Friday, December 07, 2007

Tanda Kota, Kenalkah Anda?

Rabu, 14 Nov 2007

Tahukah Anda di mana letak taman Chairil Anwar di Jakarta? Tahukah Anda letak taman Kristina Martha Tiahahu? Jika tidak, bisa jadi Anda lebih mengenal bangunan yang ada di sekitar taman tersebut. Es Krim Ragusa di depan taman Chairil Anwar atau Blok M Plaza di depan taman Kristina Martha Tiahahu.

Selama ini "tanda kota" lebih sering teralami daripada terbahas. Bisa jadi, seseorang lebih senang memberi tanda suatu lokasi berdasarkan pengalaman pribadi mereka dibanding tanda yang diberi pemerintah. Sejumlah papan iklan penjual jasa, stiker, teks-teks di kendaraan umum, bentuk khas rumah makan dari etnis tertentu adalah bentuk-bentuk visual yang diam-diam memenuhi dan mengubah persepsi kita atas sebuah kota.

Untuk mengelola pemahaman terhadap ruang dan tanda yang ada di Jakarta, Dewan Kesenian Jakarta mengadakan Festival Tanda Kota. Festival tersebut diikuti enam seniman muda dan tigabelas kelompok seni-budaya yang berasal dari Jakarta, bandung, Yogyakarta, Semarang, dan Jatiwangi. Beberapa nama di antaranya Andry Mochamaad, Bambang Toko, Indra Ameng, Irwan Ahmett, dan Narpati Awangga. Sedang kelompok yang turut serta adalah Akademi Samali, Forum Lenteng, Peniti Pink Zines Initiatives, dan Byar Creative Industry.

Selain pameran, festival juga diramaikan oleh diskusi, artist talk, serta workshop yang berlangsung 14-23 November di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki.

Menurut kurator pameran Reza Afisina, dengan festival ini diharapkan para seniman mampu menggali kemampuan riset mereka tentang tanda-tanda yang tersebar. Sebagai contoh, sebuah warung di persimpangan jalan secara tak sengaja menjadi penanda lokasi yang sejajar dengan sejumlah monumen dan gedung tinggi yang memang ingin dikenal. Padahal, monument itu sudah menjadi penanda lokasi sejak didirikan.

"Penanda-penanda itu menunggu untuk ditelurusi lagi jejak sejarahnya, serta pengalamannya dalam beradaptasi terus-menerus dengan lingkungannya, kata Reza dalam jumpa pers yang digelar, kemarin.

Ia juga menambahkan bahwa festival ini bisa mencatat perkembangan visual kota yang terbentuk karena usaha bertahan hidup masyarakatnya. Perhatian khalayak terhadap salah satu produk urban, yakni hal yang informal, seringkali berhenti pada faktor "keterpaksaan ekonomi". Setelah menemukan "keterpaksaan ekonomi" sebagai sebab, seolah semuanya selesai, dan serta-merta jalan penelitian mati.

"Tak ada yang sempat mengalami lebih dalam. Akhirnya, menciptakan jarak antara yang informal tersebut dengan unsur-unsur lain di dunia urban. Padahal, dunia informal urban tidak hanya terbentuk karena alasan bertahan hidup tersebut. Disinilah seni rupa bisa menyandarkan dirinya pada permasalahan visual kota yang tumbuh alami bersama gejolak sosialnya," jelas Reza.

Pameran Tanda Kota tak akan membatasi medium yang digunakan seniman. Pemaran tersebut juga akan terbagi dalam enam fokus. Pertama, Rumah atau persepsi kita tentang menghuni ruang kota.

Kedua, Ruang Otonom Sementara atau ruang apa pun dalam kota yang "disesuaikan" menjadi tempat tinggal dan tempat usaha.

Ketiga, Teks dalam Kota, merupakan ragam ekspresi masyarakat sebagai usaha bertahan hidup.

Keempat, Iklan Ilegal, berjenis papan iklan ilegal yang bertebaran di penjuru kota. Kelima, Ruang Makan yang merupakan memori bawaaan tentang rumah di kampung halaman beserta identitasnya, dan usaha bertahan hidup. Dan keenam adalah Penanda Kota.

Kami juga mengadakan diskusi, artist talk, serta workshop sebagai bagian utama dari seluruh festival ini.

Asisten kurator Ardi Yunanto mengatakan bahwa pada akhirnya festival ini hanyalah pengantar bagi sejumlah kajian lain. "Sehingga tanda kota tidak hanya terlihat dan teralami, tidak sekadar menjadi akibat dari usaha bertahan hidup. Namun, tanda bisa menyimpan makna yang lebih dalam, untuk dikaji dan disikapi, demi ingatan yang terbentuk di masa depan sebuah kota," kata Ardi.
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

No comments: