Friday, December 07, 2007

Bullying yang Berulang

Kamis, 15 Nov 2007

Pada suatu Senin, saat semua siswa sekolah SMA 70 sedang upacara di lapangan sekolah, terdengar beberapa orang berbisik-bisik. Rupanya, ada sebagian siswa laki-laki yang tak ikut upacara.

"Utas cowok pada dikumpulin sama agit," kata seorang siswa. Di SMA 70, utas (kebalikan dari kata satu) adalah panggilan untuk siswa kelas satu, aud untuk kelas dua, dan agit untuk kelas tiga.

Benar saja, seusai upacara, seorang murid kelas satu laki-laki dijejerkan di depan kelas dalam posisi jongkok. "Anak-anak cewek masukin kelas aja sebelum ada urug (guru)," kata seorang agit. Sebelum masuk kelas itulah siswa agit menampar siswa utas satu per satu.

Gambaran itu terulang terus saat si utas sudah agit. Beberapa teman seangkatan si utas pernah memamerkan video saat mereka mengumpulkan utas di sebuah taman dekat sekolah. Di video itu, mereka tak hanya menampar tapi juga mengerjai mereka. Rupanya, teman-teman seangkatan itu sedang menyiapkan nama untuk angkatan itu.

Senioritas memang sudah mendarah daging di sekolah unggulan itu. Mungkin karena sejarah terbentuknya yang unik. SMA ini terbentuk setelah menyatukan SMA 9 dan SMA 11 yang muridnya sering berkelahi.

Untuk membedakan setiap angkatan, SMA 70 mengenal nama angkatan dan warna yang menandainya. Sebagai contoh, lulusan tahun 2001 bernama Trabalista dengan warna abu-abu, tahun 2000 bernama Somoza dengan warna marun, dan 1999 bernama Zapatista dengan warna coklat muda.

Selama masih bersekolah, rata-rata murid menyadari bahwa apa yang dilakukan itu salah. Tentu saja sejumlah murid pernah kesal jika dimintai uang, disuruh membeli minum atau makanan, ataupun tak boleh keluar kelas karena dilarang agit. Tapi, saat si siswa sudah agit, dia akan menikmati makanan-makanan "rampasan" atau "hak-hak spesial" seperti kursi kantin yang selalu tersedia, tak perlu mengatre untuk menggunakan WC sekolah, atau bebas memarkir kendaraan di depan sekolah.

Menurut Diena Haryana, pendiri Yayasan Semai Jiwa Amini (SEJIWA), lama-lama, bullying dan tindakan semacam ini dianggap wajar. Tak ada yang menyadari dampak jangka panjang yang ditimbulkan baik pada korban juga pelaku. Akibatnya, bullying terus terjadi sampai menimbulkan korban jiwa dan trauma berkepanjangan.

"Hal ini tentunya bisa menghambat proses belajar dan proses perkembangan jiwa seorang anak," kata Diena kepada Jurnal Nasional.

Bullying adalah penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok, sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya. Dan peristiwanya, sangat mungkin terjadi berulang.

Bullying terbagi menjadi tiga. Pertama, fisik, seperti memukul, menampar, dan memalak atau meminta dengan paksa apa yang bukan miliknya. Kedua, verbal, seperti memaki, menggosip, dan mengejek. Ketiga, psikologis, seperti mengintimidasi, mengecilkan, mengabaikan, dan mendiskriminasikan.

Kegiatan inisiasi seperti ospek dan ritual yang biasa diadakan para senior di sekolah, merupakan bentuk bullying yang tidak disadari. Kegiatan yang seharusnya bertujuan memperkenalkan sekolah dan program itu, malah melenceng menjadi ajang untuk mempemalukan para siswa baru dengan kegiatan yang merendahkan dan mengintimidasi.

Bullying ternyata tidak hanya memberi dampak negatif pada korban, melainkan juga pada para pelaku. Bullying, dari berbagai penelitian, ternyata berhubungan dengan meningkatnya tingkat depresi, agresi, penurunan nilai akademik, dan tindakan bunuh diri. "Selain itu juga menurunkan skor tes kecerdasan dan kemampuan analisis para siswa," kata Diena.

Hasil penelitian Sejiwa yang dilakukan di 40 sekolah pada bulan April 2006 menunjukkan, salah satu penyebab bullying adalah 'pendidikan disiplin' dari guru dan orang tua.

"Ada 199 macam jenis kasus bullying di sekolah. Di antaranya junior disundut rokok oleh senior, pemukulan pada masa ospek (sekarang MOS) dan pemalakan uang," tutur Diena.

Penelitian yang dilakukan Ratna Djuwita dari Universitas Indonesia menemukan bahwa bullying terjadi di banyak sekolah menengah atas di Indonesia karena sudah tradisi. Sekelompok siswa melakukan bullying pada siswa lain karena mereka memiliki masalah satu sama lain. Namun ada pula yang melakukannya hanya karena suka dan menikmatinya.

"Peristiwa seperti ini jangan kita gunakan untuk saling menyalahkan. Tapi kita gunakan untuk menyadari bahwa kita semua masih belum cukup mengantisipasi dan mencegah bullying itu sendiri. Seluruh pihak, baik orang tua dan guru perlu melakukan sesuatu karena bullying menimbulkan trauma dan sangat berpengaruh terhadap masa depan anak-anak mereka," ujar Diena.

Selain itu, anak-anak perlu dibimbing agar mereka menyadari bahwa perilaku tersebut merugikan dan mengarah pada tindakan melanggar hukum. Diperlukan dukungan dan komitmen dari semua pihak untuk mengurangi bullying di sekolah dan menciptakan lingkungan sekolah yang positif dan sehat.

"Tidak ada seorang pun dengan alasan apa pun yang layak untuk di-bully," tambah Diena.
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

No comments: