Friday, December 07, 2007

Bukan Madrasah Biasa

Jum'at, 30 Nov 2007

Ada tiga hal yang selalu diasosiasikan dengan madrasah, santri laki-laki, pendidikan agama yang kental, dan pilihan nomor dua setelah sekolah umum. Jauh di ujung selatan Kabupaten Sukabimu, Jawa Barat, tepatnya tepi Pantai Pasir Baru, Cisolok, terdapat madrasah yang tak identik dengan ketiga hal tadi.

Madrasah Ibtidayah Cibangban adalah satu-satunya sekolah di daerah tersebut dan sudah bediri sejak 1965 dan berada di bawah naungan Yayasan Risalatul Ummah. Menurut Saipudin, ketua yayasan, madrasah Cibangban dibangun karena jarak sekolah yang sangat jauh dari desa mereka. "Kalau mau sekolah, harus berangkat subuh-subuh dari rumah," ceritanya.

Setelah madrasah itu dibangun, ternyata masyarakat sekitar sangat mendukung dan memberi pengaruh terhadap perkembangan madrasah ini. Sebagian besar orang tua siswa adalah nelayan (46%) dan petani (32%). Dan merekalah yang mebantu segala kebutuhan madrasah, mulai dari kebutuhan fisik hingga materi yang disampaikan.

"Gedung kelas kami bangun satu per satu. Yang mengerjakan rata-rata orang tua siswa," katanya.

Karena tak ada sekolah umum, makanya mata pelajaran madrasah ini sebagian besar adalah pengetahuan umum, seperti Bahasa Indonesia, matematika, IPA, IPS, kesenian, keterampilan, olahraga, dan PPKn. Hanya seperempat porsi kurikulum yang disisakan untuk pengajaran agama, yang meliputi Al Quran dan hadis, aqidah akhlak, fiqih syariah, sejarah Islam, dan Bahasa Arab. Bahkan, siswa madrasah Cibangban juga mengikuti ujian mata pelajaran, layaknya sekolah umum.

Raden Dunbar dari program Decentralised Basic Education (DBE) USAID mengatakan, para pengelola sekolah dan guru sangat antusias dalam mengembangkan kurikulum sekolah. Mereka juga sangat terbuka terhadap metode pendidikan yang baru, seperti membuat pusat kegiatan murid dan mengajak anak untuk belajar secara aktif.

"Dan hal ini sangat jarang ditemui di sekolah yang berbasis madrasah," katanya.

Dari perbandingan komposisi murid laki-laki dan perempuan, Dunbar melihat adanya kesetaraan gender. Dari 249 murid, 130 (52%) di antaranya adalah laki-laki dan 119 (48%) perempuan.

Madrasah ini juga memiliki komite sekolah yang beranggotakan 12 perwakilan guru, orang tua murid, dan tokoh masyarakat. "Fungsi komunitas sekolah madrasah Cibangban sama dengan fungsi yang ada di sekolah umum, yaitu mengoptimalkan sumber daya sekolah, mengelola dana sekolah, mengendalikan kualitas pendidikan, dan menjaring kerja sama dengan pihak lain," kata Dunbar.

Dari berbagai sekolah program DBE di tujuh provinsi, menurut Dunbar madrasah Cibangban inilah yang paling progresif. Karena melekat dengan komunitas lokal, maka harapan penduduk akan tingkat spiritual, ekonomi, dan pendidikan nampak pada madrasah ini.

"Mereka menganggap madrasah ini sama dengan sekolah umum, mendukung penuh jalannya madrasah, terbuka terhadap perubahan, dan tentunya sejalan dengan Standar Pendidikan Nasional," urai Dunbar.

Madrasah Cibangban, tambahnya, bukan hanya meninggalkan semua konsep konsevatif yang dimiliki madrasah. Meski hanya ada enam guru, tapi setiap mereka sudah menyadari pentingnya active learning (pembelajaran aktif) bagi siswa. Sebagai contoh, dalam pelajaran agama, biasanya siswa memprekatikkan langsung materi yang mereka dapat.

"Jika diajarkan tentang hari raya kurban, kami juga mengajak mereka mempraktekkan proses memberi hewan kurban, menerima, hingga membaginya. Kami kan hanya fasilitator jadi siswa harus mengalaminya sendiri," kata Supendi , guru kelas V madrasah Cibangban.
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

No comments: