Friday, December 07, 2007

Menyocokkan Kualitas Pendidikan dengan Dunia Kerja

Jum'at, 02 Nov 2007

Jumlah pengangguran yang sangat banyak di Indonsia tak hanya disebabkan oleh kurangnya lapangan pekerjaan. Rupanya, lulusan perguruan tinggi atau sekolah menengah tidak bisa dipakai oleh pelaku industri. Dengan kata lain, kemampuan yang mereka miliki tak cocok dengan kebutuhan para pencari kerja.

CEO (Chief Executive Officer) Sampoerna Foundation (SF) Lin Che Wei memaparkan kondisi yang terjadi di yayasan filantropik tersebut. Saat ini, katanya, ada sekitar 100 posisi yang kosong dan belum terisi. Padahal, SF sudah melakukan proses penerimaan karyawan selama dua tahun. Sayang, tak ada di antara pelamar yang memenuhi kualifikasi SF.

Hal yang kurang lebih sama terjadi di tempat ia bekerja sebelumnya, PT Danareksa. Agar lulusan tersebut bisa dipakai, PT Danareksa akhirnya mendirikan pusat pelatihan. Di sanalah para lulusan tersebut dilatih agar memiliki kemampuan praktis.

"Sebenarnya bukan tak ada lapangan kerja, tapi pengangguran ini tidak bisa kami pakai," katanya dalam sebuah diskusi tentang Link and Match Pendidikan Indonesia yang berlangsung Rabu (31/10), di SF dan diikuti perwakilan Departmen Pendidikan Nasional (Depdiknas), perguruan tinggi, pengamat pendidikan, dan LSM.

Selama ini, ada anggapan di masyarkat bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang maka semakin bagus kualitasnya. "Itulah kesalahan kita," ujar Che Wei. Untuk menghadapi tantangan global tak cukup dengan sekolah. Pada akhirnya gelar S1, S2, atau S3 cuma menjadi sebuah brand (merek).

"Modernisasi dan kualitas tak bisa didapat hanya dengan jenjang pendidikan. Salah satu staf terbaik saya bahkan tak lulus kuliah, tapi dia punya cara berpikir yang sistematis," ujarnya.

Menurut Utomo Dananjaya dari Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES), selama ini pendidikan di Indonsia selalu terpaku pada masalah kurikulum dan kurang memperhatikan kompetensi siswa. Ia menilai kurikulum yang ada sangat materi sentris, terlihat dari jumlah mata pelajaran di setiap jenjang. Pada tingkat SD ada 12 mata pelajaran, SMP 16 mata pelajaran, dan SMA 21 mata pelajaran.

"Hanya Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia yang sudah berbasis kompetensi. Dalam pendidikan berbasis kompetensi ini, aspek yang harus dikembangkan adalah spiritual, kecerdasan, dan keterampilan," kata Utomo yang pernah menjadi guru di SMP 5 Bandung.

Ia mengusulkan konsep dasar pendidikan berbasis Studnt Centre Learning (SCL). Implementasi SCL bagi siswa pendidikan dasar mencakup beberapa hal, pertama haruslah mengajak siswa untuk aktif mengembangkan dirinya. Kedua, siswa harus dilayani secara individu. Dengan kata lain, segala perbedaan yang dimiliki siswa harus dihargai, baik itu minat, bakat, pribadi, latar belakang budaya dan keyakinannya.

Ketiga, harus ada sinergi dalam dalam suasana belajar dan maupun komunikasinya. Keempat, siswa diajak bekerja sana untuk mendorong kreativitas. Kelima, siswa diajak memproduksi pengetahuan dengan analisa dan memperkaya sumber belajar.

"Tak hanya dari buku ataupun guru. Sumber belajar bisa dari internet, teman sebaya, dan lingkungan sekitar," ujar Utomo yang turut mendirikan Sekolah Tinggi Assyafiiyah bersama Tutty Alawiyah.

Keenam, penilaian yang dilakukan guru bukanlah untuk hukuman atau membandingkan dengan teman. Penilaian haruslah untuk perbaikan dan peningkatan keberhasilan. Ketujuh, siswa diajak untuk belajar sesuai tema. Sebagai contoh, siswa kelas I dan II dengan tema show and tell (menunjukkan dan menceritakan), kelas III ke atas bisa dengan lintas sektor pengajaran, project of inquiry (proyek penyelidikan), problem solving project (proyek penyelesaian masalah), structured experiences (percobaan terstruktur), dan permainan.

"Intinya mengembangkan dasar berpikir dengan berpikir kompleks, kerjasama, dan pemecahan masalah. Hal ini juga berlaku bagi pendidikan tinggi," tegasnya.



Dunia kerja

Jika kompetensi siswa sudah dibangun, hal yang tak kalah penting adalah menghubungkan mereka dengan dunia kerja. Widiastuti dari Yayasan Nunari Dunia mengatakan bahwa link and match (jaringan dan kecocokan) dunia pendidikan dengan industri belum terbangun. Akses yang terbatas ini juga merupakan penyebab banyaknya pengangguran. "Padahal, setelah lulus siswa diharapkan bisa cepat bekerja," ucapnya.

Ketua Pusat Penelitian Kebijakan Inovasi Pendidikan Depdiknas Agung Purwadi mengatakan, jaringan tak hanya antara siswa dengan industri, tapi juga antara industri dengan pembuat kebijakan. "Sekolah dan pembuat kebijakan harus tahu kompetensi apa saja yang paling dibutuhkan industri. Kalau sudah, tentu lebih mudah menyalurkan lulusan sekolah," katanya.

Menurut Utomo, sebenarnya jaringan sudah terbentuk, namun belum menjadi sistem. Misalnya saja ikatan alumni perguruan tinggi ataupun jaringan pertemanan. Selain itu, seringkali pimpinan perusahaan sudah berniat membuka diri, tapi di level bawah belum mengerti.

"Jadi kalau ada surat permohonan magang yang diterima bagian humas atau secretariat, tidak akan digubris. Prosedur dalam perusahaan seringkali menjadi hal yang menakutkan bagi pihak sekolah," jelas Utomo.

Untuk membangun jaringan tersebut, SF sudah bekerjasama dengan beberapa perusahaan. Rencananya, perusahaan tersebut akan memberi seminar saat siswa SMA menjelang penjurusan.

"Siswa harus mendapat gambaran yang jelas tentang kemampuan apa saja yang harus mereka miliki untuk jurusan yang mereka pilih. Dan kerja sama universitas, pemerintah, dan industri mutlak diperlukan," kata Che Wei.
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

No comments: