Friday, December 07, 2007

SMK Saja Belum Cukup

Jum'at, 02 Nov 2007
Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menganggap bahwa SMK adalah salah satu cara mengurangi pengangguran. Pasalnya, tak semua lulusan sekolah mampu melanjutkan ke perguruan tinggi. Untuk itu, harus ada sekolah yang mampu membekali siswa dengan keterampilan dan keahlian.

Penambahan jumlah SMK terus dilakukan Depdiknas hingga melebih jumlah SMA. Tapi, apakah kualitas siswa SMK dapat menjawab kebutuhan pasar akan tenaga kerja? Mampukah mereka bersaing dengan lulusan politeknik?

Menurut Ketua Pusat Penelitian Kebijakan Inovasi Pendidikan Depdiknas Agung Purwadi, SMK beranjak dari pemikiran bahwa jumlah lulusan lebih banyak daripada jumlah lapangan kerja. Makanya, SMK didirikan agar siswa mampu membuat dan memasarkan produk. Sayangnya, industri masih memandang sebelah mata lulusan SMK karena mereka anggap lulusan SMA lebih mampu berpikir logis.

"Jika siswa SMK magang di industri kecil, biasanya ilmu yang mereka dapat terbatas. Ada SMK yang mengarahkan siswanya hingga level tertentu, tapi ada juga yang tidak. STM Pembangunan, misalnya, selalu mengarahkan siswanya tiga tahun setelah lulus bisa jadi pemborong. Tapi SMEA jarang sekali yang mengarahkan siswanya lebih jauh," jelas Agung.

Selain itu, ia juga melihat bahwa industri lebih menyukai lulusan politeknik (D3) daripada lulusan SMK. Karena itu, lulusan SMK harus bisa memperoleh tambahan ilmu "Harus meningkatkan level mereka," ujar Agung. Sayangnya, belum ada sistem yang mengatur hal ini. "Tak semua perusahaan mau meng-upgrade karyawannya."

Hal senada dikatakan Utomo Dananjya dari Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES). Di Jakarta terdapat 560 SMKdan 540 SMA. Sebanyak 85 persen SMK adalah SMEA, sisanya pariwisata, tata boga, dan permesinan. Sayangnya, tamatan SMK tersebut sangat jarang yang langsung bisa bekerja. Kalaupun diterima, biasanya tak sesuai dengan kejuruan mereka.

"Paling-paling mereka jadi satpam atau resepsionis. Bahkan, SMK pariwisata biasanya lebih dulu kerja di Malayasia selama setahun, setelah itu baru bisa diterima di hotel atau restoran di Indonesia. Untuk posisi akuntan, perusahaan lebih memilih lulusan D3 ketimbang SMEA. Inilah kenyataannya," jelas Utomo.

Maka itu, ia meihat perlunya lompatan sekolah kejuruan. "Sekolah kejuruan tingkat menengah tidak laku. Pendidikan kejuruan harus lompat hingga level diploma," usulnya.

Sementara itu, CEO (chief executive officer) Sampoerna Foundation Lin Che Wei mengatakan bahwa pendidikan harusnya mencakup dua hal, work of ideas (kerja ide) dan work of practical activities (kerja praktek). Bagaimanapun, katanya, ide yang baik mengarah ke praktek yang juga baik, begitupun sebaliknya.

Tak ada satu pun formula yang lebih baik dari pada yang lain. "Pilih SMA atau SMK, tergantung pada orang itu sendiri," kata Che Wei. Yang paling penting, seseorang harus tahu apa yang ia butuhkan untuk mengembangkan dirinya. "Orang tua jangan hanya berharap anak mereka jadi orang yang berguna. Yang paling penting adalah memenuhi kompetensi mereka," katanya.
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

No comments: