Friday, December 07, 2007

Nilai Kuat, Prestasi Didapat

Selasa, 04 Des 2007

Setiap anak yang baru lahir netral terhadap nilai-nilai. Disadari atau tidak orang tua dan lingkunganlah yang membentuk mereka menjadi pembohong, pemarah, atau segala sifat negatif lainnya.

Saat masih berusia setahun, anak pasti mendapat imunisasi. Ketika dibawa ke rumah sakit, posyandu, atau puskesmas, anak menangkap segala gambaran yang ada di sana. Karena merasa lingkungan tersebut asing, anak bereaksi dan orang tua menenangkan.

"Tenang aja nggak sakit kok" atau "rasanya cuma seperti digigit semut" adalah alasan-alasan yang sering orang tua katakan pada anak. Karena orang tua adalah orang yang dekat dengan mereka, otomatis si anak percaya dengan perkataan tersebut. Namun, perngalaman saat disuntik ternyata sakit. Dan saat itulah anak belajar berbohong.

Tanpa disadari, orang tua selalu mengulang-ulang proses berbohong. Sebagai contoh, saat anak diajak berbelanja ke supermarket. Karena tertarik pada sebuah mainan, anak memasukkannya ke keranjang belanja tanpa diketahui ibu. Saat di kasir atau sepulang di rumah, orang tua memberi pengertian pada anak.

"Lain kali, kalau mau mainan bilang mama dulu, nanti pasti dibelikan," adalah perkataan yang sering disampaikan orang tua ke anak. Di lain waktu, saat anak ingin mainan, ia meminta izin seperti permintaan orang tuanya. Dengan berbagai alasan, orang tua mengelak membelikan.

Saat itu pun anak belajar tentang kebohongan. "Harusnya kalau sudah ijin pasti dibelikan. Ini kok tidak?" kira-kira begitu pikir si anak.

Menurut Koordinator Nasional Living Values Education Program Fidelis Elisati Waruwu, nilai kehidupan adalah nilai-nilai yang menghidupkan seseorang. Baik itu membuatnya bertahan hidup ataupun menjadi dewasa. Nilai ini ada pada setiap makhluk. Nilai itu berupa nilai kejujuran, keadilan, penuh kasih sayang, yang dilengkapi potensi bawaan seperti kemampuan berpikir, berasa, dan berperilaku.

"Nilai-nilai negatif dimasukkan ke anak oleh orang tua dan diteruskan selama hidup mereka," kata Fidelis pada peserta Konfrensi Guru Indonesia yang berlangsung pekan lalu, di Jakarta.

Teori Ekologi Bronfenbrenner menyebutkan lima sistem ekologi perkembangan, yaitu mikrosistem, mesosistem, eksosistem, makrosistem, dan kronosistem. Yang termasuk dalam mikrosistem adalah keluarga, teman-teman sebaya, sekolah, dan lingkungan. Dalam mikrosistem inilah terjadi interaksi yang paling langsung dengan agen-agen sosial.

Lingkungan mesosistem meliputi hubungan antara beberapa mikrosistem atau beberapa konteks. "Misalnya hubungan antara pengalaman sekolah dengan pengalaman keluarga atau teman sebaya," kata Fidelis. Eksosistem melibatkan pengalaman individu yang tak memiliki peran aktif di dalamnya. Semisal pengalaman kerja yang mempengaruhi hubungan ibu dan anak.

Makrosistem meliputi kebudayaan dimana individu hidup. Kronosistem meliputi pemolaan peristiwa-peristiwa sepanjang rangkaian kehidupan dan keadaan sosiohistoris. "Maka itu, dalam membangun budaya sekolah berbasis nilai harus mengandalkan komitmen dari semua pihak. Untuk menghadirkan nilai-nilai, seperti penghargaan, toleransi, tanggung jawab, kasih sayang, kedamaian, kejujuran, dan kerendahan hati, haruslah ditekankan dalam setiap interaksi. Baik itu interaksi guru dengan guru, guru dengan murid, dan murid dengan murid di lingkungan sekolah," jelas Fidelis.



Dukung prestasi

Pada dasarnya, lanjut dia, pembangunan budaya nilai itu tidak membutuhkan mata pelajaran khusus atau dimasukkan ke kurikulum. "Bila setiap orang di sekolah itu menghidupi nilai dalam perilakunya, dalam cara bicara, dan berelasi satu dengan lain, maka dengan sendirinya nilai tersebut menghidupi mereka."

Sebagai contoh, untuk menerapkan nilai kerapihan, gurulah yang harus memberi contoh pada anak. "Jika semua guru konsisten berpakaian rapih, saya jamin hanya butuh dua minggu untuk menanamkan nilai tersebut. Anak pasti mengikuti orang-orang yang bisa mereka percaya. Guru mengajarkan berbohong, anak pasti megikuti. Begitupun jika guru mengajarkan disiplin atau nilai-nilai positif" ucapnya.

Hanya saja, lingkungan mesosistem si anak harus mendukung. Caranya, guru bisa memberi pemahaman ke orang tua dan mengajak mereka menerapkan nilaiu yang sama. "Percuma kalau anak rapih di sekolah, tapi di rumah terjadi kondisi yang berbeda. Usaha pihak sekolah harus didukung," ujarnya.

Hal ini tentu tidaklah mudah, karena mengandaikan perubahan pola pikir, pola laku, dan pola rasa masing-masing pihak, terutama kepala sekolah dan guru. Bila guru berubah, maka dengan sendirinya murid juga akan berubah. Maka kunci pembangunan budaya sekolah itu ada pada guru dan kepala sekolah.

Sementara itu, Romy Cahyadi, Direktur ProVisi Education, mengatakan, pendidikan nilai mendukung pencapaian prestasi sekolah. Hal tersebut ia amati berdasarkan pengalaman enam tahun menjadi konsultan pendidikan pada berbagai sekolah negeri dan swasta.

"Sekolah-sekolah berprestasi umumnya memiliki budaya sekolah yang berbasis nilai yang kuat. Sekolah yang tak ada nilai-nila ini hampir selalu prestasi akademiknya buruk," ujar Romy.

Yang tak kalah penting, harus ada refleksi bersama dalam menentukan nilai yang dianut warga sekolah. Setiap lingkungan punya perbedaan norma dan nilai, itupun selalu berubah seiring berkembanganya lingkungan tersebut. Untuk itu, nilai yang ditanamkan haruslah yang bersifat universal semisal penghargaan, tanggung jawab, kerja sama, kerendahan hati, toleransi, kejujuran, dan intergritas. Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

No comments: