Friday, December 07, 2007

Sekolah Alternatif dari Salatiga

Jum'at, 30 Nov 2007

Ahmad Bahruddin, seorang aktivis organisasi petani resah melihat keadaan siswa-siswa usia sekolah di desanya, Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah. Sebagian besar penduduk desa itu adalah petani dan hidup dengan sangat sederhana. Untuk bersekolah, anak-anak di desanya harus berangkat ke desa lain atau ke kota Salatiga yang jaraknya cukup jauh. Tak heran jika banyak anak yang akhirnya tak melanjutkan ke tingkat SMP karena keterbatasan biaya.

Tak ingin keadaan tersebut terus berlanjut, Bahruddin ingin mendirikan sebuah sekolah berbasis komunitas, murah, dekat, dan yang terpenting tak membatasi anak. Ia pun mengumpulkan 30 orang tetangganya untuk mewujudkan ide tersebut.

"Saya tawarkan ke mereka pendidikan alternatif yang seluruh proses belajar bersumber tak hanya dari guru, tapi juga lingkungan alam dan sosial. Konsepnya hampir mirip dengan home schooling (sekolah rumah) di Amerika, hanya saja di sini biayanya lebih murah," ceritanya.

Akhirnya, tepat awal tahun pelajaran 2004, ada 12 orang siswa yang mendaftar jadi angkatan pertama. Sekolah itu bernama Qaryah Thayyibah dan hanya memiliki dua ruangan di rumah Baharuddin sebagai kelasnya. Ada sembilan orang guru yang mengajar, itu pun kawan-kawan Baharuddin sendiri,

Menurut prinsipnya, sekolah harus memenuhi kebutuhan anak. Pagar dan gedung sekolah adalah dua di antara fasilitas yang biasanya ada di sekolah, namun ternyata tak diperlukan. Ia pun meminta murid-muridnya untuk mendata fasilitas yang paling mereka butuhkan. Ternyata jawabannya adalah komputer dan jaringan internet.

"Kedua hal inilah yang memungkinkan tersedianya informasi yang tak terbatas," katanya.

Untung saja, teman Baharuddin, yang juga pengusaha jasa jaringan internet, mau membantu. Tak hanya itu, ia juga mencari cara agar setiap anak bisa memiliki komputer di rumah mereka masing-masing. Setelah mendapat sponsor, komputer pun dibagikan ke anak dan harus dibayar dengan cara mencicil. Cukup Rp1.000 setiap hari.

"Dengan komputer anak bisa mengerjakan tugas di rumah lebih semangat. Selain itu, mereka juga membawa pengetahuan baru ke rumah. Kalau orang tua atau saudara mereka mau belajar, tentu si anak bisa mengajarkan," ujarnya.

Dalam proses belajar, Qaryah Thayyibah tak mau mengekang anak. Siswa dibebaskan belajar apa saja sesuai keinginan mereka. Tempat belajarnya pun terserah mereka, apakah di kelas atau di luar kelas.

Siswa Qaryah Thayyibah juga diajak untuk berkarya melalui kesenian atau kegiatan apa saja yang mereka senangi. Saat ini, siswa sekolah tersebut sudah menghasilkan sebuah album dolanan anak, yang akhirnya digunakan untuk membantu pembiayaan sekolah.

Di sekolah ini, siswa mendapatkan pelajaran keterampilan bermain alat musik. Mereka wajib belajar memainkan gitar di sini. Anak-anak tersebut juga dilatih untuk bisa mendengar, berbicara, membaca, dan mencoba menulis dalam Bahasa Inggris. Bahkan anak-anak itu akan diperkenalkan dasar-dasar TOEFL. Target itu tidak dirasakan sebagai beban oleh murid-muridnya karena semua dilakukan dalam suasana yang menyenangkan. Tiap hari Sabtu anak-anak diajak berdiskusi dalam Bahasa Inggris di alam terbuka.

Dalam hal prestasi pun mereka tak ketinggalan. Fina, salah seorang siswa, pernah meraih juara kedua penulisan artikel Bahasa Inggris se Klaten, mengalahkan seorang mahasiswa dan guru. Selain itu, ia juga sudah menulis delapan buku, salah satunya berjudul "Lebih Asyik Tanpa UAN".

Buku itu, sebenarnya merupakan proyek penentu kelulusannya. Hanya tiga dari 12 siswa Qaryah Thayibah yang mengikuti UAN. Fina sendiri, ikut karena ingin menulis tentang UAN dan ingin mendapatkan pengalaman mengikuti UAN.

"Anak-anak yang lain tidak mau. Awalnya Fina sempat diledek temannya, tapi dia punya alas an sendiri. Setelah itu, anak-anak yang lain juga ikut, itupun karena permintaan orang tua, saya sendiri tak mengharuskan mereka," katanya.

Baharuddin berpinsip, ijazah atau legalitas, sebenanrya tak dibutuhkan dalam mencari ilmu pengetahuan. "Legalitas itu berikutnya. Yang penting pengajaran ini berorientasi pada kehidupan, bukan ilmu pengetahuan. Ketika anak-anak sudah bisa menjawab pertanyaan dan bermanfaat bagi kehidupan, menurut saya legalitas tak perlu lagi," laya Baharuddin.

Menunggu Status

Strategi pendidikan yang dilakukan Baharuddin bisa dibilang sebuah alternatif bagi dunia pendidikan. Ia meyakini bahwa setiap anak unik dan pada hakikatnya cerdas. Maka itu, ia memberi kepercayaan pada anak dalam mengembangkan diri mereka.

Sebagai contoh, adalah penentuan seragam sekolah. Setiap kelas berembug dan menentukan sendiri seragam mereka, baik jenis, warna, ataupun modelnya. "Saat ini ada lima kelas dan ada lima seragam yang berbeda di sekolah kami," ucapnya sambil tertawa.

Jika ada guru yang mengeluh tentang siswa, susah diatur atau tak mau belajar, maka yang salah adalah gurunya. Selama ini, katanya, anak selalu jadi korban dari guru yang mau mengatur anak. Potensi dan kreativitas mereka dimatikan karena guru memaksakan kehendak mereka.

Sebagai contoh adalah pelajaran menggambar. "Tak semua anak senang dan memiliki potensi dalam bidang ini. Dalam satu kelas, paling hanya tiga atau empat anak yang senang menggambar, sisanya menggambar karena disuruh, makanya gambar mereka itu-itu saja. Jika guru menugaskan murid untuk menggambar, mengumpulkan gambar, dan menilai, saat itulah guru sudah membunuh potensi anak. Karena dia dibayar, berarti guru adalah pembunuh bayaran," ujarnya.

Awalnya, Qaryah Thayyibah berbentuk sekolah terbuka, yang masih mengacu pada sekolah induk. Hanya saja, menurut Baharuddin, siswa sering mereka "direcoki" oleh sekolah induk. Atas permintaan anak-anak juga, ia "memutuskan" hubungan dengan sekolah induk dan mengajukan status pendidikan luar sekolah ke Dinas Pendidikan setempat. Saat ini, ia masih menunggu status tersebut keluar.

Selain itu, guru juga terjebak pada kurikulum sebagai produk. Guru selalu memaksa anak mengonsumsi kurikulum yang sebenarnya ditentukan pemerintah pusat. Padahal, harusnya kurikulum hanya menjadi pijakan untuk menjadikan siswa sumber pembelajar.

"Biarkan mereka belajar tanpa sekat dan manfaatkanlah segala sumber yang ada," katanya.
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

1 comment:

Anonymous said...

saya alumni MI Cibangban th 1996.menurut saya kwalitas pendidikan Agama dan Umum jauh lebih baik dari sekolah Dasar yang ada di Kec. Cisolok, salah satu contohnya yaitu ttg sholat berjamaah dan pengajian.pada saat sholat dhuhur siswa dibina utk sholat berjamaah di musholah sekolah, kmudian setelah sholat maghrib diteruskan dgn pengajian alqur'an di masjid jami' hingga sholat isya tiba, mungkin di sekolah2 lain jarang sperti itu.didukung dengan karakteristik masyarakat yg memegang teguh gotong royong dan saling membantu,
suasana lingkungan yg nyaman dan akan membuat orang betah berlama2 tinggal.