagai Direktur Keselamatan Transportasi Darat Departemen Perhubungan.

Suripno menambahkan, penyakit lainnya adalah adanya pegawai meski sudah pensiun namun masih tetap bekerja. Akibatnya perusahaan tak punya uang untuk membayar pensiun.

"Pegawai yang harusnya sudah pensiun tetap bekerja dengan gaji 60 persen, padahal mereka tak melakukan apa-apa." Ungkapnya

Jika kondisi ini terus dibiarkan, Damri akan mengalami nasib serupa seperti Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD). Maksudnya, meski semua aset sudah dijual, tapi tetap tak mencukupi sehingga berhutang pada karyawan.

Suripno mengakui, jumlah pegawai yang berlebih juga disebabkan ketidakmampuan Damri untuk membeli armada baru. Bahkan, jumlah bus yang usianya di atas 15 tahun ada sekitar 80 persen dari jumlah yang ada.

Bagaimana solusinya? Langkah terbaik, kata dia, dengan menutup UPT yang merugi. "Hanya trayek dari Bandara ke terminal bus seperti Jakarta, Bandung, dan Pontianak. Selebihnya seperti UPT Makassar, Medan, Solo, Yogyakarta, dan Semarang cenderung merugi," paparnya.

Masih menurut Suripno, ia sebenarnya sudah merasa lelah setiap kali mengusulkan hal tersebut kepada direksi selalu tidak ditanggapi, karena direksi merasa setiap tahun terus menambah armada meski tidak signifikan

"Jika terus-terusan begini, Damri bisa tinggal kenangan," Tahun 2006, Damri melakukan penambahan bus AC sebanyak 70 unit yang disebar ke sejumlah UPT, seperti Makassar 10 unit, Medan 10 unit, Bandung 15 unit, dan Surabaya 20 unit.

Hanya saja penambahan bus tersebut sebagian baru direalisasikan tahun ini. "Kami membutuhkan 1000 unit bus, bukan 70 unit," jelasnya.Untuk tahun ini, Damri merencanakan melakukan penambahan lagi sebanyak 60 unit bus AC, bekerjasama dengan pihak ketiga. 'Maklum saja harga satu unit bus sekitar Rp700 juta," pungkasnya. (Ika Karlina Idris )

No comments: