Friday, December 07, 2007

Kedatangan Abu Zayd--- Jika Tak Setuju, Lawanlah Secara Ilmiah

Rabu, 28 Nov 2007

Intelektual muslim asal Mesir Nasr Hamid Abu Zayd dilarang menjadi pembicara pada Seminar Internasional Islam di Universitas Islam Malang (Unidma), yang semestinya digelar Selasa (27/11). Perintah tersebut datang dari salah seorang pejabat Departemen Agama (Depag), pada Minggu pagi melalui pesan singkat. Pelarangan tersebut diterima Abu Zayd setelah tiba di Surabaya, Minggu pagi (25/11).

Pejabat Depag beralasan, pelarangan disebabkan karena Depag mendapat tekanan dari pihak yang menamakan dirinya masyarakat dan organisasi Islam. Karenanya, Abu Zayd juga batal memaparkan pemikirannya pada Konferensi Tahunan Kajian Islam di pekanbaru, Riau, Rabu (28/11), yang akan dibuka Menteri Agama Maftuh Basyuni.

Menurut Syafi'i Anwar dari International Center for Islam and Pluralism (ICIP), keberadaan Zayd dalam forum ilmiah sangat penting bagi kebebasan berbicara di Indonesia. Selama ini, tokoh-tokoh pesantren banyak yang menantikan kehadirannya di Indonesia dan buku tentang idenya sudah diterbitkan.

Syafi'i juga mengatakn, dalam SMS tersebut pejabat Depag mengatakan tak akan bertanggung jawab terhadap kedatangan Zayd. "Ini konyol. Kita ini kan negara Islam berbasis Pancasila yang harusnya menghargai kebebasan berpendapat. Apa pun alasan pelarangannya, hal ini sungguh menggelikan," kata Syafi'i.

Sedang menurut mantan Presiden Abdurrahman Wahid, pelarangan tersebut sudah menyalahi konstitusi. Bagaimana pun, hukum di Indonesia menjamin adanya kebebasan berpikir dan kemerdekaan berbicara. Hal seperti ini sebenarya merupakan perulangan dari pelarangan yang terjadi pada masa Orde Baru.

"Pak Harto itu kan dari militer, jadi pikirannya tidak pernah menyangkut budaya, selalu yang berkaitan dengan institusi dan memberikan tekanan yang berlebihan. Hal ini lalu diteruskan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia)," ujar Abdurrahman.

Meski demikian, lelaki yang akrab disapa Gus Dur ini mengaku tak semua ide Zayd ia terima. "Bayak ide dia yang bertentangan dengan saya. Tapi kan tidak berarti harus melarangnya berbicara," katanya.

Zayd mengaku kesal dengan pelarangan tersebut. Pasalnya, ia sudah mempelajari Indonesia selama 20 tahun dan menilai Indonesia sebagai negara yang bisa menerima pemikiran baru.

Pelarangan semacam ini, tambahnya, akan menghambat pengetahuan baru untuk masuk. Meski dilarang juga di negaranya, namun Zayd punya jurus lain untuk menyebarkan pemahamannya.

"Saya melawan dengan bergabung dengan masyarakat akar rumput. Saya melakukan berbagai kegiatan dalam rangka memaparkan pemahaman tersebut. Media juga sangat membantu sehingga saya bersedia mendatangi setiap dialog ataupun debat," katanya.

Jika pemerintah tidak setuju dengan ide Zayd, menurut Syafi'i harus dilakukan dengan cara-cara ilmiah. Forum yang sedianya dihadiri Zayd dilakukan di depan komunitas kampus dalam forum ilmiah. "Kalau tak setuju kan bisa datang saja ke sana, berdiskusi, jangan melarang-larang," katanya.

Selama ini, tak ada larangan mengkaji pemahaman apa pun, termasuk Karl Max atau Lenin. "Kalau itu saja kita kaji, kenapa yang ini tidak?" ujar Syafi'i.

Menghina Al Quran

Selain pelarangan dari Depag, MUI Riau juga mengeluarkan pernyataan sikap tentang kehadiran Zayd di Konferensi Tahunan Studi Islam ke-7 (Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) in Indonesia VII). Dalam siaran persnya, Ketua MUI Riau H. Ridwan Syarif dan Sekretaris Umum H. Fajeriansyah, menolak kehadiran Zayd.

"Adalah aneh, jika sosok Abu Zayd yang jelas-jelas menghina dan menghujat Al-Quran dan Imam Syafii dalam berbagai karyanya justru dipromosikan pemikirannya oleh Departemen Agama RI. Lebih aneh lagi, pihak panitia ACIS sama sekali tidak menghadirkan pembicara yang mampu mengkritik pemikiran Abu Zayd," tulis rilis tersebut.

MUI Riau bersama MUI pusat saat ini telah menghimpun data pelecehan dan penghujatan Al-Quran di lingkungan UIN/IAIN. Bahkan, di IAIN Surabaya, gugatan terhadap Al-Quran sebagai Kitab Suci pernah menghebohkan, ketika seorang dosen di sana, secara sengaja menginjak lafaz Allah yang ditulisnya sendiri.

MUI Riau juga memaparkan sebuah hasil penelitian terhadap perkembangan paham-paham keagamaan liberal di sekitar kampus UIN Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan Litbang Depag tersebut menulis, "Al-Quran bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci dari Allah SWT kepada Muhammad SAW, melainkan merupakan produk budaya (muntaj tsaqafi) sebagaimana yang digulirkan oleh Nasr Hamid Abu Zayd.

Metode tafsir yang digunakan adalah hermeneutika, karena metode tafsir konvensional dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman. Hermeneutika kini sudah menjadi kurikulum resmi di UIN/IAIN/STAIN seluruh Indonesia. Bahkan oleh perguruan tinggi Islam di Nusantara ini hermeneutika makin digemari.
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

No comments: