Monday, May 28, 2007

Bertahan dengan Alat-alat Tua

Jakarta-Jurnal Nasional

Sebuah kapal tanker seberat 500 ton tampak tak berdaya. Dinding yang ada di lambung depan sebelah kanannya bolong. Butuh diganti atau paling tidak ditambal agar tidak bocor.

“Peraturannya, kalau ketebalan sudah tinggal 7 mili (meter) lagi, harusnya diganti. Tapi kan biayanya besar, makanya biasanya yang punya kapal minta dilas saja kalau ada yang bocor,” kata seorang pekerja konstruksi kapal bernama Kardam.

Sudah sekitar 20 tahun lelaki bernama lengkap Kardam Rosadi ini menangani konstruksi kapal. Ia adalah pekerja di PT Dok Kodja Bahari (PT DKB).

“Kira-kira, sudah tiga periode (kepengurusan) manajer. Ini aja itungannya sudah lumayan, apalagi saya cuma pegawai honorer,” katanya sambil mengisap rokok tembakau.

Sore itu, hampir pukul 5, Kardam baru saja selesai bekerja. Ia masih mengenakan seragam biru muda dengan tulisan namanya di bagian kanan, dan tulisan PT DKB di sebelah kiri. Karena seharian mengelas dinding kapal, tangannya kotor dari jari-jari hingga sebatas lengan.

Awal bekerja di PT DKB karena ia diajak saudara yang lebih dulu bekerja di sana. Sebelumnya, ia sempat menjadi kuli bangunan dan berbagai pekerjaan kasar lainnya.

Meski tak berbekal pendidikan resmi, ia nekat juga. “Yah, waktu itu kan asal bisa bekerja juga sudah untung,” katanya.

Namun sayang, lelaki asal Cirebon ini “telat” bekerja di sana. Sekitar tahun 2002 lalu ada pengangkatan pegawai honorer menjadi pegawai tetap. Usia Kardam saat itu sudah di atas 40 tahun, sehingga dianggap terlalu tua untuk diangkat pegawai.

Karena statusnya itulah, maka ayah dari empat orang anak ini menerima gaji hanya setengah dari pegawai tetap. Setiap bulan, ia menerima gaji pokok sekitar Rp 600 ribu. Jika ditambah berbagai macam tunjangan, ia bisa membawa pulang hampir Rp 1 juta.
“Mau nggak mau, harus diakalin. Soalnya, kebutuhan di rumah saya, tiap bulan bisa sampai Rp 3 juta. Anak saya kan masih ada tiga orang yang sekolah,” ceritanya. Besarnya kebutuhan rumah tangga jugalah yang membuat Sri Sumarni, istrinya, membuka warung nasi uduk.

Pendapatan tambahan didapat lelaki 48 tahun ini dari uang lembur. Tapi, lagi-lagi karena statusnya, maka jumlah yang ia terima, hanya setengah dari karyawan tetap. Setiap jam, ia dibayar Rp 4.000. Kalau sebulan lembur terus, ia bisa membawa pulang sekitar Rp 1,5 juta. Tapi itu pun kalau sedang ada proyek.

“Di konstruksi aja, ada lima yang honorer. Memang sih dapatnya nggak sebanyak pegawai tetap. Tapi saya sudah seneng kerja di sini, ibaratnya, saya udah ngerti banget dengan konstruksi kapal. Pokonya, bekerja saja dengan ikhlas. Rezeki itu kan sudah ada yang atur.”

Bekerja di galangan kapal, membuatnya berhubungan dengan alat-alat berat. Jadi, keselamatan tentu nomor satu. Meski honorer, tapi mengakua kalau PT DKB mau menanggung seperempat dari biaya yang ia keluarkan kalau-kalau harus masuk rumah sakit.

Hanya saja, Kardam mengeluhkan tentang standar keselamatan. Harusnya, standar itu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Kardam mengaku kalau kantor sudah menyediakan alat tersebut, hanya saja kualitasnya tak sesuai standar.

Selain itu, Kardam juga mengeluhkan tentang peralatan yang sudah tua. Maklum saja, galangan V PT DKB, tempatnya bekerja adalah “warisan Belanda”.

“Karena alatnya yang udah tua bikin kita lama kalo ngerjain kapal. Jadinya nggak maksimal. Pokoknya, gimana caranya kita ngakalin alat aja,” ceritanya.

Salah satu alat yang paling sering digunakannya adalah las. Wajar jadinya jika ia ahli dalam bidang ini. Bahkan, warga gang Kancil, jalan Pegangsaan, Cilincing, Tanjung Priok ini berangan-angan punya bengkel las.
“Saya kan sebentar lagi pensiun. Inginnya sih buka bengkel las, karena saya mampunya cuma nge-las. Tapi modalnya besar, mesin las aja harganya Rp 10 juta. Belum sewa tempat ama yang lainnya.” (Ika)

No comments: