Friday, December 07, 2007

Gengsi LKIR di Mata Siswa

Rabu, 31 Oktober 2007

Pengumuman pemenang Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) disampaikan Senin malam, 29 Oktober. LKIR yang diadakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sudah yang ke-39 kalinya diselenggarakan. Tahun ini, ada 376 buah karya ilmiah yang masuk ke panitia, tapi hanya 13 yang maju ke babak final.

LKIR sudah diadakan sejak Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) didirikan di sekolah. KIR adalah wadah kegiatan ilmiah siswa, dan selanjutnya mereka diarahkan mengikuti LKIR. Hanya saja, KIR maupun LKIR semakin kalah pamor dengan kegiatan lain, seperti kesenian maupun olahraga.

Menurut Ketua Pelaksana LKIR 2007 Neni Sintawardani, setiap tahun jumlah peserta LKIR selalu bertambah, meski tak pesat. "Kenaikannya landai," kata Neni. Sebenarnya, kenaikan tersebut tak lepas dari upaya LIPI mendorong kemampuan ilmuah guru dan siswa.

"Meski jumlahnya terbatas, tapi kami masih sering datang ke sekolah memberi pelatihan. Tapi kalau ada undangan, kami pasti datang. Selain itu, kami juga mengadakan perkemahan ilmiah remaja yang biasanya diikuti 100-150 orang siswa," katanya.

Selama tiga kali menjadi panitia LKIR, Neni menilai minat siswa sebenarnya cukup baik. Hanya saja, jumlah hadiah yang diberikan terbilang kecil. "Perusahaan lebih senang mensponsori lomba kecantikan. Bayangkan, untuk lomba semacam itu mereka memberi hadiah hingga 100 juta dan bingkisan yang banyak," katanya.

Menurut neni, kenyataan tersebut nerupakan suatu ironi di tengah keterpurukan bangsa Indonesia. "Ternyata tak ada perhatian untuk capacity building (pembangungan kapasitas manusia)," ujar Neni yang juga Kepala Biro Kerjasama dan Pemasyarakatan Iptek.

Sebagai gambaran, LKIR dibagi dalam tiga kategori, yaitu Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK), Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Teknik. Setiap finalis mendapatkan bingkisan jamu, setiap pemenang mendapatkan bingkisan kosmetik dan beasiswa selama satu tahun. Pemenang pertama mendapat beasiswa Rp1 juta per bulan, pemenang kedua Rp750 ribu per bulan, dan pemenang ketiga Rp500 ribu per bulan.

"Meski hadiahnya kecil, tapi saya rasa lomba ini cukup bergengsi," ujar Neni.

Paling tidak, hal tersebut disetujui Astri Bestari Ciptaningrum dan kawan-kawannya dari SMA 6 Yogyakarta. Sedari awal duduk di bangku SMA, Astri langsung bergabung dengan KIR Muda Wijaya yang ada di sekolahnya. Saat seorang kakak kelasnya memenangkan LKIR dan masuk televisi sebagai ikon produk sabun kesehatan, Astri pun makin senang dengan kegiatan yang ia ikuti.

"Saya langsung tertarik untuk ikut LKIR, untungnya lolos hingga semifinal dan juara. Saya melihat KIR sebagai sesuatu yang mengasyikkan dan ternyata dihargai juga kok," kata Astri, yang bersama rekannya Indra Surya Atmaja, merupakan pmenang pertama bidang ilmu pengetahuan teknik dengan judul karya tulis "Bipang Mie (Biji Ketapang Mie) Makanan Alternatif Berprotein Tinggi dan Pemanfaatan Kulit sebagai Briket".

Keasyikan tersendiri

Ketua KIR Muda Wijaya Amin Amsyah mengatakan bahwa selama ini ia dan kawan-kawannya selalu menemukan keasyikan tersendiri saat mencoba hal-hal baru. Ia juga mewajibkan para anggota menemukan ide penelitian dan mengembangkannya. "Minimal sampai tahap metode penelitian," ujar Amin yang meraih juara Kedua di bidang IPSK dengan meneliti UKM batik kayu Krebet sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Menurut Pembina KIR SMA 6 Yogyakarta Rudy Prakanto, selama ini, peminat ekskul KIR di sekolahnya sangat banyak. Setiap tahun, anggotanya tak pernah kurang dari 50 siswa. Tahun ini, jumlahnya meningkat hingga 100 siswa. "Itu yang sudah jadi anggota. Kalau yang mendaftar jauh lebih banyak," katanya.

Meski minat tak menjadi kendala, namun Rudy mengeluhkan apresiasi guru yang kurang terhadap prestasi siswa. "Guru sering tak mengerti jika siswa meninggalkan pelajaran karena lomba. Ikut lomba ini kan harusnya bisa jadi pengganti tugas-tugas di sekolah. Belajar itu kan bisa dari mana saja," ujarnya.

Lalu, ia juga mengingatkan agar siswa yang ikut KIR bisa mengatur waktu mereka. Sebuah penelitian ilmiah memerlukan ketekunan dan kesabaran. Siswa harus tahu kapan mengerjakan tugas sekolah, bermain, dan melakukan penelitian.

Berbeda dengan Astrid dan Amin, Apolimus M Mabur, siswa SMA 1 Oba'a, Papua, mengaku di sekolahnya tak ada ekskul KIR. Ia dan kedua kawannya mendapat karya ilmiah dari kakak kelas, guru, atau teman. "Sekolah saya baru berdiri empat tahun, computer saja cuma ada satu. Jadi, kami coba-coba saja sendiri dan banyak bertanya," cerita Apolimus.

Sedari awal, siswa sekolah haruslah diajak untuk peka mengamati berbagai fenomena yang ada di sekeliling mereka. Siswa harus diajak kritis memaknai lingkungan mereka. Sekretaris Utama LIPI Rochadi Abdul Hadi mengatakan bahwa bibit-bibit ilmuwan muda harus terus disemai sebagai bekal bangsa di masa depan. (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal nasional

No comments: